Satu-satunya karya non-fiksi Pramoedya semasa tahanan di Buru, bukan novel. Buku ini merupakan kumpulan catatan berisi surat-surat pribadi kepada anak-anaknya yang tak pernah terkirim, juga esai-esai, terutama sangat mencengkam adalah renungannya yang tajam merekam apa yang dialami sebagai pribadi, sebagai suami dan ayah, sebagai pengarang dan tahanan politik rezim militerisme.
Pramoedya Ananta Toer was an Indonesian author of novels, short stories, essays, polemics, and histories of his homeland and its people. A well-regarded writer in the West, Pramoedya's outspoken and often politically charged writings faced censorship in his native land during the pre-reformation era. For opposing the policies of both founding president Sukarno, as well as those of its successor, the New Order regime of Suharto, he faced extrajudicial punishment. During the many years in which he suffered imprisonment and house arrest, he became a cause célèbre for advocates of freedom of expression and human rights.
Bibliography: * Kranji-Bekasi Jatuh (1947) * Perburuan (The Fugitive) (1950) * Keluarga Gerilya (1950) * Bukan Pasarmalam (1951) * Cerita dari Blora (1952) * Gulat di Jakarta (1953) * Korupsi (Corruption) (1954) * Midah - Si Manis Bergigi Emas (1954) * Cerita Calon Arang (The King, the Witch, and the Priest) (1957) * Hoakiau di Indonesia (1960) * Panggil Aku Kartini Saja I & II (1962) * The Buru Quartet o Bumi Manusia (This Earth of Mankind) (1980) o Anak Semua Bangsa (Child of All Nations) (1980) o Jejak Langkah (Footsteps) (1985) o Rumah Kaca (House of Glass) (1988) * Gadis Pantai (The Girl from the Coast) (1982) * Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (A Mute's Soliloquy) (1995) * Arus Balik (1995) * Arok Dedes (1999) * Mangir (1999) * Larasati (2000)
Bukan, ini bukan Auschwitz di Austria. Ini bukan Gulag Archipelago di negeri Rusia. Ini juga bukan Kamp Guantanamo di Kuba. Pun ini bukan Kwan Li So di Korea Utara. Ini hanya pulau kecil yang serupa tapi tak sama dengan tempat-tempat macam itu. Ini pulau ada di antara 13.000 gugusan pulau di negeri sendiri, di republik tercinta, di pangkuan ibu pertiwi, Indonesia. Ya, pulau ini hanya salah satu potret paling primitif dari peradaban manusia yang ada di permukaan bumi. Dan kali ini pulau itu punya nama “Buru”. (Pandasurya, April ’04) *** Tidak, yang mati tidak harus bisu. Energi mereka tetap hidup melalui berbagai cara, jalan dan sarana, dari saringan Buru ini. Bermacam cara dan saat sang maut mendatangi. Mereka yang tidak lolos saringan, yang semuanya saja memberi keterangan tertulis dengan tinta sabun pada interlini di antara kalimat-kalimat pariwisata tentang ketinggian kebudayaan, peradaban, keramahtamahan dan kesopanan Indonesia. Pada suatu kali mungkin ada yang mampu mencatatnya tanpa tangannya gemetar dan tanpa membasahi kertasnya.(h. 181)
Waktu kami dijemur hampir sehari menunggu datangnya kapal di tanah lapang pelabuhan Sodong, sambil menyaksikan teman-teman lain dihantami para petugas karena bertukar pakaian pembagian—maklum pakaian itu tanpa mengindahkan ukuran badan yang menerima—kelaparan itu sudah sampai pada titik tertinggi kegarangannya. Kami yang berjongkok pada sejalur pagar bluntas beramai-ramai merengguti daun bluntas penuh debu jalanan dan mengganyangnya mentah-mentah tanpa dicuci lebih dahulu. Kalau air untuk mencuci pun ada, kami tak akan bisa meninggalkan barisan tanpa kena hajar. Dan jangan kau muntah melihat kami makan tikus kakus yang gemuk lagi besar itu, atau bonggol batang papaya atau bonggol pisang—mentah-mentah—atau lintah darat yang ditusuk dengan lidi. Bahkan drs. J.P. bisa menelan cicak hidup-hidup setelah dipotesi telapak kakinya yang empat. Ia ahli menangkap cicak. Dengan ibu jari dan telunjuk ia menjepit tengkuk binatang celaka itu dan hewan perangkak itu pun disorong masuk ke gua tenggorokannya. Keberanian menantang kelaparan adalah kepahlawanan tersendiri. (h. 6)
Sekiranya kapal ini tenggelam—kami akan mati bersama, delapan ratus orang ini—dalam sekapan dengan semua pintu terkunci dari luar. Ah-ya, apa salahnya mati? Setidak-tidaknya kami masih bisa memberikan sesuatu pada dunia: cerita sensasi dan bagaimana pertanggunganjawab akan kembali jadi bola volley. Berapa saja sudah jumlah dan jenis makhluk telah punah dari muka bumi? Dan tak ada yang meributkan? Berapa pula serangga lain tumpas kena semprotan insektisida? Siapa meributkan? Juga hati ini tak perlu ribut. Jangan menyesal mengapa punya impian, merasa belum cukup dengan yang sudah ada. Sejak peristiwa 1965 itu aku telah kehilangan semua dan segala. Lebih tepat : semua dan segala ilusi. Dan seperti bayi-bayi selebihnya modal untuk berkomunikasi hanyalah suaraku: jeritan, raungan, keluhan, rengekan. Dan bila modal komunikasi itu dirampas, ah-ya, siapa yang bisa rampas hak untuk berdialog dengan diri sendiri? Dan yang dirampas itu akan berubah jadi energi lain yang mengguris abadi dalam kehidupan. Sentimental? Apa boleh buat, hanya sebatang kayu yang tak punya sentimen, kata penerjemah Rumania itu membantah seorang anggota Parlemen RI yang pernah datang ke negerinya, (h. 8)
Dalam kapal yang mengherankan karena tak juga tenggelam ini, masih sempat juga aku bersyukur karena terbebas dari Nusa Kambangan, dari penjara Karang Tengah dan penjara Limusbuntu : selama dua minggu sulit mandi sebagaimana biasanya manusia khatulistiwa. Di kapal ini perut agak berisi dan air mandi melimpah seperti di rumah nenek sendiri. Kebahagiaan sekecil-kecilnya perlu juga dipelajari bagaimana menikmatinya. Biarpun ke mana mata memandang memang hanya maut yang nampak: laut, kapal kakus, yang tak henti-hentinya berderak dan terengah, peluru, bayonet, perintah, appel, tanda-pangkat, pestol, bedil, pisau komando.
Dan radio kapal itu tak henti-hentinya bergaya, sekalipun tiada orang mendengarkan lagu-lagu kroncong yang cukup memualkan, doa selamat menuju hidup baru dari seorang gerejawan. Ya, selamat untuk hidup baru, katanya.
Orang bilang, bagaimana pun dan ke mana pun kau bergerak, kuburan juga tujuannya. Siapa pernah lahir, bersama dengan kelahirannya dia dijatuhi hukuman mati. Apa boleh buat, dalam kerangkeng, di atas kapal semacam ini, memang setiap kami merenungkan mati. (h. 13)
Salah satu karya non fiksi fenomenal dari Sang Pramoedya Ananta Toer. Tidak dapat disangkal lagi Pramoedya Ananta Toer menjadi pengarang kebanggaan Bangsa Indonesia dan favorit hampir semua orang yang pernah membaca karya-karya gemilangnya. Nyanyian Sunyi Seorang Bisu adalah kumpulan memoar PAT ketika ditangkap pemerintah Orde Baru dan dibuang ke Pulau Buru, Maluku. Perjalanan PAT menjadi pengarang terbesar se-Indonesia tidak lepas dari perjalanan kelam hidupnya serta dukungan para tahanan politik di Pulau Buru. Terlihat dari kekuatan bahasa tulisan serta cerita di dalam buku ini tergambarkan sosok PAT yang dihormati dan dituakan oleh hampir semua kalangan tidak terkecuali kalangan pemerintah, pers luar dan dalam negeri saat itu. Walaupun demikian seluruh perasaan amarah, pedih, gembira, prihatin, sedih, keluh, haru tetap tajam tergambarkan di seluruh rangkaian narasi memoar langka ini.
Buku ini seperti sebuah gabungan antara buku harian, curahan hati, surat yang tidak terkirim, dan laporan peristiwa. Sedikit membosankan dibandingkan novel-novel Pram yang lain. Saya tidak sampai hati dan melewati beberapa bagian yang menurut saya terlalu tragis dan tidak manusiawi. Termasuk kisah ketika perpustakaan pribadinya dibakar angkatan darat. Pada dasarnya, gagasan yang ingin disampaikan Pram dalam buku ini ada pada halaman 49, yang petikan kalimatnya adalah "Mengharapkan kebaikan hati orde baru sama dengan mimpi melihat kambing berkumis! Sistem kekuasaan yang dibangun dengan pembunuhan massal selamanya menjadi sistem yang lebih sibuk membenahi nurani sendiri". Begitulah menurut saya..
February 2023: The Mute's Soliloquy (Nyanyi Sunyi Seorang Bisu)
Now what I hear is, "Let him be. It won't be long before he dies anyway." I have lost my voice. Were I able to sing, would anyone hear this mute's soliloquy? ...
1965, Pramoedya Ananta Toer was detained at his home, imprisoned without trial and exiled to the remote Buru Island as a political prisoner.
This memoir is his collection of letters, essays that he wrote while on Buru Island. Divided into 3 major parts, the first, The Mystery of Exile which he told the story of surviving Buru Island.
On Buru Island, the food supply is not enough, prisoners are tortured, murdered and even forced to develop the arid soil by growing their own food, building roads and camps with their own bare hands. 'Drought, floods and pestilence - the very hardship of life in Buru - drove some prisoners to suicide'. He sometimes recalls the books he read before, in order to survive on the island.
Part 2, Fragments of my Life, Pak Pram wrote about his family background and how he became a writer. One of the interesting things is how his father inspired nationalism in him. However I'm touched by the strength and wisdom of his mother (remind me of Nyai Ontosoroh).
In Part 3, Lessons for my Children, Pak Pram shared his reflections on life. He wanted to become a better father than his, but he was taken away from his family. He let his children know him, his opinion and reflections through letters. ...
Throughout the reading, I can't help to think about how Pak Pram's family must have felt in regards of this whole experience, especially the wife. I am impressed with his wife, who faithfully waited and raised her children without the husband by her side.
Many times he questioned the acceptance by the society once they were released. The whole Buru episodes did not just snatched away their time, physical ability or productivity, it also snapped off their confidence.
To finish this book, I had to google a lot on Indonesia's history. Hope this year I can continue reading the second book of the Buru quartet with a new perspective.
Resensi untuk buku “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” karya Pramoedya Ananta Toer Judul buku : Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Vol.1 Penulis : Pramoedya Ananta Toer Tahun Terbit : 2001 Penerbit : Hasta Mitra
Suatu sore di pasar loak di kotaku, aku menemukan di pedagang buku bekas buku dengan judul yang sangat menarik “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” karya Pramoedya Ananta Toer. Buku yang sudah dalam keadaan sedikit kumal akan tetapi masih dapat kubaca tulisan yang ada didalamnya. Buku ini terdiri dari 2 (dua) jiid yaitu Volume 1 dan Volume 2.
Aku membacanya dengan sedikit-sedikit yang ternyata setelah kupahami buku ini berisi surat-surat yang ditujukan untuk anak-anak Pram. Diawali dengan “Permenungan dan Pengapungan”, Pramoedya sebagai seorang ayah mengucapkan selamat untuk putrinya yang baru saja menikah sekaligus ucapan pamit yang mengharukan ‘to happyland somewhere”. Pram bersama dengan teman-teman sesama tapol berangkat menuju Pulau Buru dengan kapal ADRI XV yang kondisinya sangat memprihatinkan. Tragisnya tanggal keberangkatan itu bertepatan sehari sebelum peringatan kemerdekaan RI, 16 Agustus 1969 kata seorang pemuka militer satu-satunya saat itu “Kalian tak punya hak apa-apa selain bernapas”. Pramoedya hadir dan mengamati dengan kepala sendiri bagaimana seorang temannya drs. J.P “bisa menelan cicak hidup-hidup setelah keempat kakinya dipotes… keberanian menentang kelaparan adalah kepahlawanan tersendiri”. Pram melanjutkan “Dan ternyata sudah sekian dari kami, hak untuk bernapaspun dirampas” (hal.3). Pram membuat surat menjadi makin ekspresif dengan mengutip Koetsler “Bila malam hari tiba dan giring-giring berbunyi mengunjungi sel, seorang pejuang antifasis dengan antaran seorang padri, sampailah dia pada ajal ditangan jagalnya”. Pram pun merenungkan ”Dan seperti bayi-bayi selebihnya modal untuk berkomunikasiku hanyalah suaraku : jeritan, raungan, keluhan, rengekan. Dan bila modal komunikasi itu dirampas, ah-ya, siapa yang bias rampas hak untuk berdialog dengan diri sendiri?”. Buku ini dengan segala curahan hati dan emosi penulis mampu membawa pembaca kepada saat-saat dramatis dan beberapa diantaranya cukup membuat bulu kuduk merinding seperti perlakuan para Tonwal saat berada di Wanareja (281), bagaimana mereka para tapol hidup dan ditindas oleh komandan penguasa dalam bagian “Dua kali dua jam regu” dan melihat sisi gelap kemanusiaan di Pulau Buru, bagaimana Tapol-tapol menemui nasib mereka yang tragis dan berkaparan menjadi mayat entah apa alasannya “Dan mereka Telah Pergi” bab ini seperti memberikan dan menceritakan pada kita suatu Requiem untuk mereka yang telah pergi entah karena kecelakaan alam maupun karena kesewenangan penguasa.
Akhirnya saya menutup resensi ini dengan mengutip salah satu tanggapan atas buku ini, yaitu dari San Fransisco Chronicle “ Pramoedya mempersembahkan lebih daripada secuplik kehidupan penjara. Dengan mengharukan dia menulis tentang pengkhianatan yang dia alami sebagai kisah pengkhianatan Indonesia. Sebuah kisah terlalu besar dan serius untuk dianggap sepi…”
syang sekali saya belum membaca buku ini. sudah mencari kemana2 tapi belum dapat. hmm,,ada yg mau kasih tahu dimana saya bisa mendapatkannya?
7 Februari 2010 akhoirnya saya membaca buku ini juga. seorang kawan membawakannya kepada saya tepat ketika saya lagi "kangen-kengennya" dengan Pram. tulisan2nya membuat saya terharu. ingin menangis. apalagi surat2nya kepada anak-anaknya. ini adalah sebuah memoar yang wajib dibaca.
This is an important historical document but very depressing and difficult to read. It's full of anger and bitterness. Pramoedya Ananta Toer was imprisoned without any trial or any explanation given from October 1965 to 1979. Ten years were spent on the island of Buru (1969-1979), where the political prisoners were subjected to forced labor, hunger, illness, isolation, physical and mental torture and sometimes even death. The author also started writing his Buru Quartet there. The book started off manageable but then it quickly became a struggle and difficult to read. I think it was the language and I wasn't prepared to read this. I couldn't keep the names straight of all the camp commanders and of the cruelty. Pramoedya Ananta Toer doesn't understand why he is being held as a prisoner and is rightfully angry at this injustice. What was the point of Indonesia becoming independent from the Dutch, when it would continue to oppress Indonesian people? The author was never given a proper trial but I guess that the 1965 incident and also the author's intelligence and critical thinking skills were too dangerous for the Suharto dictatorship. All the political prisoners were treated inhumanely and with this book, he wanted to document what happened on Pulau Buru and remember the deaths. He tries very hard to have a part of him that remains positive but given all the horrible things that happened to him, it is very difficult to do so. Foreign journalists visited but it took a really long time until the US pressured Suharto to release the political prisoners so that Indonesia would be regarded as safe for investors. The prisoners have only a little contact with the indigenous people of Pulau Buru. The nature of the island is very different from Java. My favorite parts of the book were the author's correspondence with his daughter. My rating is based on my experience of how difficult it was to read this book and not as a judgment of the author's experience. It is very important that he wrote this down.
"Harapan hanya milik manusia bebas."
"Dan selama hidup ada, arti pun ikut ada."
"Kalau keadaan semacam ini harus dinilai sebagai baik, Revolusi '45 sungguh tidak perlu ada. Dalam penjajahan Belanda pasti lebih baik. Kemerdekaan nasional juga tidak perlu."
"As hard as my life has been I have no desire to revenge. If I wish for anything it is for all the things that have been stolen from my life to be returned to me."
A timeless gem from one of the most celebrated Indonesian authors, Pramoedya Ananta Toer, or Pram tells his life experience during his tumultuous years in Buru Island. It started when he had been wrongly accused as Communist sympathizers during the administration of Soeharto or colloquially called 'The Smiling General' by the Western media. Then, he and few others had been caught by police and get put in prison as political prisoners (Tapol). From Nusakambangan prison to Buru Island prison, he had been struggling with hardships until his release in 1979.
What I can say about this book is, we can know their struggle with their status as political prisoners. I love how the author describes his experience using simple words with details and sometimes in a poetic tone. It difficult for me to understand a few chapters or parts of this book but I still can follow the plot. I am also impressed with him on how he still managed to writes one of his famous works, the Buru Quartet in prison. From this book, I can be immersed in Pram's point of view, his thoughts, and his feelings.
One thing that I can learn from him, is how he decided to forgive, but deep in his heart, he lamented about the few lost years in his life when he is in Buru Island. How he missed his daughter and his beloved family. Besides Nelson Mandela, he is an example of how he chooses to not get revenge for everyone who did wrong things to him. Even in this modern society, I don't think many people will do the same as they did. I really recommended this book to those who love to read his work especially Indonesians.
Rasanya berat sekali membaca buku ini.. Sebagai seorang #pramisme yang agak berambisi tentang Orde Baru dan segala kroniknya, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 1 bagai sebuah buku pedoman yang membuat saya berkali-kali menutup buku dengan keras saking kesalnya. Dibuat kaget dengan fakta-fakta memprihatinkan yang terjadi kepada para "warga", dari penindasan dengan dalih demi kenegaraan sampai pembebasan yang berlarut hingga dokumen yang dihilangkan. Buku ini hampir pasti membuat semua orang yang mendewakan jaman Orde Baru akan terbuka mata dan hatinya. Tidak heran buku ini dilarang terbit pada masanya (yang saya dapatkan setelah hampir 4 tahun mencari tanpa terjamin keasliannya), karena dengan aktual dan lugas memaparkan fakta tentang kekejaman masa itu yang sama sekali di luar nalar kemanusiaan. Sebuah bacaan wajib tentang kebenaran serta tugas yang harus dituntaskan oleh NKRI, bila mengesampingkan budaya korupsi yang sudah mendarah daging...
Terima kasih sebesarnya untuk almarum Pramoedya A. Toer yang dalam penulisannya menemui kecaman dan hambatan tak terkira. Terima kasih untuk kebenaran demi Indonesia. Turut berduka untuk mereka yang tutup usia di Buru. Semoga ada penerbit yang berani menyusun dan mempublikasikan kembali untuk #menolaklupa pada generasi masa kini.
As usual, Pramoedya succeeds in giving a very moving and honest portrayal of life in Indonesia. This book evokes emotions deep within one's heart. It brings out one's compassions for the writer, his family, and his fellow prisoners. It also gives a very good description of how successfully had the Soeharto's regime oppressed the minds of Indonesian people. When reading this book, as with reading any of Pramoedya's books, one gets the sense of how passionately he loves Indonesia, how great a hope he has for the country and the people despite of all the atrocious treatments he has received from the government. However, the average readers will need to have a basic knowledge of Indonesian modern history from the year 1945 to be able to better enjoy this book.
Through a series of letters to his children and various essays written during his 14 year imprisonment, Pramoedya provides a simple, poignant and emotional journey of his love of his family, of Indonesia and it's history. His letters cover topics from making sure his children do their homework to history, folklore, the Japanese occupation of Indonesia, life in the prison island of Buru, the corruption of the military and of Pramoedya's travels prior to imprisonment. He also tries to figure out why he and many others were imprisoned, without charge or conviction, removed from society simply because of their intellect, bad luck, political views or for no reason at all.
Tidak mudah membaca karya Pram, dalam bahasa Inggris pula. Membayangkan keadaan beliau saat menulis memoar ini (tahanan politik di pulau Buru) membuktikan beliau adalah salah satu penulis besar yang pernah dimiliki bangsa kita. Salah satu kutipan yang saya sukai:
".. you must build your own life for yourself and your future children. don't permit your journey forward to be hindered by your parent's past. they have had their own time in this world and that time is not yours. your time is the future, one that you yourself must build. your parents cannot build it for you .."
In a letter to his child entitled “The Caste System and The Revolution”, Pramoedya framed the social circumstances in Indonesia in terms of various caste groups which paralleled the Hindu caste system in India. The etymology of “Indonesia” itself derives from Greek words meaning “Indian islands,” and Hinduism had a long history in Indonesia before the arrival of Islam. For me, one of the most captivating parts of this collection of writing (which Pramoedya put together as a political prisoner in an Indonesian penal colony) was the way he situates American financial interests and multinationals within the rhetorical sphere of religion:
“In the end, it was not the Indonesian military that pushed the Dutch out of Indonesia. It was because of American financial interests that the Netherlands was finally forced to leave. And sadly, when Indonesia’s sovereignty was finally restored on December 29, 1949, the event was followed not by social unification but by social caste-ification instead. National freedom had been achieved but not so the aspirations behind independence.
…No, it’s not capital I dislike. It’s the arbitrary use of capital power that I abhor… After my internment, new political prisoners informed me that the number of people killed by the military in just a few months already surpassed the entire number of people who had died in the Vietnam War. And these were not men killed on the battlefield, but defenceless people without arms and even the intent to resist. They were killed like rats in a gutter. It was once remarked that Indonesians are “the most gentle people on earth.” The world must therefore have been amazed when these very same people embarked on a rampage of murder of a scale with very few comparisons in the history of man.
Traditionally when praying to or trying to appease the “local” gods, people sacrifice buffaloes, chickens, or goats or leave them offerings of flowers. It seems that for the new multinational gods, Indonesia’s satria [warrior caste] had prepared an almost unsurpassable human sacrifice.”
These Indonesian mass killings of 1965-1966 were an incomprehensible horror that unfolded in, what is today, the fourth most populous nation in the world. Between 500,000 to over 1 million people died. After watching Joshua Oppenheimer’s 2012 documentary “The Act of Killing”, I felt queasy and unsettled for a number of days afterward. The things done in the name of supposed 'stability'. A very narrow notion of 'stability' that entails a good environment for attracting capital investments, and translates into cracking down on supposed communist threats in the most 'efficient' manner, that is, with zero due process.
Southeast Asia is very close to my heart. Most of my family still lives there. There’s such a confluence of cultures entangled together there, and it’s an incredibly beautiful part of the world with immense biodiversity. And so I’ve tried to learn more about it over the years, as a way of feeling closer to family and also better connecting with the geographical history that has shaped the generations preceding me, and ultimately myself.
It still saddens me when I ponder the extent to which America was involved in perpetuating the 1965-1966 mass killings in the name of communist crack-downs. It further saddens me at how Lee Kuan Yew was such close friends with Suharto, and shared such a horrifying conception of humanity and social order. I think reading good ol' Harry Lee saying something like, “If I have to shoot 200,000 students to save China from another 100 years of disorder, so be it.” — no matter the context, it’s revealing of how similar Lee Kuan Yew’s notion of governance aligned with Suharto’s. But reading Lee Kuan Yew interviews, you discover how large a role Japanese brutalities in Singapore shaped Lee's dark Hobbesian conception of the world. Violence begets more violence. Pramoedya also detailed the sickening brutalities that occurred in Indonesia under Japanese occupation, and how they were far worse than the oppression they suffered under Dutch colonialism. Yet Pramoedya's response to Japanese brutality was not the same as Lee Kuan Yew's. Authoritarianism was not the answer to violence. A wise sage once said, "Those who live by the sword, die by the sword." You can be an agnostic Muslim humanist like Pramoedya and live out the gospel far more than some people who hear it every Sunday in church. St. Paul wrote: "For it is not the hearers of the law who are righteous in God’s sight, but the doers of the law who will be justified. When people of the nations, who do not possess the law, do instinctively what the law requires, these, though not having the law, are a law to themselves. They show that what the law requires is written on their hearts, to which their own conscience also bears witness" (Romans 2:13-15). Pramoedya was one of these people who had teachings of peace and justice written on his heart, to which his own conscience also bore witness.
It’s nothing less than a miracle that Pramoedya’s prison writings survived, 800 pages of them, which were so wonderfully distilled into this treat of a book by his editors and translators. I actually stumbled upon this book by accident. I picked it up at an interesting book sale where you were basically allowed to stuff a large shopping bag full of as many books as you could and leave for only $10. I started reading this book quite a while ago, but it lost its way in the shuffle of things, and I only recently thought to get back to it.
I think Pramoedya’s a very engaging writer, and his writing draws on so many interesting fields of thought he’s encountered in his own reading. He’s very opinionated, and even when I often find myself disagreeing with his perspective, I still find him such a pleasure to read. Sometimes, especially when writing to his children, he sounds like one of my aunts lecturing me about staying safe and being responsible.
I hope to read one of his novels one day. I find Pramoedya’s courage and persistence in not standing down from power, remarkable. To think that he could be imprisoned by both the Dutch colonial powers in the late 1940’s and later by his own nationalist government in 1960’s-1970’s just by sitting behind a typewriter and sharing his thoughts, speaks volumes to his ability as a writer.
Pramoedya was a 20th-century Jeremiah writing on scrolls that King Jehoiakim did not look too favourably upon as he burned them strip by strip on his apartment brazier (Jeremiah 36:23). Jeremiah 22:16-17 reads:
“He judged the cause of the poor and needy; then it was well. Is not this to know me? says the Lord. But your eyes and heart are only on your dishonest gain, for shedding innocent blood, and for practicing oppression and violence.”
That’s the sort of stuff that gets you imprisoned, whether by the colonial government (Babylon) or your own government (King Zedekiah). It’s a wonder prophetic writings survive, but maybe it’s not so surprising considering how much they mean to the common people who read them and understand the ways they speak truth to power.
Saya percaya kreativitas, karya dan pencerahan sejalan lurus dengan kebebasan dalam berpendapat dan berpikir. Segala macam belenggu, penjara, ikatan dan kekangan tidak membuat manusia menjadi lebih baik. Malah akan membuat manusia makin keras melawan, sebuah laten pembawaan hasrat manusia akan pencapaian diri. Penjara dan kerangkeng kebebasan adalah sebuah blunder yang dibuat karena sikap paranoid terhadap pemikiran. Saya tidak membenarkan perbuatan jahat tanpa ganjaran, kurungan dalam hal ini masih dibutuhkan. Namun benarkah institusi penjara atau lembaga pemasyarakatan hal ini akan membawa kebaikan? Tidak juga saya pikir. Penjara dalam banyak kisah malah melahirkan pesakitan yang lebih ahli dalam kejahatan.
Anda tentu pernah mendengar Joni Indo, Robin Hood dari Indonesia. Perampok yang beken pada tahun 80an, sering keluar masuk penjara. Dan konon setiap kali keluar dari penjara ia makin ahli dalam menjalani aksi perampokannya. Memang hal ini tidak bisa dijadikan sebuah indikator empiris dalam pembuktian bahwa penjara menjadi sekolah kejahatan (school of crime). Tetapi paling tidak akan memberikan anda sebuah gambaran betapa institusi yang harusnya menyadarkan, malah membuat ‘pasien’ makin parah.
Bertahun lalu, di Jogja saya bertemu dengan kawan-kawan lama sesama pegiat pers mahasiswa. Selain mencari percetakan untuk majalah edisi berikutnya saya juga menyempatkan diri untuk mencari beberapa buku yang memang sudah lama saya inginkan. Salah satunya adalah Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Pertama kali saya membaca buku ini saat saya bekunjung dirumah Pras, kawan saya yang juga tinggal di Jogja. Pras ini adalah salah satu anggota Ekspresi[i]. Di kamarnya banyak sekali buku-buku, diantara sekian ratus buku yang sebagian besar adalah buku sastra, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu- lah yang paling menyita perhatian saya.
Sejak lama saya menginginkan buku ini, karena di dalamnya adalah pengalaman dan pandangan Pramoedya Ananta Toer. Pramoedya sejauh yang saya ketahui, adalah seorang wartawan, seorang penulis, kritikus sastra, penerjemah karya sastra, dan pengarang dari Tetralogi Pulau buru, sebuah roman kebangkitan nasional indonesia. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu sendiri di tulis antara 6 Februari 1925 sampai dengan 1995, sebagian besar ditulis di pengasingannya di pulau Buru.
Menjadi menarik, karena Pramoedya yang dipenjara dan diasingkan di pulau buru tidak pernah merasa diadili dan mengetahui, kesalahan apa ia perbuat hingga akhirnya harus dihukum. Jika pun ia harus dihukum, maka saya berpikir ia dihukum karena menyerukan kebenaran dan keberanian untuk berpikir bebas. Hal ini diungkapkannya saat diwawancarai tim psikologi gabungan Univesitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada yang di pimpin Prof. Dr Fuad Hasan. Saat itu Pramoedya berkata “saya merasa diperlakukan tidak menurut hukum. Belum pernah saya dijatuhi hukuman oleh suatu pengadilan saya selalu menulis dengan nama jelas, setiap orang boleh menyalahkan, apalagi pemerintah yang memiliki kementrian penerangan… saya tidak bicara tentang kekuasaan yang sedang berlaku. Saya bicara tentang Indonesia, jika kami bersalah maka hukumlah dengan setimpal. Jika tidak, bebaskanlah”.[ii] Tindakan pemerintah yang menangkap dan mengurung Pramoedya dalam Rumah Tahanan Chusus (RTC) Salemba adalah sikap pengecut. Pramoedya diciduk dari kediamannya oleh militer, lalu buku-buku koleksi pribadinya dibakar. Sebuah bentuk tirani dari pemerintah, dalam menekuk intelektualitas yang dianggap laten dan berbahaya bagi ketertiban umum. Namun apa itu ketertiban umum? Apa itu melawan pancasila? Apa itu separatisme? Pemahaman yang konyol dan tidak utuh terhadap suatu terminologi. Kekonyolan macam ini yang akhirnya membuat Pramoedya pada akhirnya diasingkan di Pulau Buru.
Keresahan dan ketidakadilan yang dirasakan selama pengasingan di Pulau Buru bukan milik Pramoedya seorang, ada sekitar 12.000 tahanan politik (Tapol) lainnya. Dalam catatannya, Pramoedya mengungkapkan, hampir sebagian besar yang diasingkan tidak menjalani proses peradilan yang layak. Hal ini Ia ungkapkan dalam surat terbuka kepada Goenawan Muhamad (GM), “Tidak pernah ada pengadilan terhadap saya sebelum dijebloskan ke Buru. Semua menganggap saya sebagai barang mainan. Betapa sakitnya ketika pada 1965 saya dikeroyok habis-habisan, sementara pemerintah yang berkewajiban melindungi justru menangkap saya.” Mungkin hal inilah yang membuat Pramoedya menjadi seorang apatis dan pensiun percaya terhadap segala institusi pemerintah. Yang dianggapnya sama saja dan merupakan perpanjangan tangan pemerintahan fasis.[iii] Banyak pengalaman pahit dan getir yang dilalui Pramoedya saat di Pulau Buru, ia merasakan kekejaman dan ketidakadilan terhadap haknya sebagai manusia. Penyiksaan batin dan fisik menjadi sebuah keseharian. “berdua kami ditempeleng dan aku mendapatkan tambahan semburan ludah. Dan waktu tinjunya tiba-tiba mengenai ulu hatiku aku meliuk nyaris roboh.”[iv]. Apakah ini tujuan pengasingan? Terlebih-lebih yang katanya penjara bagi Tapol eks Komunis yang membahayakan stabilitas pancasila? Buat saya tak lebih dari pertunjukan sirkus penjara.
Penjara, meminjam istilah Michel Foucault sebagai monumen Panoptikon. ‘to induce in the inmate a state of conscious and permanent visibility that assures the automatic functioning of power’[v]. Sebuah monumen yang kelahirannya dibuat sebagai institusi menakutkan, sebuah teror tidak sadar yang membayangi pemikiran setiap manusia untuk berpikir dua kali jika ingin melakukan hal buruk. Namun bagaimana jika monumen yang sejatinya dibuat untuk melindungi dan mencegah perbuatan jahat menjadi institusi yang melegalkan dan membiakan kejahatan? Hal ini tentu akan menjadi sebuah ironi yang akan kita (saya) tertawakan dengan getir.
Buku ini memberikan saya perspektif berbeda tentang kemerdekaan menulis dan berekspresi.
[i] Lembaga Pers Mahasiswa, Universitas Negeri Yogyakarta, didirikan pada tanggal 20 April 1992 [ii] Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I. Hasta Mitra. Jakarta, 1995 (hal. 19) [iii] Ibid 87 [iv] Ibid 87 [v] Michel Foucault, Discipline & Punish: The Birth of the Prison (NY: Vintage Books 1995)
Karyanya yang paling personal dan salah satu yang membuat Pram punya elan vital menulis yang sangat tinggi lantaran teman temannya menciptakan tema yang tak ada habisnya. Esai ini sungguh jujur namun tetap mempertahankan kesubtilan bahasa yang dia gunakan. Pada dasarnya, sesederhana suara suara yang punya hak dan tidak ingin hilang ditelan angin. Apalagi angin sejarah yang suka mengundang amnesia.
"Aku ke happy land somewhere: Konon ke Pulau Buru di Maluku..."
Pak Pram memang seorang maestro, bahkan di pembuangan pun karyanya tetap mumpuni. Tetralogi Buru mungkin karyanya yang paling populer, tapi buku non-fiksi ini barangkali adalah karyanya yang terpenting.
Mengutip kata pak pram dalam buku ini:
"Sistem kekuasaan yang dibangun dengan pembunuhan massal selamanya menjadi sistem yang lebih sibuk membenahi nurani sendiri."
" setiap pengalaman adalah fondasi bagi orang yang dapat menilainya secara tepat untuk hidup selanjutnya, sekalipun hidup selanjutnya itu hanya tinggal beberapa tahun, bulan atau hari." p.127 - PAT -
Membaca ulang buku ini lagi, setiap kali membaca lagi selalu terasa seolah saya juga yang terlibat sebagai korban ketidakadilan yang dibuang dan terpinggirkan di pulau buru......
The story of Toer's imprisonment on Buru Island, and the death and suffering there. Toer wrote the Buru Quartet and other pieces while imprisoned. The old story of starvation and lack of medical treatment, for those who are deemed dispensable. The format includes letters to his nine children, who were robbed of their father for many years. Made me want to stock and eat a lot of food!
Ada dua buku yang selesai saya baca terkait nasib para tahanan politik Orde Baru di Pulau Buru. Buku pertama berjudul Bertahan Hidup di Pulau Buru karya Mars Noersmono dan buku kedua berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu milik Pram.
Kedua buku itu ditulis oleh penulisnya ketika mereka diasingkan di Pulau Buru. Mars Noersmono diasingkan di sana selama delapan tahun sementara Pramoedya A. Toer selama sepuluh tahun.
Keduanya sama-sama berisi memoar yang muram. Bedanya, selain terdiri dari catatan pribadi penulisnya, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu juga terdiri dari surat-surat Pram untuk keluarganya.
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu terbagi menjadi dua jilid. Jilid pertama berisi catatan Pram selama di Pulau Buru sedangkan jilid kedua berisi riwayat kehidupan masa kecilnya sampai sebelum dia berada di pengasingan.
Jilid pertama Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dibuka dengan surat berjudul Perapungan dan Permenungan. Surat itu ditulis oleh Pram untuk putrinya yang baru saja menikah.
Tanpa mengetahui apakah suratnya sampai ke tujuan atau tidak, dia menuliskan permintaan maafnya karena hadiah pernikahan untuk putrinya justru berwujud pembuangan sang ayah di pulau terpencil.
Di dalam surat itu Pram menceritakan hari-hari keberangkatannya menuju kamp pengasingan. Dia diangkut menuju Pulau Buru dengan kapal yang sangat jauh dari kata bersih. Lantainya dikuasai kecoa. Kakusnya penuh dengan kotoran manusia. Saking banyaknya, kotoran manusia itu sampai menyerupai genangan lumpur.
Meskipun sudah udzur, kapal tersebut tetap beroperasi. Beberapa kali ia mogok. Terombang-ambing di tengah lautan. Sebagian penumpangnya putus asa. Ada yang berdoa dan berharap kapal tersebut tenggelam dihantam angin timur dan semua penumpangnya mati dimakan ikan hiu. Namun, nasib berkata lain. Ternyata kapal tersebut selamat sampai tujuan.
Di Pulau Buru Pram mendekam tanpa proses pengadilan. Pada salah satu wawancaranya dengan tim psikologi gabungan antara UI dan UGM yang saat itu mengunjungi Pulau Buru, dia mengatakan:
“Saya merasa diperlakukan tidak menurut hukum. Belum pernah saya dijatuhi hukuman oleh sesuatu pengadilan. Saya adalah seorang pengarang. Saya menulis dengan nama jelas. Sekiranya ada kesalahan atau kekeliruan dalam tulisan saya, setiap orang boleh dan berhak menyalahkan, apalagi pemerintah yang notabene mempunyai kementrian penerangan. Maka, mengapa saya ada di sini? Sekiranya saya bersalah, saya akan rela menerima hukuman.” Perpustakaan yang telah dibangunnya selama 20 tahun pun dihancurkan begitu saja oleh aparat. Pada waktu penangkapannya dia mempersilahkan koleksi perpustakaannya untuk diambil asal diselamatkan karena dapat berguna untuk kepentingan nasional. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
Di pulau yang luasnya 13 kali lebih besar daripada Singapura, Pram bersama ribuan tahanan lainnya dipaksa untuk membuka jalan tanpa peralatan karena memang belum ada. Mereka mencabuti alang-alang setinggi 2 meter lebih dan rumput-rumput tajam dengan tangan kosong. Peralatan baru datang 10 hari kemudian.
Jatah makan mereka berkurang dari hari ke hari. Awal mulanya 600 gram beras. Lalu, menyusut menjadi 500 gram. Perlahan-lahan semuanya hilang satu per satu hingga pada suatu apel pagi, Pram melihat salah satu kawannya menjatuhkan diri dalam barisan karena melihat seekor kadal. Dia menangkapnya untuk kemudian dimakan dengan harapan memperoleh protein hewani dari reptil berkaki empat itu.
Begitu pula dengan Pram. Dia bertahan hidup dengan cara memakan tikus, serangga, dan ular.
Buku ini menjadi saksi bisu sejarah kelam yang menyayat hati dan berat diikuti. Narasinya dipenuhi amarah serta kepedihan mendalam. Pramoedya Ananta Toer menjalani penahanan tanpa proses pengadilan dari Oktober 1965 hingga 1979, dengan sepuluh tahun tersita di Pulau Buru (1969-1979). Di sana, tahanan politik dipaksa menghadapi kerja paksa, kelaparan, wabah penyakit, pengucilan, siksaan fisik-mental, hingga ancaman kematian. Di tengah nestapa inilah Pram mulai merangkai Tetralogi Buru.
Awalnya saya merasa kisah ini terasa mudah dicerna, namun perlahan berubah menjadi medan pertarungan untuk saya. Mungkin karena saya kurang siap dengan gaya bahasa Pram yang "unik", atau karena saya lebih familier dengan karya fiksi Pram dan jarang membaca karya non-fiksinya, ditambah lagi saya kesulitan mengingat nama-nama komandan kamp dan kekejamannya, membuat proses membaca buku ini kian berat. Pram, yang tak pernah memahami alasan penahanannya, menyimpan kemarahan atas ketidakadilan ini. Apa arti kemerdekaan Indonesia dari Belanda jika bangsanya sendiri masih tertindas? Rezim Suharto mungkin menganggap pemikiran kritisnya dan peristiwa 1965 sebagai ancaman, sehingga menghalalkan penahanan tanpa pengadilan. Melalui buku ini, Pram berjibaku mengabadikan memori Pulau Buru dan korban-korbannya, meski upaya tetap optimistis terasa mustahil di tengah luka yang menganga.
Meski Pram dan para tahanan politik lainnya di Pulau Buru sempat dikunjungi wartawan asing, pembebasan para tapol baru terjadi setelah tekanan Amerika Serikat—huft, padahal mereka biang semua kekacauan ini—demi menciptakan citra Indonesia yang "aman" bagi investor. Interaksi tahanan dengan penduduk lokal Buru yang minim dan karakter Pulau Buru yang jauh berbeda dengan Jawa turut membentuk narasi. Di antara segala kepahitan, surat-menyurat Pram dengan sang putri menjadi bagian paling menyentuh dalam buku ini. Walau terkadang surat-surat itu tak terkirimkan.
Ini adalah buku bagian pertama. Masih ada bagian kedua yang harus saya baca. Namun, sepertinya saya harus menunda membaca bagian kedua ini. Saya masih harus menuntaskan bacaan lain—yang juga berkaitan dengan komunisme—untuk referensi utama bakal calon tesis saya. Setelah membaca buku ini, dan mengikuti keramaian perayaan Seabad Pram kemarin, saya jadi makin mengamini pernyataan Pram: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”.
Saya sedikit merasa kurang beruntung karena mendapat buku ini versi Inggris-nya. Walau begitu, hasil terjemahan masih melekat kuat pada gaya tulis Pram yang sangat menyentuh sisi kemanusiaan dari setiap pembacanya.
Buku ini merupakan kumpulan catatan dan surat yang ditulis Pram saat mendekap di Pulau Buru. Penyajian versi Inggris tersusun rapih dan kian lengkap dengan adanya pengantar pada tiap bagian utama buku.
Dari catatan ini, dapat dibayangkan akan kondisi kehidupan sebagai tapol di Pulau Buru yang sangat buruk. Berbeda dengan pengasingan di Digoel (yang saya peroleh informasinya dari buku Pram) oleh pemerintahan kolonial, pemerintahan Orde Baru menunjukkan taringnya yang tiada beda dengan binatang. Bahkan terasa saat membacanya, sifat binatang lebih manusiawi dari militerisme Orde Baru yang jauh lebih rendah.
Saya tidak bisa membayangkan betapa beratnya berpisah dengan sanak saudara, dengan kehidupan, dengan kebebasan selama 12 tahun lebih tanpa adanya alasan yang jelas. Catatan Pram membawa pembaca untuk kembali ke masa pergolakan politik '65 dan melihat satu sisi tingkah laku barbarisme ketika memegang kuasa, dan kemudian merefleksikannya akan cita-cita Indonesia yang bebas, yang dipegang setiap manusia Indonesia semasa Revolusi.
Pram juga menceritakan kesehariannya di Buru yang ia refleksikan dengan masa kecilnya sampai dewasa; mengapa ia melakukan hal-hal yang menurutnya dinilai benar dan darimana ia memperolehnya. Ini juga disajikan sebagai pesan bagi keturunannya, bagi anak-anaknya, walaupun searah karena sensor pengiriman surat keluar Buru.
"Release, release! Ever since the word was first discovered, its meaning has been the same: freedom from unwelcome realities, deliverance unto a better world. So it is with Hinduism and Buddhism too."
Buku ini sangat direkomendasikan bagi siapapun yang merasa dirinya anak manusia.
Saya membutuhkan waktu yang agak lama untuk menyelesaikan buku ini. Yah karena faktor pekerjaan, kehidupan, dan lain-lain. Tapi, mungkin juga karena isi dari buku ini yang bikin hati tersayat-sayat, kemuakan, dan kemarahan. Memang, saya tidak bisa menilai sisi pemerintah (pihak yang diceritakan dengan segala kekejiannya) benar belaka. Ini merupakan catatan pribadi seorang Pram. Namun, pemerintah sendiri seakan menutup ruang dialog untuk mencari kebenaran sejati yang dialami pada masa penindasan tapol. Banyak kasus tentang hak asasi lain di Indonesia yang masih belum terselesaikan. Namun, dengan tidak memberikan ruang dialog, lubang hitam sejarah tersebut akan terus menganga.
Saya tidak bisa berkata apa-apalagi untuk Pram. Dia dikhianati oleh negerinya, dituduh bagian kelompok yang dia sendiri tidak tergabung di dalamnya. Ketakutan memang benar-benar bisa merusak akal sehat dan nurani. Bayangkan, semua kisah yang tercantum di buku ini terjadi hanya sebatas karena pemerintah takut! Benar-benar memalukan.
Bagi yang ingin membaca buku-buku Pram, mungkin buku ini bisa dibaca terlebih dahulu agar mengetahui kondisi mental Pram dalam menulis. Dan bagi saya, buku ini juga bisa menjadi framework untuk menilai buku-bukunya yang lain, yang ia tulis sebelum menjadi tapol.
Dari beberapa buku Pramoedya Ananta Toer yang pernah dibaca, ini buku terkelam. Bikin nggak enak makan, mual, ngilu, sedih, bahkan nyaris bikin depresi.
Nggak bisa bayangin gimana kehidupan di sana. Dibuang, dijauhkan dari keluarga, (katanya) dihukum tapi tanpa dikasih tahu kesalahannya, tanpa putusan pengadilan, bahkan tanpa surat penangkapan, yang sama artinya diculik. Belum lagi kondisi alam di sana yang nggak bagus. Ditambah harus kerja atau berusaha hidup, demi kebutuhan hidup yang nggak cukup disediakan pemerintah. Masih harus kasih "upeti" ke petugas di sana pula.
Di bagian terakhir buku, ada daftar nama mereka yang meninggal di pulau Buru, yang berhasil dicatat, sebelum muncul larangan pencatatan. Ditulis sebab meninggalnya juga, yang dalihnya Pram, bisa dijadikan jalan bagi keluarga tapol buat tahu anggota keluarganya yang ikut dibuang di sana, masih hidup atau sudah meninggal.
Berharap bisa baca yang jilid 2, tapi mungkin nggak dalam waktu dekat. Biar nggak megap-megap depresi.
Sebuah karangan atau memoir yang menyakitkan bagi orang yang mengalami, dan bahkan bagi pembacanya. Setelah kemerdekaan, Indonesia justru mengalami sejarah kelam bagi sebagian warga negaranya. Kita tidak membenarkan perilaku PKI sebagai partai yang anarkis, tapi kita juga tidak boleh membenarkan juga perilaku yang berkuasa melalukan penyelewengan kekuasaannya.
Memoir ini menjadi bukti sejarah, sumber primer paling penting untuk membahas sejarah Indonesia periode Orde Baru. Sayangnya sejarah Orba yang dikenal masyarakat hanya sebatas Indonesia katanya maju di masa Orba, pernah swasembada dan macan Asia (padahak tidak), serta sejarah lainnya hingga melupakan sejarah kelamnya periode tersebut. Sejarawan Indonesia harus berusaha agar dilaksanakannya kembali pelurusan sejarah.
Untuk semua oknum yang menyelewengkan kekuasaannya, semoga Allah beri balasan setimpal. Untuk setiap korban yang mengalami kedzaliman, semoga Allah angkat derajatnya.
Dapat buku ini di penjual kaki lima TIM bagaikan mendapat harta karun, karena selalu penasaran dengan era paling kelam yg dijalani oleh Indonesia, dan tidak mudah untuk mencari buku ini di toko2 buku besar.
Proverbs says "bangsa yg besar adalah bangsa yg menghargai sejarahnya". Terlepas pada era tsb siapa yg salah siapa yg benar, Indonesia harus mengakui, ada 1 periode kelam dimasa kemerdekaan yg menorehkan luka cukup dalam dan tidak bisa dengan mudah dihapuskan dalam ingatan.
Buku yg layak untuk dibaca oleh semua yg merasa warga negara Indonesia.
Hatiku teriris perih membaca memoar Pramoedya Ananta Toer ini. Mata selalu berkaca-kaca di setiap akhir bab. Bagaimana mungkin di negeri merdeka seperti NKRI ada perbudakan di kamp kerja paksa seperti P. Buru? Bukannya hal-hal keji seperti itu hanya dialami bangsa terjajah?
Cukup lama waktu yang aku butuhkan untuk menghabiskan buku ini. Bukan karena isinya tak bagus atau membosankan. Bukan. Membaca tulisan Pramoedya selalu menyenangkan. Rasanya memang berat untuk melanjutkan dari satu bab ke bab selanjutnya.