Melantun tentang binatang sampai nabi, tentang cinta segitiga sampai maut, tentang lanskap sampai gairah revolusi, dan seterusnya --55 puisi dalam buku ini tampil dengan aneka suara dan mata yang tak tersangka.
* * *
Tokomu menjual aneka taring yang tampaknya lebih manjur daripada taringku, namun kau tak mampu menjawab ketika seorang pelangganmu bertanya, "Mana yang paling baik untuk mematikan seekor kuda hitam?" (Kobra, h. 16)
dan lihatlah, di jantung khazanah ini tegak menjulang sebentuk museum, tempat kita leluasa mengimpikan revolusi, ketika kita mulai hamil oleh para panglima yang ternyata telah membelenggu sang penggali teluk sejak kemarin atau bertahun-tahun lalu. (Jangkar Perunggu, h. 44)
Mereka bertepuk tangan ketika terhunus pisau tiba-tiba Dari balik lambungku, siap menyadap madu di lehermu. Ternyata namaku kontrabas, dan aku jirih pada pujian. (Kuintet, h. 137)
Nirwan Dewanto (born 28 September 1961) is an Indonesian poet and cultural critic. He is also known for his depiction of Albertus Soegijapranata in the 2012 biopic Soegija.
Dewanto was born in Surabaya, East Java, on 28 September 1961. While still in senior high school he was already writing poetry; the poems were published in local magazines such as Kuncung and Kartini. Dewanto did his university studies at the Bandung Institute of Technology in Bandung, West Java, from 1980 to 1987, where he received a degree in geology. He then moved to Jakarta.
In 1991 Dewanto was a speaker at the National Cultural Conference. He later became well known for his cultural commentary. Dewanto became editor of the magazine Kalam at its launch in February 1994, along with poet Goenawan Mohamad. In 1996 Dewanto released a collection of essays entitled Senjakala Kebudayaan.
Dewanto served on the first round jury of the inaugural Khatulistiwa Award in 2001. He was later critical of the process, stating that the jury generally did not properly understand the works they were selecting and at times seemed to act randomly and had released a poetry anthology, Buku Cacing (Book of Worms).
Dewanto won the Khatulistiwa Award in 2008 for his poetry anthology Jantung Ratu Lebah (The Queen Bee's Heart); the award included Rp 100 million (US$8,800) in cash. Short story writer Seno Gumira Ajidarma, a judge on the panel, described the anthology as showing great achievement.In 2010 Dewanto released a poetry anthology entitled Buli-Buli Lima Kaki (Jars with Five Feet). The following year several of his works were put to music by Dian HP and Dewanto's wife, singer Nyak Ina Raseuki; Dewanto also performed poetry readings at the events.
In 2012 Dewanto played the Archbishop of Semarang Albertus Soegijapranata in the biopic Soegija, directed by Garin Nugroho.Nugroho said that he cast Dewanto owing to the latter's physical resemblance to Soegijapranata, despite Dewanto not being Catholic; meanwhile, Dewanto said that Nugroho had been very insistent that he take the role. Indah Setiawati, writing for The Jakarta Post, found him to have performed well, although she considered him to appear uncomfortable in some scenes.
MELANTUN dengan pandangan telinga dan pendengaran mata yang mencengangkan. Permainan bahasanya kadang sederhana, tapi cara Nirwan merenung dan memotret sesuatu selalu saja membuat saya berdecak kagum.
Dari akhir tahun 2010 sampai sekarang saya belum tuntas membacanya, kadang berhari-hari saya hanya terjebak dalam satu puisi. Membalik berhalam-halaman, eh tiba-tiba balik mundur lagi. Saya juga tidak terlalu mampu menangkap maksud puisi-puisi Nirwan. Saya bukan kritikus atau pakar sastr. Tapi entah kenapa, saya sungguh menikmatinya. Beberapa bahkan menjadi kutipan favorit dan acap kali saya pakai dalam perbincangan, misal dua baris terakhir dari puisi Hiu, "Panjang umurlah para pendusta/ Dan hiduplah kita dari marabahaya."
Nirwan Dewanto memang orang sinting. Mentang-mentang dia sudah keliling benua, maka dia temberang dengan puisi-puisi beratnya. Karyanya yang ini saja sudah buat kulit dahi aku bergaris banyak. Kerut yang aku fikir aku semakin tua berfikir dan memerah daya fikir.
Sekali? Mana cukup untuk memahami puisinya. Dua kali juga silap-silap buku menutup pandangan dan menenggelamkan sadar. Tiga kali, barangkali baru pada permulaan. Maunya begitu teliti seolah menggunakan kanta pembesar untuk melihat suatu yang lebih kecil. Jadi aku terpaksa mengulang baca banyak kali. Buku ini cuma barang pinjaman dari kawan. Perlu segera telaah untuk kembalikan. Cembrot! Hahaha!
Akhirnya aku memahami dalam rentak yang perlahan. Puisinya lebih melihat kepada kebun binatang. Dan juga pada alam natural yang lain. Binatang-binatang yang dia kenali dan apa yang pernah dia temui. Diceritakan sifat-sifatnya, keinginan dan kesudahan setiap dari itu. Sebahagian yang lain dikutip dan digilap dari karya teman-teman asingnya.
Nirwan barangkali sudah terbiasa begini. Dan dia mau juga pembacanya juga terbiasa.
yeh i get all the attempts at allusion, intertextuality, etc, but the overall effect is kentang because nd's too afraid his readers wouldnt get the allusions so he explains them all the time, instead of just say, translating them like pound. hes also too garing and too bourgeois, and has got nothing to say. the whole thing is just him showing off what obscure books by obscure latin american poets hes read. he shouldve just got himself a goodreads account!
Saya berat hati, sungguh, memberikan tiga bintang pada buku ini. Pun juga kalau memberi dua bintang, rasa-rasanya terlalu kejam begitu. Tidak ada setengah bintang sungguh membuat saya kali ini tersiksa.
ASDFGHJKL.
Buli-buli Lima Kaki
Saya menyukai puisi, karena mereka membuat otak saya begitu penuh dan merasa tersesat, seolah-olah ada fragmen-fragmen yang harus dituntaskan demi mengeja kata per kata yang ditulis penyair. Pada kumpulan puisi Sapardi, Hujan Bulan Juni misalnya, puisi-puisi kamarnya membuat saya sesungguhnya merasa berada jauh... jauh sekali dari tempat waktu itu membaca, membayangkan sosong yang saya rindu dan entah kenapa puisi-puisinya nikmat sekali diterjemahkan hati pula pikiran.
Nah, hal itu yang tidak saya temukan di kumpulan puisi Nirwan Dewanto ini, salah satu yang pernah meraih KLA. Saya merasa, puisi-puisinya membuat saya tersesat begitu jauh, sebenarnya saya menyukai itu, tapi apa mau dikata, saya tidak menikmati kesesatan saya. Metafor yang digunakan Nirwan sungguh banyak. Dan hampir-hampir saya tidak mengerti hampir seluruh bagian dari Kaki pertama, tiga, dan lima.
Itu membuat saya gigit jari dan kesal setengah mati. Apakah salah saya yang penafsiran terhadap puisinya masih tingkat kecebong ini?
Tapi jauh di atas segalanya, saya menemukan banyak kosakata baru, untuk ini, saya ucapkan terima kasih pada Nirwan, semoga tetap dilindungi Tuhan. Puan, perigi, paya-paya, haribaan, hujah, gangsa, lars, khat, kemuku, luku, mangsi, semenjana, pupur, senapang, cerpelai, terwelu, manikam, burung balam, nahu, kontrabas, jirih, mariba, selekeh, orak. adalah sebagian kecil kosakata baru yang membuat saya merasa seolah-olah makhluk bodoh sedang membaca buku ini.
Jadi kesimpulan yang paling tepat mungkin, semakin susah karya itu ditafsirkan/tidak dimengerti, maka kesempatan untuk masuk beragam fesival makin besar. Maka dari itu, saya berencana membuat buku dengan judul $^@*#%!%#. Yang isinya begitu-gitu saja.
Terdiri dari 55 puisi yang dibagi dalam lima kaki (bagian). Salah satu yang paling saya suka:
LAZAR
Jangan renggut kematian dariku, Aku tengah berusaha memilikinya. Tolong tutup lagi pintu mausoleum ini, Sebab terang di luar sana hanya milikmu. (Kau belum pernah melayatku, bukan?) Namun jika aku mampu bangkit bahkan Dalam kafan yang mulai terasa sejuk ini, Yeshua, bukanlah aku juru selamatmu
maaf, saya kurangi bintangnya jadi tiga saja (dari yang semula lima). bagus sih cuma nggak ngeh. banyak yang tidak aku mengerti. bagi saya menulis puisi itu kan ga perlu pake idiomatik yang ndakik-ndakik dan bahasa yang aneh-aneh sampe nggak ada sama sekali orang waras yang paham. aku lebih suka yang sederhana namun maknanya bisa mudah dipahami dan nyampe.
Buku ini cukup menarik dibaca. Dibagi menjadi 5 bagian dengan jumlah 55 puisi. Puisi ditulis dari berbagai sudut pandang. Ada yang mudah dipahami, ada yang retak dipahami dan ada yang sukar dipahami. Biasanya yang singkat lebih enak dibaca daripada yang panjang dan kesulitan memahami jenis puisi dengan bentuk yang tak beraturan tata bahasanya.
"Mahabenar majas dengan segala muslihatnya" adalah kalimat favorit di dalam buku ini yang termuat di puisi bagian kelima bertajuk Doa Musim Gugur pada halaman 160. Setelah dibaca keseluruhan puisi-puisi pada bagian keempat dan kelima terlihat lebih enak dinikmati dibanding bagian lain. Mungkin pembaca yang sudah beradaptasi atau hanya mungkir diri, entah yang mana yang benar.
MahaBenar majas dengan segala muslihatnya- Doa Musim Gugur
Gilaaa ini kumpulan puisinya manteeeep. Om nirwan ini jago bikin puisi dari sudut pandang beda, menulis dengan kata yang tidak sederhana, iya diksinya ajaib deh.
Yang kerennya adalah puisi tentang benda, hewan, atau tanaman yang dieksplor dengan gaya yg belum pernah saya lihat sebelumnya.
Seolah dia bisa bicara dengan hal-hal yang mungkin kita kira mereka tiada pernah berkata.
Buku bagus yang saya baca berulang kali. Frasa menarik yang melantun tentang nabi, cinta segitiga, sampai binatang-binatang yang tak terduga.
"Aku bukan pecinta, tapi hanya pengiring kaum pecinta. Mereka kadang berteduh di pangkuanku, tapi lebih sering kulihat mereka dalam mimpi, seperti kali ini...."
The writer himself gave me this book as a cadeau. Well I love it. I love his style as a poet, which is different from any other poet I know. Please note, I say this not because the writer is my boss at the office, but well. I just love it.