Lastri Melahirkan Anak Dewa
Cerpen Achmad Muchtar; Ilustrasi oleh Rian Gusman Widagdo.
MEREKA bertanya-tanya, siapakah ayah dari bayi bermata indah itu. Semua orang pasti akan senang melihatnya. Bayi itu lahir sekitar satu jam yang lalu, tetapi telah menarik perhatian seluruh warga kampung. Hampir semua warga kampung menjenguk Lastri yang baru saja melahirkan bayi dengan sepasang mata yang indah.
***
Lastri memang mengandung bayi yang belum diketahui siapa ayahnya. Semua warga kampung menamainya sebagai wanita tuna susila, tetapi Lastri membantahnya. Lastri masih berusia 17 tahun, tetapi ia hamil di luar nikah. Tak diketahui jelas siapa yang menghamilinya. Warga kampung sempat berspekulasi bahwa salah satu warganyalah yang menghamili Lastri, tetapi Lastri bersikukuh bahwa bukan warga kampunglah yang menghamilinya, melainkan dewa. Warga geger, ada yang tertawa terbahak-bahak karena menganggap itu lelucon, ada juga yang kalang kabut karena menganggapnya serius.
Ketika Lastri terlihat akan melahirkan bayinya pun, semua warga kampung heboh sendiri. Mereka saling memberi kabar tentang berita kelahiran anak Lastri. Mereka ada di titik ragu antara percaya dan tidak percaya dengan pernyataan Lastri. Mereka semua penasaran dengan wajah sang bayi kelak. Jika wajah bayi itu mirip dengan salah seorang lelaki di kampungnya itu, maka dialah yang menghamili Lastri dan harus bertanggung jawab sepenuhnya.
Kabar mengenai kelahiran bayi Lastri pun memang benar adanya. Maka, semua warga pun saling memberi kabar. Dimulai dari keluarga dan tetangga Lastri yang mengantarkan Lastri ke dukun beranak, orang-orang yang berpapasan dengan mereka pun tahu bahwa Lastri akan melahirkan. Lalu, orang-orang itu memberi tahu orang-orang di sekitarnya. Ibu-ibu yang sedang berkumpul bergunjing ria membicarakan Lastri. Anak-anak yang ikut ibu-ibu itu ikut-ikutan mengatakan bahwa Lastri melahirkan sambil bermain perang-perangan maupun boneka. Para suami dan warga yang sedang bekerja di luar kampung pun dikabari lewat pesan singkat dan telepon. Para pemuda dan pemudi pengangguran yang sedang asyik bersenda gurau pun mendengarnya lewat pengumuman yang disiarkan Pak RT dengan mikrofon masjid. Para pelajar yang tengah sekolah pun mengetahuinya lewat media sosial. Semua warga kampung itu sudah mengetahui kalau Lastri melahirkan.
Mereka yang berada di luar kampung pun berusaha untuk pulang secepatnya. Mereka ingin mengetahui dengan pasti siapa ayah dari bayi Lastri. Mereka yang bekerja pun meminta izin untuk pulang. Mereka yang sedang sekolah dan kuliah pun ada yang meminta izin pulang dengan alasan kepentingan keluarga dan ada yang membolos karena birokrasi yang lama dan menyusahkan. Lalu, semuanya telah berkumpul di depan rumah dukun beranak itu. Tangisan bayi pun memperjelas berita bahwa Lastri benar-benar telah melahirkan bayinya.
Mereka ribut dan saling berdesakan ingin mengetahui wajah sang bayi. Ibu-ibu banyak yang saling menghujat. Mereka saling memfitnah dan membela para suami mereka. Mereka meributkan siapa yang telah mencumbui Lastri hingga anaknya kini lahir. Karena ribut dan banyak yang saling dorong, akhirnya Pak RT turun tangan. Mereka berbaris berbanjar menghadap ke depan rumah dukun beranak dipimpin oleh Pak RT. Lalu setelah rapi, Pak RT memanggil dukun beranak itu untuk menunjukkan bayi itu. Maka dukun beranak itu pun keluar rumah dengan suara tangis bayi dan derap kakinya yang membuat warga menggebu-gebu sambil melongo ke satu arah, pintu rumah.
Pintu pun terbuka. Tampak dukun beranak itu menggendong bayi yang sedang menangis. Bayi itu berselimutkan kain batik dan suara tangisnya semakin kencang tatkala para warga tiba-tiba ribut ingin maju. Pak RT pun sekali lagi turun tangan dengan mengatur warga yang keluar dari barisan tadi. Setelah semua bisa diatur, Pak RT meminta dukun beranak itu untuk menunjukkan wajah sang bayi. Semua tegang. Semua berpikir, siapa lelaki di antaranya kini yang mirip dengan wajah sang bayi itu. Mereka harap-harap cemas. Ada yang menebak-nebak pelakunya, ada yang berdoa supaya bukan suaminya yang mirip, ada yang berdoa supaya wajah sang bayi itu mirip binatang, ada juga yang berdoa supaya bayi itu mirip dengan Lastri saja.
Semua ternganga. Kemudian ada yang mengucap pujian, ada juga yang mengucapkan serapah. Semua mata masih tertuju pada wajah bayi itu. Tidak ada warga kampung yang wajahnya mirip dengan wajah bayi itu. Bayi itu begitu rupawan dengan sepasang mata yang indah. Mereka perlahan meninggalkan barisan menuju bayi itu karena tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Mereka langsung jatuh cinta pada bayi itu dan ingin menyentuh wajahnya yang rupawan. Maka Pak RT pun memerintahkan semua warga untuk membentuk satu baris untuk antre.
Satu per satu warga pun menemui bayi itu. Mereka kagum. Betapa eloknya bayi itu. Lastri pun keluar untuk menemui anaknya. Dengan tergapah-gopoh, ia mendekati bayinya dan menggendongnya.
“Bapak-bapak, ibu-ibu, dan semuanya yang ada di sini, ini anakku, laki-laki dengan mata yang indah dan tak mungkin ada di antara para suami ibu-ibu di sini yang bermata indah seperti bayiku ini. Aku sudah bilang bahwa ayah dari anakku ini bukanlah warga sini, melainkan dewa,” ujar Lastri.
Maka warga kampung yang percaya pun mengiyakan bahwa memang ada dewa yang turun dari langit untuk menitipkan benih padanya dan yang tidak percaya pun mengumpat dan mengolok-oloknya sebagai wanita tuna susila yang senang menjajakan diri di kota.
“Hei, Lastri, jika memang anakmu itu anak dewa, buktikan pada kami semua bahwa itu anak dewa.”
“Anakku ini memang anak dewa, tunggulah sampai dewa datang,” sanggah Lastri diikuti komentar-komentar miring para warga.
“Halah, kami tak percaya dengan ucapanmu. Kamu hanya berhalusinasi,” seloroh salah seorang ibu-ibu, “dasar pelacur!” tambahnya.
“Hei, aku bukan pelacur! Jaga omongan Ibu!” Lastri sangat sensitif jika dikatakan sebagai pelacur. Ia menganggap bahwa pelacur adalah serendah-rendahnya derajat wanita.
“Emang pelacur, kan?” timpal salah seorang ibu-ibu, “ngaku aja kamu mangkal di mana, pasti ayah dari bayi itu dari sana.”
“Ibu emang keterlaluan,” teriak Lastri, “aku bukan pelacur, aku mengandung benih dewa dengan cinta. Aku bukan pelacur!” Lastri kali ini meraung-raung. Bayi yang ia gendong pun tiba-tiba menangis sejadi-jadinya.
Tiba-tiba petir menyambar, angin ribut, dan mendung menutupi mega yang sebelumnya cerah. Tidak ada matahari dan langit pun tak tampak. Hanya ada gumpalan awan hitam di angkasa.
“Dengar, Ibu-ibu, dewaku akan segera datang. Lihat dengan mata kepalamu sendiri apa aku berhalusinasi,” teriak Lastri. “Wahai Dewa, datanglah! Manusia-manusia ini tidak percaya akan keberadaanmu. Datanglah! Temui anakmu!” lanjutnya.
Semua warga pun heboh. Mereka ngeri melihat langit yang tiba-tiba gelap gulita. Mereka menutupi dada mereka karena angin yang dingin berembus cepat. Anak-anak pun digiring untuk masuk rumah oleh bapak-bapak. Anak-anak semuanya menuruti perintah bapaknya. Lalu, para pemuda dan pemudi berhamburan menuju teras rumah dukun beranak itu. Yang bertahan di barisan depan rumah hanya ibu-ibu dan sebagian bapak-bapak. Mereka ingin meyakinkan pada diri mereka sendiri bahwa kata-kata Lastri hanya omong kosong. Mereka yang tak percaya tahayul pun menganggap fenomena alam yang terjadi baru saja merupakan gejala alam biasa. Mereka yang percaya semua perkataan Lastri, terutama nenek-nenek, mengucapkan mantra-mantra yang turun-temurun dari nenek moyang mereka.
Mereka berkumpul di halaman menjadi satu gerombol, lalu membelakangi rumah dukun beranak. Mereka menatap jauh ke mega-mega mendung yang berwarna hitam pekat. Tampak ada seberkas cahaya yang menerobos gumpalan awan hitam itu. Semuanya ternganga. Lalu, seberkas sinar itu memancarkan sinar lurus ke arah Lastri.
“Hai, dewaku, jemputlah aku,” teriak Lastri. Tiba-tiba suara langkah kaki kuda mendekati kerumunan ibu-ibu. Sesosok makhluk berkuda muncul dari seberkas cahaya. Makhluk berjubah putih lengkap dengan penutup kepala itu membelah gerombolan ibu-ibu menjadi dua kelompok lalu menghampiri Lastri.
Semua mata warga yang masih bertahan tertuju ke arah makhluk berjubah putih itu. Makhluk berjubah putih itu menghentikan laju kudanya di hadapan Lastri. Lalu ia turun. Para warga yang percaya tahayul pun bersujud ke arah makhluk berjubah itu, diikuti warga yang lain. Para pemuda dan pemudi yang tadi berada di teras pun bergabung. Dukun beranak itu pun juga ikut menyembah makhluk berjubah putih itu.
Lalu, Lastri pun dituntun naik kuda itu. Itu bukanlah kuda biasa karena terdapat sepasang sayap di kiri-kanan tubuhnya. Juga tanduk warna emas di ujung jidatnya. Dewa itu menyingkapkan kain putihnya. Maka tampaklah sesosok pemuda yang gagah dan rupawan seperti Arjuna memakai gaun seperti Gatotkaca. Ia lalu menunggang kuda itu di belakang Lastri. Mereka yang menyembah perlahan mulai melirik ke atas. Mereka melihat pancaran indah dari mata dewa itu. Lalu, tiba-tiba kuda itu melesat ke angkasa. Meninggalkan segala kebodohan manusia di Bumi.
Perpustakaan UGM, 21 Januari 2014


