Pramoedya Ananta Toer, pengarang sohor Indonesia, pernah berkata, “menulislah, karena tanpa menulis engkau akan hilang dari pusaran sejarah.” Kalimat tersebut tentu saja benar. Tafsirannya pun sungguh jembar dan dalam. Dalam kalimat tersebut ada siratan makna akan kekuatan tulisan. Tulisan yang tak akan lekang oleh zaman, dan dapat menjadi pengingat kala badai amnesia menyerang sebuah kaum maupun bangsa.
Dengan semangat itulah—setidaknya begitu kesimpulan saya—Muhammad Radjab, seorang jurnalis masa silam, menuliskan otobiografinya dalam buku berjudul “Semasa Kecil di Kampung”. Buku ini pertama kali terbit tahun 1950 oleh penerbit Balai Pustaka, lalu diterbitkan ulang pada November tahun 2019 ini.
Bagi saya, otobiografi Muhammad Radjab ini sangat menghibur, kocak, dan lucu. Dia mengisahkan perihal masa kecilnya hingga umur belasan tahun awal. Meskipun demikian, otobiografi yang dapat pula disebut memoar ini juga mengudar pandangan kritisnya pada perilaku sosial, pendidikan, dan beragama di lingkungannya—dalam konteks ini adalah daerah Minangkabau yang kita tahu sangat kental dengan nuansa keislamannya.
Muhammad Radjab, yang pada masa kecilnya bernama Rijal, adalah anak yang nakal, aktif, dan penuh siasat. Namun demikian, Rijal ini adalah anak yang rasional, kritis, dan jika terdesak berani berdebat, sehingga tak jarang dianggap sebagai anak yang melawan orang tua—bahkan lebih jauh, dalam beberapa kasus, dianggap meragukan aturan agama sehingga digelari kafir oleh guru mengajinya.
“Semasa Kecil di Kampung” ini memberikan gambaran dan informasi personal kepada saya perihal praktik beragama di Minangkabau dan mengapa orang Minangkabau memiliki tradisi merantau yang kuat. Lewat kisah sehari-hari di lingkungan kecilnya di kampung Sumpur, saya jadi memahami sistem sosial dan kultur apa yang memungkinkan orang Minangkabau terdorong untuk meninggalkan kampung halamannya, dan secara sosial dampak apa yang ditimbulkan oleh praktik beragama seperti poligami, pengajaran agama yang (dalam anggapan Rijal) kaku yang kadang menutup ruang diskusi yang lebih rasional, dan sebagainya.
Dorongan dan Tradisi Merantau orang Minangkabau
Sebagaimana kita tahu, masyarakat Minangkabau menganut sistem matrilineal dalam mengatur garis keturunan keluarganya. Sistem yang berpusat pada perempuan sebagai garis keturunan ini ternyata, dalam memoar Radjab ini, turut memberi konsekwensi tersendiri pada tradisi merantau orang Minangkabau.
Penjelasannya seperti ini: seorang laki-laki yang menikah tentu saja akan mengikuti istrinya—bukan sebaliknya sebagaimana lazimnya dipraktikkan di daerah lain di Indonesia. Seorang perempuan dalam satu keluarga akan mendapatkan kamar tersendiri sebab dia akan menerima suaminya ketika telah menikah. Konsekwensinya, laki-laki yang menginjak usia remaja di dalam keluarga tersebut diharapkan untuk tidak selalu tinggal di rumah. Lalu ke manakah mereka?
Surau. Ya, surau. Surau ini ternyata memiliki fungsi yang sangat unik dalam masyarakat Minangkabau. Setidaknya begitulah kesan yang sangat kuat yang saya tangkap dalam otobiogragi Radjab ini. Surau bukan hanya memiliki fungsi utama sebagai tempat beribadah sholat lima waktu atau tempat mengaji, namun juga sebagai tempat berkumpul dan bahkan tidur kaum lelaki yang telah remaja dan dewasa. Dalam beberapa bab, kisah tentang surau atau yang bergulir dengan latar surau ini sangat menarik. Mengapa menarik?
Surau ini, kuat kesannya pada saya, menjadi wadah pererat ikatan sosial. Di surau orang-orang beribadah dan mengaji. Di surau orang-orang berkumpul. Di surau kaum remaja dan dewasa pria datang membawa perkakas tidur. Di (halaman) surau mereka bermain bola dan berlatih pencak silat. Dan, ini yang perlu dicatat, di surau inilah kaum lelaki akan duduk manis menyimak kisah-kisah orang-orang kampung yang baru pulang dari perantauan tentang suka duka hidup di luar kampung. Momen menyimak kisah hidup merantau ini sekaligus jadi ajang konsultasi bagi mereka yang berminat merantau. Mereka akan diberikan saran ke mana saja baiknya pergi merantau jika punya jiwa dagang atau niaga, jiwa tukang, jiwa pembelajar dan sebagainya.
Ada konsekwensi sosial yang galib terjadi jika kaum lelaki tidak pergi merantau, yakni mereka tak akan ada yang ‘menjemput’. Istilah menjemput ini maksudnya ‘melamar’ atau berkaitan dengan jodoh dan perkawinan. Kaum lelaki yang tidak pergi merantau sangat besar kemungkinan tak akan dilirik oleh perempuan atau keluarga yang ingin menikahkan anak perempuannya (soal ini bersifat historis: semasa kaum bangsawan berkuasa, perempuan tertarik pada mereka yang berharta atau punya gelar bangsawan; kaum bangsawan ini pada gilirannya digeser oleh kekuasaan kaum beragama, sehingga turut mengubah pola ketertarikan perempuan kepada kaum bersorban; lalu lahirlah kaum saudagar yang berkompetisi dengan kaum agamawan, yang mengubah lagi ketertarikan kaum perempuan kepada mereka yang merantau).
Jadi begitulah, dorongan dan tradisi merantau ini memang telah melekat sejak dari rumah sendiri yang berasal dari konsekwensi berlakunya sistem matrilineal orang Minangkabau. Lalu tradisi ini turut didesak oleh konsekwensi logis tak akan mendapatkan jodoh jika tak merantau serta ditunjang oleh kehidupan di surau sebagai wadah interaksi sosial orang Minangkabau—selain tentu saja tempat beribadah.
Kritik sosial pada pengajaran dan praktik beragama orang Minangkabau
Di samping kisah tentang kenakalan si Rijal bersama kawan-kawannya yang kerap mengundang senyum dan bahak, “Semasa Kecil di Kampung” ini rupanya menyimpan kritik sosial yang tajam pada pengajaran dan praktik beragama orang Minangkabau.
Simak saja kisah Rijal bersama sahabat karib, pengajar, dan penasihatnya: Lebai Saman. Lebai Saman sangat fanatic dalam beragama. Dialah yang mengatakan kepada Rijal bahwa matahari mengitari bumi, dan bumi datar, dipikul oleh seekor lembu, yang berdiri di atas sebuah batu, dan batu ini diatas seekor ikan, dan ikan di atas laut, dan laut di atas Hawa. Hal itu bertentangan dengan yang diajarkan guru Rijal di sekolah. Saat Rijal mengatakan bahwa bumi itu bulat, dan bumilah yang berputar mengelilingi matahari, Lebai Saman marah. “Guru itu salah, ajaran itu datang dari setan.”
Soal perbedaan pendapat ini sangat serius menimbulkan masalah dan konflik saat ia mengaji ke pamannya sendiri, saudara ayahnya, yang sebelas tahun mempelajari agama Islam di Makkah. Pamannya ini, bagi Rijal, sangat kaku dan menutup ruang debat saat diskusi. Rijal sangat membenci pamannya. Sebab pamannya ini melarang hal-hal yang dia senangi, yang tak ada hubungannya dengan larangan agama. Misalnya, dia dilarang bermain bola lagi karena pamannya menganggap itu perbuatan sia-sia. Begini tanggapan Rijal, “…betapa juga, sepak bola jauh lebih menyehatkan badan dan pikiran daripada mengaji. Bagi saya, lebih menarik orang-orang yang bermuka merah, berucuran keringat, sehat dan tegap, daripada santri yang selalu bersila di surau, bermuka pucat dan kurus, seperti orang yang lima hari tidak makan, yang selalu lemah dan mengeluh.”
Pamannya ini pula yang menggelari dia kafir saat dia mendebat pamannya dalam perkara ajaran agama. Pangkalnya, menurut Rijal, pamannya memberikan ajaran takhayul dan tidak secara rasional. Ketika Rijal mempertanyakan hal itu secara rasional, di situlah dia disebut disebut kafir dan meragukan kehendak tuhan.
Praktik lain dalam beragama yang disoroti secara tajam oleh Rijal adalah poligami. Lazim sekali dalam masyarakat Minangkabau di kampungnya kaum agamawan yang dipanggil Engku itu memiliki istri banyak. Praktiknya, jika mereka telah memiliki empat istri—batas yang disyaratkan oleh aturan agama Islam—lalu ada satu keluarga yang ingin menyerahkan anak perempuannya ke Engku tersebut (sebab sangat erat keyakinan orang Minangkabau bahwa Engku bisa menjadi jembatan buat mereka ke surga), mereka tidak segan-segan menceraikan salah satu istri mereka untuk bisa mengambil satu istri lagi.
Praktik ini menimbulkan rantai konsekwensi sosial lain yang terjalin antara kaum perempuan yang menjadi istri laki-laki yang sama. Tak jarang mereka kerap saling menggunjing satu sama lain, atau lebih jauh menggunakan sihir atau susuk. Rijal tahu hal ini karena dia sendiri mengalaminya. Rijal tak punya ibu kandung lagi sejak dia belum berumur satu tahun. Ibunya meninggal karena wabah kolera. Nah, jika dia dimarahi ayahnya yang adalah pemuka agama yang disegani dan ibu tirinya tak membelanya, dia kadang pulang ke rumah ibunya yang lain. Di sinilah kesempatan ibunya tempat dia pulang merayu dia untuk tinggal bersamanya sambil menggunjing ibu tiri Rijal.
Perihal laku beristri banyak ini turut memakan korban dari sahabat Rijal, yaitu Aisyah, yang tak lain dari kemenakan ayahnya sendiri. Aisyah baru berumur enam belas tahun, dan dipaksa menikah oleh orang tuanya dengan haji Rizal, pria berumur 45 tahun yang telah empat kali menikah dan memiliki toko kain di Bengkulu. Dia harus diganti namanya oleh orang tuanya menjadi Alimah setelah mendapat saran dari seorang dukun—sebuah praktik yang lazim di kampung Sumpur jika dianggap nama yang sebelumnya bakal mendatangkan ketidakbahagiaan.
Atas hal ini, Rijal mengatakan, “Jarang sekali orang kampung saya kawin karena cinta. Mereka kawin selalu dengan orang yang bukan pilihannya sendiri. Yang mencarikan jodoh ialah orangtuanya. Jika pilihan orangtuanya bagus, artinya orang yang pantas dicintainya, beruntunglah mereka; jika tidak, menderitalah.”
Kampung halaman memberikan ikatan emosi dan kerinduan mendalam tentang kehidupan, namun ikatan itu berdasarkan pada rasa. Ikatan yang hanya berdasarkan pada rasa itu pada akhirnya harus mengalah dengan kemauan kuat akan cita-cita dan perjuangan hidup, sehingga badan jua harus bercerai dengan kampung halaman nan indah itu.
Seperti disebutkan dalam pepatah minang : Jarang - jarang tanami jaguang Buliah tampak puyuah balari Malah gadang tinggakan kampuang Baitu sayang ka Nagari
Pun setelah berjauhan dengan kampung halaman, kenangan dan rasa itu tetaplah sebuah imajinasi yang indah. Sebagaimanapun bagusnya daerah rantau, kampung halaman tetaplah akan dibela.
Dalam buku ini, diceritakan oleh penulis Rijal (Muhammad Radjab) tentang masa kecilnya di Kampung, Sumpur (Tepian Danau Singkarak, Sumatera Barat). Karena sama-sama berasal dari daerah Minangkabau, tulisan inipuun membuat saya bernostalgia tentang kenangan hidup, tumbuh dan berkembang di kampung beberapa tahun lalu. Merasakan sebuah emosi yang hanya bisa dikenang dan tak mungkin masanya diulang kembali.
Sebagai orang yang lahir dan besar di Minangkabau, keingintahuan saya tentang budaya daerah sendiri terbilang minim. Mungkin juga karena saya tidak begitu suka orang Minang pada umumnya, yang saya anggap agak kasar dan sombong.
Pikiran saya ini kemudian mendapat konfirmasi ketika membaca buku Michael Laffan, "Islam di Nusantara" yang mencantumkan testimoni tentara Belanda tentang orang Minang yang "sombong dan kasar beda dengan orang Jawa". Ketika menelusuri referensinya, saya mendapatkan kutipan tersebut diambil dari buku Radjab lainnya "Perang Padri".
Usai membaca buku Perang Padri, semangat saya untuk mempelajari orang Minang dan tradisi semakin tumbuh. Paslah ketika saya tahu Radjab menulis buku ini, yang menurut ringkasannya bercerita tentang kisah hidupnya semasa di Kampung.
Jika ada buku yang over-deliver, ini adalah salah satunya. Di buku Perang Padri, Radjab mengggunakan gaya jurnalistik dalam penulisannya. Bisa terbilang cukup membosankan. Namun di buku ini, Radjab menggunakan gaya selayaknya penulisan novel.
Ia mengkisahkan dirinya, yang ia namakan "Rijal" di dalam buku ini sebagai tokoh utama. Lewat buku ini ia kisahkan pengalaman hidupnya di masa kecil hingga remaja di kampung Sampur, dekat Danau Singkarak.
Tebalnya cuma 200an halaman, namun isinya sangat kaya. Saya harus memuji kemampuan Radjab dalam kemampuannya untuk menulis sebuah cerita yang di satu sisi sangat hidup, jenaka namun di lain sisi secara komperehensif mengupas kehidupan sosial masyarakat Minangkabau di kampunya saat itu.
Diantara kisah yang berkesan bagi saya adalah tentang hubungan ayah dan anak, hidup berkeluarga, situasi keilmuan para santri agama yang masih terbelakang, tentang kesenangan orang kampung untuk "show-off" untuk menujukan status atau kebangsawanannya, hingga tradisi perjodohan anak gadis dengan seorang lelaki tua dan sukses.
Buku ini juga sedikit banyak berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan saya mengenai sikap hidup orang Minang yang diantaranya tidak saya sukai.
Sulit membayangkan kondisi Sumatra pasca Perang Padri dan sebelum kemerdekaan. Namun Muhamad Radjab berhasil menggambarkan kondisi Minangkabau—tepatnya di sekitar Danau Singkarak, dengan jujur, apa adanya dan bahasa anak kecil yang lugas. Banyak poin bisa diambil dari buku ini, meliputi bagaimana Islam berkembang di Minangkabau setelah Perang Padri runtuhkan dominasi kaum bangsawan, tapi tidak benar-benar dari hati warga Minangkabau yang memang ingin berubah ke arah lebih baik. Mereka saat itu hanya mencari jalan pintas dan setelah Perang Padri, Islam dan kiai memberi jalan pintas hidup lebih baik di akhirat. Sama sekali tidak ada perasaan rindu atau kecintaan untuk berbakti kepada Allah. Namun, poin paling unggul di buku ini adalah perasaan tercabik-cabik Pak Radjab di waktu kecil belajar agama baik di Surau Atas tempatnya beribadah dan tinggal maupun di pesantren Surau Bawah. Bedanya hanyalah Surau Atas ia belajar bersama ayahnya, Engku terkemuka di kampung Surau Atas, dan di Surau Bawah ia belajar dengan pamannya. Mereka tidak berhasil menjawab pertanyaan2 Radjab yang mencari di mana Allah, apa makna dari Al Quran yang hanya diajarkan kepadanya untuk dibaca baik-baik dengan lagu yang indah, tanpa memahami dan menerapkan arti dan makna ayat-ayat Al Quran dalam kehidupan mereka sehari-hari. Di sisi lain ada kaum Pemuda, yang menggunakan akalnya, tapi untuk mengakali ibadah kepada Allah, hanya karena malas dan sepanjang hidupnya hanya ingin bermalas-malasan saja. Mereka membuka jalan baru dengan menjadi saudagar untuk mengalahkan kaum bangsawan dan kiai untuk bisa menjadi lelaki yang terpandang di kampungnya yaitu bisa menikahi gadis-gadis cantik dan molek di kampung.
Muhamad Radjab berhasil menceritakan dengan gamblang apa yang terjadi pada suatu kaum jika menggunakan harta, agama, dan kepintaran hanya untuk meraih sesuatu secara instan, tanpa benar-benar berupaya memanfaatkannya untuk kemajuan umat.
Buku yang memotret orang Minang pada zaman setajam camera Leica.
Penuturannya sangatlah terang benderang dengan bahasanya yang ringan dan kocak ( apakah beliau berusaha melucu?)
Mungkin banyak istilah yang jarang dijumpai oleh pembaca yang bukan berbahasa ibu Minangkabau, tapi saya rasa tidak mengganggu dalam memahami jalan ceritanya. Dan menurut informasi Uda Ahmad Fuadi, buku ini adalah salah satu bahan ajar di UC Berkeley, memang pantas, karena selain memberikan gambaran yang jernih tentang orang Minang, buku ini juga merupakan self-critics yang jujur dari orang Minang terhadap masyarakatnya sendiri.
saya akan sarankan siapa saja yang mencintai sastra untuk membacanya. Harus menjadi buku wajib di dalam daftar bacaan orang Indonesia
Jujur, saya mengenal buku ini dari hasil membaca buku Anak Rantau yang ditulis A. Fuadi tahun 2017. Terpisah 60 tahun dari buku ini yang dirilis tahu 1950. Bahkan jika melihat era yang dituliskannya di dalam buku ini (1913-1928), maka hampir-hampir mencapai 90 tahun jarak kedua buku tersebut. Bagaimanapun juga, keduanya sama-sama menceritakan tentang kehidupan anak kecil di kampung berbudaya Minang.
Membaca bagian depan buku ini, sulit bagi saya membayangkan penulisannya dilakukan di tahun 1950an, karena bahasa yang digunakan tidak terlalu berbeda dengan yang kita gunakan saat ini. Padahal, saya kerap merasa kesulitan ketika membaca naskah dari masa lampau, khususnya dari era pra-kemerdekaan. Dengan demikian, buku ini saya rasakan mampu melintasi waktu dan generasi.
Buku yang menceritakan masa kecil muhamad radjab di kampung halamannya yaitu sampar. Mulai dari bagaimana dia belajar mengaji, baca huruf latin dan huruf arab, perayaan-perayaan keagamaan di kampung dia dan sekitarnya serta kisah percintaannya. Buku ini memang menceritakan perjalanan hidupnya, namun bagi saya pribadi ini adalah buku yang memberikan kritik tajam dan pedas namun dengan cara halus. Semua aspek dikritik oleh anak berumur 16 tahun, mulai dari perayaan agama, bagaimana kehidupan ekonomi membuat seseorang berubah, hingga bagaimana kebijakan orang tuanya sendiri.
This entire review has been hidden because of spoilers.
It’s not the type of book I usually read but I thoroughly enjoy it. It’s often funny, and most of the time happy-sad in its own naive way of storytelling.
cerita anak minangkabau yang penuh dengan budaya minang kabau, membaca ini serasa ikut merasakan serunya masa kecil di kampung dekat dengan danau singkarak
Buku yang, dalam pendapat saya, mengejawantahkan konsep Hannah Arendt tentang "hidup manusia sebagai aksi politik yang diungkapkan dalam bahasa narasi".