In the Year of Monkey, the Year of Wregas Bhanuteja
Ulasan Achmad Muchtar terhadap 5 Film Pendek karya Wregas Bhanuteja: Senyawa (2012), Lembusura (2014), Lemantun (2014), The Floating Chopin (2015), dan Prenjak (2016). Sumber gambar: Akun Facebook “IFI YOGYAKARTA”. Spoiler alert! Tulisan ini kemungkinan besar dapat membeberkan isi film-film tersebut.
Pada Mei 2016 lalu, khalayak Indonesia dikejutkan oleh film Prenjak (In the Year of Monkey) yang menang sebagai Best Short Film, Leica Cine Discovery Prize, pada Semaine de la Critique dalam rangkaian Festival de Cannes 2016. Sebagaimana diketahui, Festival de Cannes merupakan ajang penghargaan film internasional paling bergengsi di dunia. Sejauh ini, belum ada satu pun film (fitur panjang) Indonesia yang pernah menang di ajang itu. Indonesia hanya pernah mewakili sebagai juri dalam ajang tersebut melalui Christine Hakim. Dan, tahun ini Indonesia menjadi pemenang melalui film pendek karya Wregas Bhanuteja pada Semaine de la Critique dalam rangkaian Festival de Cannes 2016 di Perancis itu. Meskipun dalam kategori film pendek dan bukan pada kategori film panjang yang bergengsi itu, Indonesia harus berbangga karena barangkali untuk tahun-tahun berikutnya, perfilman Indonesia akan dilirik oleh khalayak dunia.
Sebagai orang Indonesia, saya sangat bangga akan keberhasilan pemuda bernama Wregas Bhanuteja ini. Di usianya yang baru dua puluhan tahun, ia sudah menghasilkan karya yang diakui dunia. Selain itu, ia juga telah berkarya melalui film-film pendek lainnya yang juga tak kalah menarik. Bahkan di antaranya ada yang pernah menjadi kompetitor film pendek pada Berlin International Film Festival, salah satu ajang penghargaan film internasional yang bergengsi di dunia. Setelah saya mendengar kabar bahwa film Prenjak menang, saya berusaha mencari filmnya di internet karena barangkali di YouTube atau Viddsee ada. Namun, ternyata tidak ada, termasuk di laman pencarian Google juga hasilnya nihil. Saya cukup lega lantaran melalui Twitter, saya mendapatkan informasi bahwa film tersebut bakalan diputar di Intitut Francais Indonesia atau Lembaga Indonesia Perancis di Yogyakarta dengan tajuk “In the Year of Monkey: Pemutaran & Diskusi 5 Film Pendek Wregas Bhanuteja”. Ada 5 film yang diputar dalam acara tersebut, yaitu Senyawa (2012), Lembusura (2014), Lemantun (2014), The Floating Chopin (2015), dan Prenjak (2016). Berikut adalah ulasan saya terhadap masing-masing film.
Senyawa (2012)
Film Senyawa menceritakan seorang anak perempuan bernama Retno yang ingin merekam sebuah lagu kesukaan ibunya yang sudah meninggal sebagai kado ulang tahun. Ayahnya seorang Muslim sedangkan ibu dan Retno adalah seorang Nasrani. Retno dan ibunya suka mendengarkan lagu gereja berjudul “Ave Maria”, sedangkan ayahnya adalah seorang Muslim yang taat. Retno ingin menghadiahkan ibunya rekaman lagu “Ave Maria” untuk ulang tahun ibunya. Akan tetapi, saat ia merekam, suasana perkampungannya tidak memungkinkan untuk menghasilkan suara yang jernih dan bebas dari kebisingan. Beberapa kali Retno gagal merekam secara khidmat. Puncaknya, ia frustrasi karena digagalkan oleh azan yang dikumandangkan ayahnya. Suatu saat ia memprotes ayahnya tentang bagaimana jika azan tidak memakai pengeras suara. Namun, hal itu tidak mungkin. Lalu, muncullah ide untuk menggabungkan nanyian lagu “Ave Maria” dengan tilawah Alquran.
Sebagaimana diketahui, film tentang pasangan beda agama bukanlah hal yang baru di perfilman Indonesia. Kebanyakan dari film-film tentang pasangan beda agama tersebut menawarkan ending yang separatis, memisahkan pasangannya dan membiarkan mereka menggapai masa depan menurut agamanya. Hal ini lain di film Senyawa. Film ini bertutur tentang suami-istri yang berbeda agama. Keduanya hidup rukun, bahkan taat sesuai kepercayaan masing-masing. Hal ini bukanlah hal baru bagi dunia keseharian orang-orang di Indonesia karena pernikahan beda agama lumayan banyak terjadi di Indonesia. Namun, hal yang menarik justru karena film ini menawarkan hal yang lain bagi ending kebanyakan film-film tentang perbedaan agama. Film ini justru menggabungkan perbedaan tersebut menjadi senyawa. Hati saya bergetar mendengar kesenyawaan itu. Sebuah potret yang harus kita renungi di antara konflik-konflik antaragama yang terus mengepung kita.
Lembusura (2014)
Film Lembusura bercerita tentang sekelompok anak muda berusaha menggali mitos Lembusura di tengah hujan abu yang melanda tanah Jawa. Mereka mendandani salah seorang teman mereka yang gemuk menjadi mirip makhluk itu. Ia disuruh berakting menjadi Lembusura, sedangkan teman-teman yang lainnya merekamnya. Tak ayal, seseorang yang memerankan Lembusura tersebut kerap menjadi bahan tertawaan teman-temannya.
Ini merupakan film yang murni komedi. Film ini juga hanya untuk ‘main-main’ saja. Film ini disengaja untuk menghibur penonton. Hal tersebut, antara lain, ditandai dengan ditampilkannya suara sutradara dan penampilan para kru dalam membuat film. Bagi saya, tidak ada hal yang menarik dalam film ini, kecuali potret hujan abu yang melanda Jogja yang juga saya alami. Terlebih di ending yang menggabungkan gambar sosok Lembusura yang besar dan raksasa dengan kondisi hujan abu terkesan lumayan mengerikan.
Lemantun (2014)
Film Lemantun bercerita tentang seorang ibu, yang berniat mewariskan 5 lemari di rumahnya kepada 5 anaknya yang sudah dewasa. Empat dari lima anak tersebut sudah mempunyai rumah sendiri. Satu orang bernama Tri masih tinggal di rumah ibunya. Sang ibu mengundi 5 lemari tersebut. Masing-masing anak mendapat 1 lemari sesuai nomor undian. Akan tetapi masalah muncul ketika sang Ibu menginginkan lima lemari itu segera keluar dari rumahnya sore itu juga. Jika tidak mereka akan kena denda. Semua anak, kecuali Tri, pun mengangkut lemari-lemari itu. Bahkan, bukannya mengurus lemarinya sendiri, Tri malah ikut membantu pengangkutan lemari saudara-saudaranya ke angkutan. Dan akhirnya, tinggal Tri yang mesti memikirkan bagaimana caranya agar lemari itu keluar dari rumah sang Ibu, sedangkan ia belum mempunyai rumah sendiri.
Film ini lumayan membuat saya merasa getir. Di satu sisi, saya melihat niat baik seorang ibu kepada anak-anaknya. Di sisi lain, saya melihat ketidakbergunaaan lemari bagi anak-anaknya. Kebanyakan anak-anaknya sudah bergelar sarjana, atau sudah bisa dibilang sukses. Namun, mereka menanggapi dan menerima lemari-lemari itu bagaikan melihat harta karun, tentunya di depan ibu dan saudara-saudaranya. Masalah Tri muncul lantaran ia harus membawa keluar lemarinya. Sebelumnya saya menebak ending-nya bakal seperti ini, Tri bilang kepada empat saudaranya bahwa ia akan membiarkan lemarinya di rumah karena ia getol akan membiayai hidup ibunya yang seorang janda. Namun, ending bertutur lain, tetap bisa saya terima dan lumayan mengharukan.
The Floating Chopin (2015)
Film The Floating Chopin bercerita tentang sepasang muda-mudi yang berlibur ke pantai di Gunungkidul yang mencoba menafsirkan tentang sosok Frederic Chopin. Sang pemuda terobsesi pada lagu berbahasa Bali. Sang Pemuda ingin membuat seolah-olah Chopin mati di Bali. Ia mendandani dirinya mirip Chopin dan berniat menyeberang ke pulau kecil pinggir pantai menggunakan tali. Tetapi di tengah perjalanan ke pulau kecil, mendadak tali macet, sehingga ia terjebak di tali yang membentang di atas laut tersebut. Dari kejauhan, ia terlihat mengambang, seperti mengapung (floating) di atas air laut.
Melalui film ini, saya menjadi tahu siapa Frederic Chopin dan makam-makam orang terkenal di Perancis. Awalnya, saya mengira film ini bakalan melankolis karena di awal digambarkan pasangan yang berniat ke pantai yang sepi. Namun, ternyata dalam ‘kencan’ itu, sang Pemuda menceritakan Frederic Chopin, menyanyikan lagu tentang Frederic Chopin, lalu diakhiri oleh obsesi sang Pemuda untuk membuat Frederic Chopin seolah-oleh mati di Pantai Bali. Suatu penggambaran obsesi yang lumayan kukuh untuk ukuran orang Indonesia.
Prenjak (2016)
Film Prenjak (In the Year of Monkey) bercerita tentang Diah (Rosa Winenggar) yang sedang membutuhkan uang dalam waktu cepat. Ia mengajak Jarwo (Yohanes Budyambara), rekan kerjanya untuk berbicara di gudang belakang. Di situ, Diah meminta Jarwo untuk membeli korek api miliknya dengan harga Rp10.000,- per batang. Satu batang korek api seharga Rp10.000,- tentu mahal. Namun, Diah menawarkan ‘yang lain’ dari sebatang korek api itu. Jarwo bisa melihat kemaluan Diah dengan menyalakan korek api tersebut. Pertama-tama, Jarwo membeli sebatang, lalu tiga, sehingga Diah mengantongi Rp40.000,-. Jumlah uang tersebut ternyata belum cukup karena Diah membutuhkan Rp100.000,-. Muncul keinginan Jarwo untuk berbuat hal yang sama seperti Diah. Namun, Diah menolaknya. Diah akhirnya mau melihat kemaluan Jarwo karena dibayar Rp60.000,- oleh Jarwo. Dengan demikian, Diah sudah mengantongi Rp100.000,-.
Ceritanya lumayan sederhana, tetapi konsep yang ditawarkan sutradara lumayan berani. Satu hal yang patut diacungi jempol dalam film ini adalah film ini berani menampilkan alat vital manusia secara close-up. Hal itu sangat berani karena untuk ukuran film Indonesia, hal tersebut sangatlah kurang berterima dan jika masuk lembaga sensor, pasti akan dipotong. Pemutaran secara gerilya di gedung-gedung bukan bioskop merupakan hal yang menjadi nyawa film-film seperti ini untuk menemukan penontonnya. Sebelumnya, melalui sebuah mata kuliah di Fakultas Ilmu Budaya, saya mengetahui bahwa di Pasar Kembang, Yogyakarta, ada yang menjual korek api untuk dipakai melihat kemaluan seseorang dalam gelap. Realitas tersebut diangkat lumayan apik oleh Wregas melalui film pendek yang sangat memukau saya. Sepanjang film, penonton tertawa, diselingi jantung yang berdegup kencang lantaran begitu korek api dinyalakan, mereka dapat melihat apa yang tokoh dalam film itu lihat. Kebanyakan adegan ditujukan untuk tertawa. Setelah itu, penonton disentak oleh ending yang lumayan membuat getir. Wajah memelas Diah di awal film terjawab di ending film. Setelah film selesa, saya bertepuk tangan panjang dan berkata dalam hati, Pantesan film ini menang. Film ini bakal dikenang khalayak Indonesia (dan Asia) untuk waktu yang sangat panjang ke depan.
Tahun ini merupakan tahunnya Wregas Bhanuteja. Ia berhasil menang di Festival de Cannes 2016, berhasil menyiarkan film-filmnya ke penonton, dan membludaknya penonton yang ditandai dengan antrean yang panjang dan antusiasme penonton yang rela antre berjam-jam dan rela menonton di lesehan karena kehabisan kursi, saya rasa memang ia dan filmnya sedang diakui khalayak sebagai sutradara yang patut diperhitungkan.
Catatan: Saya harus berterima kasih sebesar-besarnya kepada Donnie Trisfian yang rela mengantre berjam-jam dan mau saya titipi tiket. Saya juga harus meminta maaf kepada Risda Nur Widia dan Rio Johan yang saya khianati karena awalnya saya ingin nonton dan beli tiket bareng mereka.


