Teungku Daud Beureuh termasuk pendukung pertama Proklamasi Kemerdekaan RI pada 1945. Tapi pada 1953 ia angkat-senjata melawan RI. Inilah kisah sang pejuang yang merasa dikhianati, kisah perlawanan daerah terhadap kekuasaan pusat yang mengekang. Teungku Daud ialah orang yang menyambut Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dengan sumpah setia. Ia mencintai Indonesia merdeka dan menggalang dana dari masyarakat Aceh untuk membiayai perjuangan militer dan politik melawan Belanda. Tak heran bila Sukarno menyebut Aceh sebagai "daerah modal republik" ketika mengunjungi daerah ini untuk yang pertama kali pada 1948. Perkembangan RI setelah pengakuan kedaulatan menjauh dari harapan Teungku Daud. Ia pun memutuskan angkat-senjata melawan pemerintah pusat. Buku ini adalah satu dari serial Tokoh Islam di Awal Kemerdekaan diangkat dari liputan khusus Majalah Berita Mingguan Tempo pada 2003-2010. Serial ini menampilkan wajah Islam Indonesia yang majemuk. Sedari awal berdirinya Republik Indonesia, selalu saja ada sosok yang mengedepankan perdamaian dan demokrasi, tapi juga ada yang dirudung kecewa lantas memilih jalan radikal dan kekerasan. (
Daud Bereuh (dan rakyat Aceh yang diwakilinya) tidak ingin memisahkan diri dari Republik. DI/TII yang dipimpinnya bukan GAM yang ingin merdeka dari Republik. Ia hanya ingin rakyat Aceh diberi otonomi untuk memimpin dirinya sendiri, dengan harapan dapat mengembalikan kejayaan di zaman Sultan Iskandar Muda dulu dan dapat dengan bebas menjalankan syariat Islam.
Daud Bereuh memimpin perang kemerdekaan yang dahsyat, memukul mundur Belanda, di saat daerah lain di Indonesia kocar-kacir akibat agresi militer Belanda. Aceh bisa saja memilih untuk merdeka kala itu, namun Daud Bereuh memilih tunduk dan mengajak rakyat Aceh untuk mendukung republik baru ini dengan sungguh-sungguh, menyumbangkan apa yang mereka punya untuk kepentingan republik. Daud Bereuh bersumpah setia dan siap menjalankan pemerintah pusat.
Katanya, "di mana lagi kau bisa dapatkan negara dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa?"
Tapi dia kecewa. Janji agar rakyat Aceh bisa hidup dengan menjalankan syariat Islam tidak kunjung diberikan. Perannya dikecilkan. Dan baginya hanya ada satu jalan, melawan!
KAGUM DAN TERHARU! Perjuangan demi rakyat dan agama. Itu saja yang penting buatnya.
Membaca beberapa kisah hidup tokoh Islam Indonesia di zaman awal-awal kemerdekaan, saya jadi merefleksikannya dengan kondisi yang terjadi saat ini. Kenapa banyak umat muslim yang berang dengan pemerintah? Kenapa umat muslim yang mayoritas selalu merasa menjadi korban dan haknya diambil?
Tadinya saya mengeneralisir, menganggap masalahnya hanya karena kekhawatiran segelintir golongan yang takut ke-mayoritas-an mereka akan berkurang dan privilege yang mereka miliki akan hilang jika membuka diri kepada golongan minoritas. Tapi kok ya egois sekali. Rasanya logika dan hati nurani saya tidak bisa menerima hal ini, karena yang saya tahu dan saya percayai, ajaran Islam itu rahmatan lil alamin, memberi rahmat untuk SEMESTA, bukan cuma golongan dan kaumnya saja.
Tapi rupanya akarnya lebih dalam lagi. Di saat mendirikan republik ini, bapak-bapak (dan ibu-ibu) pendirinya diharuskan untuk menaungi dan menggabungkan kepentingan dari semua orang yang berjasa dalam memerdekakan Indonesia dari opresi bangsa lain dan kolonialisme. Padahal ideologi dan kepentingan orang-orang yang berjasa itu banyak yang bersebrangan dan bertentangan satu sama lain. Akhirnya ya banyak sekali yang kecewa.
Pejuang2 Islam banyak yang merasa jasanya paling besar (karena 90 persen rakyat Indonesia tercatat beragama Islam). Mereka ingin Islam dimasukkan di dalam dasar negara dan undang-undang. Dan bapak-bapak (dan ibu-ibu) pendiri bangsa kita menyanggupi dan seolah berjanji untuk melakukannya. Tapi karena memperhatikan kepentingan rakyat Indonesia yang lain, janji itu kemudian diingkari, dan sepertinya alasannya tidak dikomunikasikan cara yang benar-benar bisa diterima. Akibatnya banyak pihak yang merasa dikhianati oleh pemerintah dan perasaan itu diturunkan dari generasi ke generasi.
Well, sebagai manusia saja kita tidak bisa membuat semua orang puas dan senang dengan keputusan kita. Kalo kata Taylor Swift, "Haters gonna hate, hate, hate," kan. Apalagi sebagai orang yang mendirikan bangsa yang begitu majemuk seperti Indonesia.
Ya, jadi probelmatis sih. Semuanya punya dendam yang berakar dari sejarah panjang negeri ini. Idealnya sih (mungkin) pemerintah berbesar hati minta maaf atas semua dosa-dosa yang dilakukan pendahulunya (dengan tulus dan bersungguh-sungguh). Dan berharap rakyat dapat memaafkan dan mau menerima pemerintahan baru yang dari nol, terbebas dari dosa-dosa masa lalu. Masalah tentu tetap akan muncul, tapi setidaknya masalah baru, dan tidak tercampur dengan unfinsihed business di masa lalu. Mungkin.
Daud Beureueh - Pejuang Kemerdekaan yang Berontak by Tempo
⭐4,3 Buku yang didalamnya menjelaskan mengenai sosok Daud Beureueh, petinggi DII/TII Aceh.
Daud Beureueh, pemimpin aksi pemberontakan/perlawanan Aceh pasca era kolonial. Dalam buku ini cukup menjelaskan secara gamblang alasan dibalik pemberontakan yg dilakukan Abu Daud (Daud Beureueh)
Selain membahas mengenai pemberontakan Abu Daud, seri buku tempo yang satu ini juga menjelaskan mengenai perang Aceh dan pergolakan yang terjadi di Aceh sebelum dan sesudah perlawanan yang dilakukan Abu Daud serta dampak yang ditimbulkan pasca perang
Diceritakan pula mengenai sosok yang sangat beken yaitu Snouck Hurgronje dan sejarah singkatnya.
*Membaca buku ini, selain menambah pengetahuan tentang sosok Daud Beureueh juga menambah pengetahuan tentang beberapa hal² yang ada di Aceh😄. Seperti perbedaan antara Teungku dan Teuku, yang baru aku ketahui🥲.
Seri Buku Tempo seperti ini tidak diragukan lagi kenyamanan pembahasaannya, singkat dan dijelaskan secara jelas dan lugas, menurutku.
Ada tiga bahasan penting yang dimuat dalam buku ini. Pertama, alasan dan cerita yang melatarbelakangi Daud Beureueh memberontak. Kedua, karisma dan hal-hal yang menyihir pendukungnya mengikuti perintah dan arahannya. Ketiga, impian, sumpah, dan alasan Daud Beureueh pernah berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Tiga bahasan itu dikaji Tim Buku Tempo berdasarkan wawancara dengan kerabat dan orang terdekat Daud Beureueh, penelitian dan hasil wawancara yang bersumber langsung dari Daud Beureueh, serta buku-buku terkait Darul Islam dan revolusi yang terjadi di Aceh.
Mengikuti topik-topik yang disajikan dalam buku ini tidak terlalu sulit. Mungkin karena gaya jurnalistik ala Tempo atau mungkin gaya dramatis yang menghidupkan penceritaan tentang Daud Beureueh.
Walaupun banyak perkataan "Sejarah dibuat oleh pemenang", "Sejarah berisi realitas yang dilebih-lebihkan", "Sejarah berisi mitos, urusan politik, dsb", tetapi di buku ini dijelaskan bahwa segala pandangan terkait sejarah memang seperti itu, maka dari itu dibutuhkan berbagai sudut pandang dari masing-masing ahli dan narasumber yang berbeda agar bervariasi. Untuk komposisi buku ini udah kece banget si, diawal dijelaskan kronologis dan latar belakang singkat kenapa Daud bisa berontak dan seterusnya, dijelaskan tokoh-tokoh yang berpengaruh dengan daud beureuh secara singkat, dan di akhir buku dijelaskan sudut pandang terhadap tokoh utama dari berbagai sumber, totally clear for beginners who start to read a history book, recommended!!! ^_^
Buku ini mengisahkan Daud Beureuh yang penuh dengan keserdehanaan dan perlawanan. Sosok yang penuh karisma dan disegani oleh rakyat Aceh pada zamannya. Selain itu, juga dikisahkan perihal Snouck Hurgronje yang menjadi katalis bagi perlawanan Aceh, serta kolom dari para akademisi perihal penyebab "pembangkangan" Aceh dari jaman kolonial sampai pasca reformasi.
Bahasa yang dipakai buku ini sangat mudah dimengerti, tetapi ada beberapa typo dibeberapa kata dan tidak berpengaruh terhadap keseluruhan isi buku.
Buat saya, masih terasa kurang dan belum puas untuk membaca kisah Daud Beureuh.. tapi sudah cukuplah para wartawan Tempo bersusah payah menggali informasi dan merangkumnya dalam buku ini.. karena mungkin tak ada lagi yang mau menggali informasi tentang Daud Beureueh di masa sekarang ini ...
Kisah yang luar biasa. Membuka sudut pandang pembaca, mengapa Aceh memberontak. Aceh, tanah serambi Mekah yang bergolak sebab presiden kala itu tak memegang janji.
Tak hanya Daud Beureuh yang diceritakan. Berbicara sejarah Aceh, tak lepas dari sang orientalis Snouck Horgronje. Dalam buku ini pembaca diajak berkenalan dengan sosok dari Belanda ini.
Saya penggemar seri buku Tempo, cocok buat saya yang pengen tahu sesuatu secara lengkap, tapi tidak mendalam, dengan dilengkapi analisis ahli. Membaca buku ini tak cuma belajar mengenai Daud Beureueh tapi juga sejarah panjang konflik Aceh. Lengkap.
Siapa yang tidak kecewa ketika sudah dijanjikan akan diberikan oleh Pemerintah hak otonomi mengatur daerahnya dan bisa menerapkan syariat Islam untuk kemudian Pemerintah ingkar? Padahal rakyat Aceh sangat mendukung Pemerintah pada saat itu dengan memberikan sumbangan emas yang bisa membeli pesawat demi mendukung tercapainya kemerdekaan Republik Indonesia. Daud Beureueh kecewa berat ketika Aceh digabung ke dalam Sumatera Timur. Di mata Abu Beureuh, Soekarno ingkar janji. Dia masuk ke hutan dan mulai gerilya melawan Pemerintah.
Buku ini tidak hanya menceritakan tentang Daud Beureueh, melainkan juga sejarah bagaimana Christiaan Snouck Hurgronje memberikan wejangan pada Belanda bagaimana caranya untuk mengalahkan Aceh. Sarannya, adu antara kaum uleebalang dan kaum ulamanya. Buku ini juga menceritakan bahwa sejak dulu kerajaan di Aceh memang sangat merepotkan Hindia Belanda. Yang kemudian akhirnya saya bisa mengerti akar kenapa pemberontakan di Aceh memang tidak mudah dipadamkan. Setelah Daud Beureueh, masih ada Hasan di Tiro.
Kemudian, saya jadi tersadar sekarang. Buku ini tidak fokus membahas Daud Beureueh karena dia juga semacam ngalor-ngidul bercerita tentang Hurgronje dan lain-lain.
Semua pemberontakan terjadi karena ketidakpuasan terhadap kualitas pemerintahan. Buku yang menceritakan bagaimana seorang yang sebelumnya mendukung perjuangan negeri ini kemudian beralih memilih melawan apa yang pernah dia cintai. Juga bagaimana hubungannya dengan GAM sebenarnya