"Cinta adalah satu-satunya bunga yang tumbuh dan mekar tanpa bantuan musim."
Benak Amel mengembara melintasi tahun dan peristiwa. Kei, pulau di ujung timur Indonesia, pernah menyaksikan cintanya bertumbuh perlahan, nyaris samar, kepada bocah kecil berambut ikal yang murah hati. Kelirukah cinta jika ia memilih tetap berdiam di hati Amel hingga belasan tahun?
Kini cinta itu kembali menampakkan sosok yang penuh balutan rindu. Wajah yang dulu hanya singgah di pelabuhan mimpinya, kini begitu nyata. Dia tersenyum, menawarkan kembali hatinya. Untaian kenangan kembali teronce menjadi sebuah harapan.
Namun, badai tak pernah memilih. Ia siap menghancurkan semua yang Amel sayangi, termasuk cintanya. Dalam kekalutan, Amel hanya bisa berharap. Ya, dia hanya bisa berharap
Ade Nastiti adalah nama pena dari Ade Siti Barokah. Sejak kecil cita-citanya sederhana, ingin berkelana dan menyentuh salju. Impian ini terpenuhi ketika ia dan keluarganya mengunjungi Snowy Mountain di Australia tahun 2000. Perjalanan itu membawa kesan mendalam hingga menyeretnya pada impian berikutnya, mengetahui lebih jauh kehidupan masyarakat di daerah pegunungan.
Sepuluh tahun kemudian, Agustus 2010, ia berkesempatan mengunjungi Ladakh, salah satu kawasan paling tinggi di dunia dan membaur dengan masyarakat setempat. Barisan pegunungan Himalaya yang bersalju menjadipemandangan setiap hari. Tak lama setelah itu, ia mendapat fellowship untuk pelatihan selama 10 minggu di India dan melakukan field tripke Nepal. Ia tidak suka menghabiskan waktu luang dengan menonton TV, maka setiap skhir pekan ia melakukan perjalanan ke berbagai kota yang kisahnya bisa Anda baca dalam buku-bukunya,
Traveling dan menulis adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan dari dirinya. Tak heranprofesi yang dijalani selulus dari UGM adalah jurnalis dan monitoring specialist pada program pemberdayaan masyarakat. Profesi ini telah membawanya mengunjungi semua provinsi di Indonesia dan puluhan negara lain. Kini ia bekerja sebagai project manager pada Partnership for Governance Reforms di Jakarta.
Penulis adalah "story teller" yang baik. Ramuannya memang agak mirip dengan novel pertamanya, Serenade Dua Cinta, yakni kisah cinta dua manusia berbeda suku (dan agama), setting Indonesia timur, plus isu kekinian. Kalau di SDC, penulis memasukkan isu pemberdayaan masyarakat, di novel ini, isu politik lebih kental (jadi inget Antasari :D). Tapi saya kurang simpati dengan tokoh Amel, cengeng sekali, hehehe.
Semenjak novel ini terbit, saya telah menetapkan. Suatu hari saya harus memilikinya. Namun, karena satu dan lain hal, belum juga sempat terbeli. Dan saya sangat bersyukur tatkala seorang sahabat menghadiahkan buku ini pada hari ulang tahun.
Buku Mbak Ade lainnya yang pernah saya baca juga membuat saya jatuh cinta. Dan sekarang saya jatuh cinta bukan hanya kepada cerita (romantis-nya), tapi juga kepada tokoh Nando dalam buku ini. Walau begitu, saya sangat simpati kepada Yuda.
Gemas dengan endingnya, tapi mungkin jika saya yang menulis pun, ending seperti itulah yang akan muncul. Atau, mungkin jika sampai harus mengalami seperti yang dialami Amel, sang tokoh utama, saya pun akan memutuskan hal yang sama.
Yang paling saya suka dari novel-novel Mbak Ade adalah ia mampu menghadirkan background cerita yang berat, namun sisi romantis tetap tergali dan terjaga dengan apik. Saya ikut tersenyum, berkaca-kaca, dan merasakan letupan cinta di hati saat membacanya. Sulit sekali untuk tidak menyelesaikan novel ini sesegera mungkin. Penasaran!
Novel percintaan bukanlah genre novel yang paling aku sukai. Hmm, bisa dibilang beberapa novel bertema cinta yang kupunya, kubeli hanya karena satu alasan : aku "mengenal" penulisnya. Dan, hal yang sama berlaku di Two Lovely Hearts ini.
Namun, yang ini lebih spesial. Buku perjalanan penulis yang berjudul Two Travel Tales adalah buku perjalanan (ke India pula) yang bertengger di posisi paling atas dijajaran buku favorit (sedikit di bawah Titik Nol Gus Weng aja mbak Ade... sedikiiiit banget hehe), makanya, ketika aku menemukan buku ini di sudut toko buku (Seriously, letaknya emang di sudut, sudah tidak berplastik, sebagian halamannya nampak berdebu dan tinggal satu-satunya pula), aku tanpa ragu menggiringnya ke kasir.
Oke, ini buku percintaan. Eh tapi tunggu dulu! jika yang nulis mbak Ade yang jenius itu, jelas tidak akan menulis hal remeh-temeh seputar urusan hati.
Judul dan sampul buku ini bisa jadi nampak begitu girly (dan jujur saja, aku agak malu-malu bacanya, disela-sela jaga toko hehe), namun isinya tidak begitu. Menceritakan mengenai Amel, Nando dan Yuda, tiga orang yang pernah tumbuh bersama di masa lalu dan harus menghadapi situasi-situasi sulit di saat mereka dewasa. Tidak melulu tentang cinta, terlebih novel ini juga mengulik mengenai peta perpolitikan tanah air, pengkhianatan hingga upaya pembunuhan.
Jangan lupa, settingnya yang mengambil Kepulauan Kei di Maluku sana, bikin aku mupeng dan rasanya pingin loncat ke sana ;D oh tak lupa, setting luar negeri (Canberra, Australia) juga menghiasi buku ini.
Jika aku memberikan 4,5 bintang untuk novel ini, itu bukan karena aku "kenal" sama penulisnya ya, seingatku sudah lama sekali aku tidak menikmati novel percintaan seperti ini (terakhir aku mendapatkan suasana yang sama saat menuntaskan novel percintaan berjudul Finding You).
Tidak sia-sia blusukan dan mengeksplor rak-rak di toko buku, alhamdulillah berjodoh dengan buku yang kece ini. Tinggal nanti jodoh betulan aja yang belum nemu, duh ini komen buku kok jadi ajang curhat hehehe.
baru selesai baca two lovely hearts, dalam dua kali buka, dua kali duduk, dua hari baca. bukan pembacaan tercepatku. karena beberapa kali saya cukup sekali duduk, one day reading, untuk buku yang lebih tebal bahkan. buku ini sebenarnya bacaan dewasa, tapi kutukutubuku.com menempatkannya dalam kategori teenlit. barangkali karena judulnya di sampul ungu ada kata cinta. muga-muga bukan karena adminnya kutubuku ndhak mbaca bukunya sama sekali, sehingga asal tebak kategori. saya sebut bacaan dewasa, karena tema kisah ini cukup berat, tentang pilihan hidup orang dewasa, tentang pilihan cinta, pilihan iman, pilihan politik. ada saat ketika hati dan akal harus menjadi kompas untuk menentukan pilihan menjadi terpuruk atau maju, menjadi pembenci atau penuh kasih, menjadi terbuka atau tersekat, menjadi bijak atau bajingan. dan harus aku akui, Ade Nastiti telah mengolahnya dengan jalinan kisah yang apik, tekstual sekaligus kontekstual, menyentuh pada titik-titik hati dan akal secara tepat. pilihan bungkus prolog dan epilog juga cerdas, memudahkan dalam opening dan closing kisahnya. terlepas dari beberapa kata ganti yang harus kubaca ulang maksudnya, buku ini ditulis dengan bagus, oleh penulis yang bagus. meskipun tema cinta sangat umum dan buanyak ditulis, Ade, telah memilih jalinan cerita yang terasa tetep anyar. tidak terjatuh dalam pengisahan ala sinetron tv, mungkin karena pilihan seting dan plot yang membungkusnya, jadi kisah cinta ini tetep terasa segar dan bernilai. dan cinta, ah, absurd dan membingungkan. So, it is a great work, Ade. keep writing. aku menunggu buku-buku berikutnya.
Cinta pertama... Ketika irama rindu mengalun, tiada lelahnya ia menari di relung jiwa. Membaca kalimat tersebut di kaver depan, sungguh bikin merinding. Bicara cinta pertama itu tidak akan ada habisnya. Seperti Amel yang kembali bertemu dengan cinta pertamanya setelah belasan tahun berpisah karena kesengajaan.
...
Novel ini mengemas nusantara tercinta ini dengan apik – tentu Canberra juga – sebagai setting tempatnya. Ini novel yang sudah lama saya cari dan idam-idamkan. Bukan sekadar menjual cerita cinta. Bukan beta tak suka novel demikian tapi novel ini bisa bikin beta lebih mencintai sisi lain tanah air beta ini. Mungkin se juga lebih bisa cinta Indonesia sambil berkasih sayang dengan se pu kekasih. Kalau bukan kita, pa lagi? :) salut untuk mbak Ade Nastiti :)