Seno Gumira Ajidarma is a writer, photographer, and also a film critic. He writes short stories, novel, even comic book.
He has won numerous national and regional awards as a short-story writer. Also a journalist, he serves as editor of the popular weekly illustrated magazine Jakarta-Jakarta. His piece in this issue is an excerpt from his novel "Jazz, Parfum dan Insiden", published by Yayasan Bentang Budaya in 1996.
''Belajar itu di sini Wati, di tengah kehidupan, bukan di sekolah!'' (Dunia Sukab bagian 2, cerita 6, Wati Memakai Sepatu Tinggi).
Dibaca sambil menunggu proses pembuatan BPJS dari antrian 19 sampai 43. Isinya ringan tapi tidak ringan.
Buku ini berisi 17 cerita pendek. Terbagi menjadi 3 dunia. Tidak semua tokoh dalam cerpen-cerpennya ada Sukabnya ya. Saya tidak tau atas dasar apa pembagian ''dunia'' dalam buku ini, tapi saya cukup suka.
di dunia 1, cerpen2 yang ada masih ringan, bahkan ada beberapa yang masih mampu membuatmu nyengir dan tertawa tanpa suara. di dunia 2, cerpennya mulai getir. mulai mampu membuatmu tidak sabar menunggu tanda titik agar bisa bernapas sejenak. di dunia 3, ah. bagaimana menjelaskannya ya.
yang jelas saat masuk ke dunia 3, saya benar-benar harus menahan emosi saya dengan baik supaya gak nangis-yang sayangnya gagal. untung saya gak diberi tatapan aneh oleh pengunjung kantor bpjs yang lain.
ada 5 cerita yang sudah pernah saya baca di beberapa buku lain. sisa cerita lain baru kali ini saya baca. dan baik yang sudah atau belum saya baca, semuanya apik dan mampu membuat saya kembali ''membumi''. indah.
cerita yang paling favorit yang HooiyyAAAiyyOOO!, Banjir, Potret Keluarga, dan Jakarta 14 Februari 2039. ambyar. saya sampai mengulang 2x di cerita-cerita itu. saya membaca sambil memikirkan, apa yang ada di pikiran Oom Seno saat membuat cerita-cerita itu???
***
''Warni oh warni, betapa aku selalu menunggumu di jembatan itu. Bau bedakmu yang murahan, kaos oblongmu yang kampungan, dan hidungmu yang pesek menggiurkan, betapa aku rindu padamu Warni..''
''Kecantikan seorang wanita bukan di wajahnya, Marni, tapi di dalam kepalanya, otaknya'' kata ibu selalu.
''Budi, kamu jangan mimpi'' ''Aku tidak mimpi. Aku berjuang''
''melarat amat, sih, kamu? Dasar gembel!'' ''Gembel, ya, jangan dirampok,''
Saya beli melalui playbook seharga 29.000. jadi pengen beli versi cetak untuk koleksi hh.
Judul: Dunia Sukab Penulis: Seno Gumira Ajidarma Cetakan: Juni, 2001 Penerbiit: PT. Kompas Media Nusantara Tebal: x + 162 halaman
Masih dari hasil merampok perpustakaan besar kota Tegal.
Pertama kali saya mengenal Sukab adalah ketika pertama kali saya tahu tentang seorang Seno. Saya dikenalkan kepada Sukab lewat cerita 'Sepotong Senja untuk Pacarku'. Sukab adalah seorang yang sederhana, jujur, puitis (tentu saja), apa adanya, dan menurut saya Sukab adalah lelaki paling romantis. Sekitar tahun 2007 saya tahu Sukab. Dan hanya satu Sukab itu saja yang saya tahu. Sukab kekasihnya Alina.
Apa jadinya kalau ternyata banyak sekali Sukab-Sukab di dunia Seno? Saya terkecoh dengan Sukab yang romantis tadi. Ternyata Sukab sering bermain di banyak cerita Seno.
Dunia Sukab menawarkan karakter-karakter Sukab yang lain. Setidaknya 8 cerita mengisahkan Sukab secara langsung dengan isi yang berbeda-beda. Selebihnya adalah cerita lain yang bermain-main di antara fakta dan rekaan.
Pada kemunculan pertamanya, Sukab hanyalah seorang figuran cerita. Ia muncul di akhir cerita silat yang dibikin Seno tahun 1984. Rupanya inilah pertama kali Sukab lahir ke dunia.
Sukab lalu menjelma menjadi tukang ketik di Lembaga Bantuan Hukum. Dia sempat menjadi calon presiden di Carmina Burana. Dan menjadi camat saat kerusuhan 1998 terjadi.
Ia lalu mendadak menjadi seorang Paman Sukab di Potret Keluarga. Saya suka filosofi sebuah potret keluarga bagi Sukab, yaitu potret yang bercerita dan natural bukan potret keluarga masa kini yang tidak jujur yang berdiri berjajar-jajar menghadap kamera, dengan jas, dasi, dan kain kebaya seperti mau kondangan -maunya nampak luks, mewah, dan kaya.
Sukab sempat menjadi seorang dilematis. Antara memilih sepatu lama atau sepatu baru, memilih antara setia dan tidak setia.
Sebagai seorang suami dan kurir toko bunga, Sukab nampaknya harus sadar betapa beruntungnya seorang lelaki ketika mendapatkan istri yang setia. Bukan malah menggoda babu perumahan atau penari dangdut dengan bunga murahan.
Di cerpen 'Khuldi', Sukab adalah seorang pedagang buah. Ia menjual buah khuldi yang nyatanya laris manis tak karuan di serbu para pembeli.
Di akhir pengantarnya Seno menulis, "Tapi apalah artinya sebuah nama? Judul-judul, nama-nama, kata-kata, semuanya berbaur dalam berbagai peristiwa, membentuk dunia kita, dengan atau tanpa Sukab."
Ya, Sukab hanyalah seorang saksi dari beberapa peristiwa yang terjadi di dunia kita yang secara sengaja dihadirkan untuk memberikan kesaksiannya dalam setiap peran yang dia jalani di setiap cerita.
Saya membaca Dunia Sukab agak telat, sebab ada rasa keki sedikit dengan nama itu. Alasannya adalah setelah beberapa kali membaca cerpen SGA dalam kumcer kompas ataupun beberapa media massa lain, penulisnya sering mengulang-ulang nama ini, tak ada keindahan pada nama sukab, ditambah saya dulu merasa perulangan nama adalah hal yg tidak kreatif. Eh, lha kok ternyata malah ada satu buku yg dikhususkan untuk Sukab. Setelah cukup banyak membaca variasi cerpen barulah saya menemukan beberapa penulis lain juga sering menggunakan nama yang sama dalam cerpen-cerpennya (dan kebanyakan penulis laki-laki).
Ada tujubelas cerpen yang masuk dalam buku kumcer ini. Cerpen-cerpen tersebut di bagi menjadi 3 bagian yaitu Dunia Sukab 1, 2 dan 3. Cerpen-cerpen tersebut ditulis dalam periode waktu 1987-2001. "Nama itu suka muncul begitu saja setiap kali saya membayangkan sosok 'rakyat'." begitulah keterangan SGA dalam pengantar kumcer ini, ini membuat saya mengasosiasikannya dengan bung karno ketika memperkenalkan Marhaen sebagai ganti proletar. Tidak aneh sebab SGA ini jago soal model ATM (Amati, Tiru, Modifikasi), ia pun terbuka mengakui bahwa judul Dunia Sukab bisa jadi terinspirasi dari 'Dunia Azwar' ataupun 'Dunia Tanpa Sutris'. Mengingat sebagian besar tulisan tersebut terbit ketika orde baru masih berkuasa dan masa awal reformasi. Sebagai orang yang mengemukakan gagasan "Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara" mayoritas cerpen dalam buku ini sarat dengan kritik sosial.
Kelebihan SGA kurasa adalah kemampuannya mengamplifikasi peristiwa-peristiwa yang ditutup-tutupi atau segera ingin dilupakan pihak-pihak tertentu. Manusia Api, Tetangga saya yang bertato, dan Jakarta, 14 Februari 2039, membuat pembacanya kembali teringat akan peristiwa-peristiwa besar dimasa lalu yang mulai terlupakan dan belum terselesaikan.
Sebelumnya aku tidak tertarik membaca buku yang berisi kumpulan-kumpulan cerita pendek. Permasalahan utama yang kuhadapi ketika membaca buku seperti itu adalah: sulitnya meresapi kandungan cerita. Ketika memulai kisah baru, aku terpaksa melupakan kisah sebelumnya. Begitupan dengan tokoh, latar, dan elemen lain dalam cerita yang terpaksa harus dilenyapkan begitu saja. Cerpen betul-betul omong kosong, pembaca hanya dipaksa menikmati kisah-kisah berjangka pendek!
Sampai akhirnya aku menemukan Dunia Sukab karangan SGA yang, secara mengejutkan, mengubah pandanganku perihal cerpen.
Dunia Sukab adalah buku yang berisi (kalau tidak salah) 17 kumpulan cerita pendek. Masing-masing cerita memiliki keunikan yang berbeda. Cerita favoritku adalah Wati Memakai Sepatu Tinggi. Mungkin kisahnya sederhana dan terkesan umum, tentang seorang wanita yang tak terbiasa mengenakan sepatu berhak tinggi. Namun, cerita ini tercipta melalui jemari tangan SGA (yang kita tahu) memiliki kemampuan luar biasa di dunia tulis. Aku jadi mengerti bahwa wanita berhak tinggi di luar sana sebetulnya hanya terpaksa mengenakan hak tinggi, tidak ada yang benar-benar ingin. Sebelum akhirnya kaki mereka ‘kapalan’ dan sakit tak karuan.
Lalu, apa makna di balik kisah itu? Jawabannya ada di dalam buku, silakan dibaca sendiri.
Sejauh ini, buku Dunia Sukab adalah Kumcer terbaik yang pernah kubaca.
Seperti "Saksi Mata", buku ini sarat dengan pengamatan dan kritik terhadap fenomena sosial yang ada di negeri ini terutama pada zaman orde baru. Beberapa cerita menohok langsung ketidakadilan sosial tersebut, seperti terkisah dalam "Jakarta, 14 Februari 2039", "Telepon dari Aceh", "Hidup Seorang Pegawai Negeri", "Manusia Api", dan "Carmina Burana".
Kisah-kisah barusan menurut saya sangat amat kuat dan menjadi cerita unggulan dalam buku ini. Jujur, saya juga senang Noura Books kembali menerbitkannya, supaya saya yang agak terlambat bisa berkesempatan untuk membacanya sekarang.
Sukab tukang ketinting tukang bangunan penggugat pejabat tukang bunga pedagan khuldi Paman Sukab Camat Sukab si Mintuk si Badu semua Sukab bahkan Perempuan Preman itu juga Sukab.
Memasuki dunia imajinasi Seno Gumira Ajidarma berarti memasuki dunia absurditas. Dunia yang sureal, terkadang mengawang-awang, dengan jalinan cerita yang liar. Namun, di balik absurditas itu sebenarnya termaktub fakta-fakta nahas dari berbagai fenomena yang terjadi di dunia nyata. Ini sejalan dengan kredo masyhur Seno: “ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara.”
“Dunia Sukab” adalah salah satu contoh kredo itu. Cerita-cerita di dalamnya tentu saja nyleneh. Namun, sebenarnya menceritakan kisah-kisah nahas yang terjadi di Indonesia pada periode Orde Baru hingga senjakala rezim Soeharto di akhir 90an. Jadi meskipun ceritanya dibikin sureal, pembaca sebenarnya sedang diajak mengingat kerusuhan massal tahun 98 ketika orang-orang liar—yang tampaknya diarahkan menjadi liar—membikin kerusuhan, membakar toko-toko, dan memerkosa perempuan-perempuan Tionghoa dengan sentimen rasisme yang kental. Atau bagaimana terjadinya extrajudicial killing karena ada yang namanya “petrus” alias penembak misterius yang boleh menembak siapa saja yang dituduh preman, seseorang boleh ditembak mati tanpa proses hukum jika ia dianggap sebagai preman, bahkan hanya karena ia bertato.
Saya mengenal akrab setidaknya tiga tokoh misterius dalam karya-karya SGA: Sukab, Alina, dan Tukang Cerita. Ketiganya kerap hadir di cerita-cerita Seno, dan di buku ini Sukab secara istimewa mendapat tempatnya tersendiri. Semua cerita mengisahkan Sukab. Menariknya, Sukab ini bukan hanya satu sosok. Lebih tepatnya mungkin Seno membuat banyak tokoh dengan banyak latar belakang cerita, tapi memberi nama semuanya Sukab.
Buku tentang carut marutnya tatanan hidup di era Orde Baru. Namun, masih sangat relevan dibaca sekarang. Untuk mengingatkan kita agar tidak terjerembab ke lubang hitam yang sama. Lubang hitam yang menjadikan banyak manusia malang menjadi korban. Lubang hitam yang tidak memanusiakan manusia.
Buku SGA pertamaku. Kumpulan cerita pendek yang tidak pendek, bahasa yang ringan tapi tidak ringan, menggembirakan tapi juga menyesakkan. Satire monohok, kejadian penting yang terlupakan dan terabaikan semacam dievaporasi kembali puing-puing udara. Sesuai SGA yg selalu berpendapat bahwa jurnalis dan sastra berjalan beriringan, saling membantu satu sama lain.
Sebagai generasi Z, rasanya semakin melompat ke cerita berikutnya, energiku semakin terkuras. Karena butuh usaha lebih untuk mencari tahu tafsir dibaliknya. SGA sedang bercerita tentang apa ya?, sejarah yang mana ya?. Yang aku tahu hanya tragedi kerusuhan Mei 1998 masa orde baru dalam cerita "Jakarta, 14 Februari 2039". Sedangkan untuk kisah "Telepon dari Aceh", "Hidup Seorang Pegawai Negeri', "Manusia Api", dan "Carmina Burana", sampai sekarang masih menerka-nerka dan jungkir balik sampai geliyengan, sepenasaran itu tapi bingung nyari tau kemana. Hal ini cukup mengisi dahaga saya yang selalu haus data sejarah dan kejadian-kejadian kelam di Indonesia.
Bahkan cerita “Buah Khuldi” dan “Sukab dan Sepatu” sampai sekarang masih membingungkan bagiku. Jadi selama belum paham seutuhnya makan belum tahu cerita mana yang menjadi favoritku.
Selain faktor usia dan wawasan, mungkin juga dikarenakan ini buku SGA pertamaku sehingga sulit bagiku untuk menginterpretasi, sebab belum mengenal penulis dan tulisannya. Maka nanti akan ku tulis ulang review ini, ketika sudah tahu tafsir ceritanya kemana.
Terdiri dari 3 bagian besar dengan total 17 cerpen, saya sangat suka bagaimana cerpen-cerpen tersebut diceritakan. Tidak seperti buku-buku SGA yang lain, saya kira ini adalah buku SGA yang paling saya senangi. Tema-tema yang diangkat dalam cerpen tidak melulu yang surrealis seperti di buku Negeri Kabut, tetapi tema-tema yang dekat dengan kehidupan seperti merantau, pemilihan, copet, preman, sepatu, sampai koruptor. Pilihan kalimat juga tidak mengulang-ulang seperti di buku Sepotong Senja untuk Pacarku.
Dari ketiga bagian besar dalam buku ini, hanya bagian pertama yang secara gamblang menunjukkan Sukab dengan jelas. Sedang bagian kedua dan ketiga, Sukab tidak ditulis sebagai tokoh. Mengutip Catatan Editor di halaman-halaman awal, "Di titik inilah, sastra hadir sebagai padang luas yang multitafsir. Sangat mungkin Sukab hadir sebagai tokoh yang tak bernama dalam cerita, atau tokoh narator dalam cerita, atau bahkan Sukab keluar dari cerita dan sedang membaca cerita itu sendiri? Sukab sangat mungkin diejawantahkan sebagai kita yang hadir di luar cerita Seno. Semua bebas menafsirkannya. Yang pasti Sukab terasa ada di sana."
This is a compilation of short stories, some are entertaining, and some are thought-provoking. My favorites are: Carmina Burana, a critic to politicians who all echo the same thing over and over again so people just don't know who to trust anymore. Wati Memakai Sepatu Tinggi, about a secretary who questions the quality of a 'good secretary' that people expect: someone with good skills or with socially-acceptable appearance? Perempuan Preman, about a super-heroine who wont stop fighting crimes until women get justice.
I'm not quite sure what is the similarity/silver lining from all the stories. Not every story has the character 'Sukab' (despite the title), and the genre of the stories are not all the same. The book is also divided into three chapters that, again, I don't quite understand what they are based on.
Aku tahu Sukab.. Sukab.. sering kudengar namanya disebut-sebut dalam buku Seno yang pertama kali kubaca. Serius! Benar, aku pun sempat penasaran dengan Sukab. Tapi sejak membaca Negeri Kabut, aku tidak memedulikan lagi.. sepertinya aku tahu Sukab adalah representasi kita semua. Ahh tapi jangan banyak berharap Sukab dalam buku ini semenarik cerpen2 Sukab di buku lain.. menurutku malah cerita2 disini tidak semenarik cerita Sukab di buku lainnya. Ya, tentu.. tidak semua cerita Sukab terangkum dalam buku ini. Tapi cukuplah mengobati kekangenanku membaca cerpen Seno.
Coba baca cerpen Seno dalam buku ini yang berjudul "Tetangga Saya yang Bertato", saya pikir (dan merasa) sedang membaca cerpen Budi Darma.
Sukab bukanlah satu figur. Dia bisa menjadi siapa saja dalam kumpulan cerpen ini. Sebagai seorang penjual bunga yang menanti Tumirah, pujaan hatinya, yang tak kunjung datang. Sebagai penjual buah yang menjual buah terlarang, khuldi. Sebagaimana dituliskan SGA, Sukab hanya sekadar nama.
Dari pengucapannya, Sukab nama yang sederhana, lucu, dan jelata. Namun, buku ini tak hanya tentang Sukab, tetapi juga tokoh lain, termasuk Wati, Badu, dan lainnya. Ceritanya juga tak harus lucu atau menggelitik. Ada juga yang sampai membuat mengurut dada, seperti cerita Jakarta, 14 Februari 2039. Ini cerita korban pemerkosaan massal pada 1998. Cerita yang sangat relevan ketika fakta ini akan dihapus dari ingatan.
Awal taon dimulai dengan karya penulis favorit. Yang memang ceritanya nikmat. Seorang sukab hanya nama dari pelaku, saksi, atau penjaga dalam beberapa cerita. Tapi tak semuanya ada Sukab mungkin ia sedang menonton tanpa diketahui.
SGA selalu memasukan unsur sejarah dalam cerpen yg membuat kita mengingat bagaimana kemanusiaan pernah luka di masa-masa itu. Seperti kasus 98 yg banyak melukai orang keturunan Tionghoa, atau manusia bertato yg nyawanya tak pasti.
Hidup manusia seperti kontrak, akan berakhir suatu ketika entah kapan apapun sebabnya.
Sukab dalam Seno Gumira sudah tak asing lagi kan. Di buku Sepotong Senja untuk Pacarku juga sudah kenalan dengan Sukab yang setia dan pantang menyerah. Katanya pusing mikirin nama tokoh, yaudah Sukab saja yang dijadikan banyak. Dimana-mana ada Sukab, Sukab yang melas berduka atau lagi suka, pokoknya bisa jadi apa saja. Kumpulan cerpen yang ada Sukabnya, mau jadi tokoh utama atau tokoh pembantu tak masalah, namanya juga Dunia Sukab. Tapi aku tidak menemukan Alina disini.
Buku ini, bagi saya merupakan pembuktian dari seorang Seno Gumira terhadap kata-katanya. "Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara" Sebagai seorang wartawan dan juga penulis, beliau teguh untuk tetap bersuara.
Pada cerita-cerita yang terdapat di dalam buku ini, kita diajak untuk tidak pernah melepaskan nurani kita agar tetap peduli pada dunia sekitar. Bahwa sastra dapat juga dijadikan alat kritik. Entah kepada siapa pun itu.
Cerita tentang Sukab baik sebagai pemeran utama ataupun sebatas figuran. Sukab hanya sekadar nama, seperti orang-orang di cerita tersebut yang tak lebih dari sekadar dokumentasi realita. Ada kesedihan di sana, ada ketidakadilan terasa, tidak apa-apa, itu hanya mereka. Waktu tidak seharusnya mengubur realita, Sukab hadir untuk mengingatkan kita pada kondisi saat ini, untuk kemungkinan masa depan serta untuk memahami sejarah mengapa kita sampai disebut manusia.
Cerpen-cerpen dalam Dunia Sukab sangat menarik. Topik yang diangkat beragam: KDRT, korupsi, pemilu/pilkada, sejarah '98, isu perempuan, kesetaraan gender, kesetiaan, kemanusiaan. Sebagian cerpen harus diresapi sedemikian rupa untuk memahami maksud penulis. Sebagian lainnya dapat dinikmati dan dipahami secara eksplisit.
Beberapa cerpen favoritku berjudul “Wati Memakai Sepatu Tinggi”, “Telepon dari Aceh”, “Jakarta, 14 Februari 2039”, dan “Perempuan Preman”.
Perkenalan saya pertama kali dengan Seno Gumira Ajidarma. Kumpulan Cerpen yang apik, rapi, dan penuh rasa, Sukab adalah Fulan versi lokal. Sukab adalah kita semua. Buku ini dibagi menjadi 3 bagian Dunia Sukab I sampai III, dimulai dari bagian pertama, kita akan diajak untuk tertawa melihat bagaimana seorang Sukab hadir di kisah kisah urban yang masih relevan dengan keseharian kita, hingga bagian selanjutnya berisi kritik nyentrik tentang negeri ini tapi tak terkesan sok kritis.
Tidak bisa mendapatkan nilai sempurna karena tiap cerpen punya pesonanya sendiri.
Pendek, sederhana, dan mengandung kisah yang sangat Indonesia (tepatnya, sangat Jakarta). Cocok dibaca kala senggang, atau menjadi bahan bacaan di kelas untuk mengapresiasi sastra Indonesia.
Rating 3 dari 5 karena tidak mengandung sesuatu yang fenomenal atau berkesan secara pribadi. Tapi saya tetap merekomendasikan buku ini untuk dibaca semua orang.
Baru membaca buku ini setelah 3 tahun ditimbun. Kumcer SGA selalu menyenangkan untuk dibaca walau memang sudah dipublikasikan di mana-mana. Dunia Sukab ini saya pikir bakal melihat Sukab dengan banyak profesi dan tokoh, tapi makin ke belakang udah ga ada.
Judul favorit: - The Pinnochio Desease - Potret Keluarga - Manusia Api - Wati Memakai Sepatu Tinggi
Jujur saya lebih menyukai buku Kumpulan cerpen yang ditulis SGA ini apalagi isinya banyak yang mengaitkan tentang isu korupsi dan juga tragedi tahun 1998! Jadi penasaran sama Kumcer lainnya yang beliau tulis XD
Sukab. Salah satu nama yang menemani tumbuh kembang saya mulai sejak masuk SMA. Saya memang tidak mengikuti tulisan-tulisan Seno sejak awal. Tapi ketika saya menghitung kembali ke belakang, ternyata sudah nyaris 20 tahun saya membaca tulisan-tulisan beliau. Syukron jazilan.
Dunia Sukab menyenangkan untuk dibaca. Setiap ceritanya terasa ringan dan akrab dengan kehidupan. Ada cerita yang ingin mengejek pejabat, ada juga cerita tentang kisah kasih manusia, semuanya disajikan dengan sederhana hingga terasa satir.