Jump to ratings and reviews
Rate this book

Trilogi Insiden

Jazz, Parfum, dan Insiden

Rate this book
Kritik terhadap penguasa bisa disampaikan melalui apa saja. Bagi seniman tentu melalui karya-karyanya. Salah satunya Seno Gumira Ajidarma. Sebagai cerpenis, novelis sekaligus jurnalis, Seno menyampaikan kritik tajamnya kepada penguasa melalui tulisan-tulisannya. Balutan kalimat Seno dengan bahasa yang lugas selalu bisa diikuti pembaca dengan enak, meski ujung-ujungnya mengajak pembaca ke sebuah kisah suram. Seperti meninggalnya seseorang dengan tidak wajar, kondisi sosial yang mengenaskan serta pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara.

Cerpen-cerpen yang dihasilkan Seno mengukuhkan dia sebagai oposan bagi penguasa Orde Baru. Ia mulai mengkritisi Orba sejak 1980-an. Cerpen-cerpen Seno memang menyuarakan perlawanan, dan menentang budaya Orba. Jauh sebelum kejatuhan rezim Soeharto, Seno menuliskan hal-hal yang tabu untuk ditulis pada masa itu, seperti tema-tema yang mengangkat persoalan ras, suku, korupsi, ketamakan manusia, kebohongan, penindasan manusia atas lainnya, serta perbedaan kelas.

Buku ini terdiri dari lima bagian. Bagian pertama menyajikan seluk beluk posmodernisme. Bagian kedua mengetengahkan tentang politik kebudayaan Orde Baru, lalu bagian ketiga adalah tinjauan Karya sastra Seno. Kemudian bagian empat menyajikan pembahasan tentang metafiksi dan budaya populer. Sejumlah kesimpulan, yang termaktup di bagian kelima, menutup buku ini.

200 pages, Paperback

First published January 1, 1996

45 people are currently reading
666 people want to read

About the author

Seno Gumira Ajidarma

63 books838 followers
Seno Gumira Ajidarma is a writer, photographer, and also a film critic. He writes short stories, novel, even comic book.

He has won numerous national and regional awards as a short-story writer. Also a journalist, he serves as editor of the popular weekly illustrated magazine Jakarta-Jakarta. His piece in this issue is an excerpt from his novel "Jazz, Parfum dan Insiden", published by Yayasan Bentang Budaya in 1996.

Mailing-list Seno Gumira fans:
http://groups.yahoo.com/group/senogum...

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
252 (26%)
4 stars
333 (35%)
3 stars
296 (31%)
2 stars
53 (5%)
1 star
9 (<1%)
Displaying 1 - 30 of 114 reviews
Profile Image for Ikra Amesta.
149 reviews28 followers
April 15, 2024
Petunjuknya sudah sangat gamblang pada judul, bahwa novel ini mengajak pembacanya untuk mendengar, mencium, dan meringis. Jarang ada novel yang seserakah itu, yang juga memaksa pembaca untuk merangsang pengalaman inderawinya melalui kata-kata, melalui bab-bab yang berselang-seling antara dongeng, laporan, dan ingatan. Jarang ada novel yang sengaja menolak unsur-unsur pembentuknya seperti tokoh, alur, dan bahkan plot. Dan untuk yang satu itu petunjuknya juga sudah gamblang tertulis di halaman awal: “Mau disebut fiksi boleh, mau dianggap fakta terserah.”

Adegan pembuka berlangsung di lantai 20 sebuah gedung pada waktu senja. Seseorang sedang menulis surat cinta ketika cahaya langit keemas-emasan masuk. Berkas laporan di atas meja, telepon berdering, lalu lamat-lamat sepotong jazz terdengar. Selanjutnya, perjalanan yang mirip labirin mengemuka, tempat di mana nostalgia dan fenomena menunggu di tiap belokan baik sebagai hidangan maupun jebakan.

Dalam bab-bab Jazz, kita disajikan tulisan-tulisan yang seolah-olah memutarkan musik di kepala. Nama-nama seperti Wynton Marsalis, Miles Davis, Herbie Hancock yang dibahas itu sudah otomatis menerbitkan nada-nada di sela-sela teks. Sejenak, ini seperti membaca buku referensi musik atau artikel di Rolling Stone yang menelusuri topik dengan cara yang persuasif, menempatkan jazz sebagai sesembahan yang hidup dan sakral. Bukan hanya tentang orang-orang yang memainkannya, tetapi juga mereka yang mendapat pengalaman mendengarkannya, menghayatinya, lalu larut karenanya. Bahkan berlarut-larut di setiap kesendirian malam.

Dalam bab-bab Parfum, kita disuguhi seri-seri parfum seperti Obsession, Escape, L’eau D’Issey, dari Christian Dior sampai Calvin Klein, dan tentu para wanita yang hadir bersama wewangiannya masing-masing. Di sini kita diajak terperosok ke dalam koridor-koridor memori yang barangkali masih dalam proses membentuk kesadarannya sendiri. Ia hadir sebagai fragmen, membawa kenangan yang samar tentang hubungan dan perasaan yang belum tuntas─dan mungkin takkan pernah tuntas. Yang pasti, kenangan aroma parfum itu menampilkan romansa dalam warna-warni, tak sekadar emasnya senja yang cenderung mewakili kesendirian, meskipun sama-sama sementara.

Sedangkan dalam bab-bab Insiden, warna yang ditampilkan adalah merah darah─atau bisa pula hitam kelam. Topiknya seputar peristiwa penembakan terhadap warga sipil oleh militer di Dili, Timor Timur, terjadi setelah misa di sebuah gereja. Kita diajak oleh si tokoh utama membaca laporan-laporan jurnalistik yang sepertinya dilarang terbit oleh pemerintah Orde Baru. Laporan-laporan itu, ada dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, tidak hanya menyampaikan kronologis kasus penembakan tetapi juga beragam siksaan yang dilakukan oknum militer terhadap para tertuduh pemberontak. Darah yang luber di aspal jalan, mayat-mayat yang dilempar ke belakang truk, teror tengah malam dari kelompok bertopeng, biji kemaluan yang disetrum─semua itu ditulis tanpa puitisasi, tanpa permainan kata, tapi sejelas-jelasnya makna, tak ada yang disembunyikan.

Benang merah yang tampak dari novel ini adalah kesepian. Lewat jazz si tokoh utama berupaya menghibur kesendiriannya, lewat parfum ia berupaya mengingat kebersamaannya dengan orang lain, sementara lewat laporan-laporan insiden si tokoh utama berupaya merasakan sesuatu, membangkitkan perasaannya yang mungkin sedang tenggelam akan empati, luka, dan rasa sakit. Sejak awal, sepertinya ia tak pernah bermaksud menghibur kita dengan wawasannya, jalan pikirannya, atau kisah hidupnya. Ia hanya menunjukkan bahwa kesepian itu selalu kontekstual dan personal. Setiap orang merasakannya tapi tidak pernah sama. Sehingga meskipun saya tidak mendengarkan jazz yang ia dengarkan tapi bagaimana ia menampilkannya sebagai bentuk kesepian terasa mudah dipahami:

Sering kali kupikir jazz memang terbangun dari partikel malam, tempat orang-orang kesepian membutuhkan teman dan bersepakat bahwa riwayat hidup mereka telah disuarakan kembali oleh sebuah lagu.” (hlm. 66)

Dengan plot yang hilang, penokohan yang kabur, Seno Gumira Ajidarma seolah merancang karya yang bisa melebur secara langsung dalam perasaan-perasaan pembacanya. Sekaligus juga membuktikan bahwa dengan mematahkan aturan-aturan sastra justru tak menghalangi potensi karya itu untuk tetap mengasyikkan dan berisi, terutama ketika ia berdiri sebagai alat kritik. Bagian Insiden jelas merupakan bagian yang keras meneriakkan ketidakadilan. Caranya yang tampil seada-adanya, tanpa pakaian fiksi yang mentereng, telanjang, seolah mengolok-olok sensor pemerintah yang telah membungkam media massa terkait pembantaian di Dili. Dengan menyelipkan laporan-laporan faktual di dalam karya fiksi seperti ini, Seno seolah menantang pemerintah untuk berlomba membuktikan siapa yang benar kepada masyarakat─siapa yang lebih bisa dipercaya oleh masyarakat berakal sehat: politik atau sastra?

Jika Jazz adalah musik pengiringnya, maka Parfum adalah melodinya dan Insiden adalah vokalnya. Di tengah malam nyanyian itu dilantunkan, memanggil kesepian untuk datang lalu bersama-sama coba menghadang dingin yang menerjang hati. Asal bersama-sama, agaknya kesepian tak akan terasa terlalu gimana-gimana. Kehidupan juga terasa lebih masuk akal, lebih mudah diterima. Bahwa yang datang dan pergi itu, datang dan pergi sesuai jatahnya untuk datang dan pergi. Kehidupan sudah merumuskannya dari jauh-jauh hari, kitalah yang terlambat memahaminya:

Kehidupan ini bisa begitu menyiksa tanpa ada korban, karena segala sesuatunya memang keras tanpa kekerasan, kejam tanpa kekejaman, dan begitu menghancurkan tanpa harus ada penindasan.” (hlm. 178)

Asal kau kuat tak menangis menahan rindu, semuanya akan baik-baik.
Profile Image for MAILA.
481 reviews121 followers
July 22, 2017
indah.

itu satu kata yang tepat untuk menggambarkan buku ini.

buku ini tuh kayak cerita di dalam cerita ya. ada suatu cerita, nah trus tokohnya juga bercerita gitu. paham gak? wqwq

buku ini mengingatkan saya pada bukunya murakami yang South of the Border, West of the sun. banyak referensi lagu2 enak dan jadi belajar tentang Jazz juga.

saya tidak tau antara bukunya murakami dan buku ini mana dulu yang terbit, tapi saya kayak punya pikiran kalau 2 penulis ini saling menginspirasi satu sama lain gitu wqwq

lalu, sejak kecil saya tidak pernah pakai parfum karena saya tidak memiliki masalah bau badan. gak nyaman juga sih pakai minyak wangi gitu. satu2nya bau yang saya punya selain bau badan alami itu ya bau pewangi pakaian.

makanya teman2 saya suka ngeledekin, ''mai, kalau w nyium bau softener so klin langsung inget lo lho'' gitu mlulu.

nah, di buku ini banyak banget pembahasan tentang parfum2 yang bikin saya bengong gak bisa bayangin baunya hh

dari deskripsi2 yang ada sih kayaknya enak2 ya. trus saya langsung punya pikiran mau coba beli parfum masa, penasaran wqwq

kata oom seno di buku ini, parfum merupakan identitas diri.

identitas diri ya....

***

ini adalah salah satu buku terbaik yang saya baca tahun ini. beli versi digital di playbook dan langsung pengen punya versi cetaknya. bentang plis cetak ulang huhu :'(

kamu akan banyak belajar dari buku ini. tentang hubungan antar manusia, jazz, dan tentu saja, parfum!

''seribu bintang menerangi malam. kucari maknanya, kucari artinya. Barangkali kita semua memang hidup hanya untuk memburu makna hari. meyakinkan diri bahwa semua ini barangkali saja tidak terlalu sia-sia''

rekomen!
Profile Image for Sadam Faisal.
125 reviews19 followers
July 23, 2017
Walaupun pengetahuan saya tentang parfum & jazz nol besar tapi tidak mengurangi keasyikan membaca kumcer ini (udah di bantu sama catatan kaki pun tetep ga ngerti). Pas di bagian insiden ngeri juga ngebayangin bahwa kekuasaan/rezim bisa berbuat seenak jidatnya bikin rusuh & intimidasi pas interogasi itu baca & ngebayanginnya aja ngilu.
Lumayan ketawa pas baca Partai Kaus Oblong, apalagi di akhir muncul tokoh yang sudah familiar.
Profile Image for Ariel Seraphino.
Author 1 book52 followers
June 28, 2017
Saya rasa Seno Gumira Ajidarma bisa bercerita tentang apa saja dalam hidup ini dan mengolahnya menjadi sebuah cerita yang tetap menarik. Buku yang mengangkat kisah nyata ini dipelintir menjadi sebuah cerita pendek tanpa meninggalkan esensi dan pesan yang ingin disampaikan. Juara!
Profile Image for Missy J.
629 reviews107 followers
November 12, 2023
Jazz, Parfum dan Insiden, translates into Jazz, Perfume and Incident.

I was lucky to have met a woman a few years back in Yogyakarta who introduced me to the short stories of her friend Seno Gumira Ajidarma. I was captivated. His short stories are well-written, suspenseful and full of meaning. I loved them. This year turned out to be a year of reading Indonesian books and I realized that I hadn't yet read a complete book by Seno Gumira Ajidarma.

Jazz, Parfum dan Insiden was published in 1996. We need to remember that back then Indonesia was in the final years of the Suharto rule and Indonesia still occupied the nation we now call East Timor. This peculiar little book is actually Seno Gumira Ajidarma's way to criticize Indonesia's occupation of East Timor at a time when censorship was still rife.

I wouldn't call this book a short story collection since the chapters are all linked through the repetition of certain themes. But this is also not a "normal" book with a simple story line. As mentioned earlier, censorship was still a thing in Indonesia when this book got published, so to bypass it, the author wrote about three different topics giving the impression that this book was really not about East Timor.

Insiden: All eight chapters start with the title "Laporan Insiden..." and are about East Timor. The Santa Cruz Massacre. Various eye witness reports. Interviews with the governor and military general. English language reports. In some reports, perpetrators' names got redacted and names like Dili, Freitlin and Santa Cruz Massacre have been changed to avoid censorship. The brutality of the Indonesian military isn't new, but never fails to reveal how cruel human beings can be to each other.

Parfum: Five chapters start with the title "Seorang Wanita dengan Parfum (name of the perfume)" and seem to be about the protagonist's dealings with a number of women who wear different kinds of perfume and have very different personalities. He admires all the women but can’t commit to any one of them. I was annoyed by his urge to break up. All the women were fascinating but also vulnerable. I'm still not sure whether the protagonist in these chapters was the same guy who reads the reports on East Timor.

Jazz: Six chapters are dedicated to jazz, blues and the meaning of life. The protagonist also talks about Miles Davis and Wynton Marsalis. I guess this is the same protagonist from the East Timor chapters because there, the reader keeps listening to jazz music too. Some of the jazz chapters were beautifully written while some sections were completely written in English. For the protagonist, jazz is a philosophy for life and blues are the basics on how to deal with pain and suffering. He remarks that Miles Davis died 48 days before the Santa Cruz Massacre.

That leaves us with seven chapters that can’t be categorized in the three above mentioned themes. They are dispersed mainly in the second half of the book and talk about homosexuality, journalism, an office raid and a love letter to Alina. I guess there may really have been just a single protagonist. A man who works as a journalist and reads hidden reports about what is happening in East Timor, a lover of jazz who wonders why life is full of suffering, a man who has troubles connecting with women, a man who loves looking at the sunset and writing a letter to his lover to grasp a moment in life for eternity.

"Apakah hidup seperti jazz? Kehidupan, seperti jazz, memang penuh improvisasi. Banyak peristiwa tak terduga yang harus selalu kita atasi. Kita tak pernah tahu ke mana hidup ini akan membawa kita pergi. Kita boleh punya rencana, punya cita-cita, dan berusaha mencapainya, tapi hidup tidak selalu berjalan seperti kemauan kita. Barangkali kita tidak pernah mencapai tujuan kita. Barangkali kita mencapai tujuan kita, tapi dengan cara yang tidak pernah kita bayangkan. Barangkali juga kita tidak punya tujuan dalam hidup ini, tapi hidup itu akan selalu memberikan kejutan-kejutannya sendiri. Banyak kejutan. Banyak insiden. Seperti jazz? Entahlah. Aku agak mabuk."
Profile Image for Meaghan.
1,096 reviews25 followers
February 12, 2012
I have to say that this book is not really "my kind of thing" but I am enthralled by the immensely clever way it was designed.

The author, journalist Seno Gumira Ajidarma, wanted to write about the "Dili Incident" in what was then a city in Indonesia and is now the capital of East Timor, when paramilitary opened fire with machine guns on a massive crowd of peaceful protesters. The official death toll was 19; the real body count was probably in the hundreds. The government, a dictatorship, claimed the soldiers were defending themselves against a bunch of violent guerrillas, and anyone who said otherwise was arrested or had to go into hiding. Ajidarma wanted to reveal the truth about what happened, but feared reprisal.

And so he published it in a literary press (the censors didn't pay much attention to literary books) as Jazz, Perfume and the Incident. Disguised as a novel, only one-third of the chapters are about the Incident. The other chapters are loosely connected short stories/vignettes themed around jazz and perfume. This is to disguise the book from casual browsers. Only if you really start reading it do you get to the heart of it, where Ajidarma presents eyewitness accounts, Amnesty International reports about torture, etc.

Since the English-language reader is not going to have a clue about this, it was all explained in the introduction.

That is so incredibly awesome. I have to applaud Ajidarma's cleverness here. And it worked: although he lost his job over his coverage of the Incident, he was not arrested, and a few years later the dictatorship was overthrown.
Profile Image for Heri Pramono.
2 reviews
December 24, 2018
Bagaimana bisa ketika musik jazz dengan ketenangan, kedamaian bahkan memberikan hasrat yang baik bagi para pendengarnya dipadukan dengan sebuah insiden kekerasan militer yang sempat terjadi di Timor Leste?

Buku ini menjadi jawaban atas dua unsur yang saling berlawanan antara yang enak didengar dengan yang pedih untuk diceritakan.

Alur cerita yang dibalut dengan suasana kehidupan khas metropolian, buku ini mensajikan sarana edukasi terhadap salah satu gender musik sekaligus kritik terhadap proses pembungkaman media massa mengenai pengangkatan suatu insiden.
Diakhir kata "Jazz isn't music. It's language. Communication" (Enos Payne)
Profile Image for Rina.
116 reviews38 followers
August 6, 2007
You'll hear jazz, smell perfume, and feel the incident... in a smooth way.
65 reviews
March 15, 2018
Cerita dibuka dengan pemaparan tentang senja emas. Tokoh ‘aku’, yang tidak diketahui namanya, begitu mencintai senja. Ia menginginkan senja yang merah keemasan dan bersifat abadi. Kemudian dilanjutkan dengan perbincangannya dengan seorang wanita yang memakai parfum Poison dari Christian Dior.

Aku tak paham seluk-beluk parfum. Jenis-jenisnya, aromanya, dan sebagainya, kecuali satu pengetahuan bahwa aroma parfum dapat membuat seseorang jatuh cinta. Dan memang, bab-bab yang berjudul ‘Seorang Wanita dengan Parfum…’ pasti membahas tentang cinta, kesetiaan, atau patah hati.

Aku tidak paham sistematika penulisan novel ini. Tapi setidaknya jika diperhatiakn dengan cermat, urutannya selalu begini: insiden, jaz, lalu diikuti parfum. Tapi itu tidak mutlak. Sebab, urutannya tidak benar-benar begitu.

Pertama kali mengambil buku ini dari rak buku perpustakaan dan melihat sinopsis di sampul belakang, kupikir buku ini akan menyajikan cerita-cerita tentang ketidakadilan pemerintah seperti yang ditulis Leila S. Chudori (baru baca Laut Bercerita, soalnya) atau Okky Madasari. Sayangnya tidak. Benar-benar tidak.

Misalkan saja, saat membahas masalah Timur Timor (dalam judul ‘Laporan Insiden…’) diceritakan tokoh ‘aku’ yang seorang jurnalis membacai hasil wawancara, baik dari pelaku atau korban—dalam masalah seperti ini, pelaku dan korban sesungguhnya tak pernah bisa dibedakan, sebab baik pelaku maupun korban selalu menyodorkan pernyataan bahwa mereka-lah yang benar. Apalagi dalam bentuk wawancara—secara acak. Dikatakan secara acak karena di akhir bab ‘Laporan Insiden 1’ selalu dibuat menggantung, lantas cerita berganti membahas musik jazz dan dilanjutkan parfum. Kemudian kembali lagi ke ‘Laporan Insiden 2’, dst.

Aku tidak paham apa itu musik jazz. Seperti apa nadanya, ritmenya, lirik-liriknya…. Mengenali para musisi jazz saja tidak, apalagi mendengarkan lagu-lagunya. Pada akhirnya, membaca buku ini seperti membaca sesuatu yang tidak pasti. Bukan mempelajari sesuatu yang tidak pasti, sebab dari buku inilah akhirnya aku tahu apa itu jazz. Setidaknya para musisinya bisa kuketahui namanya.

Di halaman 112, penulis menyinggung Negeri Senja, karyanya yang lain. Ah, Negeri Senja. Karyanya yang lain, Kapan-kapan aku mau baca.

(cerita berbahasa Inggris dalam subbab 'Laporan Insiden 8' tidak kubaca).
Profile Image for Prasdenny.
26 reviews4 followers
May 4, 2018
...
JAZZ, PARFUM, DAN INSIDEN
Seno Gumira Ajidarma

Ada jazz. Ada parfum. Ada insiden.
Ketiganya bercerita tentang entitas masing-masing. Namun, Ketiganya juga saling melengkapi. Berpadu dalam satu narasi saling terkait dan terpisah dalam warna cerita.

Parfum menjelma kenangan. Parfum mengingatkan seseorang terhadap sebuah kisah, selembar wajah, setangkai cinta. Parfum-parfum itu menjelma aneka wajah beserta kisah romantikanya. Parfum-parfum itu menjelma makna cinta yang beragam artinya.

Ada keabadian cinta. Ada pelarian sekaligus kebebasan. Ada obsesi. Ada cinta sejati. Ada racun. Ada banyak hal di dunia ini yang kemudian oleh para ahli parfum diabadikan dalam serangkaian rumus yang menjelma aroma identitas.

Kemudian beralih pada jazz. Jazz yang menjelma bahasa. Jazz yang berbicara. Jazz yang pedih. Jazz yang menghibur. Jazz yang melayang menggema di relung kosong yang sunyi kesepian.

Ada Wynton Marsalis--seorang eksponen jazz yang menciptakan reportoar dengan standard melampaui reportoar klasik. Ada Miles Davis melalui terompet harmon mute-nya. Seorang musisi Midas--apa pun yang disentuhnya menjadi emas (Seno, 2017). Ada beberapa hal tentang Jazz beserta kegetiran dan kepedihannya namun justru menghibur banyak orang. Hiburan yang diracik dari sari pati kesedihan dan kegetiran hidup yang menjelma sebuah kebudayaan.

Beralih lagi pada sebuah insiden. Tragedi geonisdayang menjadi isu sampingan dalam cerita ini. Tragedi genosida yang menjadi bingkai cerita yang terangkai dari jazz dan parfum itu menjelma kisah di dalam kisah, cerita di dalam cerita. Namun, mereka saling terkait karena satu orang tokoh yang menjalani ketiga entitas itu. Ia bercerita tentang jazz karena memang pengikut jazz. Ia bercerita tentang beberapa wanita beserta parfum yang dipakainya. Ia juga tenggelam dalam insiden yang berbentuk reportoar tersebut. Cerita yang sedikit tegang namun diiringi komedi. Kocak sekaligus menyentil. Romantis sekaligus putus asa.
Profile Image for mereadthisbook.
87 reviews4 followers
March 11, 2021
Bah, buku tipis ini isinya tebal sekali!

Aku hanyut dalam tulisannya yang bermakna.

Buku ini terbagi menjadi tiga fokus;

Musik jazz. Aku tidak pernah semendalam ini meresapi sebuah musik, kecuali lewat lirik lagunya. Buku ini memperkenalkanku kepada sebuah aliran musik yang mengintrepretasikan kehidupan, jazz, penuh dengan improvisasi dan kejutan (salindia kedua adalah kutipan favoritku tentang Jazz).

Perempuan berparfum. Aku pun tidak pernah semendalam ini memaknai tiap aroma parfum. Buku ini membisikkan arti-arti dari setiap aroma parfum yang dipakai, ada poison, escape, eternity-- yang membawa kesan tersendiri.

Dan insiden. Insiden pendudukan militer di Timor Timur. Lagi, aku pun tidak banyak mengetahui sejarah lokal negeri sendiri. Buku ini menyediakan sebuah sejarah yang --seingatku, tidak terlalu diajari di sekolah. Dan, aish! Kejam sekali! Aku dibuat merinding oleh setiap laporan insiden yang tengah dibaca oleh sang reporter. Tidak begitu paham juga mana pihak salah atau benar, pandanganku lewat buku ini adalah mengenai HAM. Betapa nyawa manusia begitu mudahnya mereka renggut, apalagi nyawa saudara sendiri.

Cerita dalam buku ini pun layaknya musik Jazz. Aku dibawa ke dalam kisah pilu di bagian Insiden, lalu menelusuri aliran musik Jazz dan Blues yang kelam lagi kesepian --tapi merdeka, dan melewati kisah sang tokoh bersama perempuan berparfum ini itu.
Bahkan perasaan pun selalu berubah-ubah.
Profile Image for Inggita.
Author 1 book21 followers
August 25, 2007
what's key is not just the story itself, an interweaving of a metro life musings and Timor Leste shooting incident with hundreds of casualties, but the fact that SGA, a renowned chief ed and lit author took this format of camouflage over a report of gross human right abuse in East Timor - his own story, being sacked by the regime in question for reporting the news - this also became his lifetime stance ("Ketika jurnalisme dibungkam sastra harus bicara") and spirit in writing, using art even the comic format to remind us about human rights violations around us. It's a published monument for a time in history where the simple action of reporting news takes an Orwellian route in a suppressive country that Indonesia was. BTW i have the English version, courtesy of the Lontar Foundation - so get this, English-language readers.
Profile Image for Zulfasari.
50 reviews6 followers
December 30, 2017
"Alina tercinta,
Barangkali kita memang tidak usah terlalu peduli dengan semua ini. Karena serbuk-serbuk perasaan yang tersisa, juga telah hilang lenyap ditiup angin, bercampur baur dengan debu yang beterbangan, yang hanya kadang-kadang saja akan kita kenali kembali jika arah angin menuju ke arah kita...."

Entah kenapa, ada beberapa bagian yang tiba-tiba mengingatkan saya pada "After Dark" (Haruki Murakami). Mungkin karena dua karya ini sama-sama mengungkap malam dan jazz. :D

Jazz, sebuah harmoni yang berangkat dari rasa sakit. Aroma parfum membawa kenangan tentang cinta dan sakit hati. Kekacauan, darah, teka-teki yang makin gelap, dan rasa sakit yang muncul dari insiden.
Semua bersinggungan dalam kisah yang saya nikmati alurnya dari awal sampai akhir ini.
Profile Image for Gharonk.
53 reviews2 followers
August 6, 2007
Kumpulan cerpen yang disusun seperti sandwich ini merupakan salah satu karya yang khas seno. Seperti biasa merupakan karya dalam bentuk laporan pandangan mata, mengingat latar belakang nya yang memang seorang wartawan majalah mingguan Jakarta-Jakarta.

penggabungan cerita sandwich tentang Timor-Timur, seorang wanita, dan musik jazz dilakukannya secara konsisten dari awal hingga akhir. Lagi lagi tokoh wanita selalu saja bernama Alina, dan si Sukab juka muncul dalam beberapa ceritanya, masih konsisten dengan gaya sukab yang amatiran.

tidak terlalu menghentakkan memang namun bagi pemula yang ingin mengetahui gaya seno, buku ini termasuk wajib baca
Profile Image for cindy.
1,981 reviews156 followers
April 3, 2012
Tidak biasa. Indah. Blak-blakan.

Itulah tiga kata yang saya gunakan untuk menggambarkan buku ini. Mengambil tema-tema yang tidak biasanya menyatu, digarap dengan indah dan dituliskan dengan blak-blakan (meskipun di akhir insiden, banyak fakta yang dituliskan 'sengaja' disamaran dengan istilah -sensor dari pengarang-).

If jazz is a feeling, more than anything else, then parfume would be a distance memory, not real but stays in your mind forever. That way, insident would be a hard cold fact. Live with it!
Profile Image for Anastasia Eugenia Ika Wulandari.
25 reviews
June 26, 2010
"Setiap hari ada senja. Namun tidak setiap senja adalah senja keemasan." Senja emas, seorang perempuan dengan parfum Eternity dan satu surat panjang sebagai epilog.

“Apakah suatu hubungan tidak ada artinya, meski tidak akan menjadi apa-apa?”

“Kamu mau lagu apa? Biar kutulis.”

“Misty.”

Profile Image for Theresia.
Author 2 books20 followers
September 27, 2009
Seno menipiskan batas realitas dan fiksi. Mana yang laporan seorang jurnalis, mana yang hasil bedah otak seorang pengarang; pembacalah yang (kalau mau) menentukannya.

Bagian favorit saya? Surat di bagian akhir.
Profile Image for Andri.
137 reviews
October 11, 2008
buku yg rada aneh. gabungan 3 topik utama, musik jazz, parfum, dan insiden. gw suka malah satu cerpen yang tentang senja... di akhir buku ini. yg gak ada hubungan sama jazz, parfum dan insiden.
Profile Image for rivanlee.
20 reviews
December 3, 2014
jazz, parfum, dan insiden buku Seno Gumira yang pertama kali gue baca. blakblakan, walaupun agak ruwet bacanya. epilog yang indah
Profile Image for Farah Fitria Sari.
228 reviews10 followers
March 25, 2019
I like this book. The epilogue makes a good resolution. And it's just amazing how SGA could blend violence, women, and jazz into one coherent plot.
Profile Image for Wina S. Albert.
164 reviews3 followers
October 1, 2024
Seno memanfaatkan elemen-elemen seperti jazz dan parfum sebagai metafora untuk menggambarkan sifat dangkal dan kesia-siaan hidup urban. Jazz, yang seharusnya menjadi simbol kebebasan dan ekspresi, justru menjadi latar belakang bagi kehidupan yang terkurung dalam norma-norma sosial yang kaku. Dalam konteks ini, Seno menyoroti bagaimana masyarakat modern sering kali terjebak dalam rutinitas, tanpa menyadari keindahan dan kedalaman yang sebenarnya ada di sekitar mereka.

Parfum, di sisi lain, berfungsi sebagai simbol dari ilusi dan kepura-puraan. Setiap karakter yang menggunakan parfum tertentu mencerminkan identitas yang ingin mereka tunjukkan kepada dunia, meskipun kenyataannya jauh dari kesan yang ingin disampaikan. Dengan cara ini, Seno mengkritik bagaimana orang-orang berusaha mendefinisikan diri mereka melalui barang-barang material, sementara esensi sejati dari diri mereka terabaikan.

Melalui "Laporan Insiden," Seno membawa saya ke dalam realitas pahit yang dihadapi oleh masyarakat. Narasi yang menggambarkan kekerasan dan penindasan menciptakan kontras yang tajam dengan kehidupan glamor yang digambarkan sebelumnya. Dengan gaya satir, Seno menunjukkan betapa mudahnya masyarakat melupakan tragedi di sekitar mereka, lebih memilih untuk terjebak dalam kesenangan dan hiburan yang dangkal.

Dialog antar karakter sering kali mengandung humor hitam dan sarkasme, yang semakin memperkuat kritik terhadap kebodohan dan ketidakpedulian masyarakat. Ketika karakter terlibat dalam percakapan sepele tentang ketiak atau pakaian, saya diingatkan akan betapa absurdnya fokus pada hal-hal trivial saat dunia di luar sana dipenuhi dengan kesedihan dan ketidakadilan.

Jazz, Parfum, dan Insiden adalah sebuah karya yang mengajak saya untuk merenungkan kondisi sosial yang ada. Dengan kritik yang disampaikan melalui lensa satir, Seno Gumira Ajidarma berhasil menggambarkan ironi kehidupan modern dengan cara yang menyentuh dan menggugah kesadaran. Melalui novel ini, saya diajak untuk melihat lebih dalam, mempertanyakan realitas, dan mungkin, menemukan makna di balik suara jazz yang mengalun lembut di tengah keramaian kota.
Profile Image for Eche K..
10 reviews
December 6, 2025
“Mau disebut fiksi boleh, mau dianggap fakta terserah.”

Meski rasa cinta gua ke jazz nggak besar-besar amat, sekali cinta musik ya... tetap ada aja tuh lagu jazz yang bakal gua dengar. Dan untuk kali pertama gua nemu nih, ada ye sastrawan yang mampu menggambarkan musik dalam karya-karyanya dengan sangat brutal, tapi tetap beretika. Buku ini adalah kumpulan cerpen. Nggak ada tokoh atau plot yang jelas, yang ada hanya cerita.

Sesuai judul, Seno dengan luar biasanya sanggup tuh mendeskripsikan musik, parfum, dan insiden dalam satu tulisan. Dia bisa mengemas konflik dengan satire kocakkk terhadap pemerintah tanah air. Manis dan rapi. Moral sehari-hari mulai dari percintaan, keluarga, hingga kehidupan beranjak dewasa pun ada di sini. Busyet dah pokoknya. Oh iya, lu juga bakal berkenalan dengan nama-nama baru. Kayak Elmore James, Robert Cray, Miles Davis, dan masih banyak lagi. Seenggaknya ada deh yang lu bawa pulang setelah baca ini.

“Kata orang, mendapat kesempatan mencintai pun sudah lumayan. Toh lagu-lagu blues penuh dengan kekecewaan, dendam, dan pengkhianatan. Busyet. Pertanyaannya sekarang: mengapa orang menjadi penyanyi blues? Apakah karena mereka menderita? Aku sering iri melihat para musisi, karena kelihatannya mereka berbahagia,” tutur Seno di halaman berapa gitu. Gua lupa.

Gambaran Seno perihal kehidupan benar-benar membuka mata gua kalau selama ini tuh... nggak ada gunanya menjadi apatis. Banyak hal terjadi, banyak hal yang harus dipahami. Gua merasa hidup hanya dengan membaca paksaan Seno dalam buku ini; paksaan untuk ikut melihat, mencium, dan mengecap. Percaya atau nggak, buku ini gua bawa dari Nangor, Slipi, Margonda (sesuai latar di unggahan barusan), baru ke Nangor lagi. Jadi sorry kalau gua bacot banget soal buku ini.
Profile Image for Nisa F.
52 reviews9 followers
September 2, 2017
Setelah menyelesaikan buku ini, saya baru tahu kalau ternyata buku ini termasuk dari novel trilogi Insiden, yang di antaranya ada novel berjudul Saksi Mata dan Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara. Dan ada buku yang menggabungkan ketiga buku itu, tapi ya, sayanya kadung beli yang secara terpisah :( Jujur, ini adalah karya pertama SGA yang saya baca, tapi saya lebih menikmati cerita-cerita SGA dalam buku Dunia Sukab (kebetulan sekarang lagi baca yang ini), mungkin karena tema yang diangkat berat. Meski begitu, cara penyampaiannya ringan, apalagi soal laporan insiden di daerah Indonesia bagian timur (yang sekarang sudah merdeka). Dalam cerita yang mengisahkan tentang insiden itu, pembaca bukan seperti membaca laporan kejadian, tetapi seperti benar-benar menonton langsung kejadian itu. Saking penasarannya saya sama insiden ini, saya langsung mencari di Google dan ternyata ini menceritakan tentang insiden di Dili pada tahun 1991, sebelum merdeka dan menjadi Timor Leste (dulu sering disebut Timor Timur atau Timtim). Yang membuat saya agak bosan dengan buku ini, makanya lelet nyeleseinnya, itu karena saya lelah ketika membaca bagian soal Jazz, iya sih, dalam bagian ini pembaca bisa tahu banyak mengenai jazz tapi saya sering ngantuk :3 belum lagi ada bagian yang ditulis dalam bahasa Inggris, banyak sekali, sebagai orang yang bahasa Inggrisnya masih dangkal, saya perlu meluangkan waktu untuk menerjemahkannya. Tapi karena buku ini juga, saya harus mulai menyukai buku sastra.
Profile Image for Nona Ana.
122 reviews11 followers
February 5, 2024
Jazz, Parfum dan Insiden menggabungkan fakta sejarah, fiksi, dan kritik sosial dalam bentuk narasi yang tidak linier dan eksperimental. Novel ini bercerita tentang seorang wartawan yang membaca laporan-laporan tentang kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di Timor Timur saat pendudukan aparat militer Indonesia. Saat membaca laporan-laporan itu, ia juga mengingat kisah-kisah cintanya dengan berbagai perempuan yang ia ingat dengan nama parfum, serta musik jazz yang menjadi teman setianya.

Jujur cukup sulit buatku mencerna benang merah dalam Jazz, Parfum dan Insiden. Sebagai pembaca yang selalu berpikiran “Kaya gini tuh pasti ada artinya” aku belum menemukan arti yang bersinambungan antara tema yang diangkat. Tapi jujur deh, pengetahuan SGA tentang jazz keren betul, tiap baca aku jadi buka spotify dan mendengarkan lagunya sekilas. Pada bagian parfum, banyak merk-merk parfum yang aku baru tahu yang kayanya gak mungkin aku beli sih, hehe 😌 Pada bagian insiden banyak hal yang cukup brutal disini, apa lagi memasuki surat yang berbahasa inggris yang penuh sensor.

Jazz, Parfum dan Insiden adalah salah satu karya sastra yang menantang rezim Orde Baru dengan menyuarakan fakta yang ditutupi. Buku ini ditulis dengan gaya bahasa yang lugas, ironis, dan penuh metafora. Novel ini juga memperlihatkan pengaruh postmodernisme (menolak pandangan bahwa sastra harus mengikuti aturan-aturan baku, logis, dan objektif)

Secara keseluruhan kalo kamu tertarik dengan sejarah Indonesia dan isu sosial politik Jazz, Parfum, dan Insiden adalah salah satu opsi buku yang bisa kamu baca, meskipun mungkin tidak mudah dipahami oleh semua orang, buku ini akan memberikan pengalaman membaca yang berkesan.

Profile Image for M. Jundurrahmaan.
27 reviews
April 10, 2018
Premisnya menjanjikan pada bagian awal dengan cerita Senja Keemasan, yang saya rasa mengarah tentang buku Seno yang lain (Sepotong Senja Untuk Pacarku mungkin judulnya), kisah kisah metropolitan yang memikat pula karena narasi penggambaran Seno mampu mengikat alur cerita dengan kuat (terutamanya Sudah Lima Bulan Aku Menganggur) dan bagian bagian Laporan Insiden yang membangun ketegangan pasti untuk para pembaca.

Namun...

Sayangnya vignette-vignette tentang wanita-dengan-parfum dan esai-pseudo-cerpen mengenai jazz dalam buku ini membuat semangat saya langsung ambles untuk lanjut membaca. Membosankan, iya, karena rata rata, terutamanya bagian bagian Patfum terasa lumayan amburadul dengan lanturan lanturan si tokoh utama yang menurut saya setengah hati. Tapi saya maklumi sih karena ini juga terjadi di cerita cerita Insiden hehe, mungkin sengaja ditulis Seno untuk membangun atmosfir cerita.

Selain itu, kecenderungan puitis Seno juga terbilang ngelantur pula. Walaupun memang bisa saya akui sangat indah, tapi tak terkadang ia mengulang majas metaforik yang begitu begitu saja di beberapa bagian tertentu.

ah mungkin saya sendiri saja yang belum terbiasa dengan Seno hehe
Profile Image for Red. .
14 reviews1 follower
October 19, 2022
baca ini setelah baca saksi mata, yah wow. di awal buku sudah diberi peringatan, “mau disebut fiksi boleh, mau dianggap fakta terserah.”

baca buku ini kita diajak berkenalan dengan lagu jazz dan berbagai parfum, juga insiden november 1991 dan setelahnya yang dilakukan para polisi biadab—seperti yang disebut di judul. jujur waktu baca sambil muter spotify, mendengarkan berbagai judul lagu jazz atau blues apapun yang disebut. beberapa yang enak aku like. dan ya, buku ini menyadarkanku bahwa judul film a.c.a.b. alias all cops are bastards itu adalah benar adanya sejak lama. walaupun entah dalam kisah ini adalah sebuah fakta atau fiksi, aku yakin polisi memang bisa sebengis itu, seperti yang dikisahkan dalam laporan insiden buku ini.

dan ya, thanks seno gumira ajidarma atas ilmu dan informasinya. sebuah kebiasaan mengatakan terima kasih setelah membaca buku. ilmunya sampai. penulis memang sehebat itu.
Profile Image for Ananti Wungudita.
89 reviews
June 11, 2019
Aku terpukau dengan bagaimana cara Seno Gumira Ajidarma merangkai hubungan antara peristiwa yang terjadi di Timor Timur pada 1992, dengan parfum, dan terlebih lagi musik Jazz. Dimana masing-masing topik dikupas dengan lebih dalam, dan tidak hanya di permukaan saja. Dibuktikan dengan banyaknya referensi pada halaman belakang novel ini. Beberapa deskripsi tentang insiden TimTim 1992 yang terdapat pada bagian akhir novel membuat saya bergidik ngeri membayangkan hal tersebut. Bagaimana Seno juga sempat menyelipkan isu pembredelan kantor media pasa zaman orde baru yang saya kira relevan dengan saat kondisi saat ini post pemilu 2019, dimana Tim Mawar menuntut Tempo atas tulisan yang dirilisnya terkait tragedi 22 Mei 2019 yang lalu. Mengerikan jika kita kembali membayangkan pembungkaman pers terjadi kembali di masa ini.
Profile Image for Zain Nabil.
14 reviews
May 21, 2025
Membaca Jazz, Parfum, dan Insiden adalah seperti menyesap kehidupan dalam tiga rasa: kenikmatan, keintiman, dan kekerasan. Seno Gumira Ajidarma menulis dengan tiga aroma: wangi jazz yang merdu dan improvisatif, keharuman parfum yang membelai kenangan dan tubuh, serta dentuman insiden yang meledakkan realitas sosial-politik. Buku ini tidak mudah. Ia menyayat tanpa suara, menyelinap lewat ironi dan absurditas, lalu menghantam lewat fakta. Jazz menghadirkan suasana bebas dan penuh kepekaan. Parfum membawa kita pada ruang-ruang personal yang intim. Sementara Insiden—sebagai jantung karya ini—seperti ledakan prosa yang menelanjangi kekerasan negara terhadap rakyatnya. Ini bukan bacaan untuk bersantai. Ini bacaan untuk merenung. Untuk menahan napas. Untuk menyadari bahwa keindahan dan kebrutalan bisa tinggal di halaman yang sama.
Profile Image for Eva Siagian.
432 reviews6 followers
December 13, 2018
Wakss.. Akhirnya kelar.. Memang kalau baca buku mesti dalam sekali duduk biar nggak tertunda2.. Agaknya saya mulai mengenal Seno Gumira Ajidarma dari tulisannya.. Atau kebiasaannya menulis saja?! I enjoy listening jazz, tapi baca tulisan tentang jazz I feel exhausting tapi tambah referensi musik sih dari buku ini dan parfum2 yang ada di buku ini mostly saya pernah dengar, mungkin karena masanya cocok.. Tapi dari semua kamuflase tersebut, saya paling tertarik dengan bagian Insiden. Saya baru tahu mengenai insiden Timor Timur seperti ini.. Apakah sudah waktunya membaca Chega! Hmm.. (tampaknya belum, saya masih merasa malas untuk membaca yang sulit2)

Nggak lupa, Sukab diselipkan di bagian akhir buku :D
Displaying 1 - 30 of 114 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.