Jump to ratings and reviews
Rate this book

9 Summers 10 Autumns

Rate this book
Di kaki Gunung Panderman, di rumah berukuran 6 x 7 meter, seorang anak laki-laki bermimpi. Kelak, ia akan membangun kamar di rumah mungilnya. Hidup bertujuh dengan segala sesuatu yang terbatas, membuat ia bahkan tak memiliki kamar sendiri. Bapaknya, sopir angkot yang tak bisa mengingat tanggal lahirnya. Sementara ibunya, tidak tamat Sekolah Dasar. Ia tumbuh besar bersama empat saudara perempuan. Tak ada mainan yang bisa diingatnya. Tak ada sepeda, tak ada boneka, hanya buku-buku pelajaran yang menjadi "teman bermain"-nya. Di tengah kesulitan ekonomi, bersama saudara-saudaranya, ia mencari tambahan uang dengan berjualan di saat bulan puasa, mengecat boneka kayu di wirausaha kecil dekat rumah, atau membantu tetangga berdagang di pasar. Pendidikanlah yang kemudian membentangkan jalan keluar dari penderitaan. Dan kesempatan memang hanya datang kepada siapa yang siap menerimanya. Dengan kegigihan, anak Kota Apel dapat bekerja di The Big Apple, New York. Sepuluh tahun mengembara di kota paling kosmopolit itu membuatnya berhasil mengangkat harkat keluarga sampai meraih posisi tinggi di salah satu perusahaan top dunia. Namun tak selamanya gemerlap lampu-lampu New York dapat mengobati kenangan yang getir. Sebuah peristiwa mengejutkan terjadi dan menghadirkan seseorang yang membawanya menengok kembali ke masa lalu. Dan pada akhirnya, cinta keluargalah yang menyelamatkan semuanya.

238 pages, Paperback

Published February 22, 2011

251 people are currently reading
2410 people want to read

About the author

Iwan Setyawan

14 books335 followers
Penulis lahir di Batu 2 Desember 1974. Lulusan terbaik fakultas MIPA IPB 1997 dari Jurusan Statistika ini bekerja selama tiga tahun di Jakarta sebagai data analis di Nielsen dan Danareksa Research Institute. Ia selanjutnya merambah karir di New York City selama 10 tahun. Pencinta yoga, sastra. dan seni teater ini meninggalkan NYC Juni 2010 dengan posisi terakhir sebagai Director, Internal Client Management di Nielsen Consumer Research, New York. 9 Summers 10 Autumns adalah novel pertama yang terinspirasi dari perjalanan hidupnya sebagai anak seorang sopir di Kota Batu ke New York City. Buku pertamanya Melankoli Kota Batu berupa kumpulan fotografi dan narasi puitis, didekasikan untuk Kota Batu. Iwan saat ini tinggal di Batu, Jawa Timur.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
582 (19%)
4 stars
961 (31%)
3 stars
1,053 (34%)
2 stars
347 (11%)
1 star
84 (2%)
Displaying 1 - 30 of 449 reviews
Profile Image for lita.
440 reviews65 followers
April 17, 2011
“Aku” lahir dan besar di Batu, Malang, Jawa Timur. Ayahnya seorang supir angkot, dan ibunya tinggal di rumah yang harus bersiasat mencukupi kebutuhan hidup, termasuk sekolah, untuk kelima anaknya. Keluarga ini bisa dibilang bersahaja, karena meski hidup sangat pas-pasan, mereka amat sadar pendidikan. Faktor satu ini amat mereka sadari sebagai satu-satunya jalan keluar dari himpitan ekonomi yang kian sulit.

“Aku” anak ketiga dari lima bersaudara. Masa kecil yang sulit nyatanya tidak merintangi jalannya menuju sukses. Kelak “Aku” berhasil kuliah di salah satu institut papan atas di Indonesia, lulus dengan nilai tinggi, dan menempati jabatan tinggi di sebuah perusahaan survey ternama di dunia di sebuah kota bergengsi di dunia: New York.

Gaya Iwan Setiawan dalam menuturkan masa kecilnya yang sulit dan kesuksesannya di masa dewasa mengingatkan saya pada gaya penulisan Jostein Gaarder. Penulis ini menggunakan tokoh “bayangan” dalam setiap buku yang dia tulis. Tokoh “bayangan” ini diciptakan untuk menciptakan dialog dua arah untuk setiap gagasan atau pemikiran penulis, melalui hubungan emosional yang terbangun kuat di antara keduanya. Dalam bayangan saya, entah sengaja atau tidak, gaya bercerita inilah yang dipilih Iwan Setiawan untuk menyampaikan pemikirannya.

Menilik gaya bahasa yang digunakan Iwan Setiawan membuat saya bertanya-tanya apa tujuan buku ini ditulis dan seperti apa target pembacanya. Penggunaan bahasa Inggris yang cukup dominan, dan penyebutan tempat seperti SoHo, downward facing dog (salah satu gerakan dalam yoga), Blue Ribbon, atau penyebutan merek secara langsung, bukan menyebutkan bendanya (seperti menyebut iphone ketimbang telpon genggam) hanya bisa dipahami dengan mudah oleh pembaca dari kalangan menengah ke atas. Padahal, bila menilik cerita yang digambarkan Iwan Setiawan, seharusnya buku ini menjadi sumber inspiratif yang bisa dicontoh untuk bergelut melawan kesulitan hidup. Pilihan bahasa yang sederhana dan membumi, menurut saya, akan lebih bisa menyampaikan pesan yang hendak disampaikan penulis.

Perjalanan panjang selama lebih dari 30 tahun – begitu perkiraan saya tentang umur penulis – tentu saja memerlukan siasat jitu untuk dituangkan ke dalam cerita yang efektif, dengan tujuan mengurangi jumlah halaman buku agar tidak terlalu tebal. Penggunaan penulisan surat dan penceritaan kepada orang ketiga sering digunakan para penulis untuk menyiasatinya. Dalam hal ini, Iwan Setiawan berhasil. Satu hal yang mengganjal untuk saya adalah penggambaran Iwan Setiawan mengenai kawasan Blok M.

Saat penulis menggambarkan Seibu, sebuah department store, sebentar lagi akan dibuka, saya langsung merujuk ke tahun 1994. Karena di tahun itulah Seibu di gedung yang saat ini menjadi Pasaraya Grande dibuka. Keganjalan yang langsung terbaca oleh saya adalah saat Iwan Setiawan menyebutkan pemandangan anak muda yang nongkrong di café-café di Blok M Plaza, pikiran saya langsung membantahnya. Pada masa itu – saya masih sekolah di SMA yang terletak persis di samping plaza itu – café belumlah menjamur. Tren yang ada saat itu masih seputar restoran fast food, yang memang banyak terdapat di plaza bekas bioskop mewah itu.

Sekali lagi, ini adalah kisah inspiratif tentang keberhasilan seseorang yang di masa kecilnya dihimpit kesulitan ekonomi. Saya menganggap Iwan Setiawan mencoba mencari cara lain dalam memaparkan cerita yang sudah banyak digarap dan diterbitkan, seperti Tetralogi Laskar Pelangi dan Trilogi Negeri Lima Menara. Menurut saya itu sah-sah saja, karena memberikan warna lain dari penulisan dari sekian banyak cerita yang hampir mirip ini. Sayangnya, saya menganggap pemaparan Iwan Setiawan masih serba tanggung, dan terkesan terlalu hati-hati. Makna perjuangan hidup dan pergelutan seorang manusia mencapai mimpinya jadi terkesan seadanya. Tak ada kesan mendalam dari makna yang diceritakan, dan sepertinya akan mudah dilupakan orang. (lits)
Profile Image for Zulfy Rahendra.
284 reviews76 followers
December 19, 2012
Prolog:
Dengan segala kerendahan hati, saya membuat review ini ga ada maksud menjelek-jelekkan pengarang maupun bukunya. Saya sadar sepenuh hati segenap jiwa raga, bahwa saya mungkin ga akan mampu nulis buku apalagi punya pengalaman sehebat mas Iwan Setyawan. Ngasih 1 bintang juga bukan karena bukunya jelek. Arti 1 bintang di Goodreads artinya “didn’t like it” kan? Nah, itulah. Saya cuma ga terlalu suka sama bukunya. Balik lagi ke selera gapapa kan? Penilaian buku sangatlah subjektif. Tapi sebagai pembaca yang dilindungi pemerintah, bolehlah kiranya saya memberikan opini tentang buku ini. Perkara review ini jadinya terdengar nyinyir atau engga, saya rasa itu bisa ditimpakan tanggung jawabnya kepada orang-orang di sekeliling saya yang membentuk mental saya jadi nyinyir begini. Hahahahaa #bagibagikesalahan
Kenapa saya ga suka bukunya? Here we go..

Isi:
1.Salahkan saya karena saya dasarnya susah move on.
Ga bisa adil ngerating The Casual Vacancy karena gagal move on dari Harry Potter, hal yang sama terjadi pada buku ini. Tema bukunya yang sejenis tetralogi Laskar Pelangi (yang termasuk favorit saya) dan trilogi Lima Menara bikin saya jadi ngebandingin terus. Dan pada akhirnya komen saya adalah, “again? Buku motivasi lagi?! Deuh”. Saya oke-oke aja sama N5M (walaupun emang ngebandingin sama LP juga). Ceritanya bisa saya nikmati. Pesan “semangat!! Anak kampung dengan segala keterbatasan pun bisa sukses!!”nya lumayan dapet. Tapi di buku ini engga sama sekali. Mozaik (pinjem istilah pak cik Andrea) kisah-demi-kisah yang diceritakan dengan terlalu pendek, bikin saya malahan ga nangkep sama sekali daya juang penulis sampe sukses kayak sekarang. Pengalaman mas Iwan saya yakin sehebat pengalaman Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi, tapi mungkin mas Iwan kurang mengeksplor ceritanya, jadinya malah kayak potongan catatan harian aja buat saya. Padahal ini kan novel ya, gapapa mungkin dilebay-lebay-in dikit mah. Ada dramanya kek atau apa gitu #soknasehatin #disantet. Atau emang sengaja dibikin kayak gitu kali ya. Biar keliatan lebih real. Tapi buat saya jatohnya jadi lempeng-lempeng aja ini buku. Ga greget.

2.Salahkan saya (lagi) karena bahasa inggris saya berada dalam level memprihatinkan.
Penggunaan bahasa inggris yang (walaupun ga mendominasi) banyak banget bikin saya agak bingung. Bukan, bukan karena saya ga ngerti sama sekali. Tapi bingung kenapa ga ditulis bahasa indonesianya, di footnote kek atau dalam kurung kek atau apa gitu #nawar #pembacariwil. Ga semua orang loh jago bahasa inggris. Terutama kalo buku ini ditujukan buat orang-orang kayak saya, anak desa yang di sekolahnya bahasa ajar utama adalah bahasa indonesia-semi-sunda yang bukan berasal dari kalangan yang sanggup les bahasa inggris dari kecil #ribetdah. Maksudnya, kalo saya baca ini pas SMP atau SMA (umur-umur masih bisa dimotivasi) yang ada saya malah kelamaan buka kamus *ga punya alfalink ya pi? Gugel translet?* *ya menurut lo anak kampung mana kenal alfalink dan jago internet?* Kepalang lelah duluan sama nerjemahin, isi bukunya jadi lupa lagi xD. Eh tapi itu kan dulu. Mungkin sekarang udah beda. Bahasa inggris udah diajarin dari SD kelas 1 kan ya? SD di desa juga kan? Jadi pasti anak-anak desa sekarang lebih modern dan pinter dari jaman saya kecil dulu. Lagian bahasa inggris di bukunya juga sederhana kok #sokpinteeerrr. Cuma quote-quote dari buku-terkenal-dan-berbobot-nya aja yang agak susah diartikan #tuhkanbodoh

3.Salahkan saya (lagi dan lagi) karena saya emang bebal banget kalo dikasih motivasi.
Mario Teguh mau teriak-teriak sampe ambeien juga kayaknya ga akan ngefek sama saya. Bukan karena saya ga punya motivasi, bukan.. *ga mau aja dibilang ndableg* tapi karena buat saya, ya itu ujung-ujungnya balik lagi ke diri sendiri. Kalo Mario teguh aja bisa depresi bikin saya termotivasi, buku ini gak berdampak apapun buat saya (karena alasan pesan motivasinya ga nyampe juga sihh). Cuma bisa komen “oh hebat, sungguh perjuangan berat”. Termotivasikah saya? Tentu tidak.

4.Saya agak terganggu dengan interaksi penulis sama anak kecil berbaju merah-putih itu.
Iya, saya tau anak itu cuma refleksi diri si penulis aja, si penulis sebenernya ngomong sendiri. Tapi tetep aja kan kalo nulis “aku menggenggam tangannya. Kubisikkan I love you” “kukecup dahinya, kurasakan hangat tubuhnya” “kusentuh rambutnya, kudekap kepalanya di dadaku” kan agak ngeri juga ya. Emang pikiran saya aja kali ya yang ga bersih *paralun Gusti paraluuunn* *mandi kembang 7 rupa* tapi terus terang, cowok dewasa kayak begitu ke anak kecil asing (ceritanya asing kan? Walaupun dirasakan sangat dekat) agak janggal buat saya. Mungkin harusnya saya ga baca Lolita... #tetep #nyarialesan

5.Saya agak terganggu (juga)dengan beberapa pilihan kata penulis.
Penggunaan kalimat seperti “iPhone”-ku berdering” “aku berjalan dengan sepatu Converse putihku yang mulai basah dan dingin” “menikmati segelas kopi dingin di beberapa kedai kopi kecil di SoHo” dan sejenisnya dan sejenisnya. Eeeeerrrrrrr... Mungkin maksud penulis adalah ingin menunjukkan kesuksesan dia, tapi bisa kali ya pake cara yang lebih “halus”? AH sama AF juga perasaan ga gitu-gitu amat.. *tuh kan ngebandingin lagi*

Tapi di atas segalanya, beberapa bagian di buku ini sukses bikin saya mengenang masa-masa kuliah saya (kebetulan sama loh kita tempat kuliahnya... :) Eh ini pamer bukan?) walaupun kayaknya Malabar sekarang ga semahal Malabar yang dulu, kali *duh kangen pecel lele belakang internusa* *ga tau internusa? Pangrango Plaza jaman saya kuliah mah. Yang kalo lagi di atapnya kita suka ngerasa kayak maen sinetron* *eh sekarang udah bangkrut ya? Dijadiin apa?* #jadipanjang

Epilog:
Terus terang, saya ragu mau ngasih 1 bintang aja. Liat review yang lain kok kayaknya oke-oke aja. Saya takut sayanya aja yang emang kelainan :( Lagian saya baca buku ini dengan suasana hati yang sedang sangat buruk (salahkan seseorang! Salahkan seseorang!!). Jadinya malah pengen nyinyir mulu bawaannya #alasan #biargadibilangkelainan. Tapi lain kali, emang sebaiknya saya ga baca buku dalam kondisi mood awut-awutan-teu-puguh kayak gini. Btw, apakah review ini terdengar nyinyir?

p.s: saya emang niat abis bikin review, sampe ada prolog epilog segala... (._.)
Profile Image for Nike Andaru.
1,636 reviews111 followers
March 9, 2011
Awalnya saya memburu buku ini karena ingin tau, bagaimana ceritanya anak supir angkot dari daerah Batu bisa jadi seorang direktur. Tapi, setelah liat cover 2 buah apel yang bersiluet gunung dan satunya lagi Statue of Liberty membuat saya tambah penasaran dengan buku karya Mas Iwan ini.

9 Summers 10 Autumns.
Dari Kota Apel ke The Big Apple.
Ditambah gambar 2 apel merah bersiluet itu membawa buku ini amatlah menarik bagi saya.
Ekspektasi saya buku ini akan seperti bukunya A. Fuadi, Ranah 3 Warna mungkin atau seperti Sang Pemimpi karya Andrea Hirata.
Ternyata, sepertinya saya ekspektasi saya terlalu tinggi untuk buku ini.

Saya mengira ini akan menjadi buku yang akan memompa semangat seorang anak dari keluarga kecil, yang katakanlah miskin, bisa mengejar cita-citanya hingga ke New York. Namun, ternyata buku ini hanya menceritakan perjalanan hidup Iwan Setyawan, si penulis dari awal kecil dengan keluarganya hingga ia mendapatkan pekerjaan di New York sebagai Director, Internal Client Management Nielson Consumer Research.

Saya agak sedikit kecewa.
Saya berharap buku ini bisa, ya paling tidak seperti Sang Pemimpi, yang membawa kita semmua sebagai pembaca terpompa untuk bisa meraih cita-cita dan harapan setinggi-tingginya walau berlatarbelakang keluarga yang kurang berada. Tapi, Mas Iwan justru hanya menceritakan pengalamannya saja. Dari keluarga, Bapak, Ibu, semua saudara perempuannya, hingga saya dengan mudah menebak, tiap bab akan bercerita tentang apa. Buku ini bisa dibilang sebuah catatan perjalanan Mas Iwan hingga sampai ke New York.

Mas Iwan memang memberikan kenyataan pada semua pembaca, bahwa kehidupan yang awalnya biasa saja, bisa menjadi sesuatu yang luar biasa, jika kita mengusahakannya dengan sungguh-sungguh. Penulis, membawa contoh, bagi semua orang bahwa dengan kerja keras dan pendidikan yang baik, kita semua bisa menjadi lebih baik taraf hidupnya, apalagi dengan dukungan keluarga.
Profile Image for ijul (yuliyono).
811 reviews970 followers
June 14, 2011
----2,5 star

Sayang sekali, aku terjebak dalam dunia penuh kiasan mengagumkan hasil olahan Andrea Hirata di Laskar Pelangi, lalu terbuai nuansa pendidikan yang kental dari dongengan A. Fuadi, sehingga ekspektasi serupa lahir ketika memulai lembaran awal novel-biografi ini. Entahlah, pilihan untuk bercerita melalui bantuan tokoh imajiner dalam wujud seorang anak kecil berseragam SD dan korespondensi tokoh utama (si penulisnya sendiri, kurasa) dengan keluarganya...ehmm...kadang-kadang jatuh pada momen awkward di mana surat yang harusnya bernuansa kekeluargaan terasa formal sekali, hehehehe... *subjective judgement*

Beberapa typo masih mewarnai buku ini dan beberapa konsistensi penulisan, misalnya:
suatu ketika ditulis melankolis, suatu ketika ditulis melankoli
suatu ketika ditulis air mata, suatu ketika ditulis airmata
suatu ketika ditulis restauran, suatu ketika ditulis restoran

Dan, hey, ada satu kata yang sangat-sangat-sangat sering diulang oleh si penulis, apakah ini kata favorit si penulis: melankoli(s)?
Profile Image for Uci .
617 reviews123 followers
April 18, 2011
Saya ingin membagi ulasan ini menjadi dua bagian, hal-hal yang saya sukai dan hal-hal yang, bukan tidak saya sukai, tapi saya pertanyakan :)

Hal-hal yang saya sukai

Kisah inspiratif tentang seseorang yang 'bukan siapa-siapa' tapi berhasil menaklukkan dunia dengan perjuangannya sendiri selalu memikat bagi saya. Iwan adalah anak ketiga dari lima bersaudara, putra seorang sopir angkot di Batu-Malang, yang berhasil meraih jabatan direktur di sebuah perusahaan terkemuka di New York. Kisah-kisah sukses semacam ini yang selalu menyadarkan saya bahwa dunia ini sebenarnya adil, jika kau mau berusaha. Gaya bercerita Iwan cukup nyaman untuk diikuti, sehingga tulisannya terasa mengalir hingga akhir.

Kejujuran Iwan untuk menceritakan kesulitan hidup serta kecanggungannya saat berhadapan dengan dunia metropolitan yang serba gemebyar patut diacungi jempol. Kadang tidak mudah untuk tetap bersikap sederhana dan rendah hati ketika kesuksesan telah diraih. Saya misalnya, jika selepas kuliah langsung mendapat posisi bagus seperti Iwan di perusahaan bergaji besar, mungkin sudah ogah naik angkutan umum dan langsung menyicil mobil serta apartemen (abaikan).

Saya suka sekali sosok Nico teman Iwan, pemuda asli Kanada yang jatuh cinta pada Indonesia, bahkan membuat tato bendera merah putih di pergelangan tangannya. (Ini bisa dikategorikan hal-hal yang disukai kan? :D)

Buku ini semakin nikmat dibaca karena nyaris bersih dari typo dengan setting yang rapi dan enak dilihat.

Hal-hal yang saya pertanyakan

Penggunaan keterangan 'sebuah novel' di sampul depan. Menurut saya buku ini lebih cocok disebut catatan hidup atau catatan perjalanan atau apalah namanya, karena hampir semua yang tertulis di sini mencantumkan nama, tempat, dan kejadian sungguhan. Bukan fiksi.

Kesukaan penulis mencantumkan berbagai merek, tempat makan, tempat belanja, dll. Setidaknya jika ini diniatkan sebagai sebuah novel, saya sebagai pembaca awam tidak selalu butuh keterangan sedetail itu.

Saya membayangkan bocah khayalan yang selalu menemani Iwan adalah dirinya sendiri sewaktu kecil. Dirinya yang masih polos dan memandang dunia dengan mata bening. Tapi mengapa mereka selalu bercakap-cakap dengan bahasa Inggris? Ya itu hak prerogatif penulis sih, tapi mungkin akan lebih mengharukan jika mereka bercakap-cakap dalam bahasa Jawa? (Dan menambah tebal halaman buku karena harus diterjemahkan hehehe)

Dari awal penulis beberapa kali mengatakan rahasia-rahasia dalam hidupnya yang tak pernah bisa dia ceritakan kepada siapa pun. Sampai halaman terakhir saya masih belum tahu sebenarnya apa rahasia yang begitu membuatnya galau. ("Makanya disebut rahasia, tahu," kata suara hati saya).

Terakhir, sebagai sebuah kisah inspiratif, saya merasa buku ini agak 'murung'. Dengan segala kesuksesannya yang luar biasa, penulis selalu merasa kesepian dan galau. Maafkan kalau saya salah. Tapi sebenarnya ini nilai plus juga, karena dia dengan jujur mengungkapkan bahwa kesuksesan dan keglamoran sehebat apa pun, tidak ada artinya tanpa kebahagiaan dan kedamaian di hati. Dan kedamaian bagi Iwan adalah kembali ke kampung halaman yang sudah mengalir dalam darahnya. Kembali ke Batu. Kembali berkumpul bersama keluarga yang menjadi napas hidupnya.

Satu hal yang ingin saya ketahui, setelah kembali ke Batu bagaimana kehidupan Iwan selanjutnya? Mungkin jawabannya bisa saya dapatkan di tayangan Kick Andy minggu-minggu mendatang. (Lho kok malah promosi :D)


Kutipan favorit:

- Masa depan buat kami saat itu adalah mempersiapkan makan saat matahari terbit keesokan hari.

- Aku terus berlayar, aku terus berlayar, aku tidak bisa hanya diam menunggu keajaiban.

Profile Image for Rahmadiyanti.
Author 15 books173 followers
March 11, 2011
Judulnya sangat kuat dan menarik. Kemasan covernya sederhana, simpel, tapi "kena". Dua buah apel dengan semacam foto/gambaran kota Malang dan New York, dengan background putih bersih. Saya jadi ingat suvenir snow ball yang sering saya kejar kalau sedang traveling (selain magnet! :D). Ngomong-ngomong, snow ball New York saya hilang :( *halah, gak penting!*

Ceritanya sendiri inspiratif, perjuangan penulis yang anak "kampung" (Batu, Malang), hingga menjadi direktur di sebuah perusahaan multinasional di New York (jadi ingat teman saya, Guruh & Lida :D). Tuturan penulis juga enak dinikmati, sehingga saya bisa baca sekali duduk (di angkot, di bus, di kereta, hehe). Alur maju mundur digunakan untuk bercerita, plus tokoh anak kecil berbaju merah putih sebagai--semacam--penghubung cerita (?). Sepertinya saya melihat itu merupakan gambaran masa lalu penulis, atau bisa juga gambaran negeri ini (penggambaran baju si anak yang berwarna merah putih).

Tapi, saya agak gemas bacanya. Sebab materi buku ini sebenarnya bagus dan kuat, tapi eksplorasinya kurang. Cenderung plain untuk sebuah karya berjenis novel. Opening (bab 1) sebenarnya bagus, tapi kurang terjaga di bab-bab selanjutnya. Perjuangan penulis untuk sekolah, di tengah segala keterbatasan, plus dukungan orangtua, saudara, kerabat, dan orang sekeliling, menurut saya bisa digali lebih dalam. Deskripsikan dengan jelas dan kuat, meski tak perlu berlebihan, kalau perlu gunakan metafor, meski juga tak perlu bergenit-genit kata. Ih, saya ribut yak? hehehe. Mudah-mudahan karya penulis selanjutnya bisa lebih bagus, karena ini karya pertama ya.
Profile Image for nat.
127 reviews
April 13, 2011
Bagaimana rasanya menyelam ke dalam dunia masa lalumu dan meresapi setiap detik yang ada ?

Mas Iwan menghadirkannya dalam buku ini, sebuah perenungan akan masa lalu yang mewarnai hari-harinya di New York kala itu.
Ternyata benar, masa lalu yang keras dengan kehidupan ekonomi yang tak mudah, jika dijalani dengan usaha yang sungguh-sungguh dan dijagai dengan kasih sayang yang berlimpah, membuahkan hasil yang manis.
Itulah yang terjadi pada Mas Iwan dan keluarganya, banting tulang mencukupi kebutuhan sebuah keluarga yang tak terhitung kecil, penuh dengan tangisan dan keringat, serta keindahan berbagi.
Semakin teguh pendapatku, bahwa seberat apapun beban ekonomi dan permasalahan yang disandang sebuah keluarga, jika ada kasih sayang yang mengeratkan hubungan, semuanya itu akan dapat dilalui dengan senyuman, dan tiada terasa begitu berat.
Namun, jika kasih dalam keluarga mulai terasa hambar dan dingin, ketiadaan masalah finansial, tidak menjamin kebahagiaan.

Kebahagiaan bukan terletak pada kelimpahan harta duniawi, namun melubernya cinta dari hati yang merupakan kekayaan batiniah yang tak terbeli.

Membaca buku ini serasa mendengarkan Mas Iwan bercerita, seolah akulah anak kecil berseragam putih merah yang mendengarkannya berbagi isi hati di belantara New York.
Membuatku mengenang bagian-bagian dari masa kecilku, yang mungkin tak lebih ceria dari masa lalu Mas Iwan, namun memiliki seluk-beluknya sendiri yang menumbuhkanku menjadi satu pribadi.

Mas Iwan bertutur dengan bahasa sehari-hari yang enak untuk dinikmati dan mudah dicerna. Sebuah refleksi untuk setiap orang yang membacanya, apakah sudah berdamai dengan masa lalu masing-masing ? Karena mungkin dibalik semua kesuksesan yang kita raih di masa kini, masih ada penggalan masa silam yang ingin kita tutupi dan tak kita tengok.
Profile Image for Evi Yuniati.
38 reviews18 followers
April 27, 2011
Kisah perjalanan hidup yang menarik. Mas Iwan like a story teller. Gaya penulisannya simple, bahasa inggrisnya bagus (ya iya lah...kalo ga bagaimana bisa sampe di New York ^_^)

Buku yang menginspirasi. Bagaimana seorang anak pendiam, yang selalu mendayung perahu kecilnya suatu ketika bisa mengemudikan kapal besar (bukan perahu lagi) tapi, tidak merubah kesederhanaannya.

Pendidikan dan juga kerja keras adalah bukti yang bisa mengantar seseorang untuk memiliki hidup yang lebih baik. Disamping itu, faktor 'luck' juga ikut berperan. Dukungan keluarga juga menjadi semangat untuk seseorang berteguh pada keinginannya merubah nasib.

Beruntung waktu itu aku beli buku ini :-)
Terima kasih mas Iwan Setyawan yang sudah berbagi kisah perjalanan hidupnya yang begitu menginspirasi, memotiviasi untuk mengejar cita-cita hingga berhasil.
Profile Image for Amanatia Junda.
15 reviews6 followers
March 19, 2013
Saya menemukan pembelajaran dari novel pertama Iwan Setyawan. Ini bukan perkara bagaimana kisahnya memiliki kekuatan untuk memotivasi generasi muda. Ini juga bukan perkara bagaimana saya sempat terhanyut oleh haru birunya, mengumbar airmata, dan melahap novel ini dalam hitungan jam. Perkaranya adalah saya belajar bersikap lebih kritis pada sebuah karya fiksi malam ini. Jarang sekali saya merasa pelit untuk memberi dua bintang,

Berkisah tentang kehidupan lelaki yang meraih kejayaan karier, dimulai dari nol hingga ke posisi direktur perusahaan multinasional, novel ini bernarasi secara garis besar. Cukup mudah bagi masyarakat Indonesia yang telah mengenal terlebih dahulu Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi, untuk mengklasifikasikan novel ini sebagai novel motivasi. Sama-sama terinspirasi dari kisah nyata sang penulis, sama-sama best-seller, sama-sama difilmkan.

Dari sampul dan judul yang menawan, sejujurnya, ekspektasi saya cukup tinggi untuk 9 Summers and 10 Autumns. Sebuah desain yang eye-catchy saya rasa, dengan latar belakang putih, cap best-seller, dan penghargaan, serta simbol penerbit besar yang tercetak. Lalu kala saya longok sampul belakangnya, begitu banyak dan tampak sesak pujian dari berbagai public figure. Saya bahkan dapat mencium selera kemasan dan tata letak yang elegan. Terbersit bayangan, bahwa konsep sampulnya menyerupai dengan buku buku terjemahan, buku buku bisnis dan psikologis yang berasal dari Amerika.

Tapi abaikan, fokus kita terletak di narasi, alur, tokoh, dan gaya bercerita. Harus saya akui, saya kecewa mendapati Iwan gagal menulis kisah pribadinya dengan lebih dalam. Saya yakin, ia mampu menulis kisahnya jauh lebih dahsyat ketimbang buku best seller yang saya tuntaskan malam ini.

Kekecewaan ini didasari oleh ketakutan dan kecemasan Iwan dalam menulis. Tampak jelas, ia memiliki kepribadian yang sangat tertutup. Berkali kali ia katakan di bukunya, tentang keberanian, namun ia sendiri belum siap mental mempublikasikan kisah pribadinya menjadi karya fiksi atau bahkan karya sastra. Ini seperti membayangkan seseorang menahan nahan arus kata yang membuncah di kepalanya, dan ia menjadi sangat tergesa gesa dalam menyelesaikan novel pertamanya.

Bukan soal tipis tebalnya halaman, namun bagaimana ia gagal membangun plot dan nyaris tidak ada konflik yang berarti. (Atau memang sengaja tanpa konflik?) Iwan seolah menutupi banyak hal, termasuk juga konflik internal dan eksternalnya. Sehingga yang hadir adalah penuturan, fakta, dan pencerita yang meresume ceritanya sendiri.

Berkali kali ia mengatakan tentang "rahasia". Saya penasaran. Rahasia apa yang akan diungkap? Tetapi sampai kata terakhir, tak ada satu pun hal yang menurut saya bersifat rahasia dan menggugah rasa penasaran saya.

Saya mencoba memahami, bahwa ia memilih monolog dan dialog dengan teman imajinernya, yang merupakan refleksi Iwan masa kecil. Gaya penceritaan seperti ini sebenarnya menarik, namun Iwan telah terjebak pada kesenduan masa lalu yang mendayu dayu.

Beberapa diksi saya temui berkali kali --sampai bosan-- karena tampak Iwan tidak ingin cukup susah payah mengeksplor persediaan kosakatanya. Kata-kata putih, keindahan, melankoli, dan meledak terkadang tidak pas rasanya, untuk dijumpai pembaca lusinan kali.

Ya, sadar atau tidak, Iwan telah mendeskripsikan secara mutlak karakternya, sebagai pribadi yang melankolis dan tertutup. Dari sudut psikologis, ia merupakan seorang laki laki introvert yang lebih sering bernostalgia--untuk berdamai dengan masa kecilnya--ketimbang memetakan tantangan seorang imigran di rimba New York.

Lalu mengenai paragraf paragraf pembuka chapter. Saya sering lelah membaca deskripsinya mengenai cuaca, musim, dan jalanan New York. Oke, itu sebenarnya menjadi data sekunder yang eksotis. Tetapi justru saya merasa tersendat sendat membacanya, karena yang Iwan tuliskan di separuh lebih chapternya, menyanjung cuaca dan suasana New York. Saya pun sampai membatin, "Oh, please.. jangan tulis daun daun yang berguguran lagi". Rasanya terlalu banyak kata daun dan pepohonan, tanpa Iwan berusaha selangkah lebih maju, untuk merisetnya kecil kecilan.

Daun apa saja yang gugur?
Maple? Oak? Kastanye?

Ketertarikan Iwan pada alam, dan berulang kali menyebut "meditasi alam, penyembuhan, dan kontemplasi" tapi tak pernah tertarik dengan bentuk dedaunan dan pepohonan di New York. Ia lebih tertarik duduk di bangku taman dan mencatat banyak nama jalan dan "spots" di sana.

Tentang bumbu cinta pun juga nampaknya menjadi semacam tempelan belaka di novel ini. Sangat disayangkan. Dua tokoh wanita yang siapa tahu punya andil dan kisah lain di hidup serta perspektif Iwan, lagi-lagi ditenggelamkan begitu saja setelah perkenalan yang singkat. Jika memang tidak punya pengaruh pada kesuksesannya, mengapa harus dimunculkan? Jika memang berkesan, mengapa tidak ditulis dialog interpersonnalnya atau latar belakang sang wanita?

Sungguh pembaca haus dialog dialog kontemplatif Iwan setelah yoga atau bahasa gaul yang digunakannya saat berkumpul dengan teman temannya sesama New Yorker.


Dan satu hal yang paling mengganggu saya adalah novel ini tampak kabur tujuannya. Untuk otobiografi-kah? untuk cerita yang sudah dirancang menjadi fiksi? atau untuk buku persembahan dan ucapan terimakasih yang sangat panjang? Rasanya, jika novel ini fiksi, kok hampir tidak ada nama tokoh yang disamarkan? Setelah Iwan bercerita panjang lebar tentang orang orang yang berpengaruh dalam hidupnya, saya masih harus meneliti deret panjang ucapan terimakasih.

Mau tak mau, saya teringat skripsi.

Dan ketidakrelaan saya, Iwan menempatkan nama nama komentator bukunya di deretan awal, dibanding teman, kerabat, kenalan, guru dan dosennya. Saya tidak benar benar yakin ia cukup akrab dengan Anas Urbaningrum, Asma Nadia, atau Es Ito.

Ya, lengkap sudah kritikan panjang ini. Satu hal yang paling menyenangkan dalam novel ini adalah kutipan kutipan dari Dostoevsky. Kutipan kutipan itu tajam dan brilian, sehingga mungkin baru pertama kali ini kekuatan kutipan dalam novel membuat saya tertarik membaca novel karangan sastrawan ternama ini.


Yah, akhir kata, saya sangat salut pada semangat dan etos kerja Iwan, pengalamannya luar biasa, bacaannya pun luar biasa dari sastrawan dan penyair mumpuni. Namun ternyata, menulis fiksi tidak semudah merangkai kisah nyata dengan kalimat puitis, butuh lebih dari sekadar pembacaan dan pengalaman. Menulis adalah proses latihan terus menerus dan bertahap.


PS: Iwan, masa kecilmu meski serba kekurangan namun cukup bahagia dengan keluarga yang hangat dan mendukung. Apa yang membuatmu trauma dan susah berdamai dengan masa lalu? Ceritakanlah, :)



Profile Image for teresa .
54 reviews37 followers
September 7, 2025
Membaca buku ini di sela-sela kesibukan dunia transfer ilmu. Awalnya, buku ini muncul di salah satu perpustakaan tempat saya magang. Entah mengapa saya tertarik untuk mulai membacanya saat itu. Dalam sekali duduk, saya dapat menghabiskan hingga halaman ke 123. Memang cerita tentang kehidupan tidak pernah gagal bagiku. Saya belajar banyak hal dari buku ini, pengorbanan, kerja keras, dan kenangan akan "rumah". Sungguh indah.
Profile Image for Utami.
163 reviews16 followers
July 27, 2011
Sampul bukunya terlihat polos, dengan gambar dua buah apel berlukiskan siluet pegunungan dan siluet kota New York. Beberapa kali melihat buku ini, dan akhirnya memutuskan untuk membeli karena melihat para pemberi endorsement nya. Ada Andy F. Noya segala…

Satu lagi buku yang isinya tentang usaha dan pencapaian cita-cita. Tokoh “aku” disini, which I assume, was the writer himself, adalah seseorang yang datang dari keluarga dengan latar belakang ekonomi di lapisan bawah. Anak seorang sopir angkot, dengan 3 orang saudara lainnya, “Aku” disini harus menghadapi berapa kerasnya hidup dalam himpitan ekonomi. Toh, tanpa disangka-sangka, tanpa pernah dia mimpikan sebelumnya, dia akhirnya bekerja di sebuah perusahaan multinasional, yang akhirnya membuka pintu baginya untuk bekerja di New York City. Yup, dari Kota Apel menuju Big Apple.

Let’s start with the bright things first. Sebagaimana yang diungkapkan para pemberi endorsement, buku ini bisa cukup inspirasional. Bahwa status seseorang saat dilahirkan tidak akan menjadi penentu bahwa orang tersebut tidak akan mampu mewujudkan sesuatu yang berharga. Kesederhanaan keluarga si “Aku” yang ditampilkan di buku ini, dan sikap mau mengalah yang ditunjukkan para anggota keluarga, semua itu tentu saja bisa menjadi pelajaran. And I guess that’s the writer’s intention of writing this book. Untuk menunjukkan bahwa siapapun, tidak peduli apapun latar belakang keluarganya, tidak selayaknya putus asa untuk berusaha sebaik-baiknya. Those who are seeking for beautiful quotes might find some here.

Terlepas dari inspirasi dan pesan yang ingin disampaikan oleh buku ini, saya masih merasa ada beberapa hal yang mengganjal bagi saya. Embel-embel “Sebuah Novel” yang dicantumkan di sampul buku bagi saya terasa berlebihan, karena isi buku ini lebih mirip sebuah memoar hidup. Nyaris tidak ada konflik, dan penceritaan terkesan sangat datar dan monoton. Selain si tokoh “Aku” dan karakter bocah-berbaju-putih-merah itu, tidak ada tokoh lain yang menonjol di buku ini. Penulis memang menceritakan triap-tiap saudara yang dia miliki, tapi hanya sekedar siapa mereka.

Sepertinya penulis memunculkan tokoh si bocah-berbaju-putih-merah ini sebagai trik, agar tokoh “aku” disini bisa berdialog, menceritakan memoar hidupnya itu. Tapi bagi saya, malah terkesan dipaksakan. Pertama, si bocah bagi saya terlalu dewasa untuk digambarkan sebagai seorang anak-anak. Cara dia mendengarkan dan menanggapi “aku” yang bercerita tentang kenangannya di masa lalu, sangat…tiak anak-anak bagi saya. Kedua, kenapa kenapa si bocah ini tiba-tiba muncul dan akhirnya pergi, juga tidak jelas. Dan saya kok merasa cara “aku” disini memperlakukan si bocah malah terlalu berlebihan ya?

Kemudian, gaya bahasa penulisannya terlalu suram. Jujur ya, saya malah merasa “aku” disini seakan nyaris meratapi tentang betapa menyedihkannya hidup keluarganya, betapa kasihannya kakak-kakaknya. Tidak ada keceriaan yang digambarkan di masa kanak-kanak mereka. Dan saya menghela nafas setelah membaca kata “melankolis” untuk entah keberapa kalinya di buku ini. Ujung-ujungnya, malah bagi saya buku ini tidak berkesan realistis. For one reason: where’s the villain in this so-called novel??? Ohiya, ada ding, preman yang memukuli si tokoh di awal cerita.

Setelah halaman 60, saya sebenarnya mulai merasa bosan membacanya, karena ya itu tadi. Datar, kesuraman hidup yang diulang-ulang. Sayang juga sih, karena seandainya penyajiannya tidak sedatar ini, inspirasi yang ingin disampaikan pasti akan lebih nacep jleb deh. Menurut saya soalnya nanggung, kalo dibilang biografi enggak, dibilang novel juga bukan.

Jadi, 3 bintang untuk pesan yang dibawa buku ini, dan 1 bintang untuk penyajiannya. So overall, it’s a 2-star for this book.
Profile Image for Hadiyatussalamah Pusfa.
109 reviews11 followers
October 5, 2011
Jadi, siapakah bocah kecil berbaju merah putih yang selalu ingin pergi itu?

(Kenapa setiap beres baca buku, yang muncul itu pertanyaan ga penting seputar detail yang mungkin hanya bumbu belaka? Saya juga ga ngerti.)

Yang saya suka dari buku ini apa coba? Layoutnya! Sederhana elegan gitu dan enak dibaca.

Dari content, inspiratif. Saya suka bagian skripsinya. halaman 147

"I can imagine if there's nothing in my pocket,
but I can not imagine if there's no knowledge in my mind and religion in my heart.
They are my other suns in my life."

Tapi saya ngerasa buku semacam ini emang lagi usum ya. Tentang perjuangan meraih pendidikan, berani bermimpi, berani mewujudkan mimpi. Gapapa lah ya, bagus, menginspirasi, bikin banyak bersyukur. Daripada macam bioskop setan-setan ga penting yang entah kenapa malah membludak atau sinetron-sinetron yang panjang banget ga tamat-tamat tapi terus aja diproduksi. Okay, out of topic.

Bagi yang suka puitis-puitis nyastra, mungkin bakal lebih suka baca buku ini. Haha. Bukan jenis kesukaan saya sebenernya. Tapi masih bisa dicerna oleh otak saya yang ga terlalu puitis nyastra. Bukan ga suka, tapi bukan favorit juga. Hehe.

Ah ya! Saya suka deskripsi detail buku ini tentang New York pun kota Batu dan semua setting tempat di buku ini. Bikin otak berimajinasi, merasa ikutan ada di sana juga. Kaya nonton bioskop gitu.

Maafkan atas review yang aneh ini. :D Selamat membaca bagi yang sedang dan akan membaca! Worth to read :)
Profile Image for Trifia Wibowo.
1 review
March 17, 2011
ini novel pertama yang aku baca setelah aku melahirkan ^^. dan ternyata aku ga salah beli buku. this book is inspiring... secara aku sepuluh kali mencoba beasiswa luar negeri, dan sepuluh kali juga gagal T_T... tapi dengan buku ini, semangatku datang lagi, dan impianku bisa aku rajut lagi ^^

bahasa bukunya bagus, mengalir walaupun ada kilas balik, tapi tetap menyatu bagian ke bagian. tapi ada yang menggangguku, yaitu kehadiran si bocah cilik berseragam merah putih yang tiba-tiba saja muncul dimanapun dia mau. sampai pada ending story aku baru yakin bahwa bocah cilik berseragam merah putih itu adalah bagian terpendam dari penulis..(atau mungkin teman khayalannnya penulis?)

but, overall, salut buat iwan. nice book. ditunggu buku selanjutnya ya... moga2 masih terinspirasi dari kisah nyata ^^
Profile Image for Imas.
515 reviews1 follower
December 10, 2011
Perjuangan menggapai cita-cita seorang anak supir menjadi seorang direktur di New York. Perjuangan selalu menarik buat saya.Mungkin kalau tokoh anak berseragam merah putih ngga ada bisa lebih menarik, cuma pertanyaan mendasar mengapa Iwan memutuskan kembali ke Indonesia setelah menduduki posisi direktur tidak dijelaskan....
Profile Image for Sulis Peri Hutan.
1,056 reviews297 followers
July 24, 2011
Bagus sih, menceritakan perjuangan penulis untuk sekolah, sampai diterima di Big Apple, juga perjuangan keluarganya yg mendukung si penulis untk sukses. Tapi, agak g sreg aja dg tokoh bocah kecil berseragam merah putih, kadang bosen melihat interaksi mereka hehehe. Inspiratif ^^
Profile Image for Ika Karunia Purnamasari.
27 reviews
April 25, 2011
Dari Kota Apel ke The Big Apple
Novel ini berdasarkan perjalanan hidup nyata, seorang anak seorang sopir angkot di Kota Batu yang mengejar karir di New York City dan berhasil menjadi director di Nielsen Consumer Research New York City. Grab it then!!!

Saya hanya ingin memaparkan sedikit kutipan indah dari buku tipis isi nyentrik bergizi inspiratif ini.

Biarkan rambutmu basah, berlarilah, berteriaklah, karena kenangan seperti ini tak bisa kauulang, tak bisa kaubeli. [20]
Hujan, ya hujan, hujan selalu memberikan kesan indah, biarpun halilintar ikut mengantar. Rezeki lewat rahmat mikail, penghubung tercepat doa yang tersemat erat-erat dalam tiap kerat hati dan otak.

Meja itu adalah furnitur terbagus di rumah ini dan menjadi tabungan kami. Meskipun marmer itu sudah retak-retak, impian ini masih menyala dan kami tetap menyimpannya. Nilai-nilai inilah yang membuatku yakin bahwa impian haruslah menyala dengan apapun yang kita miliki, meskipun yang kita miliki tidak sempurna, meskipun itu retak-retak [21]
Analogi benda kesayangan yang mencetak setiap memory rasa kadang menjadi motivasi bisu yang tergenggam erat, mengingatkan saya pada sebuah benda yang telah saya hilangkan akibat kecerobohan tanpa sengaja, penyesalan terdalam, berjanji dalam-dalam, ketika ada kesempatan, saya akan langsung mencari benda yang sama, walaupun tetap dengan rasa berbeda, jam tangan tua Seiko Lima terbitan jaman dahulu kala.

Garis hidup melahirkan sifat sederhana yang luar biasa pada diri ibu. Dialah yang membangun ide untuk menabung, mengingatkan kami kalau pergi ke dokter, kalau mobil bisa rusak sewaktu-waktu, kalau rumah bisa bocor, kalau kami butuh makan bergizi. Ibuku adalah cermin kesederhanaan yang sempurna di mata kami dan kesederhanaan inilah yang menyelamatkan kami. Kesederhanaan inilah yang membangun rumah kecil kami. Kesederhanaan yang luar biasa itu tidaklah mudah kami cerna sebagai anak-anak dulu. Kadang pedih.
Ibuku, hatinya putih, ia adalah puisi hidupku. Begitu indah. Ia adalah setiap tetesan airmataku.
Tidak akan pernah cukup bahasan tentang ketulusan seorang ibu. Termasuk ibumu ..

Ini perjuangan tentang selaksa makna kehidupan kawan, rasakan, maka kita memaknainya dengan pandangan dan masing-masing latar belakang. Live your life
Kegigihan tangan-tangan kecil ini untuk bersama-sama melewati mendung di atas atap, membuat kami tangguh. Keringat yang tercecer antara rumah dan pasar sayur, membuat garis hidup kami begitu indah.
When there is love, you can live even without happiness [Dostoevsky’s – Notes from Underground]

Novel ini seakan mengajak kita ikut serta dalam solilokui sang tokoh, didukung dengan deskripsi kehadiran seorang anak yang setia menjadi pendengar, gaya penulisan yang unik dan menarik
Let me tell u, dear reader. Aku selalu berperang dengan diriku, selalu berat memilih antara kesendirian atau hiruk pikuk kehidupan NYC: seperti perayaan ultah, piknik di Central Park, dsb. Aku telah terbiasa sendiri dalam hidupku, belasan tahun.
And let me also tell u, dear reader. Aku sebenernya tak percaya diri untuk berkumpul dengan orang-orang di NYC. Anda kini telah tahu semua, bagaimana masa laluku. Tak mudah bagi anak seorang supir angkot untuk masuk dalam kelas sosial yang lebih tinggi, jauh lebih tinggi.
Lastly, let me tell u, dear reader. It’s never been easy for me. Selalu ada pertarungan besar di hatiku! Kadang aku paksakan juga untuk bergabung ke dalam kegiatan sosial ini. Karena kesendirian yang dalam, akan membunuh, pada akhirnya. [107]

Dan banyak tersemat kata indah, puisi yang berbasis realita gak semata mimpi atau imajinasi. Berkenalan dengan Dostoevsky’s sampai mengingat bung Chairil Anwar
Aku selalu menyukai puisi. Ketika lukisan kata-kata misterius ini pecah, menampar kesadaranku dan meledak, aku memasuki setiap makna, terdampar di tengah lautan luas yang biru dan sunyi. Aku selalu tenggelam dalam lukisan yang tercipta dari puisi... puisi ini selalu memberikan kesegaran dan melahirkan pagi baru untukku.... puisi memberikan ledakan yang berbeda, kesegaran yang berbeda. Ia begitu dekat. Ia menjadi doa. [109]
But do you understand, i cry to him, do you understand that along with happiness, in the exact same way, in perfectly equal proportion, man also needs unhappiness. [Dostoevsky’s – Demons]

Pemaknaan khusus tentang bagaimana memaknai pertambahan usia, yang gak semata pesta dan hura-hura, seharusnya berduka cita, makin menipisnya jatah hidup yang tersisa,
Hari ulang tahun bagiku adalah perenungan kembali, menoleh ke belakang, menata kenangan-kenangan dan menempatkannya di hati. Dan ketika aku memanggil kenangan ini, aku merasa dilahirkan kembali, betapapun pahitnya kenangan itu.
Aku menyimpan beberapa rahasia besar dan hanya ketika malam panjang yang sepi dan panjang, aku bisa membebaskan mereka [120]
Dan hanya di malam panjang inilah, aku bisa berdamai dengan rahasi-rahasia hidupku, melepaskannya, karena menyimpan rahasia sendiri hanya membuat napasku tersengal. Aku ingin mengerti mereka dan memberi ruang lapang di hatiku. Aku kemudian merangkum ‘perayaan’ ini dengan salat malam, memberikan ruang untuk kenangan-kenangan lama kembali ke tempatnya. Melupakan rahasia-rahasia hidup sejenak, sebelum mereka muncul dan menghantuiku kembali. [127]

Tunjuk tangan yang benci musik? Ahh, kalian harus menikmati hidup kawan, musik=asik!. Musik adalah seni orkestra memaknai hidup, apapun genre yang ada, gak jarang mewakili pendeskripsian tiap episode kehidupan. Pilihan terserah ... saya termasuk pecinta segala rasa atas musik yang tersedia. Percayalah, bahkan suara burung berkicau , aliran air, hembusan angin adalah musik harmoni keseimbangan alam (halahh gaya gw!)
A great music. It tortures you to the deepest, it makes you cry. What are happiness and unhappiness? They dont matter here. You are lost at the moment you listen to it and it’s dangerously peaceful
Well, great music, when it’s done right, you can’t do anything but to just let it absorb you and take you along for a ride. You have no choice but to concentrate on what’s being said, the mood being conveyed, the give and take between the instruments. In the end, great music makes you want to go back to the beginning and relive what you just experienced. That’s my definition of great music. [130]

Dan inilah kutipan favorit saya –JUARA-
I can imagine if there’s nothing in my pocket. But i can not imagine if there’s no knowledge in my mind and religion in my heart.
They are my other suns in my life. [147]
Ah children, ah dear friends, do not be afraid of life! How good life is when you do something good and rightful! [Dostoevsky’s – the Brother Karamazov]

Terakhir, saya sangat menyukai pesan pertama dan terahir dalam novel ini.
Aku tak bisa memilih masa kecilku. Masa kecilku mungkin tak seindah dan selepas mereka, tapi kehangatan di bawah rumah kecilku telah menyelamatkanku. Jalan hidupku mungkin akan berbeda, I would have been so lost, tanpa kesederhanaan ibu, tanpa perjuangan keras Bapak, tanpa cinta yang hangat dari saudara-saudaraku. Memori masa kecil membuat aku bijak dalam mengenal diriku yang sekarang.
You must know that there’s nothing higher, or stronger, or sounder, or more useful afterwards in life, than some good memory especially a memory from childhood, from the parental home. You hear a lot said about your education, yet some such beautiful, sacred memory, preserved from childhood, is perhaps the best education. If a man stores up many such memories to take into life, then he is saved for his whole life. And even if only one good memory remains with us in our hearts, that alone may serve some day for our salvation [Dostoevsky’s – the Brother Karamazov]

Tulisan di jeda malming, menunggu jemputan makan roti bakar di pinggir jalan bersama teman :D
hey kalian, buku ini highly recommended lah, beli, nyewa atau pinjem gih, gak sia-sia kok baca, :D
Profile Image for Haryadi Yansyah.
Author 14 books62 followers
June 30, 2025
Jika petualangan Remy menjelajahi Paris hampir selalu ditemani teman imajinasinya yakni Auguste Gusteau yang merupakan chef andal, Iwan Setiawan beda lagi, selama hidupnya menyurusi New York, ia ditemani oleh seorang anak kecil yang merupakan perwujudan dirinya sendiri, dulu, ketika masih jadi bocah kampung yang hidup susah di sebuah desa kecil yang ada di Batu, Jawa Timur.

Aku setuju dengan komen Mbak Uci di GR tentang harusnya buku ini nggak usah dikasih label "Sebuah Novel" di bagian sampulnya. Sebab yang diceritakan ya kisah nyata. Dari tempat, nama hingga tanggal lahir ehem, semuanya nyata. Jikapun ada muatan fiktifnya, pembaca juga nggak akan ngeh di bagian mana. Alih-alih disebut novel, kayaknya lebih cocok disebut memoar.

Hanya, ada satu aspek yang aku gak suka -mungkin geli, yakni interaksi Iwan dengan dirinya versi dulu yang ntah ya, kayaknya too much aja bahasanya. Keintimannya aneh.

"Sebelum berpisah, di depan stasiun subway, aku kecup keningnya, "Don't leave me. Don't even think about it," bisikku. Dari halaman 174.

Hmm, atau akunya aja yang aneh ya. Mungkin pernah terbersit di hidupku, ingin memeluk diriku di versi lampau, terutama di periode-periode terpuruk. Aku ingin hadir, ngepuk-puk, kasih semangat (kalau bisa sekalian traktir jajan yang banyak), tapi untuk sampai mencium dan mengecup sih nggak. Dan, di buku ini seingatku, Iwan melakukannya sebanyak 2 kali. (In case menurut kalian ini biasa aja, ya udah abaikan ya).

Kisah from zero to heronya ya memang menarik, tapi ada banyak detail yang seharusnya nggak perlu, lalu ada lagi detail yang seharusnya ada tapi tiada. Walau, untuk satu sajian utuh, ya lumayanlah ya, apalagi terbit tahun segitu dan yang kasih endorse buanyak banget. Dari Andy F Noya, Anas Urbaningrum hingga Anies Baswedan. Bagi pembaca yang suka tergiur dengan keberadaan endoresan ini, pasti akan tertarik beli dan baca. Aku sendiri baru baca setelah dapetin kolpriannya dengan harga nyungsep hehe.

Skor 7/10
Profile Image for mollusskka.
250 reviews159 followers
April 26, 2019
Ending buku ini bikin aku menitikkan air mata. Masa lalu kadang memang suka muncul. Dan seringnya masa lalu yang datang berkunjung itu adalah diri kita dulu yang masih kecil dan polos. Betapa diri kita sudah banyak berubah, entah itu ke arah yang lebih baik atau justru sebaliknya. Kalau dari kacamataku sendiri, Bang Iwan jelas berubah ke arah yang jauh lebih baik. Mimpi-mimpinya satu-persatu terwujud dan selama prosesnya tersebut, aku melihat bagaimana uniknya takdir bekerja. Sungguh menakjubkan!

Saking menginspirasinya buku ini, aku nggak jadi jual, melainkan aku kasih ke keponakanku yang boleh dibilang putus asa soal keberlangsungan pendidikannya. Kebetulan dia juga pengin kuliah di IPB dan aku suruh dia ambil jurusan statistik kayak Bang Iwan karena kayaknya banyak dibutuhkan. Semoga keponakanku bisa terus semangat di tengah minimnya biaya dan bisa sukses kayak Bang Iwan.
Profile Image for audreyAudrey.
18 reviews
March 28, 2011
I bought this book awalnya karena liat sinopsis dari ka artha, dan karena genre novel yang aku suka mayoritas adalah based on true story, jadi gw bela2in ke gramedia hanya untuk mencari buku ini, meskipun akhirnya beli 4 buku yang menguras kocek ^.^

Novel ini bercerita tentang perjuangan sang penulis, Iwan yang tadinya Zero become a Hero, anak seorang supir angkot yang menjadi direktur dari salah satu perusahaan di New York.
Lembar pertama dibuka dengan quotes yang menurut saya sangat menarik sekali :


“U must know that there’s nothing higher or stronger or more useful afterwards than some good memory esp a memory from childhood, from parental home. you hear a lot said about ur education yet some such beautiful sacred memories preserved childhood, is perhaps THE BEST EDUCATION. If a man stores up many such memories to take into life, then he is save for his whole life. And even if only one good memories remains with us in our hearts, that alone may serve some day for our salvation”


Dalam novel ini, penulis bercerita tentang masa kecilnya di Batu yang penuh dengan perjuangan. Saya sangat salut akan passion dari kakak2nya dan penulis dalam dunia pendidikan serta kerja sama keluarga ini, mereka selalu saling membantu, apabila ada masalah, mereka pecahkan bersama , Bagaimana ibunya selalu punya cara untuk mendatkan uang demi membiayai pendidikan anak - anaknya.. Dalam novel ini saya melihat semangat dari keluarga ini yang mungkin tidak dimiliki oleh keluarga yang mungkin lebih beruntung.

Bab per bab diselingi dengan puisi dan quotes2 yang menurut saya membuat novel ini menjadi menarik untuk dibaca, meskipun terdapat banyak sekali pengulangan kalimat dan ceritanya cenderung seperti ketika kita telah sampai dititik pertengahan, tapi kita harus balik lagi ke titik awal yang membuat saya agak bosan.

Tapi most of all dengan membaca novel ini saya sangat bersyukur dengan apa yang telah terjadi dalam kehidupan saya selama 22 tahun ini. banyak hal yang saya jadikan pelajaran dan yaa, saya sangat bersyukur, mungkin dulu saya tidak pernah puas dengan apa yang saya miliki dan mungkin cenderung menyia nyiakan kesempatan yang ada, tapi melihat perjuangan penulis, yang hanya menginginkan sebuah kamar untuknya, perjuangan kakak2nya untuk membantunya saat dia kuliah di IPB, semangatnya yang tidak pernah padam,saya menjadi sadar betapa egoisnya saya.

Mungkin kadang kita selalu mengeluh akan kekurangan, ketidak sempurnaan, atau apapun, hal itu dikarenakan kita selalu melihat ke atas, kita tidak sadar, dibawah kita msh ada yg kurang beruntung padahal mereka memliki kapasitas/kemampuan yang lebih dari kita. And yess, yang kita perlukan adalah selalu bersyukur.


Bagi mereka yang menyia2 kan pendidikan, kesempatan dalam hidupnya, yang gampang menyerah, u should read this novel. Its highly recommended. Jangan pernah takut untuk bermimpi and Never Giving Up!
Profile Image for Nunung.
36 reviews1 follower
August 15, 2014
Haaa kesan yang tidak bisa lepas saat membaca buku ini adalah komentar pikiranku (yang spontan) pada interaksi antara penulis dan anak kecil yang mengenakan baju SD. Anak kecil yang dia ajak bercerita. Pikirku: "Ini penulisnya kayak pedophil". Haaa aku nggak sopan!! Jadi kata-kata kayak: 'Aku mengelus rambutnya dan beberapa kali kukecup keningnya' tu kubayangkan sebagai sesuatu yang amat menggelikan. He he..

Yeah, it's about dream. No no no.. it's about a brave heart. Emmm apa ya? Sampai pada saat sebelum aku membaca sub judul terakhir, aku bertanya: "Ni si tokoh utama ni berarti sakit hati, terluka atau kecewa berat dengan masalalunya ya? Atau keluarga (takdir) yang harus ia lalui waktu kecil?" Maksudnya, kok sampai-sampai ia harus melakukan semacam healing/penyembuhan & pendamaian dengan dirinya sendiri. Ada rasa kecewa yang teramat besar yang menghantuinya.

And i think the child is himself, isn't it? Fiktif. Semacam teman khayal untuk diajak diskusi atau cerita. Apa? jadi selain dia pedophil, dia juga kena sindrom schizoprenia? O_O hi hi. The fact, we always need someone or somethink to talk to. Yay! yang hanya mendengar dan tidak menghakimi. Bila tidak ada yang seperti itu yaa ciptakan sendiri dalam alam khayal, atau tulisan, syair, lagu etc.

Yah, itu tadi gumpalan-gumpalan pikiran yang keluar saat aku membacanya.

Sampai akhir kisah, anak SD itu memang absurd (gile, emang die kagak punya orang tue ape? Nguntitin orang aje kerjaannye? Trus bajunye kagak pernah ganti lagi!!). Dan si tokoh utama memang bukan pedophil, karena dia cerita juga kalau dia suka sama cewek di beberapa sub judul. Kalo schizoprenia-nya bener kayaknya (errrr). Trus ternyata benar bahwa tokoh utama pernah mengalami peristiwa mendalam yang ia ceritakan di akhir. Sebuah titik yang mengantarkan ketekad-annya. Sebuah Loop atau apa ya namanya? Pokoknya ada teorinya di Supernova-KPBJ nya Dee.

Actually, IMHO cerita ini bisa jadi buku tebal atau berseri-seri (baca "e" nya kayak "dendeng" jangan kayak "empal") dengan eksplorasi yang lebih. Kisah masa kecilnya didetailkan sampai jadi 1 buku, kisah perjuangan di Bogor satu buku, tahap ia merintis karir satu buku. Just like another Laskar Pelangi. Dengan ironi-ironi dan kalimat sarkastik. Menertawakan hidup de es te. But it doesn't easy at all.

Well, i apriciate this novel. Karena aku juga belum bisa bikin yang kayak gini:)

Bisa juga baca reviewnya disini: http://nunungideas.blogspot.com/2013/...
Profile Image for Nicko Arya Dharma.
1 review2 followers
April 27, 2013
Actually I already finished read this book a couple weeks ago. And suddenly, I wanted to write a review about this book now. The reason I wanted to read 9 Summers 10 Autumns so much was so simple. The reason is the book was placed on a bookshelf with tag “national best seller”. Finally, until someone special gave me the novel as my earlier birthday gift. It was make me more excited to read this book.
9 Summers 10 autumns. Judging from its title, maybe we will think “It should be the plot of this book”. Yes, absolutely right. This novel tells us about Iwan Setiawan’s journey. Iwan Setiawan was born in a modest family in East Java, he was raised with love, struggle, laughters and tears, until he has finally achieved his dream, even more than his dream. Getting a strategic position in one of Multinational Companies and was stationed in New York City is something that has been never previously imagined by him. From the city of apples to the Big Apple. Iwan Setiawan was trying to retell the story of his life with an interesting storyline, simple and touching language, and sometimes very melancholy.

Setting of the book is actually more than 9 Summers 10 Autumns. But 10 years is an important part of the book as a whole. The way Iwan told his story is very interesting that I can not stop reading this book until finish. After reading this book I am aware of one thing, life is a struggle. Push yourself to the limit and always believe in God. To quote one of Dostoevsky’s quote that Iwan Setiawan convey in his book “Ah, children, Ah dear friends, do not be afraid of life! How good life is when you do something good and rightful!”. Maybe, we was born in a condition that is not what we want, but believe that there is always hope among all the limitations.

The conclusion is 9 Summers 10 Autumns is very inspiring book that should be read by anyone.

PS: The book is available in two versions: Bahasa and English version.
Profile Image for Dendy.
3 reviews1 follower
May 19, 2013
Saya kurang suka dengan alurnya yang maju mundur, dan Mas Iwan yang sangat menyukai puisi pun terlihat dari pemilihan bahasanya yang terkadang membuat saya geli karena proses mendramatisir kata-katanya. Namun yang membuat saya paling tidak suka adalah tidak terpenuhinya keingin tahuan saya terhadap sosok anak kecil yang selalu memjadi awalan dari tiap Mas Iwan mulai ingin menceritakan masa lalunya.

Pada awalnya saya merasa itu tokoh imajiner sebagai bumbu cerita, tetapi kemudian dalam cerita Mas Iwan menjelaskan bahwa dia pergi berdua dengan si bocah ke Batu, bahkan ke Venesia, bahkan ada adegan si bocah sedang di kamar mandi ketika berbicara dengan Mas Iwan, sehingga imajinasi saya semakin terganggu antara ya dan tidak, dan tidak ada penjelasan dari Mas Iwan mengenai sosok anak ini, hanya perpisahan di Gunung Rinjani. Padahal saya berharap ada penjelasan ketika akan berpisah.

Lalu yang saya sayangkan lagi adalah, cerita ini hanya sekedar membahas kulitnya saja. Kita sebagai pembaca tidak mengetahui secara detail apa yang mas iwan lakukan sehingga berhasil mencapai prestasi2, okelah disebutksn, tapi hanya sebatas jargon seprti 'saya bekerja keras' atau 'saya berhasil menyelesaikan tugas sulit dari kantor'. Kita tidak mendapatkan elaborasi dalam. Sebenernya cerita ini simple yaitu Keluarga-SD-SMP-SMA-IPB-Nielsen-Danareksa-New York-Direktur. Intrik2 yang terjadi di dalamnya sama sekali tidak jelas.

Buku ini bagi saya terkesan 50% puisi dan 50% cerita.

Sebenarnya buku ini bisa menjadi buku yang panjang dan menarik. Mas Iwan bisa menjelaskan perasaan dan intrik yang ada ketika si kakak ke Jepang, bagaimana ketika dia menyelesaikan tugas dari Nielsen HongKong, bagaimana proses assessment yang dia dapatkan dari Nielsen NYC sehingga mampu menjadi Direktur, dsj. Seharusnya hal tersebut bisa dikembangkan secara detail sehingga pembaca mengetahui Mas Iwan secara pribadi dan bagaimana Mas Iwan mengarungi hidup ini.
Profile Image for rizki.
31 reviews3 followers
October 28, 2012
Secara umum, gaya bercerita bang Iwan memang lain dari kebanyakan novel lainnya. Biasanya sih saya suka sama hal yang "beda", namun kali ini tidak berhasil untuk saya.

Ada beberapa hal yang cukup mengganggu saya:

1. Saya kira buku ini sebuah novel, namun ternyata sejenis autobiografi ya. Atau memang buku ini sebuah autobiografi dari awal (saya yg salah atau bagaimana ya.. --").

2. Cerita pada tiap chapter sebenarnya bagus, tapi kurang detail cara menceritakannya. Seolah-olah bang Iwan ingin menceritakan semua perjalanan hidupnya, namun dibatasi oleh jumlah halaman. Jatuhnya semua diceritakan tidak mendalam. Bagus sih, tapi kurang "menancap" di hati (saya).

3. Cerita antar chapternya beberapa ada yang "gak nyambung" (atau dipaksa-paksa supaya nyambung).

4. Bahasa yang diberikan juga terlalu formal. Kalo ini mungkin masalah selera tiap pembaca sih. Tapi aku memang berpendapat demikian.

5. Penggambaran karakter anak kecil yang diberikan malah mengganggu bagi saya. Mungkin karakter anak kecil tsb dibuat ada untuk refleksi bang Iwan semasa kecil. Sehingga saat bang Iwan bercerita tentang masa kecilnya, para pembaca diharapkan dapat lebih tersentuh. Haha. tekniknya tidak berhasil kali ini, bang. Saya jadi sempet mikir aneh dengan adanya karakter anak kecil tsb. Hubungan bang Iwan dan anak kecil tsb terlalu intim bagi saya. Jadinya... ya gitu lah. :p

Btw, saya salut dengan pencapaian bang Iwan. Sedikit sekali orang-orang yang "seberuntung" bang Iwan. There's no dream can't be true.


nb: denger-denger 9S10A ini bakal di-film-kan. jadinya seperti apa ya film nya, kalau gaya berceritanya aja seperti itu.. :p
Profile Image for Nnit4 aja.
26 reviews
May 17, 2011
Buku yg diambil dari kisah nyata penulisnya.
Anak seorang supir angkot hingga menjadi Direktur Internal Client Management Nielsen Consumer Research, New York.

Awal saya membaca buku ini terasa datar, karena kebanyakan diceritakan ttg masa kecil & keluarga tokoh utamanya.
Mungkin karena saya mengharapkan lebih banyak diceritakan bagaimana perjuangan si tokoh hingga sukses menjadi seorang Direktur sebuah perusahaan di New York. Serta tidak terbiasa membaca buku biography.
Bahasa yg digunakan juga terlalu puitis menurut saya. Jadi kurang terasa saat membaca buku ini hehe..

Sempat bingung juga dengan adanya tokoh anak kecil, awal saya pikir dia adl tokoh nyata, tp akhirnya saya berpikir klo itu adl banyangan si penulis sendiri (tokoh imaginatif) yg mengenang masa lalu.

Harus diakui kisah mas Iwan sangat menakjubkan perjuangannya dari seorang yg bukan siapa" hingga menjadi seorang pimpinan perusahaan di Amerika sana. Bagaimana kegigihan perjuangannya agar terbebas dari kemiskinan & rasa tidak percaya diri.
Serta perjuangan anggota keluarganya.. orang tua, kakak", & adiknya.
Yg saya salut adl semua anggota kluarga mas Iwan ternyata pandai & tetap menomorsatukan pendidikan.
Berbeda jauh dengan kenyataan orang" yg secara finansial bisa bersekolah hingga tingkat tinggi tp malah menyepelekan pendidikan.

Profile Image for Frenda Rangga Aksara.
5 reviews2 followers
December 23, 2011
Novel yang merupakan cermin kehidupan iwan setiawan ini merupakan novel yang paling jujur, sederhana, realistis dan tanpa dramatisir berlebihan yang pernah kubaca. Ya, dikemas dengan tulisan yang mampu dicerna dengan mudah oleh pembaca, tulisan yang mengalir dan makna yang lugas dan sederhana.

Menceritakan seorang Iwan yang mencapai sesuatu yang tidak pernah ia impikan sebelumnya. Memang bukan cerita seorang yang meraih mimpinya tapi cerita seseorang yang meraih sesuatu melebihi impiannya. Tumbuh sebagaimana wajarnya manusia di tengah-tengah keluarga yang kekurangan, namun semangat keluarganya mempertahankan pendidikan anak-anaknya begitu luar biasa. Demi pendidikan mereka relakan semuanya, hingga jawaban akan konsistensi itu pun terjawab pada diri Iwan dan saudara-saudaranya.

Kesuksesan Iwan meraih sesuatu diluar impiannya menginspirasi kita untuk tidak pernah putus harapan dan berani mengambil kesempatan, seperti yang ia lakukan. Perjuangannya dari kota apel Batu untuk berani keluar ke Bogor walaupun serba pas-pas’an, berangkat ke jakarta untuk mendapatkan pinjaman, serta juga kegigihan keluarga dari ‘rumah kecil’ yang luar biasa, benar-benar menginspirasi.

Novel ini membuat kita optimis menjalani hidup, ‘sesederhana’ pun kehidupan kita, walaupun penuh atau tanpa jatuh-bangun, penuh atau tanpa rintangan. Karena itu adalah cerita hidup kita dan tentunya berbeda.
Profile Image for Truly.
2,763 reviews12 followers
June 29, 2011
Hem........
Satu lagi orang yang jenuh akan rutinitas dan mencoba untuk berbuat sesuatu yang berbeda agar hidup ini lebih memiliki makna.
Buku ini membuat saya sadar, sudah lebih dari 22 tahun saya tidak mengunjungi Kota Malang. Eyang kakung dari pihak papa berasal dari sana. Sekarang, mereka lebih sering ke Jakarta sehingga saya sama sekali lupa.

Sungguh "bejo" sang penulis ini.
Yang membuat saya penasaran bertanya justru gambar buah apel yang ada di depan. kenapa apelnya tidak hijau? Maksud saya jika kedua buah apel tersebut melambangkan Kota Apel bukannya Apel Malang berwarna hijau dengan rasa manis sedikit asam dan sepat(kurang lebih gt deh) Untuk Big Apple sih ok-lah...

Belum lama seorang sahabat melotot saat pembicaraan sore kita berubah kemasalah pendapatan. Saya dituduh "orang gila" karena melepas sekian rupiah untuk sesuatu yang menurutnya sangat tidak masuk akal. Saya jadi sangat ingin tahu bagaimana pendapatnya jika membaca buku ini. Bukankah sang penulis "lebih gila" dari pada saya?

Kadang dalam kehidupan ini ada saat uang bukan segalanya, bukan sesuatu yang sangat penting. Walau saya harus jujur, uang juga yang membuat saya bertahan hidup he he he he
Profile Image for Nabila Budayana.
Author 7 books80 followers
March 18, 2011
Setelah bolak-balik toko buku tiga kali karna nungguin terbit,saya akhirnya sudah baca buku bertanda tangan ini dua kali :D (can't wait for the next) . Setiap baca entah kenapa yang paling saya tangkep selalu loneliness and melancholic side dari mas Iwan. Pemisahan antar chapter selalu pas sebelum readers ngerasa bosan. Dan yakin yang paling bikin sejuta umat penasaran ya the boy with the uniform itu :). Dengan sastra yang lebih kental novel ini jadi berbeda dengan novel motivasi sejenis.
Buku ini mengatakan dengan tegas bahwa siapapun (bahkan saat anda merasa bukan siapa-siapa) berhak bermimpi dan menggapainya. 'Berlayar Terus Berlayar'.
Selain itu the author nunjukin kalau novel ini didedikasikan untuk keluarga dan orang sekitarnya sebagai rasa terima kasih.

Anyway,karna buku ini bakalan ga ada sekuelnya, yang jelas saya tunggu the next novel tentang ibu dari mas Iwan Setyawan :)
Profile Image for Mark.
1,284 reviews
April 21, 2013
First of all, I want to apologize for comparing this book with David Sedaris' works. No, this is NOT a compliment. With David's stories, you know they're facts that are intentionally blended with fictions. So you can only find them being displayed on Literature section at any bookstores. You accepted David's stories, even though they're based on his own experiences, as fiction(-alized).

Now Iwan Setyawan's book, well, I don't know. I also have no idea why it won certain award as best fiction. But most readers still consider this as inspiring. Hey, wake up people! This is a fiction book, as labeled by the publisher.

I also must stated here that I had trouble reading parts when he showed passionate towards a little boy. I know it's a metaphor of himself. But, seriously? It sounds like reading a pedophile story. I am sorry. This is just not my cup of tea.
Profile Image for Raka Nouvel.
15 reviews1 follower
July 7, 2011
Buku Mas Iwan ini sangat menginspirasi saya.
Pengalaman seorang anak sopir angkot yang memiliki tekad kuat untuk maju, menyentuh saya untuk belajar banyak tentang bagaimana mengelola spirit dan mengelola kemantapan hati.

Quote yang paling saya suka dari buku Mas Iwan ini adalah, "Impian harus tetap menyala dengan apa pun yang kita miliki, meskipun yang kita miliki tidak sempurna, meskipun itu retak-retak".

It's Amazing!!

Dan sebagian dari cerita yang Mas Iwan bawakan pernah saya alami dalam kehidupan saya walau dengan versi yang berbeda, dengan setting yang berlainan dan dengan ending yang tidak sama. Tapi lebih kurang, apa yang Mas Iwan rasakan bisa kunikmati dalam alur darah yang mengalir di kepalaku. Dalam benakku. Dalam hatiku.
Displaying 1 - 30 of 449 reviews

Join the discussion

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.