Buku ini adalah sekuel buku "Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya" yang mendapat respon heboh masyarakat dengan menjadi best-seller di Indonesia selama bertahun-tahun. Tak heran majalah Spritually and Health di Amerika mengomentari buku ini sebagai salah satu buku spritual terbaik.
Dalam buku ini, Ajahn Brahm menginspirasi kita untuk menyikapi kerentanan raga, perubahan, noda batin dengan cinta tanpa ego, damai tanpa syarat, agar menjadi pribadi yang arif dan memiliki hati bebas lepas. Buku ini sarat kiat dan siasat untuk menyelancari ombak kehidupan melalui 108 (lagi!) cerita yang makin mencerahkan.
Ajahn Brahmavamso Mahathera (lovingly known to most as Ajahn Brahm) was born Peter Betts in London, United Kingdom in August 7, 1951. He came from a working-class background, and won a scholarship to study Theoretical Physics at Cambridge University in the late 1960s. After graduating from Cambridge he taught in high school for one year before travelling to Thailand to become a monk and train with the Venerable Ajahn Chah Bodhinyana Mahathera.
Whilst still in his years as a junior monk, he was asked to undertake the compilation of an English-language guide to the Buddhist monastic code - the Vinaya - which later became the basis for monastic discipline in many Theravadan monasteries in Western countries.
wow, ada 3 buku bertopik Ajahn Bhrams yang saya beli dan letakkan di lemari buku saya, 2 diantaranya saya baca sampai habis, satunya saya selesaikan di tengah. karena isinya hanya jurnal perjalanan dengan tata bahasa yang buat saya tidak terlalu menarik. apakah hal itu bisa membuat saya menjadi fans resmi Ajahn Bhrams, tidak juga sih... pokoknya selama beliau menjauhi keduniawian saya akan sangat mengaguminya.
Apa yang membuat saya membeli buku ini dengan semangat, kabarnya kala itu buku ini baru turun di Gramedia kurang dari 24 jam dan langsung saya beli (satu saja tentunya..) dan anehnya, baru bisa saya selesaikan 2 hari yang lalu. Butuh waktu hampir 2 bulan untuk menyelesaikannya, bandingkan dengan buku pertama yang hanya membutuhkan hitungan hari.
Dengan ini saya katakan bahwa itu adalah rasa haus akan sikap humanisasi. Sikap manusiawi yang seharusnya kita terapkan sejak dulu. paling tidak saya bisa membaca ada biksu-biksu yang masih melakukannya. beberapa diantaranya adalah ketidak tergantungan akan uang, ketulusan dan sikap welas asih. saya sungguh kagum akan pola hidup yang merek jalani. jujur saja saya tidak heran jika mereka berada dalam antrian pertama yang menuju surga kelak, karena kewelas asihannya.
Lagi-lagi buku ini mengajarkan kesederhanaan melihat kehidupan, kontradiksi yang jarang diajarkan kepada kita, Ajahn bhrams mengatakan bahwa "sakit itu wajar, itu artinya tubuh anda bekerja dengan benar". ia juga mencoba mengajak kita untuk berdamai dengan penyakit, membaur dengan penyakit yang kita derita ketimbang melawannya, kita menerima keadaan tubuh kita apa adanya, bahkan ia menggambarkan bagaimana mati dengan indah... wah kebayang ga tuh.
Buku kedua ajahn bhrams masih memberikan cerita-cerita kehidupan yang sama, namun kali ini topiknya lebih berat, sedikit menyinggung ajaran sang Budha (yang tidak masalah bagi saya) dan yang paling penting kembali mengusik batin saya, dalam banyak cerita tapi khususnya dalam cerita "Wadah dan Isi"
"Bayangkan jika saya adalah seorang guru sekolah dan orang-orang terus datang ke kelas saya tahun demi tahun! Kapan mereka akan pernah lulus? Jadi saya sering mengatakan bahwa tugas saya, tujuan saya, adalah membuat kalian semua tidak perlu datang lagi". Hal. 282.
wow.... apakah kata "wow" cukup untuk mewakili perasaan saya ketika membaca statemen itu. Sebagai seorang guru dalam konteks yang kurang lebih sama, saya tersentak akan konsep ini. Ya, seharusnya saya membuat mereka tidak perlu datang lagi, namun menuju pemahaman ajaran, aplikasi ajaran. Mungkin bagian sebagian teman sulit menerimanya, tapi inti dari topik yang satu ini adalah mencukupkan wadah dan memaksimalkan isi.
Yang pasti, saya tidak akan mengembalikan buku ini. saya merasa lebih terisi dan manusiawi melalui buku ini dan yang pasti harus diakui buku ini sangat layak dijadikan hadiah souvenir untuk teman-teman yang mencari hakekat sederhana kehidupan (cieee..)
tapi dibandingkan buku pertama, saya lebih suka yang pertama, dan kenapa saya harus menghabiskan waktu 2 bulan membacanya. karena pemikatnya kurang, sepertinya Ajahn bhrams berasumsi bahwa pembaca buku keduanya akan menjadi pribadi yang lebih dewasa dalam mencari ilmu kehidupan, sehingga pembicaraan lebih serius dan mengena dalam kejadian sehari-hari,
cerita-ceritanya sangat menarik dan saya pikir dapat saya aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tapi saya tidak bisa mengingat semua pesan yang disampaikan melalui tiap cerita. Kemudian terpikir untuk menulis pesan moral dari masing-masing cerita dalam 1-3 kalimat. Saya berharap agar ke-108 x 3 pesan itu dapat dibaca dalam waktu yang singkat serta lebih mudah mengingatkan saya tentang suatu pertimbangan bagaimana sebaiknya saya bereaksi terhadap situasi, kondisi, dan peristiwa tertentu.
Sama seperti buku pertamanya, buku kedua dari seri Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya ini pun memberiku banyak sekali pencerahan tentang banyak hal yang luput dari perhatianku. Kali ini pun aku mendengarkan audiobooknya di Storytel. Bedanya, kali ini aku mendengarkan audiobooknya dengan sangat perlahan karena ada banyak sekali hal yang membuatku merenung lama.
Di awal buku, Ajahn Brahm banyak membahas mengenai "melepas". Apa itu melepas? Melepas itu ya melepas; tidak terikat dengan apa pun yang terjadi di masa lalu dan tidak terus-terusan memikirkan hal yang belum terjadi di masa depan, melepas adalah seni hidup di masa kini dengan penuh kesadaran. Melepas juga berarti tidak terikat pada semua hal dan semua orang di sekitar kita termasuk diri sendiri. Dan tentu saja "melepas" itu berbeda dengan "pasrah". Sebagai seorang buddhis, sejak kecil aku sudah diajari dengan konsep "melepas" ini. Tapi dalam praktiknya, "melepas" tidak sesederhana itu. Aku masih suka bergelung dalam overthinkingku untuk memikirkan hal-hal yang belum terjadi, aku masih "memelihara" ketakutanku akan rasa kehilangan yang terjadi bertahun-tahun yang lalu, aku pun masih melekat pada orang-orang di sekitarku dan membuatku sering merasakan gejolak emosi, dan tentu saja aku masih punya obsesi pada barang-barang lucu nan menggemaskan. Tapi cerita-cerita yang dituturkan Ajahn Brahm dalam buku ini membantuku untuk menyadari bahwa aku masih punya kemelekatan dan obsesi itu. "Sadar" adalah langkah pertama dari melakukan sesuatu karena kesadaran itu bisa membantuku untuk mengetahui apa yang salah dan apa yang perlu diperbaiki.
Ajahn Brahm juga memaparkan cerita tentang kemarahan yang lebih banyak menyakiti diri kita sendiri ketibang orang yang membuat kita marah.
"Jika kita marah terhadap orang lain, itu seperti memungut batu bara membara dan mencoba melemparkannya pada orang yg kita benci. Lebih sering lemparan kita meleset, namun tiap kali kita memungut batu menyala itu kita membakar diri kita sendiri. Tiap kali kita marah pada seseorang, kita 100% selalu terluka, meski kadang pembalasan kita membuat orang lain terluka kadang tidak, namun kita pasti terluka."
Dalam buku ini, Ajahn Brahm juga mengajarkanku untuk tidak lagi-lagi membandingkan diri dengan orang lain.
"Jika kita miskin, kita memiliki derita orang miskin. Ketika kita kaya, kita tidak lagi memiliki derita orang miskin, derita itu lenyap. Tapi sebagai gantinya kita memiliki derita orang kaya, jenis derita yang lain."
Akhir-akhir ini istilah "privilege" sedang ramai dibicarakan orang-orang. "Si A bisa sukses begitu karena bapaknya kaya", "Si B memang pintar maka bisa lulus kuliah cepat dan di terima kerja di perusahaan bagus", dll. Aku merasa bahwa konsep "privilege" itu lucu karena rasanya orang-orang hanya mencari-cari alasan untuk mencela orang lain yang lebih baik dari diri mereka. Memang apa salahnya kalau si A lahir di keluarga kaya atau si B lahir dengan otak encer? Yang salah adalah ketika mereka tidak memanfaatkan "privilege" mereka itu dengan baik, yang pastinya tetap dicerca orang-orang juga 💁🏻♀️💁🏻♀️ Setelah aku mendengar penjelasan Ajahn Brahm; orang miskin memiliki derita orang miskin, orang kaya memiliki derita orang kaya, orang bujangan memiliki derita orang bujangan, dan orang yang sudah menikah memiliki derita orang yang sudah menikah; rasanya jadi lucu kalau aku masih saja membandingkan diriku dengan orang lain atau bahkan merasa diriku adalah orang yang paling malang sedunia.
Ajahn Brahm juga berkata bahwa kejujuran adalah hal yang paling penting karena hal itu bisa membangun rasa percaya yang bisa menjadi pilar hubungan kita dengan orang lain.
"Mengapa jujur itu berat sekali? Sebab kita tidak memuji dan menghadiahi kejujuran. Begitulah cara kerja pikiran kita yang terkondisi ini. Apa yang mendapat imbalan dan pujian, yang membuat hidup kita lebih bahagia dan lebih sukses itulah yang kita kembangkan. Jadi jika berdusta malah mendapat imbalan, kita bisa lolos resikonya dan hidup lebih baik dari berdusta, maka kita akan membangun masyarakat yang semakin giat untuk berdusta."
... banyak kali dalam hidup kita, ketika sesungguhnya kita mengaku, ketika kita jujur, kita mengatakan apa yang kita pikirkan, terlalu sering kita malah dijatuhkan. Kita dicela dan dikecam. Karena itulah banyak orang terdorong dan termotivasi untuk berdusta ataupun tidak berkata apa adanya."
Penjelasan Ajahn Brahm yang ini membuatku merenung lama sekali. Mungkin ini adalah salah satu alasan mengapa kita sering sekali memakai topeng "aku baik-baik saja" karena orang-orang menganggap kalau kita sedang merasa tidak baik-baik saja itu adalah hal yang salah. Maka sering kali kita meredam emosi kita, terus menerus memaksakan diri kita untuk bersikap kuat, atau bahkan lari dari emosi yang sebenarnya kita rasakan. Padahal merasa tidak baik-baik saja itu benar-benar tidak apa-apa. Dari kebohongan kita pada orang lain dan juga pada diri sendiri itu sebenarnya kita sedang berusaha melupakan bahwa kita ini manusia.
forever grateful having the chance to read this series. you have no idea how helpful it is for me. i still do mistakes, yes, still upset sometimes, still fear the world sometimes, but again, its a process and that’s what makes me human.
Ajahn Brahm, thank you so much. im not even Buddhis, but that’s what make it beautiful, isn’t it?
i wish you and everyone find true happiness and peace. ❤️
Suka banget. Apalagi buku ini banyak menyangkut dunia antara hidup-sakit dan kematian. Dibahas berulang-ulang dan membuat saya merasa apapun yang terjadi dalam tubuh saya, tidak seharusnya menjadi downer untuk batin saya ❤️
Buku ke-dua yang lebih menarik dibanding buku pertama, menurut saya. Walau cerita-ceritanya sangat menarik, tapi buku ini sepertinya memang ditulis untuk dibaca perlahan. Sebelum tidur adalah waktu yang saya rekomendasikan untuk membaca buku ini.
Cara Ajahn Brahm menyampaikan pesan-pesan mengenai kehidupa dikemas dengan apik serta dibalut dengan humor yang membuat buku ini menjadi bacaan yang ringan serta bermanfaat untuk didalami nilainya
As insightful as the 1st book, but I found the 1st book is funnier. My favorite story was Mencari yang Sempurna, Gara-gara Lubang di Jubah, Upacara Ayam, and Kiasan Goni.
Bukan jenis buku yang bakal saya beli sendiri. Bukan masalah beli, tapi saya pun jarang membaca buku yang bersifat memberi motivasi. Tapi buku ini disodorkan sepupu saya yang baru balik dari pelatihan kantornya. Berhubung lagi ga ada bacaan lain, boleh juga deh saya baca, huehehe...
Ini kumpulan kisah seorang bule Inggris yang merupakan salah satu lulusan terbaik Universitas Cambridge pada masanya yang kemudian menjalani pilihan hidupnya menjadi seorang bikhu Budha. Ya, si Ajahn Brahm ini. Secara umum, buku ini lumayan bagus, dan kocak juga. Sebagian dari unsur kocak ini berasal dari gaya tulisan Brahm yang seenak2nya sendiri, dan juga karena hal yang ditulisnya. Misalnya saja cerita seputar nyamuk2 yang menemaninya waktu pertama kali tinggal di sebuah biara Budha di pelosok hutan Thailand. Awalnya dia mengeluh mengapa dibandingkan para bikhu2 lokal, dirinya paling tidak tahan dengan gigitan nyamuk. Akhirnya dia berdamai dengan keadaan yaitu memang dirinya belum mampu bermeditasi secara benar sehingga masih saja merasakan gigitan nyamuk, juga karena sebagai bule, dirinyalah yang menjadi menu baru yang diincar para nyamuk :)
Lalu, kisah di balik tekadnya untuk tidak menyentuh minuman beralkohol lagi, juga ditulis dengan kocak. Betapa sebagai salah satu mahasiswa terbaik Cambridge, Ajahn (nee Peter Betts) mendapat undangan istimewa hadir dalam jamuan malam berkelas. Segala kemegahan, keindahan dan ketinggian selera dari para tamu di awal jamuan, ternyata menjadi kehancuran, kesia-siaan dan kemaluan hal yang memalukan begitu minuman beralkohol mulai diteguk.
Ada lagi halaman yang merupakan sebuah puisi berjudul "Bunda". Bukan puisinya Brahm ya, tapi dari ... Adolf Hitler. Hyaaaa... penasaran ya? Makanya saya ingin menyalinnya. Sayang buku ini sudah diambil balik sepupu saya buat nemenin dia tugas di Tahuna, tapi kalau mau lihat versi bahasa Inggris dan Jermannya, ada di link ini: http://forum.axishistory.com/viewtopi...
Buku ini dapat rating 3.5 dari saya. Tetap, bukan jenis buku yang bakal saya beli sendiri :)
Buku ini terbagi menjadi 9 pokok bahasan, yang terdiri dari Raga yang Rentan, Menerima Perubahan, Pukat Kelekatan, Penolakan terhadap Dunia, Batin yang Keliru, Cinta Tanpa Keakuan, Damai Bahagia Tanpa Syarat, Arti Menyikapi Kehidupan, Hati Bebas Lepas. Dalam tiap pokok bahasan, berisi kisah-kisah yang akan membuka pintu hati kita dalam melihat hal-hal di dunia ini yang selama ini tidak terlihat karena keegoisan hati kita.
Kelebihan buku ini adalah gaya bahasanya tidak membosankan karena di tulis dengan humor yang segar. Masing-masing kisah hanya sepanjang sekitar tiga halaman. Jadi, proses membacanya menjadi nyaman dan tidak melelahkan. Selain itu, karena begitu ramainya buku ini dicari dan banyak memberikan pencerahan kepada pembacanya, penerbitnya berani memberikan “Garansi Uang Kembali”. Artinya jika setelah membaca buku ini tidak dirasakan manfaatnya, boleh mengembalikan bukunya dan uang yang telah dikeluarkan akan dikembalikan. Saran saya, bacalah buku ini karena kita akan menemukan cara untuk memandang kehidupan yang baru dari kisah-kisah yang ada di buku ini. Perumpamaannya begitu beragam, tapi hanya ada satu tujuan, yaitu mendorong kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Dengan begitu, kita akan mampu meninggalkan keegoisan pikiran kita dan mampu mempunyai sudut pandang yang baru dalam menghadapi dunia ini. Kehidupan kita akan berubah seiring berubahnya cara pandang kita terhadap dunia ini.
Ini dia buku yang kedua. Aku beli barengan sama yang pertama.
Dari segi format tidak banyak perbedaan. Bahkan kisah-kisah yang disajikan sama-sama berjumlah 108 dengan tingkat inspiratif yang sama persis dengan buku pertama. Itu artinya, Brahm memang memiliki banyak sekali bahan cerita kan. Hal itu jelas membuat aku penasaran: apakah masih banyak juga kisah-kisah inspiratif yang belum dibukukan? Mungkin pengalamannya memang luar biasa banyak. Sebagai motivator internasional, Brahm pastilah punya banyak pengalaman keliling dunia. Sebagai seorang biksu, brahm sudah tentu memiliki pengalaman spiritual dan kebijaksanaan yang tak diragukan. Dan sebagai seorang sarjana fisika teori dari Universitas Cambridge, Brahm membuktikan bahwa dirinya juga kaum intelektualis akademis. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa Brahm adalah motivator komposit antara kebijaksanaan hati dan otak.
Dalam buku ini Brahm menginspirasikan kita dari sisi: kerentanan raga, perubahan, noda batin dengan cinta tanpa ego, damai tanpa syarat, agar menjadi pribadi yang arif dan memiliki hati bebas lepas. Tentusaja Brahm selalu memasukkan lelucon-lelucon kecil di dalamnya. Overall: inilah buku motivasi part 2 paling komplit yang pernah saya baca.
Satu lagi buku penuh pencerahan dari Ajahn Brahm. Masih tetap berisi 108 cerita yg mempesona, menghibur, menginspirasi tapi juga menyentil sekaligus...
Kalau pada buku pertama bagian yg paling mempengaruhi hidup saya adalah kata2 "Ini juga akan berlalu..." maka dari buku kedua ini bagian cerita tentang Winnie the Pooh & Piglet (yup, saya gak salah tulis he3x) benar2 merubah cara pandang saya terhadap masa yang akan datang...
Cukup disayangkan ada bagian dari buku pertama yg diceritakan ulang pada buku ini walaupun (seingat saya) hanya satu kisah (tentang seorang bikkhuni yg memerlukan jarum utk menambal jubahnya). Tapi tetap 107 cerita baru lainnya masih sangat berguna bagi saya pribadi..
Di buku 2 ini kamu akan dipertemukan lagi dengan 108 (lagi) cerita-cerita pendek tentang kehidupan. Sejauh ini favoritku itu tentang penerimaan terhadap rasa sakit, nah di buku ini diceritakan bahwa bagaimana rasa sakit itu akan semakin terasa ketika kamu berusaha mengelak dan tidak terima dengan kenyataan. Ajahn Brahm mengatakan bahwa keadaan akan membaik ketika kamu memberikan sebuah penerimaan dan berdamai dengan rasa sakit itu. Dijelaskan juga kalau kita sakit jangan malah terlalu sibuk menyalahkan diri sendiri, toh malah aneh kan kalau misalnya selama hidup kita nggak pernah sakit sama sekali hehehe.. So, maaf ya diriku dan orang-orang yang sering malah kusalahin pas lagi sakit hehe 😬😬 Stay healthy, everyone ✨
Sekali lagi, buku yang banyak memberikan pencerahan sekaligus motivasi bagi pembaca. Memang benar sih, buku ini bermanfaat bagi pembacanya, bohong saja kalau ada yang bilang tak mendapatkan manfaat apa-apa setelah membaca buku ini :p
Berbeda dengan buku pertamanya yang lebih banyak memberi hikmah lewat cerita singkat, di buku ini Ajahn Brahm menyadarkan lewat banyak pengajaran, meditasi dan motivasi. Walaupun ada beberapa kisah yang menggetarkan jiwa. Ajahn Brahm juga tidak banyak menuturkan kisah lucu, seperti di buku yang pertama.
Secara umum, saya tetap lebih suka buku yang pertama, walau buku yang kedua juga sama bermanfaatnya :)