Jika orang-orang dewasa terus menghindarkan anak dari pembicaraan tentang hak kesehatan seksual dan reproduksinya, anak akan jatuh pada kebingungan dan ketakutan. Sementara seiring anak tumbuh menjadi remaja, semakin kompleks pula persoalan ini baginya. Namun mereka harus menghadapinya seorang diri.
Kecenderungan ini, tentu saja, dapat berdampak serius dan panjang bagi hidup banyak anak.
Buku ini mengisahkan anak-anak yang pada satu babak hidup menghadapi persoalan seksualitas dan kesehatan reproduksi. Sesuatu yang seharusnya tak pernah terjadi jika hak-hak mereka telah dipenuhi, dilindungi. Kini mereka hidup sebagai penyintas, sebagian masih memperjuangkan hak-haknya. Mereka pun berkenan untuk membagikan kisah mereka dengan harapan kejadian serupa tidak terulang. Terima kasih kepada mereka yang mash bertahan dan terus berjuang.
Kekuatan dari tulisan-tulisan ini, menurut saya, adalah pemahaman penulis bahwa suara para penyintas adalah suara paling kuat, meyakinkan, dan menyentuh dalam meningkatkan kesadaran akan topik-topik yang dibahas buku ini. Satu tulisan bahkan menghadirkan narasi dengan sudut pandang pertama, yang dilakukan atas persetujuan dengan narasumbernya. Mereka yang ada dalam liputan Fadiyah tidak dihadirkan sebagai subjek liputan belaka, tetapi sebagai orang-orang yang memiliki informasi kunci, pengetahuan mengenai ketidakadilan yang membekas pada tubuh mereka. Kisah-kisah yang diliput memang memilukan, tetapi Fadiyah tidak lantas menjadikan para narasumber sebagai objek kasihan/iba, kelar. Ia mengingatkan bahwa banyak dari penyintas kemudian menjadi tokoh-tokoh penting dalam perjuangan demi keadilan.
⛔️ Pornografi menggantikan peran sex education ⛔️ Perundungan terhadap remaja hamil di luar nikah ⛔️ Lingkaran kekerasan dalam pernikahan dini
Banyak yang bilang hal ini dilihat sebagai kenakalan remaja 🤦🏻♂️ padahal ini adalah akibat dari keksoongan edukasi seksual 🤷🏻♂️
Buku ini isinya kumpulan liputan yg nyeritain masalah anak maupun remaja terkait kegiatan seksual dan diskriminasi gender kyk kekerasan seksual 🤜, diskriminasi para pengidap HIV 🦠 sampe kebingungan hamil di usia muda 🤰 termasuk juga kerumitan para queer mengekspresikan diri 🌈
Bacanya tuh bikin gerah asli karna se emosi itu sama stigma yg nempel di masyarakat 🥵 misal nikah muda itu bisa loh menyelesaikan masalah, anak yg hamil dianggap tabu kalau gak dinikahin, anggapan kalau wanita yg kena HIV itu bukan perempuan baik”, bahkan ruqyah sampe diperkosa keluarga sendiri buat ngerubah orientasi anak
gila gak tuh?? ☹️😩👊 buku ini emg sukses scr gamblang menyorot fenomena ini dan memberi awareness pentingnya edukasi seksual dan ruang aman bagi semua org
Sepuluh liputan Fadiyah Alaidrus yang terbit sepanjang 2020–2022 ini bisa memperlihatkan kalau masih banyak PR di ranah edukasi seksualitas di Indonesia. Buku ini meng-cover Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), pornografi, perlindungan pada anak yang sangat kurang, perkawinan anak, pemerkosaan dan manipulasi anak, stigma HIV, LGBTQIA+ yang tidak punya ruang aman, sampai perempuan pekerja migran yang rentan jadi korban kekerasan.
Ambil satu topik ya: Angka Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) meningkat selama pandemi. Dari sini, ditemukan juga di antaranya berada di kategori usia anak. Nggak usah dikit-dikit salahin anak-anaknya kalau edukasinya aja minim/nggak ada. Ya sampai 2020 aja ada yang "harusnya" sudah paham, tapi malah bilang perempuan berenang sama laki-laki bisa hamil 💩 apalagi anak-anak?
Pusat ke daerah lempar body, faskes yang memadai dan merata masih tanda tanya, juga kampanye-kampanye dari pemerintah entah hasilnya gimana, apalagi Kemenkes dan Kemendikbud udah in sync atau belum ya entahlah hanya mereka yang tahu 🤲
Melihat ke lingkup yang lebih kecil, edukasi seks minim atau bahkan nggak ada, karena ngomongin hal ini masih dianggap tabu oleh banyak masyarakat. Tabu secara norma, nilai-nilai, dan agama. Heran, tabu dikekepin terus, tapi damage-nya yang jauh lebih besar jadi kayak nggak kelihatan.
Emang paling gampang pura-pura nggak tahu. Tapi selalu ada orang maupun lembaga sipil yang bantu jadi corong suara mereka yang tumbuh dengan memori luka dalam tubuhnya.
"Otonomi atas tubuh sangat penting untuk manusia. Itu hak dasar." - Pg. 69
Memori Tubuh Kami adalah sebuah buku yang ditulis berdasarkan liputan yang dilakukan kak Fadiyah dan sudah pernah dipublikasikan sebelumnya lewat Project Multatuli dan beberapa platform online.
Di awal, kita akan diajak melihat realita bahwa kurangnya edukasi tentang seks dari usia dini memakan banyak sekali korban. Mulai dari kehamilan tidak diinginkan, perkawinan usia anak, hingga kecanduan pornografi. Apa yang kita lihat di internet berbeda dengan edukasi seks yang sesungguhnya. Perundungan pun terjadi. Perkawinan usia anak juga melahirkan masalah baru, yaitu KDRT.
Lalu, pemerkosaan yang kemudian menyebabkan kehamilan anak. Tidak adanya hak untuk aborsi yang legal bagi korban pemerkosaan membuat korban terpaksa melanjutkan kehamilan di usia yang terlalu dini, dinikahkan atau jika tetap melakukan aborsi akan menjadi seorang kriminal. Bagian terkait seperti lempar tanggung jawab alih-alih membenahi hal ini.
Selanjutnya, diceritakan pula tentang stigma yang dihadapi ibu dengan status HIV positif yang menurun kepada anaknya. Kesulitan sang ibu untuk mengungkap status kepada anak dibarengi dengan ketakutan atas penghakiman dari orang sekitar. Tidak sedikit dari IRT ini yang terkena HIV tidak memahami dan sulit menerima karena kurangnya edukasi, sosialisasi, dan penyuluhan. Jika ada, semua terkesan seperti sembunyi-sembunyi.
Tidak ketinggalan juga membahas soal ruang aman bagi kaum LGBTQIA+ yang sangat sedikit sekali. Diskriminasi dan dikucilkan seakan sudah sewajarnya terjadi. Lewat buku ini aku memahami kalau orientasi seksual dan ekspresi gender itu adalah dua hal yang berbeda. Juga bahwa terapi konversi itu sejatinya menyiksa dan melanggar hak asasi manusia.
Sebagai penutup, buku ini menyajikan kisah dari seorang perempuan pekerja migran yang diceritakan lewat sudut pandang anaknya. Dia menceritakan kisah sang ibu yang divonis mati. Tentang ketidaktahuannya soal kasus apa yang selama ini menimpa ibunya. Bahwa, sebagai pekerja migran, terutama perempuan, memiliki posisi yang rawan dimanfaatkan dengan tindak kriminalitas seperti narkotika.
Membaca buku ini seperti membuka lebih lebar potret negara kita, terutama pemerintah dalam menghadapi isu-isu yang tidak bisa lagi dianggap tabu. Buku yang "berat" namun sarat makna. Terlalu banyak emosi yang muncul saat membaca buku ini
Menurutku, buku ini bagus sekali. Membuatku lebih memahami soal isu seputar gender, pentingnya edukasi seksual dan tidak serta merta mendiskriminasi suatu hal yang mungkin tidak sesuai dengan prinsip hidup atau agama kita. Perhatikan juga trigger warning yang tertera di cover belakang buku ini jika kalian tertarik untuk membaca.
Ulasan ini akan aku tutup dengan sebuah ucapan dari Gloria, salah satu narasumber di buku ini. "Ketidaktahuan tuh menyebalkan dan membuat cemas dalam jangka waktu panjang." - Pg. 154
proses membaca yg sulit, menyesakkan dan (jujur) nggak tega sekali... karena semua narasumber yg ditulis dalam reportase ini merupakan korban2 kekerasan gender dan seksual usia anak. kasusnya beragam dan bakal buat kepalamu pening; perkawinan anak, remaja hamil, isu aborsi, status HIV positif, kekerasan domestik, perundungan dan pelecehan, serta lingkaran kekerasan lain yg mengerikan —perhatikan trigger warning.
salah satu sebab terjadinya berbagai persoalan seksualitas ini adalah ketiadaan pembicaraan/diskusi yg terbuka/komprehensif mengenai hak kesehatan seksual dan reproduksi antara orang dewasa & anak. alasannya bermacam2; bahasan tsb dianggap tabu, bertentangan dgn norma agama dan nilai2 moral di masyarakat. akibatnya, anak tumbuh menjadi remaja yg kebingungan dan diliputi ketidaktahuan. ketidaktahuan ini lantas mengantarkan anak pada konten2 pornografi yg mudah diakses, tapi juga toksik, karena hanya menampilkan aspek erotis dan kesenangan saja, bukan aspek keamanan, kesehatan, etika, apalagi consent. hal ini jd masalah lagi karena berpotensi membuat anak jd korban dan juga pelaku kekerasan seksual.
padahal kesadaran akan akses informasi soal kesehatan reproduksi yg dimiliki anak akan menghindarkan mereka dari perilaku2 berisiko.
selain itu, faktor ekonomi jg jadi penyebab tinggi, khususnya dlm hal perkawinan anak (lihat slide 3). nilai2 tradisional yg masih mensubordinasi perempuan membuat mereka rentan terjebak dlm sistem perkawinan anak. kebanyakan dari mereka dinikahkan agar bisa mengurangi beban ekonomi keluarga. sbg perempuan yg lahir di daerah dgn kondisi sosiokultural semacam itu, aku cukup familier dgn peristiwa tsb.
ketika itu semua terjadi, problemnya makin berlapis karena; keluarga & institusi sekolah yg seharusnya jd ruang aman utk anak malah ikut mendiskriminasi, aparat dan pemerintah yg abai serta tidak berpihak pd korban, juga soal stigma, trauma, dan penderitaan lain yg harus ditanggung oleh mereka.
terakhir, membaca judul buku ini membuatku pingin menangis. time heals nothing, and the wound will last forever. 🥀
Konten pemicu: Kekerasan seksual, kekerasan dalam pacaran, KDRT, kehamilan tidak diinginkan, perundungan, pernikahan anak, terapi konversi, bunuh diri.
Menurutku, salah satu kekuatan dari berita adalah dia (seharusnya) tidak memberi celah bagi hal-hal fiktif masuk. Oleh karena itu, membaca buku ini menjadi jauh lebih berat karena aku tahu bahwa orang-orang yang disebut di dalamnya hidup di suatu bagian di negara ini. Aku tahu bahwa hal-hal yang ditulis dan diutarakan di buku ini nyata, dan tahu bahwa dunia ini tidak aman bagi kita—lapisan masyarakat rentan.
Setiap bagian di dalam buku ini dibuka dengan penuturan dari narasumber, lalu didukung oleh data, diikuti keterangan narasumber lain yang bisa mendukung/membantahnya, lalu memberi ruang bagi kita untuk mencerna informasi dan mengambil kesimpulan. Kalau ditarik garis besarnya, simpulan yang bisa saya ambil adalah bahwa: negara ini bukan tempat yang aman bagi perempuan, kelompok marjinal, dan anak-anak.
Kita diajak untuk mendengarkan isu-isu secara terpisah, yang semuanya memiliki dasar pemikiran dan penyelesaian yang sama: kurangnya edukasi seks dan buruknya penanganan pemerintah menghadapi isu-isu seputar gender, seksualitas, dan perlindungan anak. Lebih dalam lagi, akarnya ya ada pada patriarki. Menurut saya, orang yang concern terhadap isu-isu di atas minimal harus membaca buku ini satu kali untuk benar-benar memahami akar dari permasalahan yang jadi keresahan bersama.
P.S. Saya nangis baca wawancara dengan Melati. Di mana pun kamu berada, saya harap kamu sehat dan bahagia selalu.
Salah satu buku yang sangat penting, yang kalau saya jadi presiden akan saya jadikan buku wajib untuk setiap pejabat, aparat dan bahkan pegawai yang dilantik dan disumpah untuk mengabdi pada negara. Bahkan, saya sekarang punya keinginan untuk mengirimkan buku ini ke calon-calon wakil rakyat yang saat ini sedang sibuk berkampanye dan menebar janji-janji kosong, mendaur ulang proker yang itu-itu saja.
Kenapa teriakan para narasumber ini seperti tidak terdengar bahkan oleh pejabat-pejabat yang paling berwenang untuk membantu mereka sekalipun? Saya rasa buku ini sangat terampil dalam membahas secara gamblang permasalahan dalam setiap isu yang diangkat, baik dari segi filosofis maupun praktiknya di lapangan. Buku ini tak hanya menggaungkan slogan-slogan isu gender dan anak yang biasa kita lihat di diskursus-diskursus internet, tapi juga mengangkat betapa problematiknya pejabat-pejabat kita dan kelalaian mereka dalam memahami dan menindak isu yang ada.
Ini adalah 1/2 buku yang saya beri rating bintang lima di tahun ini. Semoga Kak Fadiyah dan para narasumber tidak akan lelah untuk menggaungkan keadilan bagi semua. Terima kasih sudah menelurkan buku ini, buku yang membuka mata banyak orang tentang bagaimana negara memandang berbagai isu anak, gender, dan seksualitas.
Kisah-kisah dalam buku ini sangat menguras emosi. Ditulis dengan sangat apik oleh Fadiyah berdasarkan artikel dari beberapa media (kebanyakan dari Project Multatuli) dan juga dari pengalaman korban (narasumber) yang diwawancarainya. Dari beberapa kisah yang saya baca, negara (melalui kebijakan-kebijakan pemerintah) dan APH justru menjadi pihak yang melakukan pembiaran dan diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok minoritas gender. Lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi ruang aman, justru menjadi sumber ketakutan. Tentunya kita tidak mau kisah-kisah memilukan tersebut terjadi pada anak, saudara, kerabat, atau teman dekat kita. Sudah seharusnya negara hadir dengan membuat kebijakan-kebijakan yang lebih humanis dengan berpihak pada korban diskriminasi dan kekerasan.
Apa yang ditulis dalam buku ini mengusik ketenangan. Liputan-liputan di dalamnya ditulis dengan baik, membuka mata yang lebih senang tertutup dan menjadi pengingat bahwa PR-PR seputar gender dan seksualitas terkait dengan anak masih menumpuk. Dan menegaskan bahwa edukasi seks adalah hal mendesak yang perlu dilakukan. Ketabuan itu harusnya segera disingkirkan. Buku yang perlu dibaca oleh semua orang, terutama orang tua, pihak sekolah, dan mereka yang terkait dengan anak dan remaja.
Memutuskan untuk yakin beli buku ini karena beberapa liputannya pernah saya baca sebelumnya. Liputan yang tentunya tidak mudah, baik bagi narasumber ataupun penulisnya. Liputan ini benar-benar harus dibaca oleh mereka yang perlu pikirannya kebuka..
Mengutip bagian epilog dalam buku ini, "Memori luka mereka tak sepenuhnya hilang..." itu sangat menyentuh buat saya.
Butuh waktu lama untuk selesai membaca buku ini, bukan karena bukunya tebal tapi isinya yang berisi hal-hal yang membuat sesak. Anak-anak yang harusnya disediakan tempat yang aman untuk belajar justru jadi korban yang hak-haknya dirampas. Semoga lebih banyak orang yang membaca buku ini dan tumbuh kesadaran untuk semakin mengerti pentingnya edukasi seks sejak dini.
2 tulisan terakhir tentang 'keluarga' baru yang menjadi ruang aman bagi kawan-kawan LGBTQIA+ dan cerita Merry Utami dari sudut pandang anaknya, Devy Christa, menjadi favorit saya.
tulisan-tulisan dalam buku ini mengajarkan saya banyak hal terkait bagaimana cara untuk menyampaikan suara kawan-kawan penyintas.
sumpah buku ini pasti bakalan w rekomendasiin ke semua orang karena membuka pandangan kita tentang hal hal yang orang amggap tabu namun hal tersebut sebenernya harus serinh dibahas agar orang2 teredukasi.
Tulisan Fadiyah tentu saja bukan tulisan baru, setidaknya jika kamu dekat dengan isu gender dan seksualitas, lebih-lebih kalau kamu adalah bagian dari komunitas ini. Saya bagian di dalamnya, perundungan karena orientasi seksualitas saya yang minoritas, pernah saya alami langsung. Atau, kisah-kisah tentang terapi konversi yang dialami teman-teman saya.
Buku Fadiyah memuat ragam cerita-cerita tersebut. Saya sangat menyarankan buku ini dibaca oleh konselor (psikolog atau guru BK) khususnya untuk, setidaknya paham, bahwa kondisi kami hanya perlu didengar bukan dihakimi. Terakhir, sepertinya perlu di bagian sampul atau halaman depan tulisan peringatan "trigger warning".
Memori Tubuh Kami ditulis oleh seorang jurnalis yg bernama Fadiyah Alaidrus yang berisi liputan yg terbit sepanjang tahun 2020-2022 yang menyorot isu seputar gender dan seksualitas. Topik yg diangkat cukup krusial dan tanpa kita sadari dekat dengan kita, seperti : - Pentingnya edukasi seksual pada remaja dengan cara penyampaian dan informasi yang benar. Sampai detik ini, edukasi seksual masih dianggap tabu. -Kehamilan yang tidak diinginkan -Perkawinan pada anak -Ibu dan anak dengan HIV -Remaja LGBT, dll
Banyak stigma pada masyarakat yang membuat para korban takut untuk speak up dan mencari pertolongan. Buku ini tidak hanya mewawancarai korban, tetapi juga para pemangku kebijakan dan disajikan juga data-data yang mendukung.
Buku ini kecil2 cabe rawit ya. Ringkas tapi membekas. Buku ini mengajak para pembaca untuk berpikir mau sampai kapan edukasi seks dianggap tabu padahal damagenya tuh besar bgt dan udah ada dimana-dimana. Emang udah seharusnya negara membuat kebijakan-kebijakan yang lebih lebih berpihak pada korban diskriminasi dan kekerasan.
A very hard read indeed. For anyone interested in reading the book, and I’ve come to think that everyone should, because Fadiyah Alaidrus has sharpened the work of journalism, paving the way for clarity when sexual violence in the frame of news often gets blurred, misleading, and not taking the side of the victim.
As a sensitive read, the writer herself has put a major trigger warning, for it contains many forms of discrimination and violence such as domestic violence, intimate partner violence, unwanted pregnancy, child marriage, bullying, conversion therapy, and suicide.
Ketika membaca buku ini pertama kali, aku dibawa ke dalam sudut pandang mereka, pemilik pengalaman pahit yang harus merasakan bagaimana ketidakadilan sistem berpengaruh besar pada hidup dan trauma. Bagaimana kita secara kolektif terkadang, bahkan teramat sangat sering gagal, menyediakan ruang yang aman bagi tumbuh kembang anak.
Liputan ini menghadirkan empati, ketika pemangku kebijakan, aparat penegak hukum, dan praktik jurnalisme di luar sana menyebarkan narasi yang tidak berpihak kepada korban, tapi justru mendiskriminasi, memojokkan, menyalahkan, dan lagi-lagi berkontribusi pada budaya pemerkosaan: seolah perempuan dan kelompok marjinal layak menerima perlakuan amoral hanya karena posisinya yang rentan.
Fadiyah menyoroti betapa kekosongan edukasi seks pada rentang umur anak sampai remaja, telah menjadi bagian dari siklus kekerasan seksual. Edukasi seks yang seharusnya berperan penting bagi mereka menentukan ukuran dan pilihan sadar dalam bersikap sebagai seorang individu. Kekosongan ini pada akhirnya menuntun mereka mengakses pornografi, sebagai buntut dari kebingungan dan keingintahuan yang tidak pernah orang dewasa sekitar mereka sediakan.
“Ketidaktahuan mengantarkan pada lebih banyak keputusan-keputusan buruk. Ketidaktahuan membuat kita merasa sendiri. Terlebih saat dihadapkan pada permasalahan yang tabu dan terasa memalukan untuk dibicarakan.”
Sebuah buku dari sudut pandang penyintas yang menciptakan banyak ruang untuk berpikir. Would highly recommend :)
Pertama kalinya menuliskan review buku di blog pribadi. Meskipun isinya lebih banyak merangkum, mengingat tujuan membuat akun Goodreads memang karena aku sering lupa isi buku yang baru saja aku selesaikan.