Di Antara Sembunyi dan Mencari. Laporan Pandangan Mata dari Pameran Arsip dan Ilustrasi : Petak Umpet Sastra Anak
Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh, enam, lima, empat, tiga, dua, satu. Sepertihitungan mundur di permainan petak umpet yang perlahan namun pasti, pengunjungjuga kurator bermain dan menemukan apa-apa yang tersembunyi dari lanskap sastraanak melalui pameran Petak Umpet Sastra Anak yang diselenggarakan tanggal 7hingga 16 November 2025 di Bentara Budaya Jogjakarta.
Sepuluh : Mulai Bermain ke Bentara Budaya Jogjakarta Jogjakarta kerap dipayungi hujan ketika pameran Arsip dan Ilustrasi : PetakUmpet Sastra Anak diselenggarakan November 2025. Namun nuansa hangat menyambutketika pengunjung masuk ke ruangan. Selain pameran, penyelenggara jugamenyajikan berbagai acara diskusi dan lokakarya yang dilaksanakan sederhananamun membawa bahasan-bahasan penting.
Diskusi di sela pameran Dokumentasi : Ricky Y. Nasution
Bentara Budaya Jogjakarta Dokumentasi : Elfira Prabandari
Begitu sampai dilokasi, pintu terbuka Gedung Bentara Budaya menyambut pengunjung dengan lampukuning yang hangat dan buku-buku di meja yang terlihat dari luar pintu. Ketika melangkah masuk, pengunjung bisa melihat ruang pamer yang memang tak begituluas, namun ada penataan model U yang seakan memeluk pengunjung begitu tiba. Kita akanlangsung tahu di mana penjelajahan akan dimulai, dan di mana akan selesai. Bagisaya yang selalu perlu menyiapkan ritme menikmati pameran, ini terasa sangatmembantu untuk mengukur seberapa lama saya bisa memberi perhatian pada satu persatu bagian. Bagi anak-anak, rasanya pameran ini terasa cukup informatif tanpaperlu terlalu lama menjelajah.
Pengunjung juga disambut oleh human stand sosoklaki-laki tambun berkaus merah, Sersan Grung-Grung, tokoh utama di karya fiksidari seorang tokoh yang menjadi pembahasan utama di pameran ini, DwiantoSetyawan. Selain itu juga ada meja pendek yang memamerkan berbagai buku anakyang bisa dibaca bebas oleh pengunjung. Di atas meja persis, tergantung selembarkain bertuliskan pesan dari para kurator untuk pengunjung tentang tema PetakUmpet Sastra Anak.
Pojok baca dan human stand Sersan Grung-Grung Dokumentasi : Nabila Budayana
Pengunjung bisa menjelajah dimulai dari dinding sebelah kiri, memutari ruangan,hingga berakhir di sebelah paling kanan ruangan. Kita disuguhkan instalasiberbagai gambar sampul dan arsip dari tahun ke tahun yang menggambarkan situasisastra anak Indonesia. Di tengah ruangan, beberapa lemari kaca menampilkanbeberapa buku, arsip, dan komik lawas untuk ditengok pengunjung. Televisi ditepi ruang juga menampilkan hasil wawancara dari beberapa pihak yang terhubung dengankarya maupun kehidupan personal seorang Dwianto Setyawan.
Dokumentasi : Nabila Budayana
Dokumentasi : Nabila Budayana
Sembilan : Mengenal Sosok Dwianto Setyawan
Dwianto Setyawan menjadi penting dalam pameran ini. Siapa beliau? DwiantoSetyawan merupakan seorang penulis buku anak, pemerhati, aktivis, dan kritikussastra anak yang lahir di Batu, Malang 12 Agustus 1949. Dwianto yang merupakankakak dari sastrawan Sindhunata ini berpulang di Juni 2024 pada usia 75 tahun.
Dokumentasi : Nabila Budayana Mengapa Dwianto penting untuk diangkat sebagaisosok utama di pameran ini? Pertanyaan ini pasti hinggap di kepala pengunjung.Selama ini nama Dwianto Setyawan tak begitu banyak dikenal oleh generasi 90an kebawah, namun generasi sebelumnya cukup akrab dengan karya-karya Dwianto. Dwiantomenelurkan banyak karya cerita anak, bahkan hingga delapan puluh buku. Demimengenang dan mengenalkan karya-karya itu kembali, penerbit Kepustakaan PopulerGramedia (KPG) menerbitkan ulang beberapa di antaranya dengan sampul baru,seperti seri Sersan Grung-Grung. Dwianto juga menulis banyak esai terkait sastraanak sejak 1980an. Karya-karya esainya dikumpulkan dan diterbitkan oleh KPGdengan judul Melangkah ke Sastra Anak di November 2025.
Dokumentasi : Nabila Budayana
Penghargaan juga pernah diraih beliau. KaryaDwianto yang berjudul Tanah Sang Raksasa meraih penghargaan Adikarya IKAPI tahun2000. Walikota Malang juga memberikan tanda hormat pada beliau atas kiprahnyasebagai penulis sastra anak era 1980-2000. Dwianto Setyawan memiliki dedikasipada dunia sastra anak yang perlu dimunculkan ke permukaan, sehingga kiranya halitulah yang membuat kurator mengangkatnya ke dalam bentuk pameran.
Meski begitu,pameran ini bukan melulu tentang Dwianto. Menariknya, sosok Dwianto diaturmenjadi jalan pembuka pembahasan menuju berbagai situasi dan karya sastra anakIndonesia. Hal ini yang menjadikan pameran Petak Umpet Sastra Anak menjadi ramahuntuk pengunjung, karena ia mengapresiasi kiprah seorang tokoh tanpa melupakanadanya ekosistem dan peristiwa sastra anak lain yang juga penting untukdiketahui.
Latar belakang pendidikan terakhir Dwianto adalah SMA. Meski begituia terkenal pintar di antara saudara-saudaranya yang lain. Sejak kecil DwiantoSetyawan menyukai dongeng, dan bertumbuh dengan tiga orang saudara yang jugabergiat di dunia kepenulisan. Kiprah Dwianto tidak berhenti hanya sampai menjadipenulis novel anak, namun beliau juga mendirikan penerbit DS Group yang banyakmenelurkan komik lokal dengan menggandeng seniman-seniman muda. Sayangnya,Dwianto sempat sibuk untuk menekuni dunia bisnis belakangan, sehingga waktuberkaryanya menjadi lebih sedikit dan mengakibatkan DS Group berhenti beroperasidi tahun 2012.
Delapan : Perjalanan Mencari, Mengumpulkan, Memilah, Mengatur, dan Menampilkan.
Enam bulan lamanya para kurator mengumpulkan data-data yang terasa “ngumpet”untuk pameran ini. Mereka mengumpulkan data, mewawancara, menelusur kearsip-arsip lama, hingga mengunjungi langsung lokasi-lokasi yang bisa membawamereka ke jejak Dwianto Setyawan. Kurator bahkan menelusur hingga ke kota Batu,kota tempat kelahiran Dwianto untuk mencari jejak-jejak karyanya. Pameran PetakUmpet Sastra Anak dikuratori oleh Setyaningsih, Nai Rinaket, dan Hanputro.Setyaningsih merupakan seorang esais dan kritikus sastra anak, juga menjadikurator di Seri Klasik Semasa Kecil terbitan KPG. Hanputro merupakan seorangesais yang banyak menerbitkan tulisan di media maupun buku. Sementara Nai Rinaket merupakan seorang penulis dan ilustrator yang menjadi desainer untuk SeriKlasik Masa Kecil terbitan KPG.
Setyaningsih, Hanputro, Nai Rinaket Dokumentasi : Elfira Prabandari
Kuratorbekerja detail dan teliti untuk pameran ini. Mereka mengurasi semua arsip, karyatulis, bahkan hingga ilustrasi yang diperdebatkan panjang di antara merekasendiri. Konsep pengelompokkan karya yang diambil berdasar lini waktu jugadikerjakan serius dengan mempertimbangkan arsip dan kejadian penting dalamsejarah sastra anak. Mereka mengatakan, pertimbangan layout visual jugaberdampak pada jumlah karya yang ditampilkan. Jika kelak pameran ini akandiboyong ke lokasi lain, kemungkinan jumlah arsip yang akan ditampilkan jugabisa bertambah, menurut mereka.
Bagi saya, kerja-kerja mereka untuk sebuahpameran luar biasa. Di waktu yang sempit dan ladang yang masih tersembunyi,mereka bisa menggali, menemukan potongan-potongan data yang berserakan, danmenjahitnya dengan konsep sederhana untuk pengunjung.
Mengasuh pameran ini sejakembrio, ketiga kurator juga memandu langsung tur pengunjung untuk menikmatipameran dengan penjelasan komplit terkait instalasi pameran.
Nai Rinaket memandu tur pameran Dokumentasi : Nabila Budayana
Hanputro memandu tur pameran Dokumentasi : Setyaningsih
Setyaningsih memandu tur untuk pengunjung Dokumentasi : Aryani Wahyu, BentaraBudaya Jogjakarta
Tujuh : Mengingat Inpres dan Perbincangan Tentangnya
Di tahun 1973-1984 pemerintah negara Indonesia mengadakan sebuah program di manaratusan juta buku anak diberikan pada Sekolah Dasar di Indonesia. Karya-karyaitu banyak dimanfaatkan pemerintah untuk menjadi alat propaganda nilai-nilaiyang ingin ditanamkan pada siswa SD. Kita mengenalnya sebagai proyek Inpres.Sistemnya, buku-buku diterbitkan oleh penerbit, kemudian pemerintah membelinyadan menyebarkannya.
Menurut Hanputro, sejarah bermula di tahun 1974 di mana AjipRosidi, seorang sastrawan dan akademisi yang mengelola Pustaka Jaya, berhasilmendorong rekannya yang bekerja sebagai staf pemerintah Kementrian Pendidikanuntuk menyelenggarakan proyek Inpres. Ide Inpres sastra anak untuk pengadaanbuku perpustakaan sekolah terjadi karena negara sedang mendapat banyak pemasukandari hasil pengelolaan tambang minyak. Inpres memberikan dampak ekonomi padapenerbit dan penulis di masa itu. Dwianto menyebut dalam salah satu esainya,bahwa proyek Inpres menjanjikan sebagai sumber penghasilan penulis. Satu karyadari penulis terbeli, penulis akan mendapat modal hidup rata-rata Rp250.000 perbulan selama setahun penuh di masa itu. Sementara jumlah judul buku per tahunyang dibeli untuk proyek Inpres bisa mencapai tiga puluh dua juta ekslemplar.
Didinding Pameran Petak Umpet Sastra Anak, pengunjung bisa melihat berbagaisampul buku karya penulis-penulis Inpres yang diilustrasikan oleh seniman dimasa itu. Penulis dengan nama-nama besar seperti Rosihan Anwar, ArswendoAtmowiloto, Dwianto Setyawan, Remy Silado, hingga Bung Smas bisa disaksikan disampul-sampul buku yang berjajar. Bukan hanya sampul buku, bahkan juga adaperangko-perangko yang menunjukkan upaya pemerintah mengajak pada kegiatanmembaca buku, hingga data dan artikel tentang proyek Inpres ini.
Dokumentasi : Nabila Budayana
Kurator memilih memberikan ruang khusus untukInpres karena dinilai perlu untuk diperbincangkan sebagai sebuah fenomena sejarah dalamsastra anak Indonesia, dan banyak pengunjung yang memiliki keterhubungan denganfenomena itu. Rasanya hal itu sukses dilakukan, karena saya sebagai pengunjungakhirnya mengetahui seluk beluk proyek Inpres yang selama ini hanya terdengarsekilas dari perbincangan sana-sini.
Enam : Mengintip Fenomena Maraknya Sastra Anak Terjemahan
Sempat di suatu periode 1980-an, ditandai dengan Pekan Buku Anak tahun 1984,lanskap sastra anak Indonesia berlimpah dengan sastra anak terjemahan, sepertikarya-karya Enid Blyton. Karya-karya itu menjadi perhatian dan banyak dinikmatipembaca di masanya. Meski akibatnya, karya lokal juga tergeser dari perhatianpembaca. Untungnya, Dwianto, Arswendo, Djokolelono, dan Bung Smas terus berkaryadan “melawan” dengan sastra lokal. Saat itu, penerbit dan media cenderungmengenalkan sastra terjemahan daripada lokal karena proses penerbitan yang bisalebih mudah dan murah.
Menurut Bondan Winarno, penulis Indonesia justru bisabelajar dari karya terjemahan untuk memperbaiki mutu karangannya. Ini sejalandengan pendapat Dina Dyah Kusumayanti, seorang akademisi Universitas Jember yangmeneliti tentang sastra anak terjemahan menyatakan bahwa karya sastra anakterjemahan memberi kontribusi pada tumbuh kembang relasi kultural antar bangsadan memberi pengetahuan tambahan mengenai karakteristik sifat-sifat unik paratokoh, seting, dan budaya dari negara lain. Oleh karena itu mengenal keberadaan,peran, dan posisi sastra anak terjemahan di sebuah negara adalah penting.
Menariknya, di bagian sastra anak terjemahan, Pameran Petak Umpet menampilkansampul-sampul buku lawas Winnetou karya Karl May cetakan 1983, Pippi Si KausPanjang terbitan 1991, hingga salah satu seri Lima Sekawan yang dicetak tahun1982. Kurator juga mengeluarkan arsip tentang ramainya iklan Klub Seri IlmuwanEdan tahun 1992 dan seri Goosebumps tahun 1995. Karya-karya terjemahan yangmenjadi bagian masa kecil kita ternyata begitu ramai di dunia perbukuan saatitu. Selama ini saya yang hanya membaca dan menikmati, menjadi tercerahkan tentang bagaimana karya-karya terjemahan itu menguasai ruang baca kita.
Dokumentasi : Nabila Budayana
Lima : Melompat ke Pergerakan Komik DS Group
Dwianto Setyawan bukan hanya menaruh perhatian pada novel anak, namun ia jugaingin memberi ruang pada komik sebagai bentuk keinginannya menampilkan ceritanuansa lokal dengan visual. Ia mengajak komikus-komikus muda untuk berkarya danmenaungi mereka melalui penerbit DS Group. Konon, Dwianto juga berpesan padaseniman-seniman muda itu untuk berlatih menulis, mengingat untuk menghasilkankomik juga membutuhkan kemampuan membuat cerita. Hanputro mengatakan, DS Groupdikenang bukan hanya karena Dwianto sebagai sosok di baliknya, namun juga karenaDS Group banyak mewakili komikus dan kreator yang sebagian besar tidak memilikipendidikan seni. Beberapa karya terbitan DS Group menghiasi tabloid Hoplaa. Jikamelihat sekilas sampul-sampul komik yang diterbitkan DS Group, kita mungkin akanmengiranya sebagai komik Jepang atau Amerika karena miripnya style gambar.Majalah Dulken yang terkenal pun ternyata hasil karya DS Group.
Dokumentasi : Nabila Budayana
Menariknya di bagian ini, pengunjung bisa melihatfoto Dwianto bersama Jaya Suprana dan Takeshi Maekawa. Maekawa tersohor dengankarya komik Kungfu Boy. Darinya terlihat bahwa Dwianto juga memiliki jaringanpertemanan yang luas. Tim DS Group terlihat produktif dengan foto-foto senimandi rumah yang menjadi markas DS Group, bahkan foto ketika anggota DS Grouptamasya ke Jerman. Setyaningsih yang menelusur langsung ke Batu untuk menemukanjejak-jejak karya Dwianto memandu langsung sesi ini.
Dokumentasi : Nabila Budayana
Empat : Mengamati Perayaan Ilustrasi
Pameran ini bukan hanya menampilkan arsip dan sampul buku, namun jugawarna-warni ilustrasi buku anak yang dipilih oleh kurator dari kiriman ilustrasiyang masuk. Dua puluh empat ilustrasi dari dua puluh satu ilustratorditampilkan. Terlihat dari berbagai karya yang dipajang, kurator ingin sebisamungkin menampilkan luasnya style gambar yang selama ini menjadi bagian pentingdari cerita-cerita anak yang kita nikmati. Karya-karya ini merupakan ilustrasidari buku-buku middle grade yang terbit di rentang waktu 1974-2000. Ilustrasidirayakan meriah, sama pentingnya dengan teks. Nai Rinaket mengutip perkataanSapardi Djoko Damono yang mengatakan hal serupa.
Seandainya di bagian ataspajangan karya ilustrasi juga diberikan teks penanda seperti bagian-bagian lain,bagian ini akan lebih terasa lengkap dan informatif.
Dokumentasi : Nabila Budayana
Sembari memandu tur pameran, Nai berkata, baiknyailustrator membaca dulu cerita yang akan diilustrasikan karena adaperistiwa-peristiwa kunci yang bisa mewakili jiwa si buku. Baginya,ilustrator memerlukan latihan terus menerus untuk berpikir, menulis, danmengilustrasi. Ia juga menyatakan bahwa ilustrator membutuhkan dukungan pemerintah untuk berkembang.
Tiga : Mengapresiasi Karya Penghargaan Sastra
Terus mengelilingi pameran akan membawa kita ke sebuah bagian di manasampul-sampul buku anak peraih penghargaan ditampilkan. Pengunjung bisa melihatsampul-sampul yang familiar, seperti Ayahku Seorang Nelayan karya Zunda yangmeraih apresiasi dari Bratislava dan Jerman, Gleger yang ditulis Djokolelono danNai Rinaket yang diapresiasi di tingkat Asia, hingga karya-karya lain peraihpenghargaan Dewan Kesenian Jakarta, IKAPI, hingga Scarlet Pen Awards. KaryaDwianto Setyawan yang berjudul Tanah Sang Raksasa juga ditampilkan. Karya itumeraih penghargaan Adikarya IKAPI tahun 2000.
Dokumentasi : Nabila Budayana
Sebagai kurator, Nai berkata dalam penghargaansastra penting untuk adanya transparansi siapa juri dan adanya catatanpertanggungjawaban dari sebuah penghargaan. Selain itu, penghargaan sastradidapatkan sebagai kerjasama antara banyak pihak dan perlu ruang untukmengapresiasi kerja-kerja tersebut.
Dua : Menengok Karya-karya yang Lahir Kembali
Sebuah buku klasik diperbincangkan terus menerus juga karena diterbitkan ulangmelalui berbagai masa. Kurator ingin menunjukkan bahwa karya-karya klasik lokalpun diharapkan bisa diapresiasi dan disayangi sama besarnya dengan karya-karyasastra klasik mancanegara. Ini seakan menyentil saya sebagai pembaca yang tanpaberpikir panjang kerap lebih memilih karya klasik impor. Padahal, karya-karyaklasik lokal mestinya memiliki kedekatan akar budaya dan lebih mudah terhubungdengan pembaca Indonesia.
Di bagian ini, pameran Petak Umpet menyuguhkanberbagai sampul buku seri klasik yang diterbitkan kembali. Seperti SersanGrung-Grung karya Dwianto Setyawan, juga Pak Gangsir Juru Ramal Istana karyaDjokolelono, di mana keduanya diterbitkan ulang oleh penerbit KPG. Cerita SiPenidur karya Aman Datuk Madjoindo yang diterbitkan ulang oleh Balai Pustaka punterlihat. Karya Suyadi, Pedagang Peci Kecurian yang diterbitkan ulang oleh NouraPublishing tampak. Karya S Rukiah Kertapati, Soesilo Toer, Mochtar Lubis danSamsoedi juga muncul.
Dokumentasi : Nabila Budayana
Satu : Saatnya Menemukan Kembali Sastra Anak Indonesia
Karya-karya juga kiprah Dwianto Setyawan menggiring pembicaraan dan membukaruang tampil untuk karya-karya lain di pameran ini. Meski apresiasi besarditujukan pada sosok Dwianto Setyawan, namun ini bukan hanya tentang merayakanbeliau, tapi juga merayakan sastra anak Indonesia. Kurator jelas tak mungkinmenampilkan semua karya, namun mereka terlihat mengurasi dengan teliti, cermat,dan terbuka pada setiap masukan serta kritik. Kurator berharap pengunjung dapatterpantik untuk kembali membicarakan dan memberi perhatian pada sastra anak.Seperti yang mereka sampaikan pada kain besar di bagian depan pameran, “petakumpet” ini masih terus berlangsung karena masih banyak yang harus ditemukan daripeta sastra anak kita.
Hanputro sebagai salah satu kurator Dokumentasi : Elfira Prabandari
Selamat,sebagai pengunjung kita tiba di bagian akhir. Ternyata akhir tidak selalu samadengan menemukan semua kepingan dalam keseluruhan. Bisa jadi, justru darilangkah itu menambah berbagai pertanyaan dan rasa penasaran. Seperti anak-anakyang bermain petak umpet, kita jarang puas di satu kali putaran. Kita perlumerasakan pengalaman mengenal lebih baik buku-buku anak yang kita nikmati danapa yang terjadi di baliknya. Mungkin kita perlu lebih banyak bekerja bersama,membincangkan, dan saling merayakan. Pameran Petak Umpet Sastra Anak ini, bisajadi menandai bahwa ada permainan yang sudah diawali, dan terbuka untukdilanjutkan kembali.
Sumber :
e-katalog Petak Umpet Sastra Anakhttps://bentarabudaya.com/agenda/2312...
Artikel “MengenangJejak Dwianto Setyawan dalam Dunia Komik Anak”https://bandungbergerak.id/article/de...
Esai “Menulis sebagai Profesi Utama” oleh Dwianto Setyawan
Ringkasan Eksekutif“Peran Sastra Anak Terjemahan dalam Pengembangan Sastra Anak Indonesia : UpayaRevitalisasi Sastra Anak Indonesia” oleh Dina Dyah Kusumayanti
Sepuluh : Mulai Bermain ke Bentara Budaya Jogjakarta Jogjakarta kerap dipayungi hujan ketika pameran Arsip dan Ilustrasi : PetakUmpet Sastra Anak diselenggarakan November 2025. Namun nuansa hangat menyambutketika pengunjung masuk ke ruangan. Selain pameran, penyelenggara jugamenyajikan berbagai acara diskusi dan lokakarya yang dilaksanakan sederhananamun membawa bahasan-bahasan penting.
Diskusi di sela pameran Dokumentasi : Ricky Y. Nasution
Bentara Budaya Jogjakarta Dokumentasi : Elfira Prabandari Begitu sampai dilokasi, pintu terbuka Gedung Bentara Budaya menyambut pengunjung dengan lampukuning yang hangat dan buku-buku di meja yang terlihat dari luar pintu. Ketika melangkah masuk, pengunjung bisa melihat ruang pamer yang memang tak begituluas, namun ada penataan model U yang seakan memeluk pengunjung begitu tiba. Kita akanlangsung tahu di mana penjelajahan akan dimulai, dan di mana akan selesai. Bagisaya yang selalu perlu menyiapkan ritme menikmati pameran, ini terasa sangatmembantu untuk mengukur seberapa lama saya bisa memberi perhatian pada satu persatu bagian. Bagi anak-anak, rasanya pameran ini terasa cukup informatif tanpaperlu terlalu lama menjelajah.
Pengunjung juga disambut oleh human stand sosoklaki-laki tambun berkaus merah, Sersan Grung-Grung, tokoh utama di karya fiksidari seorang tokoh yang menjadi pembahasan utama di pameran ini, DwiantoSetyawan. Selain itu juga ada meja pendek yang memamerkan berbagai buku anakyang bisa dibaca bebas oleh pengunjung. Di atas meja persis, tergantung selembarkain bertuliskan pesan dari para kurator untuk pengunjung tentang tema PetakUmpet Sastra Anak.
Pojok baca dan human stand Sersan Grung-Grung Dokumentasi : Nabila Budayana Pengunjung bisa menjelajah dimulai dari dinding sebelah kiri, memutari ruangan,hingga berakhir di sebelah paling kanan ruangan. Kita disuguhkan instalasiberbagai gambar sampul dan arsip dari tahun ke tahun yang menggambarkan situasisastra anak Indonesia. Di tengah ruangan, beberapa lemari kaca menampilkanbeberapa buku, arsip, dan komik lawas untuk ditengok pengunjung. Televisi ditepi ruang juga menampilkan hasil wawancara dari beberapa pihak yang terhubung dengankarya maupun kehidupan personal seorang Dwianto Setyawan.
Dokumentasi : Nabila Budayana
Dokumentasi : Nabila Budayana Sembilan : Mengenal Sosok Dwianto Setyawan
Dwianto Setyawan menjadi penting dalam pameran ini. Siapa beliau? DwiantoSetyawan merupakan seorang penulis buku anak, pemerhati, aktivis, dan kritikussastra anak yang lahir di Batu, Malang 12 Agustus 1949. Dwianto yang merupakankakak dari sastrawan Sindhunata ini berpulang di Juni 2024 pada usia 75 tahun.
Dokumentasi : Nabila Budayana Mengapa Dwianto penting untuk diangkat sebagaisosok utama di pameran ini? Pertanyaan ini pasti hinggap di kepala pengunjung.Selama ini nama Dwianto Setyawan tak begitu banyak dikenal oleh generasi 90an kebawah, namun generasi sebelumnya cukup akrab dengan karya-karya Dwianto. Dwiantomenelurkan banyak karya cerita anak, bahkan hingga delapan puluh buku. Demimengenang dan mengenalkan karya-karya itu kembali, penerbit Kepustakaan PopulerGramedia (KPG) menerbitkan ulang beberapa di antaranya dengan sampul baru,seperti seri Sersan Grung-Grung. Dwianto juga menulis banyak esai terkait sastraanak sejak 1980an. Karya-karya esainya dikumpulkan dan diterbitkan oleh KPGdengan judul Melangkah ke Sastra Anak di November 2025.
Dokumentasi : Nabila Budayana Penghargaan juga pernah diraih beliau. KaryaDwianto yang berjudul Tanah Sang Raksasa meraih penghargaan Adikarya IKAPI tahun2000. Walikota Malang juga memberikan tanda hormat pada beliau atas kiprahnyasebagai penulis sastra anak era 1980-2000. Dwianto Setyawan memiliki dedikasipada dunia sastra anak yang perlu dimunculkan ke permukaan, sehingga kiranya halitulah yang membuat kurator mengangkatnya ke dalam bentuk pameran.
Meski begitu,pameran ini bukan melulu tentang Dwianto. Menariknya, sosok Dwianto diaturmenjadi jalan pembuka pembahasan menuju berbagai situasi dan karya sastra anakIndonesia. Hal ini yang menjadikan pameran Petak Umpet Sastra Anak menjadi ramahuntuk pengunjung, karena ia mengapresiasi kiprah seorang tokoh tanpa melupakanadanya ekosistem dan peristiwa sastra anak lain yang juga penting untukdiketahui.
Latar belakang pendidikan terakhir Dwianto adalah SMA. Meski begituia terkenal pintar di antara saudara-saudaranya yang lain. Sejak kecil DwiantoSetyawan menyukai dongeng, dan bertumbuh dengan tiga orang saudara yang jugabergiat di dunia kepenulisan. Kiprah Dwianto tidak berhenti hanya sampai menjadipenulis novel anak, namun beliau juga mendirikan penerbit DS Group yang banyakmenelurkan komik lokal dengan menggandeng seniman-seniman muda. Sayangnya,Dwianto sempat sibuk untuk menekuni dunia bisnis belakangan, sehingga waktuberkaryanya menjadi lebih sedikit dan mengakibatkan DS Group berhenti beroperasidi tahun 2012.
Delapan : Perjalanan Mencari, Mengumpulkan, Memilah, Mengatur, dan Menampilkan.
Enam bulan lamanya para kurator mengumpulkan data-data yang terasa “ngumpet”untuk pameran ini. Mereka mengumpulkan data, mewawancara, menelusur kearsip-arsip lama, hingga mengunjungi langsung lokasi-lokasi yang bisa membawamereka ke jejak Dwianto Setyawan. Kurator bahkan menelusur hingga ke kota Batu,kota tempat kelahiran Dwianto untuk mencari jejak-jejak karyanya. Pameran PetakUmpet Sastra Anak dikuratori oleh Setyaningsih, Nai Rinaket, dan Hanputro.Setyaningsih merupakan seorang esais dan kritikus sastra anak, juga menjadikurator di Seri Klasik Semasa Kecil terbitan KPG. Hanputro merupakan seorangesais yang banyak menerbitkan tulisan di media maupun buku. Sementara Nai Rinaket merupakan seorang penulis dan ilustrator yang menjadi desainer untuk SeriKlasik Masa Kecil terbitan KPG.
Setyaningsih, Hanputro, Nai Rinaket Dokumentasi : Elfira Prabandari Kuratorbekerja detail dan teliti untuk pameran ini. Mereka mengurasi semua arsip, karyatulis, bahkan hingga ilustrasi yang diperdebatkan panjang di antara merekasendiri. Konsep pengelompokkan karya yang diambil berdasar lini waktu jugadikerjakan serius dengan mempertimbangkan arsip dan kejadian penting dalamsejarah sastra anak. Mereka mengatakan, pertimbangan layout visual jugaberdampak pada jumlah karya yang ditampilkan. Jika kelak pameran ini akandiboyong ke lokasi lain, kemungkinan jumlah arsip yang akan ditampilkan jugabisa bertambah, menurut mereka.
Bagi saya, kerja-kerja mereka untuk sebuahpameran luar biasa. Di waktu yang sempit dan ladang yang masih tersembunyi,mereka bisa menggali, menemukan potongan-potongan data yang berserakan, danmenjahitnya dengan konsep sederhana untuk pengunjung.
Mengasuh pameran ini sejakembrio, ketiga kurator juga memandu langsung tur pengunjung untuk menikmatipameran dengan penjelasan komplit terkait instalasi pameran.
Nai Rinaket memandu tur pameran Dokumentasi : Nabila Budayana
Hanputro memandu tur pameran Dokumentasi : Setyaningsih
Setyaningsih memandu tur untuk pengunjung Dokumentasi : Aryani Wahyu, BentaraBudaya Jogjakarta Tujuh : Mengingat Inpres dan Perbincangan Tentangnya
Di tahun 1973-1984 pemerintah negara Indonesia mengadakan sebuah program di manaratusan juta buku anak diberikan pada Sekolah Dasar di Indonesia. Karya-karyaitu banyak dimanfaatkan pemerintah untuk menjadi alat propaganda nilai-nilaiyang ingin ditanamkan pada siswa SD. Kita mengenalnya sebagai proyek Inpres.Sistemnya, buku-buku diterbitkan oleh penerbit, kemudian pemerintah membelinyadan menyebarkannya.
Menurut Hanputro, sejarah bermula di tahun 1974 di mana AjipRosidi, seorang sastrawan dan akademisi yang mengelola Pustaka Jaya, berhasilmendorong rekannya yang bekerja sebagai staf pemerintah Kementrian Pendidikanuntuk menyelenggarakan proyek Inpres. Ide Inpres sastra anak untuk pengadaanbuku perpustakaan sekolah terjadi karena negara sedang mendapat banyak pemasukandari hasil pengelolaan tambang minyak. Inpres memberikan dampak ekonomi padapenerbit dan penulis di masa itu. Dwianto menyebut dalam salah satu esainya,bahwa proyek Inpres menjanjikan sebagai sumber penghasilan penulis. Satu karyadari penulis terbeli, penulis akan mendapat modal hidup rata-rata Rp250.000 perbulan selama setahun penuh di masa itu. Sementara jumlah judul buku per tahunyang dibeli untuk proyek Inpres bisa mencapai tiga puluh dua juta ekslemplar.
Didinding Pameran Petak Umpet Sastra Anak, pengunjung bisa melihat berbagaisampul buku karya penulis-penulis Inpres yang diilustrasikan oleh seniman dimasa itu. Penulis dengan nama-nama besar seperti Rosihan Anwar, ArswendoAtmowiloto, Dwianto Setyawan, Remy Silado, hingga Bung Smas bisa disaksikan disampul-sampul buku yang berjajar. Bukan hanya sampul buku, bahkan juga adaperangko-perangko yang menunjukkan upaya pemerintah mengajak pada kegiatanmembaca buku, hingga data dan artikel tentang proyek Inpres ini.
Dokumentasi : Nabila Budayana Kurator memilih memberikan ruang khusus untukInpres karena dinilai perlu untuk diperbincangkan sebagai sebuah fenomena sejarah dalamsastra anak Indonesia, dan banyak pengunjung yang memiliki keterhubungan denganfenomena itu. Rasanya hal itu sukses dilakukan, karena saya sebagai pengunjungakhirnya mengetahui seluk beluk proyek Inpres yang selama ini hanya terdengarsekilas dari perbincangan sana-sini.
Enam : Mengintip Fenomena Maraknya Sastra Anak Terjemahan
Sempat di suatu periode 1980-an, ditandai dengan Pekan Buku Anak tahun 1984,lanskap sastra anak Indonesia berlimpah dengan sastra anak terjemahan, sepertikarya-karya Enid Blyton. Karya-karya itu menjadi perhatian dan banyak dinikmatipembaca di masanya. Meski akibatnya, karya lokal juga tergeser dari perhatianpembaca. Untungnya, Dwianto, Arswendo, Djokolelono, dan Bung Smas terus berkaryadan “melawan” dengan sastra lokal. Saat itu, penerbit dan media cenderungmengenalkan sastra terjemahan daripada lokal karena proses penerbitan yang bisalebih mudah dan murah.
Menurut Bondan Winarno, penulis Indonesia justru bisabelajar dari karya terjemahan untuk memperbaiki mutu karangannya. Ini sejalandengan pendapat Dina Dyah Kusumayanti, seorang akademisi Universitas Jember yangmeneliti tentang sastra anak terjemahan menyatakan bahwa karya sastra anakterjemahan memberi kontribusi pada tumbuh kembang relasi kultural antar bangsadan memberi pengetahuan tambahan mengenai karakteristik sifat-sifat unik paratokoh, seting, dan budaya dari negara lain. Oleh karena itu mengenal keberadaan,peran, dan posisi sastra anak terjemahan di sebuah negara adalah penting.
Menariknya, di bagian sastra anak terjemahan, Pameran Petak Umpet menampilkansampul-sampul buku lawas Winnetou karya Karl May cetakan 1983, Pippi Si KausPanjang terbitan 1991, hingga salah satu seri Lima Sekawan yang dicetak tahun1982. Kurator juga mengeluarkan arsip tentang ramainya iklan Klub Seri IlmuwanEdan tahun 1992 dan seri Goosebumps tahun 1995. Karya-karya terjemahan yangmenjadi bagian masa kecil kita ternyata begitu ramai di dunia perbukuan saatitu. Selama ini saya yang hanya membaca dan menikmati, menjadi tercerahkan tentang bagaimana karya-karya terjemahan itu menguasai ruang baca kita.
Dokumentasi : Nabila Budayana Lima : Melompat ke Pergerakan Komik DS Group
Dwianto Setyawan bukan hanya menaruh perhatian pada novel anak, namun ia jugaingin memberi ruang pada komik sebagai bentuk keinginannya menampilkan ceritanuansa lokal dengan visual. Ia mengajak komikus-komikus muda untuk berkarya danmenaungi mereka melalui penerbit DS Group. Konon, Dwianto juga berpesan padaseniman-seniman muda itu untuk berlatih menulis, mengingat untuk menghasilkankomik juga membutuhkan kemampuan membuat cerita. Hanputro mengatakan, DS Groupdikenang bukan hanya karena Dwianto sebagai sosok di baliknya, namun juga karenaDS Group banyak mewakili komikus dan kreator yang sebagian besar tidak memilikipendidikan seni. Beberapa karya terbitan DS Group menghiasi tabloid Hoplaa. Jikamelihat sekilas sampul-sampul komik yang diterbitkan DS Group, kita mungkin akanmengiranya sebagai komik Jepang atau Amerika karena miripnya style gambar.Majalah Dulken yang terkenal pun ternyata hasil karya DS Group.
Dokumentasi : Nabila Budayana Menariknya di bagian ini, pengunjung bisa melihatfoto Dwianto bersama Jaya Suprana dan Takeshi Maekawa. Maekawa tersohor dengankarya komik Kungfu Boy. Darinya terlihat bahwa Dwianto juga memiliki jaringanpertemanan yang luas. Tim DS Group terlihat produktif dengan foto-foto senimandi rumah yang menjadi markas DS Group, bahkan foto ketika anggota DS Grouptamasya ke Jerman. Setyaningsih yang menelusur langsung ke Batu untuk menemukanjejak-jejak karya Dwianto memandu langsung sesi ini.
Dokumentasi : Nabila Budayana Empat : Mengamati Perayaan Ilustrasi
Pameran ini bukan hanya menampilkan arsip dan sampul buku, namun jugawarna-warni ilustrasi buku anak yang dipilih oleh kurator dari kiriman ilustrasiyang masuk. Dua puluh empat ilustrasi dari dua puluh satu ilustratorditampilkan. Terlihat dari berbagai karya yang dipajang, kurator ingin sebisamungkin menampilkan luasnya style gambar yang selama ini menjadi bagian pentingdari cerita-cerita anak yang kita nikmati. Karya-karya ini merupakan ilustrasidari buku-buku middle grade yang terbit di rentang waktu 1974-2000. Ilustrasidirayakan meriah, sama pentingnya dengan teks. Nai Rinaket mengutip perkataanSapardi Djoko Damono yang mengatakan hal serupa.
Seandainya di bagian ataspajangan karya ilustrasi juga diberikan teks penanda seperti bagian-bagian lain,bagian ini akan lebih terasa lengkap dan informatif.
Dokumentasi : Nabila Budayana Sembari memandu tur pameran, Nai berkata, baiknyailustrator membaca dulu cerita yang akan diilustrasikan karena adaperistiwa-peristiwa kunci yang bisa mewakili jiwa si buku. Baginya,ilustrator memerlukan latihan terus menerus untuk berpikir, menulis, danmengilustrasi. Ia juga menyatakan bahwa ilustrator membutuhkan dukungan pemerintah untuk berkembang.
Tiga : Mengapresiasi Karya Penghargaan Sastra
Terus mengelilingi pameran akan membawa kita ke sebuah bagian di manasampul-sampul buku anak peraih penghargaan ditampilkan. Pengunjung bisa melihatsampul-sampul yang familiar, seperti Ayahku Seorang Nelayan karya Zunda yangmeraih apresiasi dari Bratislava dan Jerman, Gleger yang ditulis Djokolelono danNai Rinaket yang diapresiasi di tingkat Asia, hingga karya-karya lain peraihpenghargaan Dewan Kesenian Jakarta, IKAPI, hingga Scarlet Pen Awards. KaryaDwianto Setyawan yang berjudul Tanah Sang Raksasa juga ditampilkan. Karya itumeraih penghargaan Adikarya IKAPI tahun 2000.
Dokumentasi : Nabila Budayana Sebagai kurator, Nai berkata dalam penghargaansastra penting untuk adanya transparansi siapa juri dan adanya catatanpertanggungjawaban dari sebuah penghargaan. Selain itu, penghargaan sastradidapatkan sebagai kerjasama antara banyak pihak dan perlu ruang untukmengapresiasi kerja-kerja tersebut.
Dua : Menengok Karya-karya yang Lahir Kembali
Sebuah buku klasik diperbincangkan terus menerus juga karena diterbitkan ulangmelalui berbagai masa. Kurator ingin menunjukkan bahwa karya-karya klasik lokalpun diharapkan bisa diapresiasi dan disayangi sama besarnya dengan karya-karyasastra klasik mancanegara. Ini seakan menyentil saya sebagai pembaca yang tanpaberpikir panjang kerap lebih memilih karya klasik impor. Padahal, karya-karyaklasik lokal mestinya memiliki kedekatan akar budaya dan lebih mudah terhubungdengan pembaca Indonesia.
Di bagian ini, pameran Petak Umpet menyuguhkanberbagai sampul buku seri klasik yang diterbitkan kembali. Seperti SersanGrung-Grung karya Dwianto Setyawan, juga Pak Gangsir Juru Ramal Istana karyaDjokolelono, di mana keduanya diterbitkan ulang oleh penerbit KPG. Cerita SiPenidur karya Aman Datuk Madjoindo yang diterbitkan ulang oleh Balai Pustaka punterlihat. Karya Suyadi, Pedagang Peci Kecurian yang diterbitkan ulang oleh NouraPublishing tampak. Karya S Rukiah Kertapati, Soesilo Toer, Mochtar Lubis danSamsoedi juga muncul.
Dokumentasi : Nabila Budayana Satu : Saatnya Menemukan Kembali Sastra Anak Indonesia
Karya-karya juga kiprah Dwianto Setyawan menggiring pembicaraan dan membukaruang tampil untuk karya-karya lain di pameran ini. Meski apresiasi besarditujukan pada sosok Dwianto Setyawan, namun ini bukan hanya tentang merayakanbeliau, tapi juga merayakan sastra anak Indonesia. Kurator jelas tak mungkinmenampilkan semua karya, namun mereka terlihat mengurasi dengan teliti, cermat,dan terbuka pada setiap masukan serta kritik. Kurator berharap pengunjung dapatterpantik untuk kembali membicarakan dan memberi perhatian pada sastra anak.Seperti yang mereka sampaikan pada kain besar di bagian depan pameran, “petakumpet” ini masih terus berlangsung karena masih banyak yang harus ditemukan daripeta sastra anak kita.
Hanputro sebagai salah satu kurator Dokumentasi : Elfira Prabandari Selamat,sebagai pengunjung kita tiba di bagian akhir. Ternyata akhir tidak selalu samadengan menemukan semua kepingan dalam keseluruhan. Bisa jadi, justru darilangkah itu menambah berbagai pertanyaan dan rasa penasaran. Seperti anak-anakyang bermain petak umpet, kita jarang puas di satu kali putaran. Kita perlumerasakan pengalaman mengenal lebih baik buku-buku anak yang kita nikmati danapa yang terjadi di baliknya. Mungkin kita perlu lebih banyak bekerja bersama,membincangkan, dan saling merayakan. Pameran Petak Umpet Sastra Anak ini, bisajadi menandai bahwa ada permainan yang sudah diawali, dan terbuka untukdilanjutkan kembali.
Sumber :
e-katalog Petak Umpet Sastra Anakhttps://bentarabudaya.com/agenda/2312...
Artikel “MengenangJejak Dwianto Setyawan dalam Dunia Komik Anak”https://bandungbergerak.id/article/de...
Esai “Menulis sebagai Profesi Utama” oleh Dwianto Setyawan
Ringkasan Eksekutif“Peran Sastra Anak Terjemahan dalam Pengembangan Sastra Anak Indonesia : UpayaRevitalisasi Sastra Anak Indonesia” oleh Dina Dyah Kusumayanti
Published on November 18, 2025 01:43
No comments have been added yet.


