Achmad Muchtar's Blog
August 4, 2016
Lastri Melahirkan Anak Dewa
Cerpen Achmad Muchtar; Ilustrasi oleh Rian Gusman Widagdo.
MEREKA bertanya-tanya, siapakah ayah dari bayi bermata indah itu. Semua orang pasti akan senang melihatnya. Bayi itu lahir sekitar satu jam yang lalu, tetapi telah menarik perhatian seluruh warga kampung. Hampir semua warga kampung menjenguk Lastri yang baru saja melahirkan bayi dengan sepasang mata yang indah.
***
Lastri memang mengandung bayi yang belum diketahui siapa ayahnya. Semua warga kampung menamainya sebagai wanita tuna susila, tetapi Lastri membantahnya. Lastri masih berusia 17 tahun, tetapi ia hamil di luar nikah. Tak diketahui jelas siapa yang menghamilinya. Warga kampung sempat berspekulasi bahwa salah satu warganyalah yang menghamili Lastri, tetapi Lastri bersikukuh bahwa bukan warga kampunglah yang menghamilinya, melainkan dewa. Warga geger, ada yang tertawa terbahak-bahak karena menganggap itu lelucon, ada juga yang kalang kabut karena menganggapnya serius.
Ketika Lastri terlihat akan melahirkan bayinya pun, semua warga kampung heboh sendiri. Mereka saling memberi kabar tentang berita kelahiran anak Lastri. Mereka ada di titik ragu antara percaya dan tidak percaya dengan pernyataan Lastri. Mereka semua penasaran dengan wajah sang bayi kelak. Jika wajah bayi itu mirip dengan salah seorang lelaki di kampungnya itu, maka dialah yang menghamili Lastri dan harus bertanggung jawab sepenuhnya.
Kabar mengenai kelahiran bayi Lastri pun memang benar adanya. Maka, semua warga pun saling memberi kabar. Dimulai dari keluarga dan tetangga Lastri yang mengantarkan Lastri ke dukun beranak, orang-orang yang berpapasan dengan mereka pun tahu bahwa Lastri akan melahirkan. Lalu, orang-orang itu memberi tahu orang-orang di sekitarnya. Ibu-ibu yang sedang berkumpul bergunjing ria membicarakan Lastri. Anak-anak yang ikut ibu-ibu itu ikut-ikutan mengatakan bahwa Lastri melahirkan sambil bermain perang-perangan maupun boneka. Para suami dan warga yang sedang bekerja di luar kampung pun dikabari lewat pesan singkat dan telepon. Para pemuda dan pemudi pengangguran yang sedang asyik bersenda gurau pun mendengarnya lewat pengumuman yang disiarkan Pak RT dengan mikrofon masjid. Para pelajar yang tengah sekolah pun mengetahuinya lewat media sosial. Semua warga kampung itu sudah mengetahui kalau Lastri melahirkan.
Mereka yang berada di luar kampung pun berusaha untuk pulang secepatnya. Mereka ingin mengetahui dengan pasti siapa ayah dari bayi Lastri. Mereka yang bekerja pun meminta izin untuk pulang. Mereka yang sedang sekolah dan kuliah pun ada yang meminta izin pulang dengan alasan kepentingan keluarga dan ada yang membolos karena birokrasi yang lama dan menyusahkan. Lalu, semuanya telah berkumpul di depan rumah dukun beranak itu. Tangisan bayi pun memperjelas berita bahwa Lastri benar-benar telah melahirkan bayinya.
Mereka ribut dan saling berdesakan ingin mengetahui wajah sang bayi. Ibu-ibu banyak yang saling menghujat. Mereka saling memfitnah dan membela para suami mereka. Mereka meributkan siapa yang telah mencumbui Lastri hingga anaknya kini lahir. Karena ribut dan banyak yang saling dorong, akhirnya Pak RT turun tangan. Mereka berbaris berbanjar menghadap ke depan rumah dukun beranak dipimpin oleh Pak RT. Lalu setelah rapi, Pak RT memanggil dukun beranak itu untuk menunjukkan bayi itu. Maka dukun beranak itu pun keluar rumah dengan suara tangis bayi dan derap kakinya yang membuat warga menggebu-gebu sambil melongo ke satu arah, pintu rumah.
Pintu pun terbuka. Tampak dukun beranak itu menggendong bayi yang sedang menangis. Bayi itu berselimutkan kain batik dan suara tangisnya semakin kencang tatkala para warga tiba-tiba ribut ingin maju. Pak RT pun sekali lagi turun tangan dengan mengatur warga yang keluar dari barisan tadi. Setelah semua bisa diatur, Pak RT meminta dukun beranak itu untuk menunjukkan wajah sang bayi. Semua tegang. Semua berpikir, siapa lelaki di antaranya kini yang mirip dengan wajah sang bayi itu. Mereka harap-harap cemas. Ada yang menebak-nebak pelakunya, ada yang berdoa supaya bukan suaminya yang mirip, ada yang berdoa supaya wajah sang bayi itu mirip binatang, ada juga yang berdoa supaya bayi itu mirip dengan Lastri saja.
Semua ternganga. Kemudian ada yang mengucap pujian, ada juga yang mengucapkan serapah. Semua mata masih tertuju pada wajah bayi itu. Tidak ada warga kampung yang wajahnya mirip dengan wajah bayi itu. Bayi itu begitu rupawan dengan sepasang mata yang indah. Mereka perlahan meninggalkan barisan menuju bayi itu karena tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Mereka langsung jatuh cinta pada bayi itu dan ingin menyentuh wajahnya yang rupawan. Maka Pak RT pun memerintahkan semua warga untuk membentuk satu baris untuk antre.
Satu per satu warga pun menemui bayi itu. Mereka kagum. Betapa eloknya bayi itu. Lastri pun keluar untuk menemui anaknya. Dengan tergapah-gopoh, ia mendekati bayinya dan menggendongnya.
“Bapak-bapak, ibu-ibu, dan semuanya yang ada di sini, ini anakku, laki-laki dengan mata yang indah dan tak mungkin ada di antara para suami ibu-ibu di sini yang bermata indah seperti bayiku ini. Aku sudah bilang bahwa ayah dari anakku ini bukanlah warga sini, melainkan dewa,” ujar Lastri.
Maka warga kampung yang percaya pun mengiyakan bahwa memang ada dewa yang turun dari langit untuk menitipkan benih padanya dan yang tidak percaya pun mengumpat dan mengolok-oloknya sebagai wanita tuna susila yang senang menjajakan diri di kota.
“Hei, Lastri, jika memang anakmu itu anak dewa, buktikan pada kami semua bahwa itu anak dewa.”
“Anakku ini memang anak dewa, tunggulah sampai dewa datang,” sanggah Lastri diikuti komentar-komentar miring para warga.
“Halah, kami tak percaya dengan ucapanmu. Kamu hanya berhalusinasi,” seloroh salah seorang ibu-ibu, “dasar pelacur!” tambahnya.
“Hei, aku bukan pelacur! Jaga omongan Ibu!” Lastri sangat sensitif jika dikatakan sebagai pelacur. Ia menganggap bahwa pelacur adalah serendah-rendahnya derajat wanita.
“Emang pelacur, kan?” timpal salah seorang ibu-ibu, “ngaku aja kamu mangkal di mana, pasti ayah dari bayi itu dari sana.”
“Ibu emang keterlaluan,” teriak Lastri, “aku bukan pelacur, aku mengandung benih dewa dengan cinta. Aku bukan pelacur!” Lastri kali ini meraung-raung. Bayi yang ia gendong pun tiba-tiba menangis sejadi-jadinya.
Tiba-tiba petir menyambar, angin ribut, dan mendung menutupi mega yang sebelumnya cerah. Tidak ada matahari dan langit pun tak tampak. Hanya ada gumpalan awan hitam di angkasa.
“Dengar, Ibu-ibu, dewaku akan segera datang. Lihat dengan mata kepalamu sendiri apa aku berhalusinasi,” teriak Lastri. “Wahai Dewa, datanglah! Manusia-manusia ini tidak percaya akan keberadaanmu. Datanglah! Temui anakmu!” lanjutnya.
Semua warga pun heboh. Mereka ngeri melihat langit yang tiba-tiba gelap gulita. Mereka menutupi dada mereka karena angin yang dingin berembus cepat. Anak-anak pun digiring untuk masuk rumah oleh bapak-bapak. Anak-anak semuanya menuruti perintah bapaknya. Lalu, para pemuda dan pemudi berhamburan menuju teras rumah dukun beranak itu. Yang bertahan di barisan depan rumah hanya ibu-ibu dan sebagian bapak-bapak. Mereka ingin meyakinkan pada diri mereka sendiri bahwa kata-kata Lastri hanya omong kosong. Mereka yang tak percaya tahayul pun menganggap fenomena alam yang terjadi baru saja merupakan gejala alam biasa. Mereka yang percaya semua perkataan Lastri, terutama nenek-nenek, mengucapkan mantra-mantra yang turun-temurun dari nenek moyang mereka.
Mereka berkumpul di halaman menjadi satu gerombol, lalu membelakangi rumah dukun beranak. Mereka menatap jauh ke mega-mega mendung yang berwarna hitam pekat. Tampak ada seberkas cahaya yang menerobos gumpalan awan hitam itu. Semuanya ternganga. Lalu, seberkas sinar itu memancarkan sinar lurus ke arah Lastri.
“Hai, dewaku, jemputlah aku,” teriak Lastri. Tiba-tiba suara langkah kaki kuda mendekati kerumunan ibu-ibu. Sesosok makhluk berkuda muncul dari seberkas cahaya. Makhluk berjubah putih lengkap dengan penutup kepala itu membelah gerombolan ibu-ibu menjadi dua kelompok lalu menghampiri Lastri.
Semua mata warga yang masih bertahan tertuju ke arah makhluk berjubah putih itu. Makhluk berjubah putih itu menghentikan laju kudanya di hadapan Lastri. Lalu ia turun. Para warga yang percaya tahayul pun bersujud ke arah makhluk berjubah itu, diikuti warga yang lain. Para pemuda dan pemudi yang tadi berada di teras pun bergabung. Dukun beranak itu pun juga ikut menyembah makhluk berjubah putih itu.
Lalu, Lastri pun dituntun naik kuda itu. Itu bukanlah kuda biasa karena terdapat sepasang sayap di kiri-kanan tubuhnya. Juga tanduk warna emas di ujung jidatnya. Dewa itu menyingkapkan kain putihnya. Maka tampaklah sesosok pemuda yang gagah dan rupawan seperti Arjuna memakai gaun seperti Gatotkaca. Ia lalu menunggang kuda itu di belakang Lastri. Mereka yang menyembah perlahan mulai melirik ke atas. Mereka melihat pancaran indah dari mata dewa itu. Lalu, tiba-tiba kuda itu melesat ke angkasa. Meninggalkan segala kebodohan manusia di Bumi.
Perpustakaan UGM, 21 Januari 2014
July 15, 2016
In the Year of Monkey, the Year of Wregas Bhanuteja
Ulasan Achmad Muchtar terhadap 5 Film Pendek karya Wregas Bhanuteja: Senyawa (2012), Lembusura (2014), Lemantun (2014), The Floating Chopin (2015), dan Prenjak (2016). Sumber gambar: Akun Facebook “IFI YOGYAKARTA”. Spoiler alert! Tulisan ini kemungkinan besar dapat membeberkan isi film-film tersebut.
Pada Mei 2016 lalu, khalayak Indonesia dikejutkan oleh film Prenjak (In the Year of Monkey) yang menang sebagai Best Short Film, Leica Cine Discovery Prize, pada Semaine de la Critique dalam rangkaian Festival de Cannes 2016. Sebagaimana diketahui, Festival de Cannes merupakan ajang penghargaan film internasional paling bergengsi di dunia. Sejauh ini, belum ada satu pun film (fitur panjang) Indonesia yang pernah menang di ajang itu. Indonesia hanya pernah mewakili sebagai juri dalam ajang tersebut melalui Christine Hakim. Dan, tahun ini Indonesia menjadi pemenang melalui film pendek karya Wregas Bhanuteja pada Semaine de la Critique dalam rangkaian Festival de Cannes 2016 di Perancis itu. Meskipun dalam kategori film pendek dan bukan pada kategori film panjang yang bergengsi itu, Indonesia harus berbangga karena barangkali untuk tahun-tahun berikutnya, perfilman Indonesia akan dilirik oleh khalayak dunia.
Sebagai orang Indonesia, saya sangat bangga akan keberhasilan pemuda bernama Wregas Bhanuteja ini. Di usianya yang baru dua puluhan tahun, ia sudah menghasilkan karya yang diakui dunia. Selain itu, ia juga telah berkarya melalui film-film pendek lainnya yang juga tak kalah menarik. Bahkan di antaranya ada yang pernah menjadi kompetitor film pendek pada Berlin International Film Festival, salah satu ajang penghargaan film internasional yang bergengsi di dunia. Setelah saya mendengar kabar bahwa film Prenjak menang, saya berusaha mencari filmnya di internet karena barangkali di YouTube atau Viddsee ada. Namun, ternyata tidak ada, termasuk di laman pencarian Google juga hasilnya nihil. Saya cukup lega lantaran melalui Twitter, saya mendapatkan informasi bahwa film tersebut bakalan diputar di Intitut Francais Indonesia atau Lembaga Indonesia Perancis di Yogyakarta dengan tajuk “In the Year of Monkey: Pemutaran & Diskusi 5 Film Pendek Wregas Bhanuteja”. Ada 5 film yang diputar dalam acara tersebut, yaitu Senyawa (2012), Lembusura (2014), Lemantun (2014), The Floating Chopin (2015), dan Prenjak (2016). Berikut adalah ulasan saya terhadap masing-masing film.
Senyawa (2012)
Film Senyawa menceritakan seorang anak perempuan bernama Retno yang ingin merekam sebuah lagu kesukaan ibunya yang sudah meninggal sebagai kado ulang tahun. Ayahnya seorang Muslim sedangkan ibu dan Retno adalah seorang Nasrani. Retno dan ibunya suka mendengarkan lagu gereja berjudul “Ave Maria”, sedangkan ayahnya adalah seorang Muslim yang taat. Retno ingin menghadiahkan ibunya rekaman lagu “Ave Maria” untuk ulang tahun ibunya. Akan tetapi, saat ia merekam, suasana perkampungannya tidak memungkinkan untuk menghasilkan suara yang jernih dan bebas dari kebisingan. Beberapa kali Retno gagal merekam secara khidmat. Puncaknya, ia frustrasi karena digagalkan oleh azan yang dikumandangkan ayahnya. Suatu saat ia memprotes ayahnya tentang bagaimana jika azan tidak memakai pengeras suara. Namun, hal itu tidak mungkin. Lalu, muncullah ide untuk menggabungkan nanyian lagu “Ave Maria” dengan tilawah Alquran.
Sebagaimana diketahui, film tentang pasangan beda agama bukanlah hal yang baru di perfilman Indonesia. Kebanyakan dari film-film tentang pasangan beda agama tersebut menawarkan ending yang separatis, memisahkan pasangannya dan membiarkan mereka menggapai masa depan menurut agamanya. Hal ini lain di film Senyawa. Film ini bertutur tentang suami-istri yang berbeda agama. Keduanya hidup rukun, bahkan taat sesuai kepercayaan masing-masing. Hal ini bukanlah hal baru bagi dunia keseharian orang-orang di Indonesia karena pernikahan beda agama lumayan banyak terjadi di Indonesia. Namun, hal yang menarik justru karena film ini menawarkan hal yang lain bagi ending kebanyakan film-film tentang perbedaan agama. Film ini justru menggabungkan perbedaan tersebut menjadi senyawa. Hati saya bergetar mendengar kesenyawaan itu. Sebuah potret yang harus kita renungi di antara konflik-konflik antaragama yang terus mengepung kita.
Lembusura (2014)
Film Lembusura bercerita tentang sekelompok anak muda berusaha menggali mitos Lembusura di tengah hujan abu yang melanda tanah Jawa. Mereka mendandani salah seorang teman mereka yang gemuk menjadi mirip makhluk itu. Ia disuruh berakting menjadi Lembusura, sedangkan teman-teman yang lainnya merekamnya. Tak ayal, seseorang yang memerankan Lembusura tersebut kerap menjadi bahan tertawaan teman-temannya.
Ini merupakan film yang murni komedi. Film ini juga hanya untuk ‘main-main’ saja. Film ini disengaja untuk menghibur penonton. Hal tersebut, antara lain, ditandai dengan ditampilkannya suara sutradara dan penampilan para kru dalam membuat film. Bagi saya, tidak ada hal yang menarik dalam film ini, kecuali potret hujan abu yang melanda Jogja yang juga saya alami. Terlebih di ending yang menggabungkan gambar sosok Lembusura yang besar dan raksasa dengan kondisi hujan abu terkesan lumayan mengerikan.
Lemantun (2014)
Film Lemantun bercerita tentang seorang ibu, yang berniat mewariskan 5 lemari di rumahnya kepada 5 anaknya yang sudah dewasa. Empat dari lima anak tersebut sudah mempunyai rumah sendiri. Satu orang bernama Tri masih tinggal di rumah ibunya. Sang ibu mengundi 5 lemari tersebut. Masing-masing anak mendapat 1 lemari sesuai nomor undian. Akan tetapi masalah muncul ketika sang Ibu menginginkan lima lemari itu segera keluar dari rumahnya sore itu juga. Jika tidak mereka akan kena denda. Semua anak, kecuali Tri, pun mengangkut lemari-lemari itu. Bahkan, bukannya mengurus lemarinya sendiri, Tri malah ikut membantu pengangkutan lemari saudara-saudaranya ke angkutan. Dan akhirnya, tinggal Tri yang mesti memikirkan bagaimana caranya agar lemari itu keluar dari rumah sang Ibu, sedangkan ia belum mempunyai rumah sendiri.
Film ini lumayan membuat saya merasa getir. Di satu sisi, saya melihat niat baik seorang ibu kepada anak-anaknya. Di sisi lain, saya melihat ketidakbergunaaan lemari bagi anak-anaknya. Kebanyakan anak-anaknya sudah bergelar sarjana, atau sudah bisa dibilang sukses. Namun, mereka menanggapi dan menerima lemari-lemari itu bagaikan melihat harta karun, tentunya di depan ibu dan saudara-saudaranya. Masalah Tri muncul lantaran ia harus membawa keluar lemarinya. Sebelumnya saya menebak ending-nya bakal seperti ini, Tri bilang kepada empat saudaranya bahwa ia akan membiarkan lemarinya di rumah karena ia getol akan membiayai hidup ibunya yang seorang janda. Namun, ending bertutur lain, tetap bisa saya terima dan lumayan mengharukan.
The Floating Chopin (2015)
Film The Floating Chopin bercerita tentang sepasang muda-mudi yang berlibur ke pantai di Gunungkidul yang mencoba menafsirkan tentang sosok Frederic Chopin. Sang pemuda terobsesi pada lagu berbahasa Bali. Sang Pemuda ingin membuat seolah-olah Chopin mati di Bali. Ia mendandani dirinya mirip Chopin dan berniat menyeberang ke pulau kecil pinggir pantai menggunakan tali. Tetapi di tengah perjalanan ke pulau kecil, mendadak tali macet, sehingga ia terjebak di tali yang membentang di atas laut tersebut. Dari kejauhan, ia terlihat mengambang, seperti mengapung (floating) di atas air laut.
Melalui film ini, saya menjadi tahu siapa Frederic Chopin dan makam-makam orang terkenal di Perancis. Awalnya, saya mengira film ini bakalan melankolis karena di awal digambarkan pasangan yang berniat ke pantai yang sepi. Namun, ternyata dalam ‘kencan’ itu, sang Pemuda menceritakan Frederic Chopin, menyanyikan lagu tentang Frederic Chopin, lalu diakhiri oleh obsesi sang Pemuda untuk membuat Frederic Chopin seolah-oleh mati di Pantai Bali. Suatu penggambaran obsesi yang lumayan kukuh untuk ukuran orang Indonesia.
Prenjak (2016)
Film Prenjak (In the Year of Monkey) bercerita tentang Diah (Rosa Winenggar) yang sedang membutuhkan uang dalam waktu cepat. Ia mengajak Jarwo (Yohanes Budyambara), rekan kerjanya untuk berbicara di gudang belakang. Di situ, Diah meminta Jarwo untuk membeli korek api miliknya dengan harga Rp10.000,- per batang. Satu batang korek api seharga Rp10.000,- tentu mahal. Namun, Diah menawarkan ‘yang lain’ dari sebatang korek api itu. Jarwo bisa melihat kemaluan Diah dengan menyalakan korek api tersebut. Pertama-tama, Jarwo membeli sebatang, lalu tiga, sehingga Diah mengantongi Rp40.000,-. Jumlah uang tersebut ternyata belum cukup karena Diah membutuhkan Rp100.000,-. Muncul keinginan Jarwo untuk berbuat hal yang sama seperti Diah. Namun, Diah menolaknya. Diah akhirnya mau melihat kemaluan Jarwo karena dibayar Rp60.000,- oleh Jarwo. Dengan demikian, Diah sudah mengantongi Rp100.000,-.
Ceritanya lumayan sederhana, tetapi konsep yang ditawarkan sutradara lumayan berani. Satu hal yang patut diacungi jempol dalam film ini adalah film ini berani menampilkan alat vital manusia secara close-up. Hal itu sangat berani karena untuk ukuran film Indonesia, hal tersebut sangatlah kurang berterima dan jika masuk lembaga sensor, pasti akan dipotong. Pemutaran secara gerilya di gedung-gedung bukan bioskop merupakan hal yang menjadi nyawa film-film seperti ini untuk menemukan penontonnya. Sebelumnya, melalui sebuah mata kuliah di Fakultas Ilmu Budaya, saya mengetahui bahwa di Pasar Kembang, Yogyakarta, ada yang menjual korek api untuk dipakai melihat kemaluan seseorang dalam gelap. Realitas tersebut diangkat lumayan apik oleh Wregas melalui film pendek yang sangat memukau saya. Sepanjang film, penonton tertawa, diselingi jantung yang berdegup kencang lantaran begitu korek api dinyalakan, mereka dapat melihat apa yang tokoh dalam film itu lihat. Kebanyakan adegan ditujukan untuk tertawa. Setelah itu, penonton disentak oleh ending yang lumayan membuat getir. Wajah memelas Diah di awal film terjawab di ending film. Setelah film selesa, saya bertepuk tangan panjang dan berkata dalam hati, Pantesan film ini menang. Film ini bakal dikenang khalayak Indonesia (dan Asia) untuk waktu yang sangat panjang ke depan.
Tahun ini merupakan tahunnya Wregas Bhanuteja. Ia berhasil menang di Festival de Cannes 2016, berhasil menyiarkan film-filmnya ke penonton, dan membludaknya penonton yang ditandai dengan antrean yang panjang dan antusiasme penonton yang rela antre berjam-jam dan rela menonton di lesehan karena kehabisan kursi, saya rasa memang ia dan filmnya sedang diakui khalayak sebagai sutradara yang patut diperhitungkan.
Catatan: Saya harus berterima kasih sebesar-besarnya kepada Donnie Trisfian yang rela mengantre berjam-jam dan mau saya titipi tiket. Saya juga harus meminta maaf kepada Risda Nur Widia dan Rio Johan yang saya khianati karena awalnya saya ingin nonton dan beli tiket bareng mereka.
July 2, 2016
Sebutir Batu Kecil Merah di Kali Oya
Cerpen Achmad Muchtar; Sumber gambar: openclipart.org (diakses tanggal 8 Juli 2016).
MOBIL tersebut tiba-tiba mogok di tengah jalan. Radit dan Damar keluar untuk mengecek mesin mobilnya. Bunyi gesekan daun-daun yang teterpa angin di sekitarnya terdengar jelas. Mereka beruntung mobil tersebut tidak berhenti saat di tanjakan atau turunan. Jalan yang mereka lalui sebelumnya berkelok-kelok dan naik-turun. Radit mengumpat beberapa kali, menyalahkan mobilnya. Manusia memang selalu menyalahkan benda-benda ciptaannya, bukan menyalahkan dirinya. Seperti dalam peribahasa, penari yang tidak pandai, dikatakan lantai yang berjingkat.
Seminggu yang lalu, Radit dan Damar penasaran dengan perkataan tetangganya. Katanya, di balik bukit Pucungmalang, terdapat sebuah bukit panjang di mana ada air terjun yang bertingkat tujuh membelah bukit itu. Airnya mengalir cukup deras dan bening, seperti air-air dalam minuman kemasan botol yang dijual di minimarket yang buka 24 jam. Di sekitar air terjun itu terdapat pepohonan hijau yang menyejukkan. Mereka berdua tertarik. Ketertarikan mereka bukan pada air terjun yang bertingkat tujuh itu, tetapi pada apa yang ada di dalam kali di bawah air terjun itu. Katanya, terdapat batu-batu yang berwarna merah yang katanya dapat menambah kewibawaan bagi siapa pun yang menemukannya. Bagi mereka berdua, kewibawaan tersebut diartikan cepat mendapat jodoh dan kekayaan, sebab mereka tahu, tetangga yang bercerita itu menjadi kaya mendadak.
Belum sampai setahun merintis pekerjaan dari nol, tetangganya itu tiba-tiba sudah bisa merenovasi rumah, membeli mobil dan motor-motor yang harganya mahal, dan beberapa kali kedapatan membawa beberapa simpanan, walaupun ini hanyalah desas-desus belaka, yang beredar dari mulut ke mulut saat ronda. Tetapi, menurut penglihatan Radit dan Damar, tetangganya itu pernah terlihat menggandeng perempuan yang berbeda-beda di beberapa tempat. Mereka tentu tidak berani menceritakannya kepada istri tetangganya itu, karena gelagat tetangganya itu mengisyaratkan bahwa itu merupakan rahasia bagi kaum sesama lelaki saja.
Jalanan menuju air terjun itu berat, makanya hanya beberapa orang saja yang mampu ke sana. Lokasinya jauh dari permukiman penduduk dan terpencil. Maka, setelah mereka diberi tahu lokasi air terjun itu, mereka mencari hari yang pas untuk berburu batu merah tersebut. Mereka memutuskan pergi mencari air terjun itu pada hari Kamis. Mereka pergi mencari air terjun itu memakai mobil. Sebelumnya mereka tahu bahwa mobil tidak akan mengantar mereka sampai ke tujuan. Begitu pun sepeda motor, akses jalan ke air terjun itu sulit. Akses ke air terjun itu sangat memungkinkan memakai sepeda gunung, sebab jalanannya sangat sempit dan berbatu. Mereka sudah menyiapkan sepeda gunung di dalam mobil.
Benar saja, ketika mobil mereka mogok di tengah jalan, dan mereka sudah angkat tangan menyalakan mobil dengan cara apa saja, mereka mengeluarkan sepeda gunung dan tas ransel berisi makanan dan minuman juga obat-obatan. Beberapa kali Radit mengumpat sebab ia tidak mendapatkan sinyal di ponselnya. Mereka bersepeda meninggalkan mobil yang mogok itu.
Seperti yang tetangga mereka katakan, mereka harus melalui sebuah gubuk reyot tak berpenghuni sebelum memasuki jalanan setapak yang berbatu dan becek. Tibalah mereka di gubuk reyot tak berpenghuni. Mereka melepas lelah dan istirahat untuk beberapa menit.
“Gila, sudah lebih dari dua jam, dan kita baru sampai gubuk ini,” ujar Radit sembari merebahkan badannya di gubuk reyot beralaskan anyaman bambu yang sudah setengah tertimbun tanah itu.
“Sabarlah. Sebentar lagi kita akan sampai. Aku sepertinya sudah mendengar suara gemericik air terjun itu. Coba diam sejenak,” ujar Damar sembari menempelkan jari telunjuk ke bibirnya yang kering. Terdengar suara daun-daun yang bergesekan diterjang angin, lalu suara burung yang hinggap di pepohonan. Mereka diam lebih lama. Saat itu juga terdengar samar-samar gemericik air di suatu tempat yang jauh dari mereka. “Kau dengar, kan?” tanya Damar, matanya berbinar.
“Ya, aku mendengarnya,” jawab Radit bersemangat. Ia lalu keluar gubuk dan mencari-cari bukit di sekitarnya. “Hei, kemarilah! Air terjun itu ada di sana,” teriak Radit kegirangan.
Damar keluar gubuk, menghampiri Radit. “Sudah kuduga. Jalan sebelum air terjunnya saja sudah indah begini, bagaimana kalau sudah sampai?”
“Ayo, kita ke sana!”
Mereka pun bersepeda menembus semak belukar, tanah berbatu, dan menyeberangi kali dangkal. Beberapa kali sepeda harus mereka jinjing sebab banyak pohon-pohon yang roboh menghalangi jalan mereka. Itu sebabnya jalanan itu hanya bisa dilewati menggunakan sepeda. Tiba-tiba mereka berhenti.
“Kurasa kita harus jalan kaki,” kata Damar melihat jalan di hadapannya sudah bukan merupakan jalan lagi, melainkan undakan yang barangkali hanya dapat dilewati dengan berjalan kaki.
“Tak bisakah kita menjinjing sepeda ini sampai atas?”
“Kurasa sepeda hanya akan menambah beban saja. Lihat, ini bukan jalan. Ini undakan dan itu penuh semak belukar. Siapkan parang untuk menebas semak-semak itu. Kau dengar, suara air terjun itu sudah semakin jelas,” ucap Damar.
Mereka pun meninggalkan sepeda gunungnya di bawah pohon. Lalu, mereka menggenggam parang untuk membuat jalan.
“Kau mendengarnya, kan? Suaranya makin jelas.”
“Ya, aku mendengarnya.”
Perjalanan mereka ternyata memakan waktu yang lama dan melelahkan.
“Dit,” panggil Damar.
“Ya.”
“Kau tahu, begitu aku mendapatkan batu itu, nanti, kuharap aku bisa membahagiakan ibuku. Semua utang lunas dan aku ingin merenovasi rumahku. Aku ingin membuat taman yang ada joglonya di depan rumahku. Di bawah joglo itu ada kolam yang banyak ikannya. Di kolam itu tumbuh bunga teratai merah. Joglo itu buat kita main kartu tiap malam, hahaha, biar kita tidak suntuk.”
“Ibumu akan bangga kepadamu, Nak, hehe. Kamu akan mewujudkan keinginanmu sebentar lagi.” Radit memimpin jalan ke air terjun itu.
“Dit?” tanya Damar lagi, ragu-ragu.
“Ya?”
“Apakah keinginan terbesarmu setelah mendapat batu merah itu adalah supaya kamu dapat menikah tahun ini?”
Radit berhenti sejenak. “Ya, begitulah. Aku pengen menikah secepatnya. Kuharap segala keresahanku selama ini hilang. Gila saja, sudah hampir kepala empat, belum juga aku mendapatkan jodoh. Kau tahu selentingan-selentingan kabar yang beredar?”
Damar geleng-geleng kepala.
“Kau tahu, kan? Aku sudah punya pekerjaan tetap, gajiku lumayan, bahkan aku sudah sanggup membeli mobil, walaupun bekas, tetapi … kau tahu sendiri, aku jarang membawa perempuan ke rumah. Mereka—orang-orang itu—menuduh kalau aku tidak suka perempuan. Makanya aku pengen cepat-cepat mendapatkan batu merah itu. Sebelum umurku genap kepala empat.”
“Hahaha. Oh, iya, dua tahun lagi kamu berkepala empat.” Damar tertawa. “Oh, jadi itu yang membuatmu tertekan dan benci sama orang-orang. Tapi, jangan terlalu menjadi antisosial seperti itu, nanti anggapan mereka, kamu memang benar-benar begitu.”
“Aku cuma kesal saja.” Nada suara Radit keras, sekeras tebasan parangnya pada semak belukar yang mengganggu jalannya.
“Hei, lihat! Itu air terjunnya!” teriak Damar sambil menunjuk air terjun yang terlihat sangat jelas.
“Oh, ternyata masih lumayan jauh juga, tetapi tidak apa-apa. Aku pasti menikah tahun ini. Ayo!”
Mereka lalu bersemangat sekali menebas semak belukar. Tinggal beberapa meter lagi mereka akan sampai. Memang benar, pepohonan di sekitar air terjun itu lebat dan hijau, seperti belum terjamah tangan-tangan manusia.
Semakin dekat ke air terjun, tebasan dan langkah mereka semakin cepat. Seperti sedang terburu-buru, Damar, yang tadi berada di belakang Radit, tiba-tiba mendahului Radit.
“Hei, aku yang duluan,” kata Radit sembari tangannya menarik baju Damar.
Damar tak mau kalah, ia menepis tangan Radit. Tiba-tiba keduanya berjalan sendiri-sendiri. Jejak jalan mereka kini bercabang. Keduanya ingin cepat-cepat sampai ke air terjun itu.
Tinggal beberapa langkah lagi, semak belukar sudah tidak ada, hanya batu-batu besar di pinggir kali. Keduanya berlari, menyusuri pinggir kali menuju air terjun yang bertingkat tujuh. Setibanya di dekat air terjun itu, Radit langsung bertelanjang dada dan bercelana pendek. Ia tinggalkan tas dan beberapa potong pakaiannya di pinggir kali. Ia langsung menceburkan diri ke dasar air terjun. Radit memang pandai berenang sedangkan Damar tidak. Ia hanya berlari menuju pinggir kali, beberapa meter dari dasar air terjun itu dan menduga-duga kedalaman kali itu. Kemudian, ia menggulung bagian bawah celananya sampai lutut, lalu menceburkan kakinya ke kali itu.
Radit menyembulkan kepalanya ke udara. Ia menoleh. “Mar, apakah batu kecil merah itu ada di dasar air terjun ini?” tanyanya.
Damar tak menjawab. Ia sibuk meraba-raba dasar kali menggunakan kakinya.
“Mar? Tetanggamu bilang kalau batu kecil merah itu letaknya di dasar air terjun ini, kan?” tanya Radit, nadanya lebih tinggi. “Mar!” panggil Radit, lebih keras.
Lagi-lagi, Damar tak menjawab.
“Jawab, hei, Asu!”
Damar tetap membisu.
Tiba-tiba terdengar bunyi kecipak air di kali. Damar lari meninggalkan Radit.
Bantul, 17 September 2015
June 15, 2016
Aminu’ddin dan Mariamin
Cerpen Achmad Muchtar; Sumber potongan gambar: Sampul novel Azab dan Sengsara terbitan Balai Pustaka.
SEPERTI biasa, saya dan Aminu’ddin selalu pulang sekolah bersama. Namun, kali ini hujan deras mengguyur sekolah kami sehingga saat kami dalam perjalanan pulang, kami harus berteduh di bawah pohon beringin besar. Kami memang berteduh, tetapi dahan beringin yang rimbun ternyata tidak mampu menghindarkan kami dari air hujan. Saya basah dan kedinginan.
Berkali-kali Aminu’ddin mengumpat. Ia mencoba mengelilingi batang pohon itu dan berharap ada tempat yang tidak ditetesi air hujan, tetapi sia-sia. Ia juga menawari saya agar berpindah tempat, tetapi hujan makin lama makin deras. Saya menggigil tak bisa berpikir apa-apa selain melihat Aminu’ddin yang berusaha menahan air hujan agar tak jatuh ke tubuh saya. Ia membekap tubuh saya—kami seperti berpelukan, tetapi saya tidak memeluknya. “Tenanglah Mariamin, sebentar lagi hujan akan segera reda,” katanya.
Saya tidak ingat apa lagi yang ia lakukan. Saya benar-benar tidak ingat. Tiba-tiba saja Aminu’ddin menggendong saya di tengah hujan badai. Aminu’ddin setengah berlari menuju kampung saya yang letaknya bersebelahan dengan kampungnya. Ia harus melewati kampung saya sebelum pulang, makanya setiap mau berangkat sekolah pagi-pagi, Aminu’ddin selalu menghampiri saya. Begitu pula jika pulang sekolah, Aminu’ddin juga mengantarkan saya ke rumah.
Hujan badai ini sungguh membuat saya tidak bisa melihat apa-apa selain punggung Aminu’ddin dan air yang selalu menetes disertai kabut. Jalanan tidak terlihat sama sekali. Saya tidak tahu bagaimana Aminu’ddin bisa berlari sekuat ini dengan kondisi hujan yang seperti ini. “Mariamin,” ia memanggil saya. Saya menyuarakan suara saya sekenanya sebagai tanda saya masih dalam keadaan sadar. Ia pun berhenti berlari. Ia menurunkan tubuh saya pelan-pelan. Saya pikir di depan adalah rumah saya. Namun, ternyata dugaan saya salah. “Mariamin, di depan kita ada jembatan. Saya tidak bisa menyeberangi jembatan itu dengan menggendongmu. Kita harus berjalan sendiri-sendiri bergantian. Lebih baik kamu duluan. Saya akan mengawasimu dari belakang. Nanti, setelah kamu sampai di ujung, saya akan menyusulmu. Kamu tunggu saya di sana. Saya akan kembali menggendongmu.” Entahlah waktu itu saya setengah sadar mendengar ucapan Aminu’ddin. Yang saya rasakan saat itu adalah ketakutan yang sangat luar biasa. Saya juga melihat ketakutan pada wajah Aminu’ddin. Kami sama-sama takut. “Tenanglah Mariamin, saya akan menyusulmu. Percayalah.”
Saya pun mengangguk ragu. Saya hanya dapat melihat Aminu’ddin memegang tangan saya. Ia menggiring saya ke mulut jembatan gantung dari kayu itu. Saat saya akan menginjak jembatan itu, seketika kaki saya gemetar. Tangan Aminu’ddin yang sedari tadi menggenggam tangan saya pun pelan-pelan terlepas. Ia beralih memegangi tali ujung jembatan. Saya pun menginjakkan kaki ke jembatan itu. Namun, saya ragu. Saya menoleh ke arah Aminu’ddin. Ia mengangguk pelan. Saya pun pelan-pelan mulai melangkah. Saya pegang tali jembatan erat-erat. Saya merasakan air di bawah saya mengalir begitu derasnya. Apalagi yang berjatuhan ke kayu-kayu jembatan yang saya injak. Saya benar-benar takut.
Saya langkahkan satu demi satu kaki. Saya merasakan kayu-kayu yang biasanya saya injak menjadi agak licin. Saya rasakan air yang memasuki kaki saya. Saya begitu basah. Saya abaikan isi tas saya. Biarkan saja buku-buku saya basah. Saya tidak peduli. Yang saya pedulikan adalah bahwa kami segera pulang ke rumah masing-masing dengan selamat. Saya langkahkan kaki saya terus menuju ujung jembatan. Saya tidak dapat melihat wujud jembatan itu lagi. Yang saya lihat hanyalah kabut dan air yang terus saja menetes deras. Saya merasakan dingin menjulur ke kepala saya. Jembatan tiba-tiba berderit. Saya tiba-tiba jatuh dan masuk ke dalam air. Saya tidak dapat melihat apa-apa. Saat itu yang saya lakukan adalah mencoba menggapai udara agar dapat berteriak. Saya yakin Aminu’ddin dapat merasakan jembatan yang ia pegang jatuh. Saya berusaha naik ke atas mencari udara untuk berteriak. Akhirnya, setelah saya mencoba menyembulkan diri berkali-kali, saya berhasil berteriak juga walaupun tidak lantang. Saat saya berteriak itulah terdengar suara teriakan Aminu’ddin memanggil-manggil nama saya. Saya pun berusaha untuk dapat berteriak lagi. Kali ini lebih lantang.
Terdengar bunyi ceburan di sungai. Tiba-tiba saja saya diraih oleh seseorang. Aminu’ddin meraih tubuh saya. Ia menggendong saya. “Pegang yang erat,” ujarnya keras. Saya pegang erat tubuhnya. Baru kali ini saya memegang erat tubuh lelaki selain ayah. Saya merasakan sesuatu yang ganjil dalam perasaan saya. Entah mengapa saat saya memeluk erat tubuh Aminu’ddin, saya benar-benar merasa nyaman dan aman. Saya merasa akan selamat sampai tujuan. Namun, itu hanya perasaan saya saja. Nyatanya Aminu’ddin menenggelamkan saya dengan kecupannya yang hangat di bibir saya. “Mariamin, kita akan selalu bersama sampai kapan pun,” katanya, sebelum kami benar-benar tenggelam.
Untuk Merari Siregar
Yogyakarta, 23 Maret 2015
May 20, 2016
Aku Ingin Membunuh Seseorang
Cerpen Achmad Muchtar; Ilustrasi oleh Rian Gusman Widagdo.
AKU ingin membunuh seseorang. Mungkin beberapa orang. Daripada aku menderita dengan hidupku sekarang ini. Juga daripada aku mati bunuh diri, mending aku membunuh seseorang.
Betapa sudah aku pikirkan dalam-dalam mengenai niatku ini. Aku sudah tahu risiko membunuh seseorang. Negara ini sudah memberi aturan bagi siapa saja yang bertindak pidana maupun perdata. Jika aku ketahuan, maka aku akan menyerahkan diri. Tapi terlalu lama, mungkin aku membunuh di tempat umum saja supaya polisi langsung menyergapku di tempat dan aku langsung dipenjara tanpa ada pengadilan yang bertele-tele sebelumnya.
Aku ingin dipenjara. Mungkin aku gila, tapi aku memang ingin dipenjara. Aku sudah muak dengan tingkah laku orang-orang sekitar yang telah lama mengucilkanku. Mereka tidak pernah menganggap keberadaanku. Setiap ada sesuatu hal yang penting, aku tidak pernah mendapat kabar, aku tahu mereka saling memberi kabar, tapi tidak padaku seorang. Saat aku berbicara pun mereka selalu bertindak seolah-olah aku tidak sedang bicara. Mereka tidak mengacuhkan apa yang aku katakan. Saat pesta, mana ada orang yang mengajak aku ngobrol. Mereka asyik sendiri dengan kelompoknya dan tidak menganggapku ada.
Aku sudah tak tahan lagi jika harus hidup seperti ini. Semenjak teman akrabku dipenjara karena terbukti membunuh temannya, aku mulai dikucilkan. Orang-orang mengira aku ada sangkut pautnya dengan kasus itu. Mereka menghujani aku dengan kata-kata makian sampai dorongan bahkan pukulan saat aku mendampingi Mentari dalam sidang. Mentari jelas-jelas membelaku dan mengatakan pada orang-orang bahwa aku tidak bersalah sedikit pun.
Aku lega, Mentari telah menyelamatkanku dari dorongan dan pukulan orang-orang yang sebagian besar adalah keluarga korban. Mentari memang sahabatku, bahkan dia merupakan satu-satunya orang yang paling dekat denganku melebihi kedua orangtuaku yang acuh tak acuh kepadaku. Ke mana-mana kami selalu berdua, ke mall, ke salon, ke toko buku, ke restoran, ke pasar. Bisa dibilang, tanpa dia aku kesepian dan tanpa dia aku selalu sendiri. Inilah yang membuatku ingin membunuh seseorang. Semenjak dia ditahan, aku selalu kesepian, ke mana pun tiada berarti tanpa Mentari. Seperti ada yang hilang dari kehidupanku semenjak dia harus dikurung di dalam jeruji besi.
Aku ingin membunuh seseorang. Karena aku ingin dipenjara, karena dengan dipenjara, aku tidak akan kesepian lagi dan tidak mungkin sendiri lagi karena di penjara ada Mentari, sahabat terbaikku. Aku ingin dipenjara satu sel dengan Mentari, maka aku ingin berbuat sesuatu yang mirip dengan apa yang dilakukan oleh Mentari.
Aku ingin membunuh seseorang, tapi aku belum tahu siapa orang yang akan kubunuh. Mungkin warga sekampung yang telah mengucilkanku saja. Dasar, orang-orang kampung, bisanya cuma ngomong tanpa berbuat sesuatu yang berguna, kerjaannya cuma tidur, nyantai, dan nongkrong di rumah, giliran ada orang sukses tengah lewat, bukannya disapa malah diejek atau mereka membuang muka. Sepertinya mereka tidak terima jika ada salah seorang warganya yang sukses melebihi mereka. Seperti ketika aku dan Mentari dinyatakan diterima di perusahaan besar, ibu-ibu dan bapak-bapak yang anak-anaknya bekerja serabutan malah mempergunjingkan aku dan Mentari. Aku ingin memusnahkan mereka. Mungkin dengan menggunakan bom yang diletakkan di masjid saat hari raya. Aku yakin hampir semua warga berkumpul di sana pada saat itu karena hanya pada hari raya sajalah masjid itu semua warga berkumpul. Di tempat dan waktu lain, mana mungkin mereka bisa berkumpul.
Tapi tunggu dulu, kalau aku membunuh banyak orang dan memakai bom, nanti aku dikira teroris. Teroris akan dihukum berbeda dengan seorang pembunuh dan penempatan selnya pun akan berbeda dengan Mentari. Aku takut bila nanti tidak satu sel dengan Mentari. Lebih baik aku membunuh satu orang saja, seperti Mentari.
Mentari telah membunuh satu orang, maka aku juga harus membunuh satu orang agar aku bisa dipenjara satu sel dengan Mentari. Tapi, sampai saat ini juga aku masih bingung dengan siapa yang akan aku bunuh. Mungkin tukang bakso, ibu-ibu arisan, pedagang, atau tukang siomay. Ah, aku bingung. Apakah mereka pantas dibunuh. Siapa yang kira-kira paling bersalah atas penderitaanku ini?
Aku ingin membunuh seseorang, tapi aku bingung siapa yang pantas aku bunuh. Mungkin ibuku yang bawel. Tapi jangan, bisa dosa besar aku nantinya. Apalagi ibu telah susah payah mengandungku selama sembilan bulan sampai susah payah melahirkan anak kesepian ini. Atau ayahku saja. Dia selalu kasar terhadap ibuku. Tapi jangan, dialah yang selama ini menafkahi ibu dan membiayai aku sekolah sampai saat ini. Tanpa dia mungkin aku kelaparan, tidak bisa pergi ke salon bareng Mentari, tidak bisa sekolah yang artinya aku tidak pernah ketemu Mentari. Atau mungkin juga aku regang saja nyawa kakakku, selama ini dia terlalu bawel sebagai kakak. Banyak omong. Kadang menceritakan kejelekanku kepada teman-temannya di hadapanku pula. Tapi jangan, masih banyak sikap dia yang baik kepadaku. Kalau aku membunuh adikku bagaimana, ya? Jangan. Dia masih terlalu kecil dan aku tidak tega membunuhnya.
Mungkin tetanggaku saja, Bu Siti. Selama ini dia selalu mengawasi gerak gerikku, semacam kamera pengawas saja. Tatapannya tajam seperti tiada berkedip saat aku terlihat olehnya. Mengamati gerak gerikku lalu dengan buku catatan di kepalanya, dia menuliskan apa saja yang aku lakukan, dia menulis apa saja yang dia tangkap dari matanya yang tajam di dalam otaknya. Sungguh aku salah tingkah dibuatnya apalagi gerakanku menjadi kaku setiap kali aku kedapatan terlihat olehnya. Itu sebabnya aku tidak suka nongkrong di depan rumah. Begitu dia muncul atau terlihat sedang mengawasiku dari balik jendelanya, aku langsung buru-buru masuk rumah lantas menutup pintu dan jendela rapat-rapat supaya aku tak terlihat olehnya. Mungkin dia saja yang aku bunuh. Atau suaminya saja yang tingkahnya juga sama? Tapi jangan, mereka adalah orang-orang yang taat beribadah, sudah punya gelar haji pula, aku tak mau membunuh orang saleh, nanti dosaku malah berlipat-lipat.
Atau mungkin Pak RT saja yang aku bunuh. Selama ini dia selalu menceramahiku. Lagaknya bagai orang bijak tapi tak pernah benar perkataannya. Dia selalu menasihatiku kalau tingkah lakuku yang katanya kurang terpuji. Ya ampun, Pak, benerin dulu tingkah lakumu sebelum menghakimi orang. Jangan juga bicara soal moral dalam memimpin, perbaiki dulu moral Bapak sebelum menegur moral orang. Emangnya situ sudah bener moralnya? Sebagai Ketua RT, dia juga tidak terlalu bisa memimpin. Aku bunuh saja, tapi relasi Pak RT banyak sekali. Nanti berita pembunuhan akan menjadi topik utama koran-koran lokal lagi. Ah, males banget.
Waduh, aku jadi tambah bingung, pokoknya aku ingin membunuh seseorang. Satu saja, satu saja orang yang paling jahat yang ada di sekitarku. Tapi siapa? Aha, mungkin preman pasar! Lagaknya sok jagoan, otaknya saja kosong. Cuma badan gede doang yang bisa diandalkan. Sering memalak para pedagang, berbuat kericuhan, berantem, dan mungkin juga pernah mencopet. Tapi jangan ah, sulit kalau membunuh preman, badannya saja lebih besar dan kekar dibanding aku. Sebelum membunuh, mungkin aku sudah kalah duluan.
Jadi bingung, siapa yang pantas aku bunuh? Orang yang aku bunuh itu harus bukan anggota keluarga, bukan orang saleh, bukan orang yang pandai bergaul, dan bukan orang yang badannya gede. Mungkin orang yang tak berguna saja? Misalkan para gelandangan dan pengemis? Mereka tak berguna, kerjaannya cuma minta-minta padahal badan mereka tegap dan sehat. Apakah para gelandangan dan pengemis itu orang jahat? Belum tentu. Apalagi mereka, kan, dilindungi negara. Tapi, apa salahnya jika menghilangkan satu saja peliharaan negara? Mungkin negara ini akan bertepuk tangan kehilangan salah satu peliharaannya. Tapi, kalau negara senang, mungkin malah aku tidak jadi dipenjara. Bisa jadi.
Siapa yang kira-kira pantas aku bunuh, dan setelah aku bunuh, aku dipenjara bersama Mentari, tapi orang lain pun ikut senang dengan pembunuhan ini? Siapa yang paling merugikan banyak orang, yang jahat tentunya. Dia harus orang yang punya identitas, tidak seperti orang gila. Dia harus orang jahat. Dia harus orang yang paling dibenci masyarakat. Siapa ya? Mmmmm…… Koruptor? Pejabat? Mereka punya identitas, jahat, dan merugikan rakyat. Gila, sudah dipilih oleh rakyat, di dalam sidang kerjaannya malah tidur, kalau tidak, ya, nonton bokep. Dasar, sudah diberi amanat dari rakyat, tapi kerjaannya leha-leha bahkan korupsi! Mereka pantas dibunuh. Tapi, siapa pejabat koruptor yang akan aku bunuh? Barangkali, aku akan menyurvei pejabat-pejabat pemerintah yang memiliki kekayaan melimpah, tapi tidak sesuai dengan besar gajinya. Sudah pasti dia korupsi!
Tunggu aku Mentari, sahabatmu akan segera datang…
Bantul, 24 Januari 2013
May 5, 2016
AADC2, Upaya ‘Mengenang’ Film Ada Apa dengan Cinta?
Ulasan Achmad Muchtar terhadap film Ada Apa dengan Cinta? 2 (2016) karya Riri Riza; Gambar diambil dari laman thejakartapost.com.
Film sekuel biasanya lebih buruk dari film pertamanya. Begitu yang biasanya terjadi di perfilman Hollywood, seperti sekuel-sekuel dari film The Silence of the Lambs (1991) dan The Matrix (1999) yang dinilai gagal. Namun, beberapa pengecualian untuk film-film tertentu yang dinilai sekuelnya lebih bagus dari film pertama, seperti Terminator 2: Judgment Day (1991), The Bourne Supremacy (2004) dan The Bourne Ultimatum (2007). Hal yang sama pun pernah terjadi dalam perfilman Indonesia, seperti Arisan 2 (2011) yang dinilai lebih buruk dari film orisinalnya, setidaknya menurut pendapat saya.
Mendengar bahwa film Ada Apa dengan Cinta? (2002) akan dibuat sekuelnya, saya cukup gembira mengingat para pemain utamanya pada 2014 pernah reuni dalam minidrama untuk iklan LINE. Namun, saya agak menyayangkan pada absennya Rudi Soedjarwo dan Ladya Cheryl pada sekuel film tersebut. Saya cukup menikmati film Ada Apa dengan Cinta? (2002) yang berkesan sangat drama. Tak dapat dipungkiri bahwa itu buah kerja Rudi Soedjarwo. Saya lumayan kecewa film sekuelnya tidak lagi ditangani olehnya. Riri Riza, menurut saya, belum mampu membuat drama yang ‘sangat drama’ seperti film-film garapan Rudi Soedjarwo (tonton Mengejar Matahari (2004), Tentang Dia (2005), 9 Naga (2005), dan Mendadak Dangdut (2006)). Riri Riza bagi saya bagus untuk penggarapan film keluarga seperti Petualangan Sherina (1999) dan Laskar Pelangi (2008). Saya kurang menyukai film Gie (2005) dan 3 Hari untuk Selamanya (2007). Ketidaksukaan saya terhadap film-film tersebut bukan berarti film atau sutradara tersebut tidak cakap. Bukan, ini hanya soal selera saya. Bagi saya Petualangan Sherina (1999) sangat memorable dan Laskar Pelangi (2008) sangat menyentuh. Film Gie (2005) dan 3 Hari untuk Selamanya (2007) juga lumayan, tetapi kurang istimewa menurut saya. Saya hanya pesimis sekuel AADC ini bakal mampu menyamai bahkan menyaingi kualitas film orisinalnya.
Saya juga amat menyayangkan pada absennya Ladya Cheryl. Sebagaimana yang diketahui, para alumni AADC memang keren-keren. Dian Sastrowardoyo dengan Ungu Violet (2005) dan 3 Doa 3 Cinta (2008); Nicholas Saputra dengan Janji Joni (2005), Gie (2005), 3 Hari untuk selamanya (2007), 3 Doa 3 Cinta (2008) dan, Kebun Binatang (2012); Titi Kamal dengan Mendadak Dangdut (2006); Sissy Priscillia dengan Cintapuccino (2007) dan Romeo Juliet (2009); Adinia Wirasti dengan Tentang Dia (2005) dan 3 Hari untuk Selamanya (2007); dan Ladya Cheryl dengan Fiksi. (2008), Babi Buta yang Ingin Terbang (2008), dan Kebun Binatang (2012). Saya sangat mengagumi akting Ladya Cheryl dalam film Fiksi. (2008) dan Kebun Binatang (2012). Saya dengar kabar bahwa Ladya Cheryl absen karena sedang menempuh pendidikan. Hal tersebut dapat termaafkan.
Namun ternyata, dalam film, tokoh Alya dimatikan! Saya pikir, absennya Ladya Cheryl bisa ditangani dengan pemeran pengganti. Kalau tidak ada pemeran pengganti yang cocok, barangkali karakter Alya masih ada, tetapi ia sedang tidak bisa bersama-sama Cinta, dkk., misalnya dengan membuat tokoh Alya sedang kuliah di luar negeri. ‘Peng-ada-an karakter’-nya bisa dibuat dengan kontak melalui media sosial, walaupun hanya menampilkan foto profil saja. Itu dapat membuat saya lega. Menurut saya, mematikan karakter dan tokoh Alya, saya rasa tidak bisa saya terima (sebenarnya saya masih berharap setelah selesai urusan pendidikan, Ladya Cheryl dapat kembali syuting, barangkali untuk sekuelnya yang kedua, mengingat filmnya laris sekali dan kemungkinan pengadaan sekuelnya bisa saja dilakukan).
Saya sudah meramalkan bahwa film ini bakalan booming seperti film pertamanya. Menurut Mira Lesmana (saat menghadiri program Live with Trio Lestari di Trans TV), pada hari keenam, Ada Apa dengan Cinta? 2 (2016) sudah ditonton lebih dari 1,4 juta orang. Sebagaimana diketahui, film ini tayang serentak di Indonesia, Malaysia, dan Singapura pada 28 April 2016. Pada hari pertama pemutaran, film ini memecahkan rekor sebagai film Indonesia dengan jumlah penonton terbanyak pada hari pertama pemutaran, yaitu 200.000 penonton. Dan, saya meramalkan, jika film ini lancar penayangannya (tidak ada boikot dari pihak manapun yang merasa iri dengan kesuksesan film tersebut–dengan mencari berbagai alasan untuk boikot atau memantik sebuah ormas untuk memboikot, seperti adegan ciuman dan sebagainya), film ini bakal menjadi film Indonesia terlaris sepanjang masa (mengalahkan film Laskar Pelangi (2008) dari produser dan sutradara yang sama). Terlebih untuk kasus saya, saya melihat antrean penonton yang membanjiri bioskop yang sebelumnya sepi, termasuk mall-nya, di Lippo Plaza Jogja. Antrean panjang barangkali juga sama di bioskop-bioskop lainnya di Indonesia.
Cerita film ini diawali dengan reuni para sahabat yang terdiri atas Cinta (Dian Sastrowardoyo), Karmen (Adinia Wirasti), Milly (Sissy Priscillia), dan Maura (Titi Kamal). Hal yang paling mengejutkan adalah Milly menikah dengan Mamet (Dennis Adhiswara) dan Maura menikah dengan … ah saya tidak tahu namanya, tetapi ia diperankan oleh suami Titi Kamal di dunia nyata, Christian Sugiono. Yang paling mengejutkan lagi adalah … Cinta sudah dilamar oleh Trian (Ario Bayu). Pada pertemuan itu, mereka berniat pergi ke Jogja beberapa hari untuk menghadiri pameran seni dari seniman Eko Nugroho. Nah, sebagaiman plot cerita sambungan, cerita pun (terkesan) dibuat-buat. Rangga (Nicholas Saputra) yang menetap di New York pun tiba-tiba didatangi sepupunya agar ke Jogja menemui ibunya. Dari situ, sudah saya tertawakan terlebih dahulu, ternyata ceritanya dipaksakan begitu. Dan, hal yang paling membuat miris adalah Alya meninggal pada 2010 karena kecelakaan! Sebelum ke Jogja, mereka berpamitan ke makam Alya (sungguh membuat sedih).
Karena cerita mengharuskan Cinta dan Rangga bertemu, maka bertemulah mereka di Jogja. Biar ceritanya agak keren, dibuatlah Cinta awalnya tidak mau bertemu dengan Rangga dengan alasan, Ranggalah yang membuat Cinta sedih karena ia diputus tanpa alasan yang jelas. Hal yang membuat saya menurunkan tingkat ekspektasi adalah bahwa dalam rentang 14 tahun semenjak 2002, mereka berpacaran dan bertemu di New York. Awalnya, saya menemukan ketragisan hubungan keduanya jika mereka kali pertama bertemu saat di Jogja semenjak 2002. Namun, pada film 2002, Rangga akan kembali ke Jakarta setelah satu purnama. Yang saya tanyakan adalah, apakah Rangga kembali ke Jakarta lalu ke New York lagi untuk menetap? Jika ada yang konsen pada cerita dua filmnya, ceritakan secara detail kepada saya!
Pertemuan antara Rangga dan Cinta dibuat romantis, dibuat seharian, dari siang sampai subuh; menikmati pesona Jogja dan Magelang. Mulai dari jelajah gang, kuliner, kafe, sampai gereja unik. Kebanyakan tempat-tempat yang kurang terekspos dan masih sepi. Yang mereka lakukan selama itu adalah, awalnya, untuk memberi penjelasan mengenai nasib hubungan mereka hingga merembet ke masalah sibling, ibunya Rangga, dan pada akhirnya mereka ‘mengenang’ karakter masing-masing. Ya, sepanjang film adalah perjalanan untuk mengenang karakter masing-masing tokohnya. Dibalut oleh pesona Jogja dan tampilan gambar-gambar menawan, film ini hanya ditujukan untuk ‘mengenang’.
Pada film Ada Apa dengan Cinta? (2002), saya dapat menemui chemistry Cinta dan Rangga. Namun, dalam film ini, saya kurang menemui chemistry mereka. Kurang bukan berarti tidak. Saya baru menemui chemistry mereka pada paruh tengah menuju akhir. Pertemuan kali pertama mereka di Jogja pun kurang greget (saya berharap akan seperti adegan Jason Bourne dan Pamela Landy saat kali pertama mereka bertatapan muka dalam The Bourne Supremacy (2004) yang greget dan sangat keren). Yang paling saya ingat dari film ini justru karakter Karmen. Ia terlihat sangat berkarakter. Di samping itu, karakter Milly dan Maura hanya untuk ‘mengenang’ karakter mereka di film pertama. Tak ayal, beberapa kali saya tertawa melihat kekonyolan Milly–yang tulalit.
Sebagaimana film sekuel kebanyakan, film ini masih tidak lebih bagus dari film pertamanya. Pertama, dari ceritanya, film ini terkesan dipaksakan. Kematian Alya dan pertemuan Cinta dan Rangga di Jogja adalah salah duanya. Namun, yang membuat tersenyum adalah Mamet yang menikah dengan Milly dan Cinta yang bertunangan dengan tokoh lain, bukan Rangga. Perasaan bisa dibuat berkecamuk saat mereka berdua semalaman berjalan-jalan bersama, sedangkan mereka tidak bisa saling memiliki (saya teringat film Before Sunset (2004), Jesse telah menikah sedangkan Celine masih melajang, itu sangat dramatis). Kedua, dari sudut-sudut, gaya, dan pengalihan gambarnya. Saya sudah menduga gambar dalam film ini ‘tidak rapi’ atau ‘tumpang-tindih’ seperti pada gambar-gambar ‘khas’ dalam film-film Riri Riza. Beberapa hasil suntingan gambarnya kurang pas dengan suaranya. Atau pengalihan gambar yang tiba-tiba berubah-lalu-kembali, entah istilanya apa. Beberapa adegan terkesan seperti gambar-gambar yang berbeda yang dipaksakan untuk bersatu padu membuat kesinambungan. Namun, selain itu sebenarnya gambar-gambar yang dihasilkan sangat bagus, jernih, dan memanjakan mata.
Ada Apa dengan Cinta? 2 (2016) adalah upaya untuk mengenang film Ada Apa dengan Cinta? (2002). Kecantikan Dian Sastrowardoyo ditampilkan kembali. Dari 2002 sampai 2016, kecantikannya tidak berubah, bahkan ia semakin cantik. Kesinisan Rangga juga ditampilkan kembali, terlebih pada paruh akhir film. Ke-tulalit-annya Milly juga semakin dieksplorasi, juga kecuekan dan kegarangan Karmen dan ke-higienis-an tokoh Maura. Mamet juga ditampilkan kembali. Pada salah satu adegan, mereka mengenang grup Pas Band yang pernah mereka idolakan, tentunya saat Mamet mengejar-ngejar Cinta pada waktu itu. Beberapa adegan khas dalam film pertama ‘mencoba’ dihadirkan kembali. Selain mengekspos keeksotisan Jogja, film ini memang murni untuk mengenang.
April 29, 2016
Jumat, 29 April 2016, dengan skripsi berjudul “Kekerasan ...
Jumat, 29 April 2016, dengan skripsi berjudul “Kekerasan dalam Cerpen-Cerpen Terbaik Kompas 1991–2014: Analisis Wacana Kritis”, saya menyandang gelar S.S. dari Program Studi Sastra Indonesia, Departemen Bahasa dan Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
April 24, 2016
Memberi penghargaan kepada Diajeng Sobayan 2016 (Dok. Riy...
Memberi penghargaan kepada Diajeng Sobayan 2016 (Dok. Riyan Wibowo).
Dalam rangka memperingati Hari Kartini, Cakra Mas (Cipta Kreasi Muda-Mudi Sobayan) mengadakan rangkaian kegiatan, yaitu jalan sehat, lomba masak, dan lomba fashion show untuk ibu-ibu di Kampung Sobayan RT 02 Mredo Sobayan Bangunharjo Sewon Bantul Yogyakarta.
April 13, 2016
Makan Siang Spesial
Cerpen Achmad Muchtar; Ilustrasi oleh Rian Gusman Widagdo.
TIGA jam lagi ibu akan tiba di rumah. Dia baru saja tiba di bandara sekitar jam 9 pagi. Ayah sudah di bandara untuk menjemputnya. Ibu begitu spesial karena baru saja diundang di acara internasional di Singapura. Makanya kini aku dan kakakku ingin memberikan kejutan spesial bagi Ibu, dengan waktu hanya tiga jam saja.
Tidak seperti biasanya aku dan kakakku bisa meluangkan waktu bersama di rumah. Biasanya kakak selalu sibuk dengan kuliahnya sedangkan aku sibuk dengan tugas sekolah. Kami bisa bersatu semenjak prestasi yang ibu raih sebagai penulis buku bestseller. Siang ini kami akan memberi kejutan kepada ibu kami.
Awalnya, kami hanya diam di rumah sambil menunggu hari ini tiba. Lalu kakak tiba-tiba muncul ide supaya kami memberi kejutan yang tidak disangka-sangka oleh Ibu atau Ayah. Ayah belum tahu ide kami karena kami mendapatkan ide ini setelah Ayah berangkat ke bandara.
“Kita sudah belasan tahun hidup satu atap, tetapi sama sekali belum memberi kejutan pada orang tua,” ujar Kakak, “gimana kalau kita bikin sesuatu untuk orang tua kita?” lanjutnya.
“Iya, Kak. Apalagi kita kan, udah dibiayai sekolah tinggi-tinggi, kita udah bisa ini-itu, tetapi kita sama sekali belum pernah bikin sesuatu buat orang tua kita.”
“Kau ada ide apa?” Kakak mengernyit.
“Aku belum ada ide, Kak. Mungkin kita harus membatasi dulu kejutan kita berupa apa.”
“Kita bikin mahakarya saja, apa gitu.”
“Kita bersihin rumah?”
“Kalau bersihin rumah, anak TK aja udah bisa dan itu bukan mahakarya, hahaha,” tawa Kakak.
“Bikin dekorasi dan hiasan selamat datang Ibu?”
“Ini bukan perayaan ulang tahun, Dek.”
“Lantas apa dong? Inget, waktu kita hanya tiga jam. Jangan terlalu lalma mikir, Kak.”
“Bentar, ah,” Kakak menaruh dagu pada kedua kepalan tangannya yang dia rekatkan. Otaknya berpikir keras. “Kira-kira, kan, Ibu dan Ayah tiba di rumah ini pukul 12 siang. Bagaimana kalau kita bikinin mereka makan siang?”
“Hm, ide bagus, Kak. Selama ini, kan, mereka nganggep kita bisanya cuma masak air atau mi instan, nggak salahnya kita buktiin ke orang tua kita kalau kita juga bisa masak?”
“Kalau aku sih, pengennya yang spesial banget. Ada nasi, lauk, sayur, kuah, sambal, kue, minuman, jus, sup buah, dan manisan. Gimana dengan Kakak?”
“Busyet banyak bener. Cukup buat itu dalam tiga jam? Sekarang tentuin dulu kita mau masak apa, baru kita putuskan.”
“Bagaimana kalau rendang, makanan yang terkenal paling lezat itu.”
“Kamu bisa?”
“Belum, sih, tapi tidak salahnya, kan, mencoba.” Aku membuka smartphone-ku, “lagi pula kita bisa memanfaatkan teknologi, kok. Tak perlu repot-repot ke restoran buat nanyain resep, internet sekarang bisa membantu, kok.”
“Oke, aku cari resep-resep dulu.” Bermenit-menit kemudian, Kakak sudah menerawang jauh ke depan bahwa ini akan berhasil. “Kita bikin rendang, sup ayam, sambal terong balado, tumis kangkung—makanan kesukaan Ibu—, dan sup buah, mungkin tiga jam cukup kali, ya?”
“Bahan-bahannya apa saja? Ada yang di kulkas dan persediaan nggak ada, nggak? Biar aku yang beli.”
“Ada banyak, bentar, tak catetin.” Kakak mencari kertas dan pulpen, lalu menuliskan bahan-bahan yang tidak ada di persediaan dapur. Agak lama kemudian, aku meluncur ke supermarket dan pasar tradisional. Butuh waktu agak lama untuk mencari bahan masakan yang tidak ada di supermarket karena pasar tradisional letaknya agak jauh dari rumah tetapi lengkap sekali bebumbuannya. Aku juga membeli daging sapi di pasar. Kalau di pasar tradisional itu pelayanannya cepat karena pembeli diperlakukan seperti raja. Aku ditanyai mau beli apa, lalu penjual pun bergegas mencarinya, kalau dia tidak jual, otomatis dia akan merekomendasikan tempat yang menjual atau dia mencarikannya. Berbeda kalau di supermarket, aku dituntut untuk mencari bahan yang akan aku beli. Belum lagi jika terjadi antre yang panjang.
Tiba di rumah, Kakak sudah mempersiapkan semua perlengkapan masak. Dia sudah mencuci mangkuk, panci, piring, telenan, wajan, memarut kelapa, memasak air, memotong buah-buah menjadi bulat-bulat kecil, dan sebagainya.
“Apakah Kakak ingat? Kita dulu pernah memasak bersama saat Ibu sedang sakit. Bedanya kita masak bertiga, bersama Ayah. Itu, lho pas kita bikin bubur.”
“Oh, Kakak ingat, tapi agak lupa juga soalnya itu sudah lama sekali. Dan menurut Kakak, kita cuma bantuin Ayah kalau nggak salah. Kan, kali ini kita sendiri yang menentukan resep dan bikin sendiri.”
“Eh, iya. Nah, itu ingatan Kakak nggak setajam ingatanmu.”
“Biasanya memang cewek lebih peka dan mudah mengingat, Kak, daripada cowok.”
“Masa?”
“Buktinya barusan.”
“Huuu, dasar, jangan asal, harus ada sumber yang jelas, seperti bikin skripsi, semua sumber harus jelas.”
“Cie yang lagi skripsi.”
Aku mendapat jatah membikin rendang, sup ayam dan sup buah sedangkan Kakak membikin tumis kangkung dan sambal terong balado. Pertama-tama memang, Kakak mencuci semua bahan masakan dan aku membantunya, seperti mencuci dan memotong daging ayam atau sapi yang aku sendiri baru pertama mencuci daging mentah ayam.
Resep makanan aku dapat dari internet. Sembari Kakak membuat bumbu untuk tumis kangkung, aku membuat bumbu rendang dan aku telah mempersiapkan air santan yang Kakak parut tadi. Kutumbuk bersiung-siung bawang merah dan bawang putih, cabe merah, jahe, dan merica, dan bahan lainnya hingga halus. Lalu aku potong daging sapi itu menjadi tipis-tipis tetapi lebih tebal dibandingkan sandalku. Kurebus santan kelapa bersama bebumbuan tadi lalu kucampurkan dengan dedaunan serta asam kandis. Kuaduk terus menerus karena kalau tidak, santan akan pecah dan tidak mengental. Lalu kumasukkan daging dan kuaduk terus sembari membuat sup ayam.
Membuat sup ayam ini lebih mudah daripada membuat rendang, yakni memblender kentang, lalu aku meminta Kakak untuk menumiskan irisan bawang putih dan jahe setelah dia tengah membuat sambal terong balado karena tumis kangkungnya sudah selesai. Lalu kuberikan dia potongan daging yang sudah aku buang tulangnya untuk dicampurkan ke tumisan tadi. Garam kutaburkan secukupnya. Kumasukkan hasil blenderan kentang tadi lalu kutambahkan kaldu sambil sesekali mengaduk rendang dan menunggunya hingga berwarna kecokelatan.
“Hahaha,” aku tertawa.
“Kenapa?”
“Bodohnya aku. Ayah dan Ibu bisa keburu datang jika aku menunggu rendang ini matang dengan sempurna.”
“OMG, baru sadar kalau kematangan rendang yang sempurna itu minimal 12 jam. Dan kita hanya memasak dalam waktu 3 jam. Oke, tinggalkan rendang itu.”
“Oke, Kak.”
Beberapa saat kemudian, sop ayam bening buatanku jadi.
“Hm, baunya harum sekali.” Lalu Kakak mencicipi masakanku.
“Ih, Kakak, jangan banyak-banyak, nggak jadi makan bersama nanti.”
“Iya, deh, tapi ini bener-bener mantap. Ternyata kamu bisa masak, ya.”
“Sudah merupakan kewajiban, Kak, kalau setiap perempuan itu harus bisa masak.”
“Kalau laki-laki yang bisa masak bagaimana pendapatmu?”
“Ya, justru lelaki juga harus bisa masak. Kan, nggak selamanya yang masak itu harus istri. Nah, kalau istri sedang hamil tua atau sakit, kan, suaminya yang harus masakin dia.”
“Jadi, kau tidak meragukan para koki itu lelaki sejati, kan?”
“Tidaklah, Kak, hahaha, jangan nyindir cowokku, Kak. Bilangin sama pacar Kakak aja supaya dia bisa masak, hahaha.”
“Bilangin sendiri kalau berani, hahaha.”
“Jadi, Kakak nggak berani?”
“Nanti masalahnya bisa panjang, ngomongnya bisa ke mana-mana, hehe.”
“Awas, Kak, kalau udah nikah nanti jangan jadi suami-suami takut istri. Malulah adikmu ini nantinya, hahaha.”
“Iya, deh.”
“Udah, Kak, terusin, waktu udah mepet, nih.”
Sembari Kakak menghias penyajian kami, aku tinggal mencampur beberapa potongan buah-buahan hingga rata. Lalu kubuat sup dari campuran air jeruk, air lemon, daun mint, madu, dan susu. Kutuangkan ke dalam campuran buah-buah tadi. Kuambil es dalam cetakan kotak-kotak lalu menarunya di atas baskom. Lalu kupersiapkan gelas di atas nampan. Sup buah sudah jadi. Semuanya sudah siap saji.
Kami mandi bergantian setelah berkotor-kotoran dengan keringat dan noda-noda dari bahan makanan. Lalu setelah selesai, kami membersihkan peralatan dapur. Kami lalu membersihkan meja makan dan kami hiasi ruangan dengan berbagai benda yang membuatnya tampak indah dan menguatkan selera makan. Setelah semuanya selesai, kami akhirnya berpelukan. Ini adalah pelukan pertama setelah hampir sepuluh tahun kami tidak pernah berpelukan. Akhirnya adik dan kakak bisa akur.
Tiba-tiba smartphone-ku berdering. Panggilan dari Ayah.
“Halo, Yah. Gimana dengan Ibu, apakah kalian sudah sampai di depan rumah?”
“Kami akan pulang dua jam lagi, kami baru saja makan siang dan ibumu mengajak Ayah belanja di Blok M. Kamu beli makan sendiri, ya. Bilangin sama Kakakmu juga. Dia masih di situ?” Kusodorkan smartphone pada Kakak.
“Siapa?”
“Ayah.”
“Halo, Yah, kami sudah mempersiapkan kejutan buat Ibu, jangan sampai…”
Kusambar smartphone-ku, lalu ku-reject panggilan yang masih aktif. “Ssssttt, Ayah dan Ibu baru saja makan siang dan akan pulang dua jam lagi.”
“Astaga.” Kakak berteriak lemas seperti sedang kalah bertanding futsal.
Kita saling pandang lalu melirik meja makan dan kita tertawa bersama. Betapa konyolnya kami. Makanan begitu melimpah di meja makan dan kita cuma berdua. Lalu aku teringat pada seorang pengemis yang menderita busung lapar di dekat supermarket tadi pagi.
Bantul, 29 Januari 2014
April 1, 2016
April Mop
Cerpen Achmad Muchtar; Ilustrasi oleh Rian Gusman Widagdo.
BERAPA lama lagi aku harus memendam rasa. Bukankah rasa yang tak terucap selamanya akan menggerogoti hati dan pikiran? Anak-anak di bawah umur sekarang banyak yang sudah berpacaran. Setidaknya, mereka mengklaim pernah pacaran—aku terkekeh lantaran mungkin pacaran yang dimaksud hanya ikut-ikutan orang dewasa. Lucu. Mereka bisa dengan lancar mengucapkan perasaannya. Terlepas menganggapnya sebagai guyonan belaka. Namun, mereka memang lebih berani daripada orang sebesar aku.
Orang bilang, cinta itu indah. Aku tak percaya bukan berarti aku pernah tersakiti oleh cinta. Namun nasibku sebagai seseorang yang mungkin akan single selamanya. Mengaku-ngaku bahwa single itu prinsip dan jomblo itu nasib. Sebenarnya aku berkata lain. Aku butuh seseorang untuk mendampingi hidupku karena aku tak mau jika ke mana-mana sendiri. Sudah terbiasa dengan melihat pasangan-pasangan memadu kasih, membuatku bercermin.
Aku tidak meludah ketika menatap bayangan mayaku. Aku tidak kelaparan setiap pagi. Aku berganti baju yang tidak sama setiap hari. Tiap bulan aku mendapat gaji. Uangku melimpah bukan berarti aku sudah bisa tenang. Aku semakin cemas. Sudah saatnya aku menikah.
Di mata orang-orang, aku sempurna. Tak terasa berapa puluh perempuan yang telah kutolak. Aku tahu, Ibu, aku memang sudah saatnya menikah. Apalagi rumah ini sepi. Bukan berarti dengan mengenalkan perempuan-perempuan kepadaku lantas membuatku laku. Kodrat laki-lakiku terancam. Lebih baik aku mencari sendiri siapakah pendampingku.
Batinku terasa goyah. Beban psikologis kuhadapi. Cemooh orang yang menganggap aku tidak suka perempuan semakin meremas otak. Aku menganggapnya sebagai lelucon yang tak lucu tentunya. Biarkan saja. Celakanya, jika aku tak sendiri, aku selalu berdua dengan laki-laki. Lipatan dahiku makin rapat―pantesan.
Sepi di setiap malam minggu adalah tangisanku. Film-film romantis pun aku anggap sebagai film horor tragis. Aku sangat membenci genre film ini. Bukan berarti aku tak punya hati, hanya benci jika harus menonton orang-orang yang berpasangan memadu kasih. Tidak hanya melalui film aku menangis ketika melihat pasangan memadu kasih, ketika hadir di pesta pernikahan pun aku bersembunyi. Merengek-rengek meminta seorang perempuan untuk pura-pura menjadi pasangan pun agaknya tidak masuk akal—aku terkekeh.
Saudara-saudara mendesak. Semakin terhimpit saja aku pada tuntutan sosial. Bukankah hidup itu pilihan? Kenapa orang lain mesti ikut campur? Lucu. Memang kehidupan tak lain berupa panggung komedi belaka. Semuanya lucu―aku terkekeh dan terkekeh lagi.
Di tiap malam tak henti-hentinya aku berdoa. Hingga aku telah merasakan kejenuhan dalam berdoa. Aku sudah hafal kalimat apa saja yang aku ucapkan. Aku bosan mengucapkan satu nama yang berulang-ulang kuturutkan dalam doa, tapi nihil.
Namanya Annisa, naluri lelakiku tergugah untuk melindunginya. Muncul suatu perasaan ingin menjaganya. Ingin menjadi sandaran hatinya. Hanya dia. Namun, sepertinya kata-kataku sudah terpenjara dan kuncinya telah hilang hingga tak ada seorang pun bisa membukanya. Inilah aku. Hanya bisa mengagumi tanpa bisa mengatakan.
Aku percaya setiap orang pasti pernah merasakannya. Rasa cinta yang berkecamuk di mana mulut tertutup. Hanya mata yang mungkin berbicara. Sialnya, tidak setiap perempuan mampu membaca mata lelaki. Bahkan tak jarang menganggapnya hidung belang.
Bukan kecantikan yang membuatku mengaguminya. Insting lelakikulah yang memberi pertanda, dia layak menjadi pendampingku. Cantiknya memang sudah terkenal, sebagai pujaan setiap lelaki normal. Semua tahu bahwa anak santri itu tak hanya cantik dari luar. Sempurna.
Bukan soal aku lelaki atau bukan jika aku tak mampu mengucapkannya. Aku masih percaya siapa pun pasti pernah mengalaminya. Aku yakin yang berhasil mengungkapkannya pasti dibantu oleh peri cinta dengan panahnya. Aku percaya para peri cinta tak akan mendekati orang yang rajin beribadah. Apalagi seorang santri. Aku terkekeh dengan anggapanku sendiri ini. Lelucon yang kuciptakan sendiri, yang menurutku tak lucu―aku terkekeh lagi.
Bukankah setiap orang berjodoh? Namun, hanya sedikit orang yang mempunyai jodoh orang yang dicintainya. Kalau aku menikah dengan Annisa, aku yakin aku mendapat jodoh sekaligus cintaku. Ah, bagai pungguk merindukan bulan. Ilmu agamaku tak ada apa-apanya dengan ilmu agama yang ia peroleh dari pesantren. Aku berkaca.
Barusan temanku memberikan satu pertanyaan bodohnya: Apakah aku pernah mengagumi seorang perempuan? Entah mengapa aku tiba-tiba salah tingkah. Aku merasa tersudut. Aku merasa ditelanjangi dengan tatapan di balik kacamatanya. Kemudian hening. Dikiranya aku tak pernah punya rasa dengan perempuan―aku kembali terkekeh.
Aku berkaca. Gila. Pertanyaan bodoh seperti itu bisa membuatku tak bisa bergerak. Pertanyaan bodoh yang menusuk naluriku. Memang aku belum pernah pacaran. Namun, dalam hal mengagumi seseorang, aku pernah, bahkan sering. Anggapan agama yang mengklaim bahwa pacaran itu dosalah yang menjadi tameng ketika pertanyaan yang lagi-lagi kuanggap bodoh itu kudengar.
Parahnya lagi, ketika aku menghadiri pesta perkawinan, aku paranoid. Aku sedih lantaran harus datang sendiri. Membeli kado dan membawanya seorang diri. Pertanyaan bodoh bermunculan: kapan kawin? Aku hanya tersenyum kecut. Aku tidak akan menjawab May―maybe yes, maybe no. Lha wong aku belum punya pasangan, kok, ditanya kapan kawin? Orang-orang semakin lucu saja dengan pertanyaan bodohnya. Kalaupun pertanyaan bodoh itu terjawab, juga kelak bakal ada bertanyaan bodoh lagi yang muncul lalu muncul lagi pertanyaan bodoh yang sangat mudah ditebak.
Disangka tidak suka perempuan, kini aku merasa dilema. Kalau tidak pergi dengan teman laki-laki, ya aku pergi sendirian. Teganya. Tak selamanya sendiri itu bebas. Aku malah tertekan. Ketika makan di restoran sendirian, aku sulit mencerna makanan. Lihat, banyak pasangan di masing-masing meja. Sedangkan aku, berpasangan dengan kosong. Jika restoran penuh, terpaksa aku harus menangis berhadapan dengan sepasang orang di satu meja makan. Nasib.
Terus kuyakini dan kuhayati dalam hati, mencoba membenarkan bahwa sendiri itu lebih baik. Persetan orang mengiming-imingi bahwa mempunyai pasangan itu bahagia. Ah, aku abaikan saja anggapan ini. Memang aku kesepian, namun aku sangat menikmatinya.
Aku kurang yakin bisa menikah sebelum umur 26 tahun, karena hari pertama April esok mungkin terlalu menyedihkan. Apa ada waktu lain untuk menyembunyikan maluku? Pikiranku berkecamuk menatap kalender dan pandanganku terfokus tanggal yang kulingkari. Sudah saatnya aku menikah. Aku sudah dewasa. Menurutku menikah itu merupakan tuntutan sosial untuk bisa berbaur dengan masyarakat―aku terkekeh.
Kumisku semakin tebal membuatku harus sering-sering mencukur. Sebelum berkepala tiga, aku harus memberi kado terindah buat Bunda. Tekanan batin telah menyeruak berteriak dalam alam bawah sadar. Terpendam terlalu dalam. Sebuah kata cinta yang terpenjara di mana kuncinya tak pernah bisa ditemukan lagi. Hanya dia.
Dia memang cantik, tapi sekali lagi kukatakan bahwa bukan kecantikannyalah yang membuatku yakin bahwa dia jodoh sekaligus cintaku. Terlepas apakah dia mengetahui perasaanku sebelum aku mengatakan sebuah kepastian itu. Naluri lelakikulah yang membuat radar-sinyal untuk menjaganya, untuk melindunginya. Setiap wanita memang menagih kesetiaan kepada setiap lelaki untuk menjadi penjaganya.
Ada perasaan tidak pantas ketika membayangkan dia menjadi istriku. Tak perlu ditanya lagi. Perempuan sesempurna dia memang hanya cocok bagi lelaki yang sempurna pula. Aku kembali berkaca. Mungkinkah aku sesempurna apa yang dia pikirkan mengenai lelaki idamannya?
Dia memang teka-teki. Bahkan bagi orang yang sudah mengenalnya sejak SD. Payah. Tak pernah aku bisa membaca hatinya. Semenjak kami sama-sama menjadi remaja, jarak kami menjauh. Tentu karena tuntutan agama, juga sosial. Lagi-lagi aku terkekeh. Tuntutan sosial membuat orang-orang semakin terkungkung pada aturan yang menyedihkan.
Karena tuntutan sosial dan kebetulan esok adalah hari jadiku, maka mungkin inilah rencana besar yang kususun untuk hari ini dengan menaruh harapan pada peri cinta. Semoga saja. Bukankah dia hanya perlu menjawab: ya atau tidak? Itu saja. Tapi aku dilanda kegalauan. Apakah dia mau menerimaku?
***
PESTA dimulai. Aku telah mempersiapkan semuanya. Aku cukup beruntung mempunyai tanggal lahir 1 April. Ratusan undangan hadir dengan pasangan dan kado mereka. Hidangan di tepi kolam renang ramai disantap. Tak kulihat dia dimanapun. Apakah dia tidak akan datang? Jelas-jelas dia kemarin berjanji akan datang di hadapanku tapi sampai menjelang tengah malam dia belum juga hadir. Kutanya sahabat dekatnya. Annisa tadi datang, coba kamu tengok halaman rumah, katanya.
Kubuktikan, Annisa memang berada di halaman depan. Sayangnya dia telah berpasangan dengan seorang lelaki. Sial. Skenarioku gagal. Sebenarnya aku ingin menyatakan cinta dan aku menunggu hari ini, sebab aku bisa beralasan April Mop jika saja Annisa menolak cintaku.
Bantul, 25 Mei 2013




