Amang Suramang's Blog
April 23, 2014
Atap
Sering aku melihat ke atas
Tak cukup sekali
Tapi berulang-ulang kali
Mencoba mencari dan tak kunjung menemukan
: Wajah kalian
Tapi aku tak bosan
Berulang kali kucoba keesokan hari
Juga lusa dan esok lusa
Begitu terus sambil berdoa
Akan ada atap dari pengharapan
: Kebahagiaan di surga
Kebangkitan Paskah 2014
April 4, 2012
lima
seorang penulis menyimpan cita-cita di kepala
lalu ia buru-buru menulis beberapa rangkai kata
memahatnya setiap saat, mengukirnya dengan rima
hatinya penuh suka cita saat kerja hampir paripurna
suatu ketika si penulis duduk di ruang kaca
di hadapnya ada selembar kontrak kerja
setiap kata dikonversi jadi harga
setiap bunyi digantikan jadi koma
tertulis lima cuma lima
bukan lima puluh lima
atau seratus ribu lima
cuma lima harga seluruh kata
seketika di hatinya muncul dilema
saat memilih lima atau pulang dengan hampa
lalu ia keluarkan cita-citanya
:
rumah yang ingin ia punya
baju untuk istrinya
susu untuk anaknya
pensil untuk bekerja
bah, bahkan lima tak dapat apa-apa
dilema itu berkecamuk di kepala
tapi setelah waktu cukup lama
uang lima itu ia ambil juga
itu harga untuk cintanya pada kata-kata
sekarang memang cuma lima
tetapi jika dengan cintanya
kelak lima juta lima ratus ribu lima puluh lima
ia simpan lima itu di kepalanya sebagai cita-cita
lalu ia buru-buru menulis beberapa rangkai kata
memahatnya setiap saat, mengukirnya dengan rima
ketika kerja hampir paripurna, di hatinya terbit suka
4/4/2012
January 15, 2012
Senja-Senja Kita
Adinda,
Sudah berapa lama kita tak terpekur menatap senja bersama? Sehari? Sepuluh hari? Satu bulan? Tiga tahun? Begitu lama ya? Padahal aku menyukainya. Selalu menyukainya, sama seperti aku mencintaimu.
Mungkin sekali aku terpengaruh puisi Pablo Neruda ini.
Kulihat dari jendelaku
pesta matahari tenggelam di puncak puncak pegunungan yang jauh.
Kadang sepotong matahari
terbakar seperti sebuah uang koin di antara tanganku.
Dulu biasanya kita selalu punya momen bersama ini. Sepotong senja di pekarangan kita, sepotong senja di pinggir kota, sepotong senja di bibir pantai, sepotong senja dari atap gedung. Mungkinkah karena kita kini menatap langit yang berbeda?
Kini dari jendelaku, aku bisa kembali melihat setiap senja jatuh di cakrawala. Tapi terasa berbeda dan tak lagi sama. Kuharap satu hari nanti kita bisa kembali menatap senja bersama. Semoga.
Jakarta, November 2011
Bayang-Bayang Pergi di Suatu Senja
Di titik itu. Pada rekah sebuah senja. Bayangku tiada.
Pergi begitu saja mengambil jiwa, lalu meninggalkan sepotong raga tanpa nama.
Hampa.
Senja seindah apapun jadi tak punya makna.
Memandang Matahari Saat Senja
Kupanggil kau matahari, ibu, karena sinarmu selalu menerangi petak jalanku. Saat muncul akar pada benih dan dahan-dahan kecilku mulai menggapai langit, ke arahmu sebenarnya aku tumbuh. Cabang-cabangku mungkin merambah ke mana-mana, tetapi kiblatku tetap pada terang cahayamu.
Itulah sebab redupmu di saat senja, ibu, membuatku kuyup layu. Senja, yang biasanya demikian indah dengan semburat srengenge, kini tak ubahnya pintu ke kegelapan kehidupan. Sesaat aku takut ibu, jerih hati pada kesendirian.
Hendak kugebah kabut gelisahmu yang pekatnya menyaingi rambut putihmu, ibu. Hendak kunyanyikan lagu girang pada senja-senja masa datang, ibu. Agar setiap detik dalam petakan jalan menjadi penuh arti dan setiap memandang matahari saat senja, ibu selalu tahu aku sayang padamu.
December 29, 2011
December 22, 2011
Pondasi Dari Batu
Ibu ceritakan padaku tentang papa, rajukku.
Ibu menoleh dan menatapku erat.
"Dia telah pergi nak, sepuluh tahun lalu."
Iya aku tahu, jawabku. Kalau begitu ceritakan padaku papa waktu ibu dulu kali pertama mengenalnya, rajukku sekali lagi.
Ibu menghela nafas. Ia pun bercerita.
"Papa adalah tukang batu. Tiap hari kerjanya memecah batu. Kecil, sedang, besar mampu ia pecahkan. Kadang dibantu temannya, tapi lebih sering ia bekerja sendiri. Ibu melihatnya waktu ia hendak memecahkan batu sebesar rumah."
Mana ada sih batu serumah, sanggahku. Tapi ibu terus bercerita.
"Ibu juga tak percaya. Jadi kusapa dia dan memintanya berhenti. Tapi sungguh, papamu keras kepala. Kepalanya mungkin seperti batu itu. Ia bilang jangan pikirkan batunya. Tapi pikirkan rumah yang bisa dibangun dari batu itu. Akhirnya batu sebesar rumah itu ia pecahkan, awalnya dari membelahnya besar-besar, kemudian, memecahkannya keping demi keping. Kemudian keping demi keping itu ia susun dan jadilah pondasi."
Wah, pondasi rumah inikah, tanyaku.
Ibu hanya tersenyum mengiyakan.
Kukagumi rumah cita-cita yang kudiami ini.
Ibu berkata lagi.
"Papamu, nak, adalah tukang batu. Dan kita juga adalah keping-keping batunya."
Jakarta, 22 Desember 2011
December 20, 2011
Pintu
Aku belum berhasil mengunjungimu lagi. Untuk bertanya sekedarnya, sembari memperhatikan tempat kau berbaring. Selalu ada pintu yang memisahkan kita: nyawa.
Aku selalu mengajukan tanya dalam semesta pikiranku sendiri, ada apa di balik pintu pemisah ini. Dapatkah pintu ini terbuka tertutup semaunya. Sesekali lengah, ia terkuak. Tapi seringkali tertutup rapat.
Pintu. Kami tak akan pernah memiliki kuncinya. Entah apa perlu memiliki kunci itu atau tidak. Hanya cerita saja, disyahdan para malaikat memegang kunci, tetapi siapa hendak mencuri? Apa yang akan tercuri?
Mengetuknya sering kulakukan. Hampir setiap hari. Meminta dibukakan. Sekedar menjulurkan kepala, menyungging senyum kepada insan tercinta, itulah cukup. Tapi pintu tetap tertutup. Rapat. Tak bergeming sedikitpun.
Hanya doa yang selalu berhasil menelusup lewat jendela. Bagaimanapun rumah berpintu kuat tetap membutuhkan jendela bukan?
Aku memang belum berhasil mengunjungimu lagi. Namun sudah kutitipkan doa di kaca jendela. Untukmu, untuk semua.
19 Juli 2011
Cladding
Kuperhatikan sekali lagi kalender di meja. Empat belas hari ke depan, membayangkan kudekati dirimu, memperhatikanmu dalam diam, berandai sejauh mana hidup berjalan bila kau ada.
Begitu muda. Begitu rapuh hidup ini. Seperti berjalan di jembatan panjang yang tak akan pernah sampai ke penghujungnya. Sang maut dapat berdiri di depan, samping, atau belakang sambil mengintai bak elang pada korbannya. Menantinya lengah, kemudian merenggut dengan seketika. Tiada. Begitu saja.
Empat belas hari ke depan, sebuah kotak waktu, pertanda akan keberadaanmu yang kini harus kusadari karena kau telah tiada. Siapa yang kelak akan mengingatmu? Mungkin hanya ibu dan diriku.
Mencabuti satu demi satu rumput di dadamu. Berupaya mengusir panas terik dari pembaringanmu. Inilah yang tampak dalam rumahmu yang sekarang dan kelak semua kita:
Dua kali satu meter persegi. Minimalis tanpa perabot. Orang boleh menyebutnya rumah masa depan, bagiku sama saja, pekuburan.
Jakarta, 5 Juli 2011
Amang Suramang's Blog
- Amang Suramang's profile
- 32 followers

