Lies Marcoes's Blog
October 19, 2018
Has Indonesia forgotten contraception?
Contraception is not simply a method to prevent pregnancy. Given the suspicion – if not outright hostility – toward contraception that is common to most religions, debates over its regulation are often deeply political and value-laden.
The problem is that suspicion does not solve problems. In Indonesia, adolescents cannot legally access birth control unless they are married. Yet many adolescents are sexually active, whatever their marital status. In fact, according to Unicef, one in nine Indonesian adolescents are sexually active. The Indonesian Demographic and Health Survey (SDKI) puts the figure even higher, at one in four. They have an urgent need for contraception.
There are more than 45 million 10-19 year olds in Indonesia. In 2017, the Indonesian Demographic and Health Survey (SDKI) found that only 45 per cent of married or sexually active adolescents aged 15 to 19 said they used contraception. This means the other 55 per cent either had no plans to use contraception or had limited exposure to knowledge about their bodies, sexuality, reproductive health, and contraceptives. These are concerning findings.
A 2016 study by Rumah KitaB found that from 52 female adolescents who married in childhood, 36 (about 70 per cent) got married because of unwanted pregnancies. Nearly all admitted that they never used contraception when they had sex, either because they didn’t know how to obtain the pill or didn’t have the courage to ask their partners to use a condom.
Only one tenth of the child brides surveyed had access to contraception. They usually acquired it from private midwives, not state-run community health centres (puskesmas), with the help of their mothers or mothers-in-law.
On World Contraception Day on 26 September, Indonesia received the distinction of being the country with the greatest unmet need for contraception. Lack of legally available contraception for adolescents contributed to this result. Indonesia was once a leader in family planning but it is fast becoming one of the worst performers in the region.
How did we get to this point? The main problem lies in flawed population policies. Grounded in the ideology of “developmentalism”, which held that the nation would become prosperous if population growth could be controlled, the New Order regime strictly applied a Family Planning project called Keluarga Berencana, or KB.
Using a wide range of methods and approaches, Indonesia’s population policy was deemed successful. But the program’s occasionally coercive methods, in which those who did not practice KB were treated as “the other”, alienated many. This included sections of the Muslim community, which was under the most suspicion when the program was first applied. Any effort to question, let alone oppose, the assertion that families would become prosperous through the KB program was simply crushed by the state.
Islamic mass-based organisations – first Nahdlatul Ulama, and later Muhammadiyah – tried to assuage Muslim anxieties about New Order enforcement of the KB policy. These two organisations agreed to support the New Order government’s population program, relying on interpretation and exploration of Islamic arguments. They justified support for KB in the name of both darurat (emergency) and maslahat (the greater good) to avoid even greater mudharat (harm) if the size of the population were not controlled.
However, this theological discourse from NU and Muhammadiyah certainly did not comfort everyone in the Muslim community. Even today, many Muslims are suspicious of family planning as a “western project” to reduce the size of the Muslim population.
This is not simply because the religious arguments are insufficient to convince them, for example because of differences in interpretation or exploration of Islamic law. Rather, narratives about “genocide of the Islamic community” have taken root, and are now considered truth by many people.
Those who reject family planning point to the fact that promises about family planning delivering prosperity were never truly realised, but it did reduce the size of many Muslim families.
Another problem is that there was never any theological debate or discussion of Islamic jurisprudence (fiqh) on the use of contraception by young people during the New Order era. The state seemingly sought to increase the moral acceptance of the KB program by guaranteeing that it would not be accessed by adolescents.
The Criminal Code (KUHP) (under Article 283) and the 2009 Population Growth and Family Development Law (under Article 26) still explicitly prohibit provision of contraception services to adolescents and unmarried couples, apart from information, and even that is restricted, with punishments of fines and imprisonment if violated. These prohibitions on serving the needs of adolescents were clearly a “band-aid” strategy to contain the anxiety and suspicions of the religious community.
Ignoring adolescents’ need for contraception has created a huge gap in addressing the problems of reproductive health in Indonesia. Adolescents are now a quarter of the population and among those who most need information on reproductive health and contraception services.
Indonesians cannot simply shut their eyes to the reality that the age at which girls are menstruating and becoming sexually active is steadily decreasing. At the same time, underage marriage is also becoming more common – on the grounds of fear of committing the “sin of premarital sex”, or if pregnancy has already occurred.
As long as the government remains closed to discussion on reproductive health education for adolescents, and the law remains unchanged, young people will remain shut off from accurate information.
The government’s reluctance to address adolescent sexual and reproductive health also provides room for conservative religious groups to push their position. And their solution is worryingly simplistic: Just marry them off!
Now is the time for the state, assisted by NU and Muhammadiyah, to come down from the mountaintop, and take a frank and pragmatic look at adolescent sexuality. Gaps in information and reproductive health services, including contraception services for adolescents, must be addressed.
If not, Indonesia can look forward to a grim future of more and more child brides and unwanted pregnancies.
Appeared on Indonesia at Melbourne, 16 October 2018.
An earlier version of this article was published in Kompas on 12 October as “Kontrasepsi bagi Remaja”.
Photo credit: Dương Nhân.
October 15, 2018
Kontrasepsi bagi Remaja
Kontrasepsi bukan sekadar rekayasa teknologi untuk pencegahan kehamilan. Di dalamnya terkandung ideologi politik bagi pendukung atau penentangnya.
Namun, dalam konteks Indonesia, kontrasepsi berpengaruh besar terhadap peruntungan nasib dan masa depan kaum remaja sekaligus pada kesejahteraan negeri ini. Sebab, kontrasepsi yang dalam fungsinya menjadi alat bantu pencegahan kehamilan kenyataannya tak pernah secara legal berlaku bagi remaja. Padahal, data menunjukkan, banyak remaja telah melakukan seks aktif, terlepas dari apa pun status perkawinan mereka, baik di kota maupun di desa.
Dalam situasi itu kontrasepsi bukan sekadar isu kependudukan, juga isu moral yang diemban agama. Sebagai penjaga moral, agama sangat mewaspadai—untuk tak mengatakan curiga—pada kontrasepsi. Masalahnya, kecurigaan saja tak menyelesaikan masalah.
Data dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 menunjukkan, 45 persen remaja (15-19) punya niat memakai kontrasepsi setelah mereka kawin atau seks aktif. Namun, niat itu tak kesampaian dengan berbagai alasan. Padahal, dalam populasi besar, jumlah mereka juga besar. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah remaja berkisar 28 persen dari populasi atau setara 45 juta penduduk.
Studi Rumah Kitab 2016 mencatat, dari 52 remaja yang menikah di usia anak, 36 remaja menikah karena kehamilan yang tak mereka inginkan. Dan, hampir semua informan (remaja perempuan) mengaku tak pernah memakai kontrasepsi ketika mereka berhubungan karena tak tahu cara mendapatkannya (pil) dan tak berani meminta pasangannya menggunakan kondom. Studi itu mencatat, hanya satu di antara 10 perempuan yang menikah bocah itu mengakses kontrasepsi. Itu pun karena diajak orangtua perempuan/mertua perempuannya suntik di bidan swasta bukan di puskesmas.
Dalam rangka peringatan Hari Kontrasepsi Sedunia, Indonesia tercatat sebagai negara tertinggi di Asia yang tak dapat melayani kebutuhan kontrasepsi warganya. Sudah barang tentu mencakup ketidaksediaan layanan kontrasepsi bagi remaja. Hal ini dapat dibaca dari banyaknya kasus kehamilan yang tak direncanakan itu. Dalam kata lain, kontrasepsi tak jadi pilihan untuk pencegahan kehamilan bagi pasangan usia produktif, termasuk usia remaja yang secara legal atau ilegal melakukan seks aktif.
Cacat bawaan
Melihat kenyataan seretnya akses remaja pada layanan kontrasepsi menjadikan Indonesia seakan naas dalam urusan politik kependudukan. Indonesia pernah menjadi negara yang berjaya dalam menekan jumlah penduduk melalui program KB, dan kini Indonesia menjadi si buruk rupa dalam isu yang sama.
Jika ditelusuri ke belakang, pokok soalnya terletak pada politik kependudukan yang cacat bawaan. Bersandar pada ideologi ”pembangunanisme” yang meniscayakan hidup sejahtera akan tercapai jika laju pertumbuhan penduduk dikendalikan, rezim Orde Baru tanpa ampun menerapkan program kependudukan ini melalui proyek Keluarga Berencana (KB). Dengan segala cara dan pendekatan, dari pendekatan kooperatif hingga koersif, atau me-liyan-kan mereka yang tak ber-KB, politik kependudukan Indonesia dianggap sukses melaksanakan program KB.
Akan tetapi, keberhasilan menekan angka kelahiran itu tak berbanding lurus dengan capaian kesejahteraan, apalagi dalam pemenuhan hak reproduksi. Bahkan setiap upaya menyoal, apalagi melawan, diskursus ”keluarga akan sejahtera dengan ber-KB”, akan habis dihantam negara. Itu termasuk umat Islam pada awal penerapan program itu sebagai pihak paling banyak dicurigai.
Organisasi NU, disusul Muhammadiyah, merupakan dua organisasi besar umat Islam yang kemudian berhasil meredam gejolak umat atas politik pemaksaan KB oleh Orde Baru. Dengan kearifan dan metode penggalian hukumnya, kedua organisasi itu bersepakat jadi pendukung program kependudukan pemerintah, baik atas nama darurat maupun maslahat, guna menghindari mudarat yang lebih besar jika jumlah penduduk tak terkendali.
Masalahnya tak semua umat Islam terjamah oleh wacana keagamaan terkait isu kependudukan ini. Dan, pandangan yang mencurigai KB merupakan proyek Barat untuk menekan jumlah umat Islam tetap bercokol di benak sebagian umat. Ini bukan saja karena argumen keagamaan yang tersedia tak cukup meyakinkan mereka karena cara penggalian hukumnya berbeda, juga karena kuatnya kecurigaan politik ”genosida umat Islam” yang dengan gampang dijadikan kebenarannya bagi awam. Misalnya janji bahwa KB akan selaras dengan capaian kesejahteraan tak benar-benar terwujud.
Debat teologis dan fikih soal penggunaan kontrasepsi di era Orde Baru pun tak pernah terjadi. Bahkan, itu seolah dijadikan agunan bahwa program KB tak akan mengutak-atik remaja sebagai bukti negara tidak melakukan penyimpangan secara moral. KUHP dan UU Kependudukan secara eksplisit melarang pemberian pelayanan kontrasepsi kepada remaja, kecuali informasi yang juga dibatasi rambu-rambu ancaman pidana serta denda.
Perlu dicari solusi
Meninggalkan kelompok remaja terkait kontrasepsi sebetulnya meninggalkan lubang besar dalam mengatasi persoalan kesehatan reproduksi di Indonesia. Sebab, ini menyangkut seperempat penduduk yang nyatanya paling butuh informasi kesehatan reproduksi serta layanan kontrasepsi. Kita tak bisa menutup mata pada kenyataan kian mudanya umur remaja yang mengalami menstruasi dan melakukan seks aktif. Perkawinan di bawah umur begitu marak dengan alasan ”takut berbuat zina”, selain karena telanjur hamil. Data UNICEF mencatat satu di antara sembilan, sementara data SDKI satu di antara empat.
Pada kenyataannya, seks aktif secara sembunyi atau terang-terangan dilakukan remaja. Studi Aliansi Remaja Indonesia memperlihatkan hanya sebagian kecil yang mencari tahu kepada teman atau mencari tahu sendiri cara-cara menghindari kehamilan atau menghentikannya, yang sering kali jauh dari aman. Mayoritas dari mereka tak pernah mendapatkan akses informasi soal kesehatan reproduksinya, apatah lagi kontrasepsi.
Masalahnya, ketika negara semakin tertutup pada wacana pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja, semakin terasinglah remaja dari informasi yang benar dan bertanggung jawab. Dalam waktu bersamaan, situasi itu telah memberi jalan bagi sekelompok orang yang menggunakan ideologi keagamaan menawarkan cara-cara sederhana, tetapi jauh dari solusi: kawinkan! Kini, saatnya negara, dibantu NU-Muhammadiyah, turun gunung untuk menengok isu seksualitas remaja dengan tawaran solusi yang benar-benar fungsional dalam mengatasi kesenjangan informasi dan layanan kesehatan reproduksi mereka.
Diterbitkan pertama kali di Harian Kompas edisi cetak, 12 Oktober 2018.
August 23, 2018
Lies Marcoes: Aktivis Perempuan Islam yang Peduli Kesetaraan Gender
Cita-cita Islam adalah kesetaraan, termasuk bagi perempuan. Makanya, Lies menilai kaum hawa dan Islam adalah dua elemen yang tak terpisahkan untuk diperjuangkan.
tirto.id – Nama Lies Marcoes Natsir tak pernah absen dari perbincangan soal wacana dan gerakan perempuan Islam. Ia disebut sebagai salah satu ahli Indonesia di bidang gender dan Islam. Lies berperan merintis gerakan kesetaraan gender dengan menjembatani perbedaan antara feminis muslim dan sekuler. Selain itu, ia juga mendorong kaum feminis untuk bekerja mewujudkan kesetaraan gender di bawah Islam.
Lies aktif berkegiatan di Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB), lembaga penelitian yang digagas para santri dan tokoh pesantren Cirebon. Organisasi tersebut memiliki sejumlah agenda kegiatan yang berbasiskan pada visinya memproduksi pemikiran kritis tentang keislaman Indonesia dan perubahan sosial yang berpihak pada kaum marjinal. Saat ini, Lies didapuk menjadi direktur eksekutif Rumah KitaB.
Menurut Neng Dara Affiah dalam Potret Perempuan Muslim Progresif Indonesia (2017), Lies Marcoes Natsir termasuk aktor penggerak organisasi Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Hal ini dikarenakan Lies menjadi pencetus lahirnya program fiqh-an-Nisa di LSM yang aktif mempromosikan kesehatan reproduksi perempuan dan wacana Hak Asasi Manusia pada komunitas muslim tersebut.
Fiqh-an-Nisa fokus membahas teologi perempuan dengan mengembangkan isu kesehatan dan hak-hak reproduksi perempuan dalam Islam. Neng Dara Affiah menjelaskan advokasi hak-hak perempuan dikembangkan melalui fiqh-an-Nisadengan target kelompok yang disasar meliputi juru dakwah (muballigoh), guru agama (ustadzah), pengasuh pondok pesantren, dan organisasi perempuan Islam. Tapi kalangan pesantren menjadi sasaran utama kegiatan program itu.
Perhatian Lies pada Islam dan gender tak lepas dari latar belakang keluarga dan minatnya pada ilmu sosial. Lies tumbuh di kota Banjar, Jawa Barat bersama orang tua dan sembilan saudaranya. Ibu Lies adalah anggota Aisyiyah, kelompok sayap perempuan Muhammadiyah. Sementara itu, sang ayah datang dari keluarga Islam tradisional tapi kemudian turut berkecimpung di kegiatan Muhammadiyah.
Pada tahun 1978, Lies memutuskan merantau ke Jakarta untuk kuliah di Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Teologi Islam, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah. Ia kemudian melanjutkan studi magisternya di bidang Antropologi Kesehatan di University of Amsterdam. Selama itu, Lies berkenalandengan peneliti dan aktivis yang turut mendorongnya belajar lebih jauh tentang gender dan feminisme. Sosok-sosok tersebut adalah Martin van Bruinessen (peneliti Indonesia dari Belanda) dan aktivis perempuan seperti Saskia Wieringa, Mies Grijns, dan Julia Suryakusuma.
Islam, Perempuan, dan Kesetaraan Gender
Menurut Lies, perempuan dan Islam adalah dua hal yang tidak dipisahkan. Ia mengatakan bahwa Islam yang tumbuh di dalam tradisi budaya Indonesia berbeda dengan Islam di wilayah lain seperti Afrika atau Afghanistan. “Islam di Indonesia tumbuh dalam dua keping lahan saya kira. Satu, perlawanan terhadap kolonialisme yang Islamnya menjadi Islam kiri karena perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan. Nah yang kedua, culture Indonesia walaupun dari masyarakat agraris, masyarakat pedagang, masyarakat kelas yang dipengaruhi oleh kolonialisme jadi elite sekuler, itu memberi ruang, tempat, posisi yang bagus pada perempuan dibandingkan di wilayah-wilayah Islam lain,” kata Lies kepada Tirto.
Islam di Indonesia, lanjut Lies, adalah Islam jalan tengah atau moderat yang cukup memberi ruang pada pemahaman yang inklusif. Makanya, kesempatan perempuan untuk eksplorasi dan berkiprah di ruang publik cukup besar. Hal ini didukung pula oleh kultur masyarakat Indonesia yang memberi tempat terutama di sektor informal bagi perempuan.
[image error]
Di era demokrasi, gabungan antara pengalaman masa lalu, Islam moderat, dan kultur orang Indonesia mampu menjadikan perempuan sebagai penentu arah Islam di masa depan. “Kalau perempuannya terdidik, kalau perempuannya memperoleh ruang-ruang yang baik untuk menginterpretasikan bagaimana mereka memaknai teks suci misalnya itu sebetulnya luar biasa,” ujar Lies.
Tapi, Lies tak memungkiri bahwa agama kerap menjadi pembenaran tindakan kekerasan pada perempuan. Selain itu, posisi mereka terkadang terpinggirkan ketika berhadapan dengan agama. “Kenapa bisa begitu, [karena] perempuan kemudian menjadi elemen yang dikontestasikan sebagai bagian dari demokrasi dan dukungan politik,” katanya.
Lies mencontohkan soal gagasan perempuan tidak boleh memimpin di mana ide itu muncul ketika Megawati Soekarnoputri mencalonkan diri menjadi presiden Indonesia. Pada waktu itu, semua orang kembali ingat pada pandangan konvensional yang bersumber dari hadis yang mengatakan sebuah negara akan hancur jika dipimpin perempuan. “Faktanya perempuan bisa di ruang publik, memimpin, jadi hakim bisa. Tapi begitu perempuan ada peluang untuk bisa menjadi pemimpin tiba-tiba orang ingat teks dan itu dikuatkan terus,” jelasnya.
Kejadian tersebut tidak hanya terjadi pada saat itu tapi juga masa kini. Lies berkata Indonesia sekarang tengah berhadapan dengan masyarakat teks yang berpedoman pada fikih. “Padahal sebelumnya kan enggak begitu, masyarakat konteks. Nah, masyarakat teks dengan kepentingan politik yang kawin dengan masyarakat teks internasional, transnasional, dan fundamentalisme kemudian melahirkan ide merumahkan perempuan, menganggap perempuan harus dikerudungi, dan ruang publik bukan ruang perempuan,” terangnya.
Menurut Lies, isu paling besar saat ini yang membutuhkan kerja sama di antara para aktivis perempuan Islam adalah penerimaan perempuan secara riil di ruang publik. Selain itu, problem yang dihadapi perempuan akibat kondisi sosiokultural dan perubahan ekonomi juga patut menjadi perhatian. Salah satu persoalan yang harus menjadi agenda bersama adalah naiknya angka perkawinan anak.
Lies berkata masalah perkawinan anak selama ini kerap dibaca menurut kacamata hukum. Padahal, ia menilai aspek hukum hanya puncak persoalan sedangkan problem lain yang justru menjadi penyebab utama tak ditangani.
“Jadi itu kan ada persoalan kultural, perpecahan keluarga ekonomi sejak tanah itu hilang di desa orang migrasi itu perempuan yang paling kena, ada persoalan adat, ada persoalan korupsi, ada persoalan interpretasi agama, ada persoalan hubungan kota dan kampung, itu gede banget isunya. Tapi kemudian direduksi, itu problem. Artinya problemnya adalah problem intelektual dalam membaca realitas,” kata Lies. Permasalahan intelektual tersebut, menurut Lies, dipengaruhi oleh munculnya masyarakat teks tadi.
Upaya memperbaiki kualitas kehidupan perempuan pun wajib diusahakan sebab cita-cita Islam adalah kesetaraan. “Kelas, warna kulit, gender, situasi status sosial, itu kan yang terus diperjuangkan oleh nabi jadi harapannya ke arah sana, menuju ke arah nilai-nilai universal,” ujar Lies.
Lies berkata masyarakat pra-Islam hanya mengenal laki-laki dan tidak merekognisi perempuan. Ketika Islam berkembang, baik Al-Quran maupun hadis meletakkan perempuan secara setara tapi tetap berkiblat pada laki-laki.
“Kita masih berada di sini, kiblatnya masih laki-laki, kadang-kadang laki-laki membesar perempuan mengecil, kadang-kadang bisa setara, tapi tidak bisa sebaliknya. Jadi selalu ruang itu, terutama ruang publik, perempuan kalau dari ruang domestik ke ruang publik itu kayak penumpang gelap, kadang-kadang diterima, kadang-kadang enggak. Tapi apa sebenarnya cita-cita Islam itu menuju ke kesetaraan,” jelas Lies.
Dipublikasikan oleh Tirto.id, 13 Juni 2018
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Ivan Aulia Ahsan
Ilustrasi: Quita
Cita-cita Islam adalah kesetaraan, termasuk bagi perempua...
Cita-cita Islam adalah kesetaraan, termasuk bagi perempuan. Makanya, Lies menilai kaum hawa dan Islam adalah dua elemen yang tak terpisahkan untuk diperjuangkan.
tirto.id – Nama Lies Marcoes Natsir tak pernah absen dari perbincangan soal wacana dan gerakan perempuan Islam. Ia disebut sebagai salah satu ahli Indonesia di bidang gender dan Islam. Lies berperan merintis gerakan kesetaraan gender dengan menjembatani perbedaan antara feminis muslim dan sekuler. Selain itu, ia juga mendorong kaum feminis untuk bekerja mewujudkan kesetaraan gender di bawah Islam.
Lies aktif berkegiatan di Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB), lembaga penelitian yang digagas para santri dan tokoh pesantren Cirebon. Organisasi tersebut memiliki sejumlah agenda kegiatan yang berbasiskan pada visinya memproduksi pemikiran kritis tentang keislaman Indonesia dan perubahan sosial yang berpihak pada kaum marjinal. Saat ini, Lies didapuk menjadi direktur eksekutif Rumah KitaB.
Menurut Neng Dara Affiah dalam Potret Perempuan Muslim Progresif Indonesia (2017), Lies Marcoes Natsir termasuk aktor penggerak organisasi Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Hal ini dikarenakan Lies menjadi pencetus lahirnya program fiqh-an-Nisa di LSM yang aktif mempromosikan kesehatan reproduksi perempuan dan wacana Hak Asasi Manusia pada komunitas muslim tersebut.
Fiqh-an-Nisa fokus membahas teologi perempuan dengan mengembangkan isu kesehatan dan hak-hak reproduksi perempuan dalam Islam. Neng Dara Affiah menjelaskan advokasi hak-hak perempuan dikembangkan melalui fiqh-an-Nisadengan target kelompok yang disasar meliputi juru dakwah (muballigoh), guru agama (ustadzah), pengasuh pondok pesantren, dan organisasi perempuan Islam. Tapi kalangan pesantren menjadi sasaran utama kegiatan program itu.
Perhatian Lies pada Islam dan gender tak lepas dari latar belakang keluarga dan minatnya pada ilmu sosial. Lies tumbuh di kota Banjar, Jawa Barat bersama orang tua dan sembilan saudaranya. Ibu Lies adalah anggota Aisyiyah, kelompok sayap perempuan Muhammadiyah. Sementara itu, sang ayah datang dari keluarga Islam tradisional tapi kemudian turut berkecimpung di kegiatan Muhammadiyah.
Pada tahun 1978, Lies memutuskan merantau ke Jakarta untuk kuliah di Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Teologi Islam, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah. Ia kemudian melanjutkan studi magisternya di bidang Antropologi Kesehatan di University of Amsterdam. Selama itu, Lies berkenalandengan peneliti dan aktivis yang turut mendorongnya belajar lebih jauh tentang gender dan feminisme. Sosok-sosok tersebut adalah Martin van Bruinessen (peneliti Indonesia dari Belanda) dan aktivis perempuan seperti Saskia Wieringa, Mies Grijns, dan Julia Suryakusuma.
Islam, Perempuan, dan Kesetaraan Gender
Menurut Lies, perempuan dan Islam adalah dua hal yang tidak dipisahkan. Ia mengatakan bahwa Islam yang tumbuh di dalam tradisi budaya Indonesia berbeda dengan Islam di wilayah lain seperti Afrika atau Afghanistan. “Islam di Indonesia tumbuh dalam dua keping lahan saya kira. Satu, perlawanan terhadap kolonialisme yang Islamnya menjadi Islam kiri karena perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan. Nah yang kedua, culture Indonesia walaupun dari masyarakat agraris, masyarakat pedagang, masyarakat kelas yang dipengaruhi oleh kolonialisme jadi elite sekuler, itu memberi ruang, tempat, posisi yang bagus pada perempuan dibandingkan di wilayah-wilayah Islam lain,” kata Lies kepada Tirto.
Islam di Indonesia, lanjut Lies, adalah Islam jalan tengah atau moderat yang cukup memberi ruang pada pemahaman yang inklusif. Makanya, kesempatan perempuan untuk eksplorasi dan berkiprah di ruang publik cukup besar. Hal ini didukung pula oleh kultur masyarakat Indonesia yang memberi tempat terutama di sektor informal bagi perempuan.
[image error]
Di era demokrasi, gabungan antara pengalaman masa lalu, Islam moderat, dan kultur orang Indonesia mampu menjadikan perempuan sebagai penentu arah Islam di masa depan. “Kalau perempuannya terdidik, kalau perempuannya memperoleh ruang-ruang yang baik untuk menginterpretasikan bagaimana mereka memaknai teks suci misalnya itu sebetulnya luar biasa,” ujar Lies.
Tapi, Lies tak memungkiri bahwa agama kerap menjadi pembenaran tindakan kekerasan pada perempuan. Selain itu, posisi mereka terkadang terpinggirkan ketika berhadapan dengan agama. “Kenapa bisa begitu, [karena] perempuan kemudian menjadi elemen yang dikontestasikan sebagai bagian dari demokrasi dan dukungan politik,” katanya.
Lies mencontohkan soal gagasan perempuan tidak boleh memimpin di mana ide itu muncul ketika Megawati Soekarnoputri mencalonkan diri menjadi presiden Indonesia. Pada waktu itu, semua orang kembali ingat pada pandangan konvensional yang bersumber dari hadis yang mengatakan sebuah negara akan hancur jika dipimpin perempuan. “Faktanya perempuan bisa di ruang publik, memimpin, jadi hakim bisa. Tapi begitu perempuan ada peluang untuk bisa menjadi pemimpin tiba-tiba orang ingat teks dan itu dikuatkan terus,” jelasnya.
Kejadian tersebut tidak hanya terjadi pada saat itu tapi juga masa kini. Lies berkata Indonesia sekarang tengah berhadapan dengan masyarakat teks yang berpedoman pada fikih. “Padahal sebelumnya kan enggak begitu, masyarakat konteks. Nah, masyarakat teks dengan kepentingan politik yang kawin dengan masyarakat teks internasional, transnasional, dan fundamentalisme kemudian melahirkan ide merumahkan perempuan, menganggap perempuan harus dikerudungi, dan ruang publik bukan ruang perempuan,” terangnya.
Menurut Lies, isu paling besar saat ini yang membutuhkan kerja sama di antara para aktivis perempuan Islam adalah penerimaan perempuan secara riil di ruang publik. Selain itu, problem yang dihadapi perempuan akibat kondisi sosiokultural dan perubahan ekonomi juga patut menjadi perhatian. Salah satu persoalan yang harus menjadi agenda bersama adalah naiknya angka perkawinan anak.
Lies berkata masalah perkawinan anak selama ini kerap dibaca menurut kacamata hukum. Padahal, ia menilai aspek hukum hanya puncak persoalan sedangkan problem lain yang justru menjadi penyebab utama tak ditangani.
“Jadi itu kan ada persoalan kultural, perpecahan keluarga ekonomi sejak tanah itu hilang di desa orang migrasi itu perempuan yang paling kena, ada persoalan adat, ada persoalan korupsi, ada persoalan interpretasi agama, ada persoalan hubungan kota dan kampung, itu gede banget isunya. Tapi kemudian direduksi, itu problem. Artinya problemnya adalah problem intelektual dalam membaca realitas,” kata Lies. Permasalahan intelektual tersebut, menurut Lies, dipengaruhi oleh munculnya masyarakat teks tadi.
Upaya memperbaiki kualitas kehidupan perempuan pun wajib diusahakan sebab cita-cita Islam adalah kesetaraan. “Kelas, warna kulit, gender, situasi status sosial, itu kan yang terus diperjuangkan oleh nabi jadi harapannya ke arah sana, menuju ke arah nilai-nilai universal,” ujar Lies.
Lies berkata masyarakat pra-Islam hanya mengenal laki-laki dan tidak merekognisi perempuan. Ketika Islam berkembang, baik Al-Quran maupun hadis meletakkan perempuan secara setara tapi tetap berkiblat pada laki-laki.
“Kita masih berada di sini, kiblatnya masih laki-laki, kadang-kadang laki-laki membesar perempuan mengecil, kadang-kadang bisa setara, tapi tidak bisa sebaliknya. Jadi selalu ruang itu, terutama ruang publik, perempuan kalau dari ruang domestik ke ruang publik itu kayak penumpang gelap, kadang-kadang diterima, kadang-kadang enggak. Tapi apa sebenarnya cita-cita Islam itu menuju ke kesetaraan,” jelas Lies.
Dipublikasikan oleh Tirto.id, 13 Juni 2018
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Ivan Aulia Ahsan
Ilustrasi: Quita
Is it really a surprise that radicals might have infiltrated Indonesian kindergartens?
This 17 August, Indonesia was shocked by an unusual – and deeply troubling – celebration of Indonesian Independence Day. A video circulated widely on Facebook showing kindergarten students from Probolinggo, East Java, participating in an Independence Day parade wearing black robes typically associated with conservative Islamist groups and carrying fake automatic weapons.
Especially shocking to many Indonesians was the fact that the children were from a Kartika Kindergarten, managed by the Army Wives Association (Persit) and supposedly under the supervision of the local district military command (Kodim) – which one would assume would be wary of any displays of radicalism.
In a press conference following the uproar, the kindergarten principal said the kindergarten had chosen to “highlight Muhammad’s struggle” as a way to increase their student’s “faith and devotion to God”. The head of the local military command reportedly also gave permission for the costumes to be used, believing it would “promote Islamic values”.
Rather than easing tensions, the responses of the head of the kindergarten and the military commander raised further questions. Many claimed their responses – interpreting jihad as involving fighting non-believers with weapons – were evidence of the infiltration of Salafi teachings into the school system and the military. Others suggested it was further evidence of the influence of funds from Saudi Arabia on local understandings of Islam. Some were more forgiving, dismissing the debacle as the actions of a naïve teacher with little understanding of the political implications of such a display.
While the choice of costume was deeply disturbing, the fact that something like this could happen in an Indonesian kindergarten was not a surprise to me. I was more surprised that so few members of the public were aware of the poor supervision over the Indonesian early childhood education system.
In 2014, I conducted research on early childhood education in Aceh with Ary Hasriadi, a researcher from Ininnawa Makassar. We found that compared to other levels of education, early childhood education received the lowest level of supervision from the national government. Kindergartens were basically free to teach whatever they wanted, with limited direction or control by the Ministry of Education and Culture. In Aceh Timur District, for example, the local government issued a policy preventing girls from dancing, even at kindergarten level, apparently as a means of “implementing shari’a” and protecting girls from “bad behaviour”. In a school in another district, female students were prevented from singing the national anthem, because the school principal believed it could “weaken their faith”.
Under Indonesian law, early childhood education can be implemented both through the formal education system and through informal community-based organisations. Formal early childhood education institutions include kindergartens (Taman Kanak-Kanak, TK) and Islamic kindergartens (Raudatul Athfal, RA). Informal early childhood education includes playgroups and childcare centres, managed by the community. The law provides for government oversight of kindergartens and early childhood education but in practice, supervision is minimal, and focuses on the fulfilment of administrative requirements, such as suitable facilities, availability of teachers, play equipment and teacher-student ratios. The curriculum is subject to very little oversight.
According to data from the Ministry of Education and Culture, in 2016-2017, there were more than 88,000 kindergartens and more than 105,000 playgroups, childcare centres and other early childhood education institutions across Indonesia. In Jakarta alone, there were more than 2,400 kindergartens and more than 2,000 playgroups, childcare centres and other early childhood education institutions. In East Java, home of the Probolinggo kindergarten, there were more than 14,000 kindergartens and more than 19,000 playgroups, childcare centres and other early childhood education institutions.
Only a small number of these kindergartens are directly managed by the Ministry of Education and Culture. Some 96.4 per cent of kindergartens across Indonesia are managed by private community groups or religious organisations – including the Probolinggo kindergarten. Meanwhile, of the total 105,000 informal early childhood education centres, 95.4 per cent had yet to pass government accreditation.
Growth in early childhood education facilities in Indonesia has been driven in part by parents’ desires to ensure their children have basic skills in reading, writing and arithmetic before they enter primary school. This has occurred because many primary schools are now using competency in reading, writing and arithmetic as selection criteria for new students, on the basis that schools are overcrowded.
As most Indonesians are Muslim, kindergartens and other early childhood education institutions are filled predominantly with students from Muslim communities. And as one would expect, early childhood education institutions also provide religious instruction, as many parents demand. Consequently, Indonesia has seen a blossoming of integrated Islamic kindergartens (Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu, or TKIT), which aim to provide Islamic education at the kindergarten level and then channel students into the Islamic education system.
The quality of education in these TKIT can be highly variable. The growth in TKIT occurred at around the same time as the growth in the Tarbiyah movement, the conservative educational movement associated with the Prosperous Justice Party (PKS). But TKIT are not only associated with the Tarbiyah movement. There are many “moderate” TKIT, just as there are several are affiliated with Salafi or extremist groups. I visited an Islamic school in Bogor, for example, which offered education from kindergarten to high school level and received its funding from Salafis from Kuwait.
Because so many kindergartens are run by private groups and religious organisations, it is difficult to find any that do not have a religious affiliation. Non-denominational kindergartens are usually only found in large cities, and are usually only those kindergartens that are bilingual or follow an internationally recognised curriculum, like Montessori schools.
In community or privately-run religious kindergartens, children are often pushed to memorise religious material. At a time when they should be developing and refining their fine motor skills through activities like drawing and painting, children are asked to sit still and recite religious texts. The focus on memorising religious texts is in many cases not just the result of school policy, many parents also demand it. It is a great source of pride for many mothers when their children are able to recite Islamic texts before entering primary school.
The lack of control over teaching in kindergartens is also influenced by the educators. In several kindergartens they require their teachers to hold qualifications to teach at the kindergarten level, however, in many places, teachers have no formal training in early childhood education, let alone a particular educational philosophy. But with salaries sometimes as low as Rp 200,000 (about A$20) per month, what quality can one expect from these teachers?
Given these vast challenges, is it really surprising that there was a kindergarten that thought it was appropriate to encourage its students to wear long robes and carry weapons as a form of following the example of the prophet Muhammad?
Of equal concern is that so many parents and the parade organisers allowed the kindergarten children to dress as violent jihadists and did not see anything worrying about it. If the children were wearing bikinis or revealing costumes would members of the school community or parade organisers have stopped them from marching?
Indonesians should not blame only the kindergartens, we must blame ourselves for allowing our kindergartens to become places where this kind of thing can happen.
First appeared on Indonesia at Melbourne, 20 August 2018
Photo credit: Twitter user @rasjogja
July 26, 2018
Merebut Tafsir: Islam Nusantara dan Bahasa Arab
Tulisan saya tentang Islam Nusantara dan Mamah Dedeh mendapat respons luar biasa. Umumnya menyatakan suka dan dianggap sebagai penjelasan yang mencerahkan. Sebagian mempertanyakan karena bagi mereka Islam ya Islam hanya satu, sementara yang lain menasihati agar saya mingkem. Para komentator yang kurang setuju dengan tulisan itu menyimpulan bahwa tulisan itu telah mendikotomikan Islam pribumi/lokal dengan Islam Arab dan karenanya yang satu Islam sepuhan yang lain Islam asli murni.
Suami saya, Ismed Natsir, adalah orang yang memperkenalkan luasnya pengaruh Arab dalam bahasa dan susastra Indonesia. Ia kerap berkisah tentang para keturunan Arab yang berkiprah dalam dunia seni dan susatra. Amak Baljun, pemain teater dengan watak yang memukau, atau Ali Audah dalam karya terjemahan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia dalam dunia sastra dan sejarah, dan beliau sendiri adalah pegiat sastra, atau Pak Kasim Mansur tetangganya di Grogol yang sangat cakap membacakan puisi dengan suara khas “tenggorokan Arab”, demikian Ismed menggunakan istilah.
Ismed juga menunjukkan bagaimana bahasa Arab memberi pengaruh kepada bahasa Indonesia. Dia mengatakan andai semua unsur bahasa Arab dicabut dari bahasa Indonesia, maka hampir pasti bahasa Indonesia akan lumpuh, bahkan mati. Kami pun mendaftar ratusan kata yang asal usulnya berasal dari bahasa Arab/istilah dalam agama Islam dan telah menjadi bahasa Indonesia. Sungguh heran dan takjub saat menyadari banyaknya kata yang sebegitu rupa telah diserap ke dalam bahasa Nusantara hingga tak terasa lagi bahwa asal usulnya berasal dari bahasa Arab. Sebut saja, misalnya, kata khatulistiwa, iklan, sehat, jasmani, rohani, dunia, akhirat, awal, akhir, takjub, jumlah, huruf, kalimat, hakim, imam, kawin, nikah, talak, rujuk, wali, pondok, mesjid, kitab, yatim, akbar, amal, saleh, kafir, fakir, miskin, maut, kafan, hayat, rela (ridha) ihlas, amanat, kaklum, nafsu, hadir, alfa, hadirat, syukur, dan seterusnya. Jumlahnya niscaya ribuan.
Kata-kata Arab seperti itu secara pasti telah diserap menjadi bahasa Melayu/Nusantara dan memiliki kesatuan makna yang difahami bersama oleh seluruh penduduk negeri ini. Sudah sangat pasti kata-kata itu telah masuk dan dipakai selama berabada-abad bersama tumbuhnya bangsa Indonesia di Nusantara.
Siapapun tak dapat menyangkal hal itu merupakan sumbangan/pengaruh Arab ke dalam kebudayaan Indonesia. Sebagai sumbangan, kata-kata Arab ini telah menjadi bahasa yang diterima oleh seluruh bangsa Indonesia, apapun latar belakang suku dan agamanya. Ia berfungsi sebagai pemersatu bangsa dengan beragam suku dan agama.
Karenanya, kata-kata Arab, sebagaimana kata-kata yang berasal dari Sansekerta, Portugis, Cina, Melayu, ikut membentuk bangsa ini menjadi bangsa dengan janji Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa. Bahasa Arab menjadi salah satu elemen pemersatu bangsa ini dan menjadikannya inklusif.
Sumbangan (orang/keturunan) Arab dalam dunia sastra, dan seni yang berfungsi sebagai pemersatu juga sangat banyak. Kalau Anda pernah ikut Pramuka, Anda pasti tahu hymne Pramuka yang ditulis seorang komposer lagu keturunan Arab, H. Mutahar. Sebagai seorang yang pernah menjadi anggota Pramuka sampai “pangkat” Pandega, saya selalu tergetar oleh hymne itu. Salah satu penggalannya adalah ”Agar jaya Indonesia, Indonesa, tanah airku, aku jadi pandumu”. Terlebih dengan lagu “Syukur” yang juga salah satu karya H Mutahar ” …Tanah Air Pusaka, Indonesia Merdeka, syukur aku sembahkan ke hadiratmu Tuhan”.
Saya bertanya-tanya mengapa Husein Mutahar menggunakan kata Tuhan dan bukan Allah, padahal suku katanya sama, jadi sama-sama bisa dipakai. Saya merasa ia sedang memilih kata yang inklusif yang berlaku bagi seluruh rakyat di negeri ini.
Namun belakang, penggunaan bahasa Arab yang juga menguat dalam komunikasi tulis dan verbal saya merasakan fungsinya berbeda betul dengan kata-kata Arab yang telah berterima menjadi bahasa Nusantara. Panggilan saudara saudari diganti menjadi akhi ukhti, ikhwan akhwat, atau kata-kata lain, terutama yang digunakan dalam komunikasi politik seperti tabayun, gibah, hijrah, jihad atau dalam pergaulan, seperti taaruf dan istilah lainnya.
Berbeda dari sumbangan bahasa Arab di masa lampau, terutama di era pembentukan republik ini, yang berfungsi sebagai pemersatu/inklusif, saya merasa kata-kata Arab kekinian yang dipakai kelompok tertentu saat ini justru digunakan sebagai pembeda/penanda/eksklusivitas. Kata-kata dari bahasa Arab itu mengandung ideologi yang pembedakan satu dengan yang lain, kamu berbeda dari kami, kami berbeda dengan mereka. Dan pembeda itu digunakan sebagai identitas keagamaan.
Islam Nusantara bagi saya niscaya bukanlah Islam serupa itu. Sebab Islam Nusantara justru menawarkan inklusivitas bukan eksklusivitas!
Sumber foto: https://unsplash.com/photos/CZTaEuU1hWc
July 8, 2018
Merebut Tafsir: Mamah Dedeh dan Islam Nusantara
Barusan saya berargumentasi dengan salah seorang kerabat di WA Group keluarga tentang Islam Nusantara yang di matanya Islam yang campur aduk, tak jelas batas mana yang Islam mana yang budaya. Saya menyanggahnya. Tapi ya sudah lah, otak salaf memang beku, baginya, Islam tak pernah bergerak melintasi ruang dan waktu berakulturasi dengan wilayah yang dilaluinya, bahkan dengan era penjajahan dan membentuk ”Agama Islam”. Islam itu baginya beku di era Rasulullah. Meskipun herannya dia hidup di Nusantara yang Islamnya jelas Islam Nusantara, wong makannya juga masih nasi, berzakatnya juga dengan beras.
Belakangan, salah satu pemicu penolakan pada gagasan Islam Nusantara dikemukakan oleh penceramah perempuan Mamah Dedeh. Meskipun dia telah meminta maaf, utamanya kepada kalangan Nahdliyin, saya merasa perlu untuk memberi argumentasi lain sebagai perempuan dengan perspektif perempuan.
Mamah Dedeh bisa menjadi mubalighat, ceramah di depan umum yang jamaahnya perempuan dan laki-laki, bisa bicara di TV dan suaranya tak dianggap aurat, itu karena ia berada dan menganut Islam Nusantara.
Islam Nusantara adalah Islam yang memberi ruang kepada perempuan dan keragaman. Bayangkan, (mengutip Gus Dur yang mengemukakannya pertama kali) hanya di Indonesia perempuan bisa jadi hakim agama. Itu karena awal mulanya IAIN membuka pintu kepada santri-santri putri lulusan pesantren untuk lanjut kuliah di Fakultas Syariah. Ketika itu menteri agamanya, Ayahanda beliau, KH Wahid Hasyim, perempuan menjadi hakim itu barang terlarang di negara negara Islam lain atau di sumbernya.
Islam Nusantara adalah Islam yang memberi ruang kepada keragaman budaya yang kemudian diserap oleh nilai-nilai Islam. Islam Nusantara adalah Islam yang beradaptasi dengan budaya agraris, budaya sungai, budaya urban, budaya pesisir, dan budaya pedalaman. Budaya Islam adalah budaya yang menghargai alam yang subur karenanya kita menabur kembang di kuburan, membuat ketupat saat Idul Fitri, membuat opor dan redang dari kelapa, bukan dari kurma, dan menyelenggarakan shalat di tanah lapang. Pelaku-pelaku budaya itu, adalah orang seperti Mamah Dedeh juga, umumnya perempuan.
Budaya (Islam) Nusantara adalah budaya yang memberi ruang kepada perempuan mendirikan organisasi khusus perempuan membahas kebutuhannya sendiri, karenanya lahir Aisyiyah dan Muslimat/Fatayat.
Islam Nusantara juga adalah Islam yang mendendangkan puji-pujian kepada Nabi Muhammad dengan penuh rindu dalam ragam shalawat, mendaras Al Qur’an dan menghafal hadits, berulang kali khataman Qur’an sebagai pencapaian pribadi yang dirayakan dengan selamatan dan syukuran, ngaji kitab kuning dari tingkat pemula di madrasah hingga luhur (Ma’had Aly), dan mendalami ushul fiqh sebagai metode yang teruji untuk memahami teks klasik Islam. Dalam keseluruhan proses mengaji itu, perempuan merupakan jiwa yang menghidupkannya.
Karena Islam Nusantara maka ada majelis taklim kaum ibu, berbondong-bondong pakai baju warna warni, pakai bedak dan lipstik, minyak wangi, dan pakai aneka jilbab dan hijab dengan pernak-pernik aksesorisnya. Budaya Nusantara adalah budaya yang membolehkan orang kayak Mamah Dedeh cewawakan, ketawa bahkan terbahak-bahak di depan kaum lelaki, di depan publik! Masih mau Islam salafi Islam Arab? Saya sih ogah! []
Sumber foto: https://unsplash.com/photos/g4iBHZM-sKY
February 7, 2018
Dilema Hukum dalam Kawin Anak
Kompas, 6 Februari 2018 – Dalam pencegahan perkawinan anak di Indonesia, aspek hukum tampaknya menjadi titik paling lemah. Pada praktiknya isbat nikah (menikah kembali di depan pejabat negara) atau dispensasi nikah merupakan peluang perkawinan anak yang semula ilegal menjadi legal. Lebih dari itu, keduanya merupakan bentuk pengakuan diam-diam atas praktik hukum non-negara yang seharusnya secara tegas dinyatakan ilegal dan bersanksi hukum bagi pelanggarnya.
Secara historis, eksistensi hukum non-negara, seperti hukum adat dan agama, tak lepas dari fakta kekayaan hukum yang hidup di Indonesia sejak sebelum kolonialis membawa konsep hukum sebagai konsekuensi dari negara modern.
Para penasihat negara jajahan seperti Snouck Hurgronje, terlebih ahli hukum Islam, Van den Berg, memberi jaminan bahwa penerapan hukum adat dan agama oleh warga jajahan tak akan memicu pemberontakan.
Sebaliknya pemerintah penjajah dapat memperoleh empati dan memanfaatkannya sebagai bentuk tindakan etis kepada warga jajahan. Oleh karena itu, kemudian muncul istilah pluralisme hukum, sebuah bentuk pengakuan kepada praktik hukum adat dan hukum agama, terutama untuk isu keluarga, termasuk perkawinan, warisan, dan wakaf.
Dominasi dan tirani hukum
Di era Orde Baru, upaya untuk tetap memberlakukan hukum adat dan agama sebagai sumber hukum yang setara dengan hukum negara terus diadvokasikan. Terutama dalam kaitannya untuk perlindungan kepada kelompok adat yang mempertahankan hukum adat mereka untuk melindungi hak ulayat/komunal atas tanah adat. Para aktivis memperjuangkan keberlakuan pluralisme hukum untuk menghindari kesewenang-wenangan dan dominasi hukum yang dimanfaatkan untuk pencaplokan tanah adat atas nama konsesi.
Nuansa politik yang mendasarinya jelas berbeda. Jika pada masa kolonial pluralisme hukum diberlakukan dalam rangka penjinakan kepada warga bumiputra, dalam era Orde Baru keragaman hukum merupakan bentuk perlindungan kepada suku dan kelompok adat yang sangat rentan terhadap okupasi negara atas nama pembangunan ekonomi.
Namun, dalam kaitannya dengan hukum keluarga, negara berusaha melakukan unifikasi hukum melalui Undang-Undang Perkawinan (UUP) No 1 Tahun 1974 dan penerapan Kompilasi Hukum Islam (KHI) melalui Instruksi Presiden No 1 Tahun 1991. Melalui kedua peraturan itu, warga negara, tak terkecuali umat Islam, diwajibkan tunduk kepada hukum nasional sekaligus menegaskan otoritas hukum negara atas hukum agama.
Berbeda dari isu agraria, di mana pluralisme hukum diupayakan dan dibela oleh para aktivis keadilan dalam rangka melindungi suku asli dan kelompok adat yang benar-benar tergantung kepada alam, dalam isu keluarga, pluralisme hukum yang memberi ruang kepada hukum adat dan agama (fikih) sebenarnya tak menjadi agenda perjuangan. Sebaliknya para aktivis hukum lebih bersetuju pada adanya pengaturan yang diterapkan negara.
Dalam konteks ini Prof Barry Hooker, ahli mengenai hukum Islam dari Australia, kemudian memperkenalkan konsep hukum besar dan hukum kecil untuk membedakan tingkatan sumber hukum antara hukum negara dan hukum agama (fikih) dalam menyelesaikan perkara keluarga. Bagi Hooker, yang terpenting hukum yang kecil harus tunduk kepada hukum yang besar.
Pandangan seperti ini sebenarnya telah pula diberlakukan melalui undang-undang yang mewajibkan keberlakuan hierarki hukum di mana Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan hukum nasional harus menjadi pokok landasan hukum dan UU atau peraturan yang ada di bawahnya. Dengan hierarki itu, hukum adat/agama tidak dibenarkan bertentangan dengan keputusan atau hukum negara yang berposisi di atasnya.
Namun, tampaknya, dalam debat-debat teori pluralisme hukum sama sekali tak terbayangkan bahwa hukum komunal/hukum adat/hukum agama bisa digdaya menghadapi hukum negara yang dibangun oleh konsep negara modern pascakolonial.
Pengakuan akan keberlakuan pluralisme hukum yang semula bertujuan untuk memberi pengakuan dan proteksi kepada hukum komunal/hukum adat/hukum agama agar tak terintimidasi atau tertindas oleh hukum negara bisa berbalik menjadi dominasi hukum atau minimal kontestasi hukum. Hal yang tak diperhitungkan adalah lanskap di mana tatanan hukum itu membutuhkan prasyarat.
Pluralisme hukum meniscayakan hanya bisa diterapkan dalam masyarakat yang demokratis, egaliter, mengandalkan filsafat hukum bukan semata keyakinan, dan diterapkan dalam relasi-relasi sosial yang setara atau bercita-cita setara. Sebaliknya, dalam masyarakat yang tidak egaliter, tidak demokratis, tidak percaya kepada kesetaraan, konsep pularisme hukum bisa menjadi tirani. Hukum yang kecil ternyata dapat memenjarakan hukum yang besar.
Hal ini disebabkan oleh adanya kontestasi hukum di mana hukum agama diposisikan lebih utama ketimbang hukum negara, dengan alasan sumber hukumnya lebih sakral. Hal ini terbukti dari pembenaran praktik kawin anak yang selalu kembali ke sumber hukum teks fikih dan ini diterima sebagai hukum.
Untuk mengatasi persoalan ini, sebagaimana diusulkan Prof Sulistyowati Irianto dari Universitas Indonesia, pluralisme hukum seharusnya terbuka pada hukum-hukum baru dan global seperti konvensi-konvensi internasional yang berbasis hak asasi manusia (HAM) sekaligus sebagai alat koreksi terhadap hukum adat bilamana terbukti mencederai rasa keadilan.
Tidak tegas soal batas usia
Dalam kaitannya dengan upaya menolak praktik kawin anak; konvensi hak anak, konvensi antidiskriminasi terhadap perempuan harus menjadi landasan hukum yang lebih kuat.
Stjin van Huis, peneliti tentang hukum keluarga Islam dari Belanda, melalui penelitiannya di Peradilan Agama di Cianjur dan Bulukumba, mengatakan bahwa dalam kaitannya dengan perkawinan anak, hukum yang hidup di masyarakat termasuk norma-norma tetap bisa menjadi rujukan hakim dalam memberikan dispensasi asal ada ketegasan soal batasan umur minimal.
Masalahnya, di Indonesia tidak ada batas usia minimum untuk pengajuan dispensasi sehingga diskresi pemberian dispensasi sangat besar. Dengan demikian, pada kasus perkawinan anak, negara tampaknya tidak memiliki ketegasan dalam mengimplementasikan batas usia seperti yang diatur dalam UU Perkawinan. Ini menunjukkan peran hukum agama yang berlaku dalam masyarakat di luar hukum negara masih sangat besar atau bahkan semakin besar mengiringi lanskap politik keagaan di ruang publik yang makin konservatif.
Padahal, sebagaimana ditegaskan Michael Pelatz dalam bukunya, Islamic Modern: Religious Courts and Cultural Politics in Malaysia, hukum keluarga serta implementasinya oleh pengadilan agama sebagai institusi negara yang berwenang sangat penting keberadaannya untuk menciptakan warga negara modern (national citizens) yang merujuk pada hukum nasional dan hak-hak individual; dan pada waktu yang sama dapat membebaskan individu—khususnya perempuan— dari ikatan primordial suku, adat istiadat, etnisitas, dan jender yang dipandangnya tidak adil. []
Diterbitkan pertama kali di Harian Kompas edisi cetak, 8 Februari 2018
Sumber foto: https://unsplash.com/photos/bAQH53VquTc
September 2, 2017
Tauhid Aisyiyah
SENANG dan bangga PP Aisyiyah pimpinan Ibu Noorjannah Djohantini mendapat kesempatan menjelaskan program kesehatan reproduksi atas dukungan program MAMPU, dan mendapat kunjungan Duta Besar Australia. Saya percaya mereka telah menjelaskan perbedaan mereka dengan program serupa yang dikembangkan pusat-pusat layanan kesehatan yang dikelola pemerintah.
Aisyiyah telah lama menengarai soal timpangnya relasi gender yang berpengaruh pada rendahnya daya tawar perempuan untuk memenuhi kesehatan reproduksi mereka. Aisyiyah menguatkan jamaahnya untuk menolak setiap bentuk pemaksaan hubungan seks, apalagi yang berpotensi membawa penyakit ke rumah karena praktik gonta ganti pasangan, atau poligami. Jadi pasti bukan karena fisik biologisnya semata yang harus dijaga, melainkan penguatan kuasa perempuan atas tubuh dan sekualitasnya.
Itu adalah inti peneguhan ajaran Tauhid yang ditegakkan Aisyiyah, yaitu tak menjadikan suami sebagai sesembahan yang maha benar dan maha kuasa, yang menyebabkan perempuan kehilangan kiblatnya.
Tanpa penjelasan serupa itu, upaya Aisyiyah hanya akan jadi perpanjangan tangan negara dalam bidang kesehatan, suatu sikap yang sejak dulu dihindari Aisyiyah ketika menolak pemaksaan KB dengan menawarkan “Konsep Keluarga Sakinah”. Tanpa melakukan upaya membangun kesadaran ideologis serupa itu, Aisyiyah akan menjadi kaki tangan negara dalam menangani kesehatan reproduksi perempuan yang seharusnya menjadi tugas negara. []
Sumber foto: https://unsplash.com/photos/yC70QqvrPRk
June 18, 2017
Catatan dari Kongres WCFLCR Ke-7 di Dublin, Irlandia
Saya bersama Nani Zulminarni dari PEKKA mendapat kehormatan untuk hadir dan berpartisipasi dalam Kongres Dunia tentang Hukum Keluarga dan Perlindungan Anak (World Congress on Family Law and Children’s Rights) ke-7 di Dublin Irlandia 4-7 Juni 2017. Undangan khusus kami terima dari Ibu Leisha Lister, salah seorang anggota board dari kepanitiaan ini. Kami berdua memang kenal baik dengan Ibu Lister melalui program AIPJ – Kerjasama Australia Indonesia untuk Keadilan, sementara beliau sendiri adalah seorang executive advisor untuk Family Court pemerintah Australia. Bersama ibu Cate Samner, Ibu Leisha mendukung berbagai program terkait perlindungan hukum bagi anak di Indonesia bekerja sama dengan Mahkamah Agung Indonesia.
Kongres Dunia tentang Family Law and Children’s Rights Conference & Exhibition ini adalah acara empat hari dari tanggal 4 Juni sampai 7 Juni 2017 di The Convention Centre Dublin (CCD) di Dublin, Irlandia. Acara ini menampilkan tema-tema penting seperti generasi anak-anak masa depan dan kepedulian terhadap pemeliharaan dan perlindungan hak asasi manusia, terutama bagi anak-anak.
Kongres Dunia Hak Hukum & Anak-anak Keluarga 2017 (WCFLCR 2017) ini menjadi kesempatan paling penting untuk pertukaran informasi dan diskusi untuk sektor Hukum Keluarga di sekitar seluruh dunia. Dengan program yang komprehensif dari 145 pembicara, 45 sesi, dan 6 sesi pleno, para delegasi dipuaskan oleh kegiatan kongres ini yang dilengkpai dengan sejumlah besar pengetahuan.
Kongres ini dihadiri oleh 650 peserta dari 28 negara. Dari Indonesia hanya kami berdua. Ini berbeda dari kegiatan serupa 3 tahun sebelumnya di Sydney, Australia. Menurut Nani, yang pada saat itu juga hadir, sejumlah peserta dari lembaga-lembaga yang terkait dengan isu hukum, utamanya hukum keluarga dan perlindungan anak menjadi peserta aktif dan menyampaikan makalah mereka. Padahal jika dilihat pada isu-isu yang dibahas di Dublin, sungguh sangatlah tepat jika ada wakil-wakil dari pemerintah Indonesia terutama dari jajaran penegak hukum juga hadir dan berpartisipasi aktif. Betapa tidak, dari tema-tema baik yang digelar dalam sesi planeri maupun paralel terdapat isu-isu terbarukan yang relevan dengan perkembangan situasi di Indonesia dan membutuhkan pandangan hukum yang juga relevan dengan perubahan zaman.
Mengiringi acara pembukaan, kepada peserta disajikan film dokumenter sangat terkenal India’s Daughter karya sineas humanis Leslee Udwin tentang peristiwa gang rape di Delhi India yang menewaskan perempuan muda calon dokter yang menjadi korban gang rape itu. Segerombolan supir dan kernet bis kota yang menculiknya sepulang Jhoty (demikian nama samarannya) nonton biskop. Meskipun film itu ditolak untuk diputar di India, film itu menjadi salah satu nominator film dokumenter the Academy Award 2014. Dalam penjelasannya di forum paralel, Leslee menyakan bahwa ketika ia hendak mewawancarai para pelakunya, di penjara, ia sebagaimana yang lain yang marah atas peristiwa itu berharap akan bertemu dengan lelaki biadab, berwatak binatang dan dengan muka sangar dan kejam. Pada kenyataannya ia bertemu dengan para lelaki teramat biasa, ada di mana-mana yang menyuarakan pandangan dan cara berpikirnya yang telah lama kita kenali yang menganggap perempuan pantas menerima perlakukan itu karena perempuan telah melampaui batas yang mereka tentukan; menikmati kebebasannya, mandiri, berpendidikan, bebas bepergian keluar rumah, menikmati kehidupan pergaulan, berani, riang gembira, pintar, centil, dan marah jika dilecehkan lelaki. Mereka merasa perempuan harus dididik dengan caranya, diperkosa beramai-ramai. Dengan cara itu mereka mengirimkan pesan kemarahannya sebagai lelaki yang tersinggung dan merasa dikalahkan oleh kemajuan kaum perempuan. Di bagian lain Leslee menyatakan bahwa pokok soalnya ada pada pendidikan yang membiarkan maskulinitas menjadi panglima.
Berikut adalah tema-tema yang dibahas sepanjang 4 hari konferensi yang diselenggarakan d pusat kota Dublin. Tema-tema itu senantiasa dibuka oleh planeri dilanjutkan dengan diskusi paralel yang terbagi rata-rata perhari ada 4 palalel forum masing-masing 6 tema. Ada 10 tema yang dibahas baik dalam forum planeri maupun diskusi paralel adalah:
– Violence and the Exploitation of Children, meliputi isu (1). Child trafficking; (2). Commercialisation of children, dan (3). Violence against children.
– The Girl Child: (1). Child brides; (2). Education, dan; (3). Female genital cutting.
– Protecting Especially Vulnerable Children: (1). Child abuse and neglect; (2). Children in conflict situations; (3). Children in detention and residential settings; (4). Immigration and unaccompanied children, dan; (5). International best practices.
– Justice and Equality: (1). Realising rights, complaints and remedies; (2). Child-friendly juvenile justice; (3). Courts administration, legislation, policy and practice; (4). Gender and race as barriers to children’s rights, dan; (5). Children with disabilities.
– Changing Family Formations: (1). Defining family life; (2). Marriage equality; (3). Civil partnership, dan; (4). Marriage as contract.
– The Modern Family: (1). Surrogacy, dan; (2). Donor Assisted Human Reproduction.
– Family Property Law: (1). Inter parte obligations; (2). Concept of Marital Property; (3). Pre-nuptial agreements, dan; (4). Private Ordering.
– International Families: (1). Child abduction; (2). Hague Convention and the role of the central authority; (3). International adoption, dan; (4). Recognition and Enforcement of Judgments.
– Social Media and Children: (1). Children’s Right to Information; (2). Safety and the internet, dan; (3). Criminal law and online behaviour.
– Child Participation: (1). Representing the Child Client; (2). Children’s participation in legal proceedings; (3). Advocacy and representation for very young children, dan; (4). Children and healthcare.
Dari tema-tema di atas terdapat su-isu yang saat ini cukup relevan dengan Indonesia namun tak sedikit yang pada masa mendatang bisa menjadi kenyataan dan membutuhkan pembahasan baik secara sosial maupun ranah hukumnya. Misalnya soal perubahan formasi keluarga, anak yang dilahirkan dalam keluarga di mana “ayah ibunya” bukan orang tua kandung, dan tak selalu merupakan sepasang lelaki dan perempuan. Demikian halnya dalam isu keluarga modern seperti anak yang dilahirkan dari benih yang diperoleh dari bank sperma, kehamailan “pinjam rahim” atau sorrogesy. Sejauh ini Indonesia memang masih belum sepenuhnya terbuka pada isu-isu serupa itu, tetapi perkembangan dunia moderen niscaya Indonesia tak dapat tertis menerus menghindari dari persoalan serupa itu. Di luar tema-tema masa depan serupa itu pembahasan isu klasik masih tetap mendominasi seperti trafficking, pekawinan anak, kekerasan kepada anak, adopsi lintas negara, dan seterusnya.
Nani dan saya kebagian bicara di forum paralel ke-44 di hari terakhir sesi paralel paling terakhir sebelum planery penutupan. Nani dan Ibu Cate Samner membahas soal upaya yang diakukan PEKKA atas dukungan AIPJ dalam memebri kepastian hukum pada jutaan anak yang tak memiliki status hukum akibat tak memiliki sertifikat kelahiran. Hal ini disebabkan oleh status perkawinan orang tua mereka yang tak dapat dubuktikan oleh surat nikah. PEKKA bersama peradilan agama atas sukungan mahkamah agung menyelenggarakan upaya layanan hukum berupa sidang keliling untuk penetapan nikah pasangan sebelum mereka kembali ke KUA untuk isbat nikah. Dengan adanya peristiwa hukum itu sepasang orang tua bisa memperoleh surat nikah mereka dan dinas dikcail mengeluarkan akta kelahiran anak-anak mereka.
Saya sendiri menyampakan hasil penelitian Rumah KitaB tentang Kawin anak di 5 provinsi. Meski begitu apa yang dipresentasikan adalah menggambarkan situasi umum di Indonesia terkait naiknya angka praktik perkawinan anak. Secara lebih khusus saya menyoroti soal peran kelembagaan formal dan non formal yang menyebabkan maraknya praktik kawin anak serta upaya advokasi yang diakukan. Dalam konteks itu keluarnya fatwa KUPI yang meminta negara melakukan upaya-upaya konkrit untuk berakhirnya praktik kawin anak menjadi satu aspek yang didiskusikan karena ditanyakan oleh peserta.
Akhir acara kongres ini ditutup dengan pengumuman WCFLCR ke-8 di Singapura tahun 2020. Dan puncak penutupannya adalah laporan PEKKA dalam meningkatkan pendidikan anak perempuan melalui pemberian beasiswa untuk tingkatan SMA, D3 atau S1 yang disampain oleh Nani Zulminarni mewakili para penerima beasiswa. Upaya pemberian beasiswa ini mendapat pujian para peserta yang ditinjukan oleh aplaus yang panjang setelah Nani menyampaikan progres dari kegiatan itu dan tampilan video dokumenter yang sangat mengesankan tentang kesaksian para penerima beasiswa itu.
Lintasan dari Kongres ke Kongres
Sydney 2013
Sydney menyelenggarakan Kongres Dunia ke-6 tentang “Hukum Keluarga dan Hak Anak” pada bulan Maret 2013 di Sydney Australia. Kongres tersebut bertemakan “Membangun Jembatan dari Prinsip ke Realita”, berfokus pada hukum keluarga, hak asasi manusia dan hukum anak-anak. Topik seperti kekerasan keluarga, surrogacy, jenis kelamin dan identitas gender disfonia dibahas.
Halifax 2009
Kongres Dunia ke-5, “Anak Terperangkap dalam Konflik”, diadakan di Halifax, Nova Scotia, Kanada. Konferensi tersebut mencakup berbagai area:
• Konflik Anak dan Konflik Keluarga
• Perlindungan anak
• Menanggapi Perbedaan
• Anak-anak Perang
• Prajurit Anak
Cape Town 2005
Pada bulan Maret 2005, Cape Town, Afrika Selatan menyelenggarakan Kongres Dunia ke-4 tentang “Hukum Keluarga dan Hak-Hak Anak”. Sekitar 700 hakim, pengacara dan profesional lainnya berkomitmen terhadap hak anak-anak yang dikumpulkan untuk membahas keadaan anak-anak di seluruh dunia. Konsekuensinya berfokus pada anak-anak dalam kemiskinan, perdagangan manusia, anak-anak dalam proses hukum dan suara anak dalam proses hukum keluarga.
Bath – Inggris 2001
Tema keseluruhan Kongres Dunia ke-3 2001 adalah Kerjasama Internasional untuk Perlindungan Anak-anak. Kongres tersebut berfokus pada pelaksanaan Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak (UNCROC), pekerja anak dan perlindungan anak-anak dari hukuman kasar, kejam, dan pelecehan yang kejam.
San Fransisco 1997
San Francisco menjadi tuan rumah Kongres Dunia ke-2, pada bulan Juni 1997 bersamaan dengan Asosiasi Keluarga dan Pengadilan Konsiliasi (AFCC). Kongres berfokus pada Forum Pemuda, yang menyerukan tindakan melawan eksploitasi anak-anak dan isu kode etik sukarela untuk pekerjaan dan perlakuan terhadap anak-anak.
Sydney 1993
Lebih dari 850 delegasi dari 54 negara menghadiri Kongres Dunia perdana, yang diadakan di Sydney, Australia. Kongres bersama-sama melatih pengacara, hakim, akademisi, dan politisi, yang memiliki kepedulian bersama terhadap anak-anak dan untuk pemeliharaan dan perlindungan hak asasi manusia. []
Sumber foto: https://twitter.com/CorkLifeCentre
Lies Marcoes's Blog
- Lies Marcoes's profile
- 8 followers

