Jump to ratings and reviews
Rate this book

Kuantar ke Gerbang

Rate this book
Ingatan itu masih tertera jelas. Sosok mungil dengan sekuntum bunga warna merah tersunting di sanggulnya. Hingga bertahun-tahun, sosok itulah yang hidup dalam benak Soekarno. Inggit bukan sekadar kekasih. Dalam dirinya, Soekarno menemukan kawan sekaligus ibu. Di dalam rengkuhan perempuan sederhana itu, dia bertumbuh menjadi seorang pejuang yang tangguh.

Mereka melewati beragam peristiwa. Masa-masa pembuangan di Ende dan Bengkulu menjadi saksi ketabahan Inggit. Perempuan yang tak bisa baca tulis ini memompa semangat Soekarno dalam caranya sendiri.

431 pages, Paperback

First published January 1, 1981

264 people are currently reading
2655 people want to read

About the author

Ramadhan K.H.

31 books20 followers
Ramadhan K.H. yang nama lengkapnya adalah Ramadan Karta Hadimadja (lahir di Bandoeng, 16 Maret 1927 – meninggal di Cape Town, Afrika Selatan, 16 Maret 2006 pada umur 79 tahun) adalah seorang penulis biografi Indonesia.

Ramadan pernah bekerja selama 13 tahun sebagai wartawan Antara. Lalu, dia minta berhenti karena tak tahan melihat merajalelanya korupsi waktu itu. Dia tercatat sebagai mahasiswa ITB dan Akademi Dinas Luar Negeri di Jakarta, kedua-duanya tidak tamat. Dia juga pernah bertugas sebagai Redaktur Majalah Kisah, Redaktur Mingguan Siasat dan Redaktur Mingguan Siasat Baru.

Semasa hidupnya Ramadan terkenal sebagai penulis yang kreatif dan produktif. Ia banyak menulis puisi, cerpen, novel, biografi, dan menerjemahkan serta menyunting.

Kumpulan puisinya yang diterbitkan dengan judul "Priangan Si Djelita" (1956), ditulis saat Ramadan kembali ke Indonesia dari perjalanan di Eropa pada 1954. Kala itu, ia menyaksikan tanah kelahirannya, Jawa Barat, sedang bergejolak akibat berbagai peristiwa separatis. Kekacauan sosial politik itu mengilhaminya menulis puisi-puisi tersebut.

Sastrawan Sapardi Djoko Damono, menilai buku tersebut sebagai puncak prestasi Ramadan di dunia sastra Indonesia. Menurut Sapardi, buku itu adalah salah satu buku kumpulan puisi terbaik yang pernah diterbitkan di Indonesia. "Dia adalah segelintir, kalau tidak satu-satunya, sastrawan yang membuat puisi dalam format tembang kinanti," papar Sapardi.

Ramadan pernah mendapatkan sejumlah penghargaan, antara lain "Hadiah Sastra ASEAN" (Southeast Asia Write Award) pada 1993. Pada tahun 2001 ia diangkat menjadi anggota kehormatan Perhimpunan Sejarahwan Indonesia. Selain itu Ramadan juga merupakan salah seorang anggota Akademi Jakarta.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Ramadhan....

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
398 (48%)
4 stars
254 (30%)
3 stars
104 (12%)
2 stars
30 (3%)
1 star
39 (4%)
Displaying 1 - 30 of 74 reviews
Profile Image for Jatining Siti.
37 reviews6 followers
January 14, 2009
Roman sejarah yang ditulis oleh Ramadhan KH ini berjudul "Kuantar Ke Gerbang", dengan subjudul "Kisah cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno". Awalnya kukira isi buku ini lebih banyak tentang kisah berkasih-kasih antara Bung Karno dan Bu Inggit. Tapi ternyata tidak, lebih bagus dari itu! Tentang kisah cinta yang tidak cengeng, tentang kisa cinta yang dewasa.

Tertarik baca buku ini gara-gara HUT 62 RI yang marak diperingati di mana-mana. Mulai dari lingkungan RW, koran, majalah, hingga TV. Apalagi setelah nonton sineteron FTV "Tjinta Fatmah" yang disiarkan Trans7. Jadi tambah penasaran dengan kehidupan istri Soekarno yang mendampinginya sejak Soekarno masih menjadi student hingga menuju gerbang kemerdekaan RI, yaitu Inggit Garnasih

Buku ini highly recommended buat dibaca. Banyak pelajaran berharga yang patut dicontoh. Mulai dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk merdeka, sampai pelajaran berharga tentang ketulusan cinta. Terlepas dari 'perselingkuhan' yang dilakukan Inggit Garnasih dengan Soekarno saat Inggit masih menjadi istri Sanusi, Ibu Inggit mengajarkan bagaimana menjadi istri yang luar biasa. Ia tidak saja setia mendampingi suaminya, Kusno--begitu Ibu Inggit memanggil Bung Karno. Ibu Inggit juga selalu mendukung suaminya dalam perjuangannya memerdekakan bangsa ini.

Ketika Bung Karno dipenjara di penjara Bancey, Bandung, Bu Inggit setiap hari mengirimi makanan dan koran untuk suaminya. Padahal ia sendiri tidak tahu apakah makanan-makanan itu sampai pada suaminya atau tidak. Karena setiap ia datang, setiap kali itu pula penjaga penjara membentaknya. Bahkan saat itu ia tidak diperkenankan bertemu dengan suaminya

Ketika Bung Karno dipindahkan ke rumah tahanan Sukamiskin, Bandung, Ibu Inggit setiap hari mengunjunginya dengan membawakan makanan. Karena waktu pertemuan dengan suaminya amat terbatas, maka di setiap pertemuan di penjara itu, Bu Inggit selalu memberinya semangat, selalu memotivasi Singa Podium itu. Padahal di rumah ia kesulitan keuangan. Namun hal itu tidak diungkapkan kepada Bung Karno, suaminya.

Bahkan suatu ketika Ibu Inggit sama sekali tidak punya ongkos untuk naik delman dari rumah ke penjara Sukamiskin. Namun demi menjaga semangat dan perasaan suaminya, Ibu Inggit rela berjalan kaki dari rumah menuju penjara! Buat yang tahu Bandung, jarak dari Ciateul di tengah kota (rumah Bu Inggit) ke penjara Sukamiskin yang di pinggir kota itu bukan main jauhnya!! Dalam perjalanan pulang dengan berjalan kaki dari Sukamiskin ke rumah, Bu Inggit sempat kehujanan deras sekali, sehingga sampai di rumah sudah larut malam. Tapi semua itu dilakukannya dengan ikhlas. Karena ia tahu tanggung jawabnya sebagai istri pejuang. Ia pikir, untuk apa soal remeh temeh saja diceritakan pada suaminya.

Meskipun 'hanya' lulusan madrasah, Inggit Garnasih adalah perempuan dengan kecerdasan emosi dan spiritual yang sangat tinggi. Ia pandai menyembunyikan perasaannya, memenej emosinya. Ia juga pandai menghibur dan memotivasi suaminya. Keyakinannya pada Tuhan juga sangat tinggi. Ia selalu menerima dengan ikhlas suratan takdir dirinya. Ia bukan wanita cengeng yang merengek minta uang belanja pada suami, bukan!

Selama Soekarno kuliah, Inggit lah yang membiayainya. Bahkan uang belanja dan makan sehari-hari, Inggit pun yang mengusahakannya dengan menjual jamu-jamu, bedak, dan menjahit kutang. Dan ia telah terbiasa melakukan hal ini sejak masih gadis. Ia adalah perempuan mandiri yang berhasil 'membesarkan' Soekarno. Inggit Garnasih bagi Soekarno tak lain seperti Khadijah bagi Muhammad. Bedanya, ketika Khadijah masih hidup, Muhammad adalah monogamis sejati. Namun Soekarno hendak berpoligami ketika masuk di usia 40 tahun, sementara Inggit sudah berusia 52 tahun.

Alasan 'manusiawi' yang membuat Soekarno ingin menikah lagi, karena ia ingin punya keturunan, anak kandung. Dan hal itu tidak bisa ia dapatkan dari Inggit Garnasih, karena perempuan luar biasa itu ternyata mandul. Yang menjadi pertanyaan Inggit ketika itu adalah, "Kenapa baru sekarang?". Kenapa keinginan memiliki keturunan itu baru muncul ketika usianya menginjak 52 tahun? Kenapa tidak dari dulu?

Yang mungkin lebih menyakitkan Inggit adalah, perempuan yang hendak dinikahi Kusno-nya itu adalah anak angkatnya sendiri, murid Soekarno sendiri, yaitu Fatmah alias Fatmawati. Gadis 15 tahun yang bagi Inggit sudah seperti anaknya sendiri itu.

Karena pantang dimadu, Inggit minta diceraikan. Di depan gerbang kemerdekaan Indonesia, Inggit 'dipulangkan' kembali ke keluarganya di Bandung. Sebelum berpisah, Inggit menjabat tangan Soekarno dan berkata, "Selamat jalan. Semoga semua selamat dalam perjalanan". Doanya terkabul. Soekarno selamat dalam perjalanannya membawa bangsa Indonesia ke gerbang kemerdekaan. [:]
Profile Image for Mia Prasetya.
403 reviews268 followers
August 18, 2011
Terus terang sebelum mulai membuat review buku Kuantar ke Gerbang, saya bersyukur bisa membaca buku ini tepat di momen kemerdekaan Indonesia yang ke 66 tahun. Tanpa seorang Inggit Ganarsih belum tentu Ir. Soekarno bisa membawa Indonesia ke depan pintu gerbang Kemerdekaan Indonesia. Tidak, saya tidak meremehkan beliau tapi setelah membaca Kuantar ke Gerbang, saya menyadari begitu besar peranan seorang Inggit Ganarsih. Memang benar seperti apa yang tertulis di sekapur sirih S. I. Poeradisastra dalam cetakan awal buku Kuantar ke Gerbang karya Ramadhan K. H “Separuh daripada semua prestasi Soekarno dapat didepositokan atas rekening Inggit Garnasih di dalam ‘Bank Jasa Nasional Indonesia’.“

Ramadhan K. H dengan risetnya yang mendalam mengajak kita menyelami perasaan perempuan Sunda yang ulet walaupun tidak bisa baca tulis. Benar kata pepatah di balik pria yang kuat pasti ada perempuan yang kuat. Ibu Inggit bisa menjadi teman, seorang istri dan seorang ibu yang mengemong macan podium. Tersentuh dan terharu, perasaan yang saya rasakan saat membaca buku setebal 431 halaman ini terlebih lagi banyak yang dilampirkan di buku, membuat saya seakan-akan ikut menjadi saksi. Saksi bisu senangnya hati Ibu Inggit saat Ir. Soekarno berhasil mencapai mimpinya, ketidaktenangan hatinya saat Ir. Soekarno berkali-kali dimasukkan dalam penjara dan hancur hatinya saat Ir. Soekarno memutuskan untuk menikahi Fatmawati dengan alasan beliau ingin memiliki anak.

Mau dibilang egois, ya egois. Dibilang manusiawi ya jelas manusiawi, Ir. Soekarno masih dalam usia prima sedangkan Ibu Inggit sudah berusia di atas 50 tahun. Mungkin memang harus begini jalannya. “Namun, pada suatu saat, setelah aku mengantarkannya sampai di gerbang apa yang jadi cita-citanya, berpisahlah kami, karena aku berpegang pada sesuatu yang berbenturan dengan keinginannya. Ia pun melanjutkan perjuangannya seperti yang tetap aku doakan. Aku tidak pernah berhenti mendoakannya” – (halaman 2).

Tsk. Indah sekali.

Terima kasih ibu Inggit. Engkau mengajarkanku cinta tulus dalam arti yang sebenar-benarnya. Inilah Indonesiamu sekarang 66 tahun setelah kemerdekaannya. Banggakah? Atau sedihkah? Perjuangan kami belum selesai ibu Inggit, masih banyak yang harus kami tempuh. Engkau telah sampai di penghujung gerbang dan mungkin sudah bahagia di atas sana. Mampukan kami untuk bisa mencintai dan berbuat yang terbaik untuk negara Indonesia dengan tulus, sebagaimana Engkau dulu mencintainya.

Denpasar.

18.08.2011. 08.40 WITA.

Mia, yang masih bertanya-tanya apa yang sudah ia perbuat demi bangsa dan negara.

Profile Image for Yunita1987.
257 reviews5 followers
April 22, 2011
Kisah seorang wanita yang sangat luar biasa bernama Inggit. Mungkin nama ini tidak begitu banyak dikenal orang, padahal dia merupakan salah satu dari istri dari president pertama RI. Istri kedua dari sukarno, walaupun jarak umur yang terlalu jauh, tapi kisah cinta mereka cukup menarik untuk diikuti.
Buku ini tidak hanya menceritakan kisah cinta saja, tetapi kehidupan yang mereka lewati, mulai dari awal pertemuan mereka dirumah Inggit disaat Sukarno yang tidak memiliki tempat tinggal selama menjalani studinya dibandung. Saat itu Inggit sudah menikah dengan seorang saudagar kaya yang memiliki usaha sendiri. Tetapi mungkin, Sukarno yang dapat memikat hati Inggit, akhirnya Suami Inggit yang bernama Sanusi, merelakan Inggit bersama lelaki lainnya.
Hingga akhirnya Inggit dan Sukarno menikah, walaupun perbedaan umur mereka yang jauh. Disini perjuangan Inggit yang terlalu besar untuk bisa mencari uang demi kelangsungan mereka berdua apalagi untuk dapat membiayai kuliah Sukarno, pasti merupakan hal yang sangat sulit, apalagi disaat itu, Sukarno harus dipenjara sehingga membuat Inggit semakin harus bisa lebih berjuang. Buku ini juga menceritakan bagaimana kehidupan mereka disaat di pembuangan di Ende dan di Bengkulu.
Tetapi sayang,disaat mereka hidup diBengkulu, sikap Sukarno yang sudah beda, dikarenakan Sukarno yang melihat wanita lain, membuat hati Inggit sangat sedih sekali dan akhirnya memilih untuk cerai dan minta dipulangkan kembali ketempat asalnya di Bandung.
Setelah membaca buku ini, banyak sekali pelajaran yang dapat kita ambil dari kehidupan Inggit, yaitu kita belajar untuk bisa menjadi seorang yang mandiri, tekhusus buat para wanita, mari kita belajar untuk mandiri dan berusaha untuk menjalani hidup.
Profile Image for Helvry Sinaga.
103 reviews31 followers
August 18, 2011
Bung Hatta mengutip dua bait sajak penyair tenar Rene de Clerq
"Hanya ada satu negeri yang bisa menjadi tanah airku. Yaitu negeri yang berkembang karena perbuatan, dan perbuatan itu adalah perbuatanku."

Soekarno. Siapa yang mengenal orang terbesar Indonesia ini. Putra sang fajar yang lahir di Blitar, 6 Juni 1901 dari pasangan Raden Soekemi dan Ida Ayu Nyoman Rai, diberi nama kecil, Koesno. Dialah tokoh sentral roman karangan Ramadhan KH ini.

Soekarno hidup jauh dari orang tuanya di Blitar sejak duduk di bangku sekolah rakyat, indekos di Surabaya sampai tamat HBS (Hoogere Burger School). Ia tinggal di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, dan ia menikahi Siti Oetari, anaknya (1921). Soekarno pindah ke Bandung, melanjutkan pendidikan tinggi di THS (Technische Hooge-School), Sekolah Teknik Tinggi yang kemudian hari menjadi ITB. Semasa kuliah di Bandung, Soekarno menemukan jodoh yang lain, menikah dengan Inggit Ganarsih (1923), dan meraih gelar insinyur, 25 Mei 1926.

Inggit Garnasih berparas cantik. Garnasih berasal dari kata Hegar dan Asih. Hegar berarti segar dan Asih berarti cinta. Karena kecantikannya inilah, ia bagaikan sekuntum bunga mekar yang senantiasa dirubungi kumbang jantan. Banyak pria memberi hadiah dengan harapan mendapat balasan cinta berupa uang, hingga satu ringgit (2,5 rupiah). Dari kejadian-kejadian itulah Garnasih dijuluki Si Ringgit. Nama julukan inilah, yang selanjutnya menjadi Inggit, yang kemudian menempel di depan nama Garnasih. Jadilah Inggit Garnasih.

Bagaimana kehidupan Inggit Garnasih dengan Bung Karno dituliskan dalam buku ini. Masa-masa pendampingan Inggit terhadap Bung Karno seharusnya tak boleh terlewatkan dalam pelajaran Sejarah, sebab dibalik semua perjuangan pergerakan Soekarno, ada seorang wanita yang memancarkan kesetiaan dan kasihnya lewat pengorbanan cinta.

Inggit adalah seorang mojang priangan yang sebelum bertemu dengan Kusno adalah istri seorang saudagar, Haji Sanusi. Inggit dan Sanusi menerima Kusno di rumah mereka karena atas surat yang diberikan oleh HOS Cokroaminoto untuk mencarikan pemondokan bagi menantunya itu. Sanusi dan Inggit adalah aktivis Syarikat Islam, karena itu punya hubungan baik dengan HOS Cokroaminoto sebagai pendirinya.

Rumah mereka hanya sekitar 150 meter persegi, dibagi enam ruangan. Ruang tamu, ruang belajar, ruang tengah, kamar, ruang tempat pembuatan bedak, dan ruang serbaguna. Kusno mendapat ruangan paling depan. Kusno menjadi magnet bagi orang-orang. Rumah Inggit menjadi ramai karena banyak teman Kusno yang datang. Kusno disenangi karena kepintarannya berbicara dan mampu menjelaskan pikiran-pikirannya dengan mudah. Dan Inggit merasa hidupnya menjadi lebih bergairah dengan melayani Kusno dan teman-temannya.

Jalan hidup Inggit berubah ketika suatu saat Sukarno memintanya agar menjadi istrinya. Sebagai istri sah Sanusi, ia tidak pernah berpikir sebelumnya bahwa ia akan mendampingi Sukarno yang dikaguminya. Proses menuju keberumahtanggaan mereka tidaklah mudah. Inggit harus meminta pada Sanusi agar memberikan talak satu padanya, sementara Sukarno harus menceraikan Sri Oetari, putri HOS Cokroaminoto. Resmilah mereka menikah pada Tahun 1923 di Bandung, saat dimana Sukarno masih berstatus mahasiswa. Inggit berusaha menghidupi keluarga barunya dengan berjualan hasil prakarya tangannya. Ia adalah sosok istri yang berwirausaha, mandiri, serta pekerja keras. Inilah langkah awal mengantar ke gerbang.

Inggit mendampingi Sukarno dalam masa-masa sulit. Yang pertama ia fokuskan adalah studi Sukarno yang masih belum selesai di THS. Di samping studinya, Sukarno juga terlibat dalam pembentukan Partai Nasional Indonesia. Kesibukannya di partai maupun di kampus, dan aktivitas politiknya membuat Sukarno sering labil. Dan Inggit senantiasa hadir sebagai Ibu sekaligus teman bagi Sukarno muda. Rumah yang sekarang di Jalan Inggit Garnasih No.8 menjadi saksi diskusi politik, mencurahkan ide-ide bagi rekan seperjuangan, tempat belajar Sukarno, tempat dimana kasih dicurahkan dengan tulus.

Pendampingan Inggit tidaklah main-main. Keadaan politik saat itu yang mencurigai setiap pergerakan nasional, menyebabkan Sukarno dan kawan-kawan ditangkap dan diadili. Inggit dengan rajin mengunjungi Sukarno di penjara. Ia bersiasat menyampaikan pesan-pesan pada Sukarno. Lewat kue dan makanan yang dibawanya, ia menyampaikan uang. Lewat Al-Quran, ia menyampaikan pesan rahasia. Cerita dimana Inggit mengunjungi Sukarno di LP Sukamiskin mengharukan bagi saya. Terbayang manakala Inggit menempuh Bandung-Sukamiskin dengan berjalan kaki karena ketiadaan uang. Disamping itu Inggit membawa Omi, anak angkat mereka, karena Sukarno menyayangi anak itu. Dan terbayang manakala hujan mengguyur mereka berdua, Inggit harus memayungi mereka berdua dengan hanya satu payung.

Harapan untuk terus berkumpul bersama Sukarno pupus lagi. Setelah lepas dari Sukamiskin, Sukarno diasingkan ke Ende, Flores, NTT. Tidak terbayang bagaimana perpisahan jarak akan membuat keduanya menderita batin. Inggit memutuskan untuk ikut pembuangan Sukarno ke Ende. Tidak hanya Omi yang ikut. Ibunya Inggit, juga diajak kesana. Ke tanah baru yang jauh dari sanak keluarga, jauh dari kampung halaman, namun cinta yang memberikan kekuatan Inggit untuk tetap bersama Bung Karno.

Di Ende, Sukarno banyak membaca buku-buku tentang teologi Islam. Ia juga sering berdiskusi dengan tokoh-tokoh setempat, walaupun mungkin Sukarno tidak menemukan teman diskusi yang seimbang. Sampai suatu ketika Sukarno mengungkapkan keinginannya pada Inggit bahwa Bung Karno menginginkan buku The Spirit of Islam karangan Ameer Ali. Dalam sebuah percakapan dengan Inggit, Sukarno berkata:
"...bahwa taqlid adalah satu sebab yang terbesar dari kemunduran Islam sekarang ini. Semenjak ada aturan taqlid, disitulah kemunduran Islam cepat sekali," kata suamiku. "Tak mengherankan," katanya, "dimana akal pikiran diterungku, dirantai, disitulah datang kematian." (h.331)

Perjuangan tidak berhenti karena pembuangan. Rekan-rekan Sukarno di Voolksraad mengusahakan pembebasan Sukarno. Thamrin mengancam Belanda akan melaporkan ke internasional jika Sukarno mati di Flores. Sepucuk surat dari Jakarta tiba di Ende, yang mengabarkan bahwa Sukarno akan dipindahkan ke Bengkulu. Sontak Inggit gembira dengan berita tersebut. Ia membayangkan akan kembali lagi ke Bandung, paling tidak tidak, Bengkulu tidak jauh dari Pulau Jawa. Inggit kembali membawa Omi ke Bengkulu. Kisah sedih tertinggal di Ende yaitu ibunya Inggit meninggal dunia di sana mendampingi anak dan menantu mereka.

Di Bengkulu, kesabaran Inggit diuji kembali. Dengan berbesar hati ia harus menerima kenyataan bahwa Sukarno menginginkan keturunan. Dan hal itulah yang tak mampu diberikan oleh Inggit. Walau tak terkatakan, bagaimana hancurnya hati Inggit bisa terbayangkan. Sukarno meminta izin Inggit untuk menikah lagi dan tetap menempatkan Inggit sebagai first lady-nya Sukarno. Inggit meminta agar permasalahan itu akan diselesaikan jika sampai ke Jawa.

Pecahnya perang dunia kedua Tahun 1942 menyebabkan peta perpolitikan Asia berubah. Masuknya Jepang sebagai 'saudara tua' Indonesia, mengakibatkan Sukarno dibebaskan dan dibawa ke Jakarta. Inggit dan Sukarno menempati rumah di Pegangsaan Timur No.56. Keadaan rumah tangga Inggit dalam keadaan gawat. Inggit mendapati Sukarno masih menjalin hubungan asmara dengan Fatma, anak angkat mereka di Bengkulu. Fatma inilah yang kelak mendampingi Sukarno ketika Sukarno membaca teks proklamasi di Kediaman Jln Pegangsaan Timur No.56 (sekarang Jalan Proklamasi).

Dari sebuah tulisan di sebuah blog sebuah teori yang dinamakan IF THEORY, digunakan dalam kisah ini:

1. Bagaimana jika seandainya Sukarno tidak menjadi menantu HOS Cokroaminoto
2. Bagaimana seandainya tidak ada tempat menumpang yang diberikan oleh Sanusi dan Inggit?
3. Bagaimana seandainya jika Inggit tidak membiayai kuliah teknik sipil Sukarno?
4. Bagaimana seandainya jika Inggit tidak menjual jamu dan bedak?
5. Bagaimana seandainya Inggit tidak mendampingi Sukarno ke Ende?

Dan bagaimana jika yang lainnya??

Meskipun Sukarno unggul dalam pemikiran, di depan podium, di tulisan-tulisannya, namun fakta yang tak dapat ia pungkiri adalah adanya orang yang mengasihinya selalu mendukungnya. Cinta Inggit pada negeri ini terwakili pada cintanya pada Sukarno. Saya mengagumi spiritualitas bu Inggit, yang ikhlas dan berpengharapan:

"Dalam hidup ini saya tidak membawa apa-apa. Hanya dibekali dengan iman, dan iman itu tetap saya pegang, semoga untuk selama hidup saya." (h.325)

Pemikiran Inggit pun banyak terpengaruh oleh Sukarno yang gemar sekali membaca. Inggit mengakui bahwa kadangkala ia merasa rendah diri ketika berhadapan dengan Sukarno, sebab Sukarno sangat cerdas. Ia menulis apa yang diajarkan oleh Sukarno padanya:
"Kamu harus punya karakter, harus punya kepribadian, harus punya corak sendiri. Jangan sekali-kali kau seperti pohon cemara yang tertiup angin barat ikut ke barat, tertiup angin timur tertiup ke timur" (h.362).
Justru dengan karakter inilah Bu Inggit menunjukkan integritasnya. Ia tidak mau dimadu. Ia meminta diceraikan Sukarno, alih-alih sebagai istri tua. Baginya, itu harga mati, sekalipun menyesak dalam dadanya.


Inggit Garnasih dilahirkan pada tanggal 17 Februari 1888 di Desa Kamasan, Banjaran, Kabupaten Bandung. Ia lahir dari keluarga petani sederhana. Ayahnya bernama Arjipan. Ibunya bernama Amsi. Inggit memiliki dua saudara, Natadisastra dan Murtasih.

Ramadhan KH menulis dalam kata pengantarnya bahwa ia melakukan wawancara pada sejumlah tokoh yang terlibat dalam roman ini, kecuali pada Sukarno. Dari buku ini dapat diketahui bahwa Bung Karno adalah penggemar seni, ia suka melukis untuk menghilangkan tekanan batinnya. Ia juga melatih sandiwara dan membentuk kelompok Sandiwara Toneel Kalimutu. karya-karyanya antara lain Dr. Setan, Hewan Dahsyat Frankenstein, " Kisah cinta putri seorang komandan Portugis di Pulau Ende, Don Louis Pareira Kumi Toro, yang menceritakan si putri Cantik Rendo (h.344) Pertanyaannya, dimanakah karya-karya Bung Karno itu semua? alangkah menariknya jika dipentaskan kembali. Selain itu kita diberitahu bahwa pemimpin kita terdahulu adalah orang yang snantiasa belajar, termasuk belajar filsafat. Bung Karno belajar aliran teologi Islam, Bung Hatta pada filsafat Yunani, dan Sutan Sjahrir menyelami hubungan kebudayaan Barat dan Timur, antara vitalitas kebudayaan Barat dan kelambanan Budaya Timur (h.335)

Buku ini sangat direkomendasikan untuk menambah khasanah pengetahuan kita tentang wawaasan nasionalisme. Manusia besar seperti Sukarno pun punya sisi lain di belakang prestasi besarnya. Saya hanya membayangkan andainya Sukarno membaca kalimat lirih Inggit ini, apa jawabmu hai Sukarno?

...bahwa sesungguhnya aku harus senang pulang karena menempuh jalan yang bukan bertabur bunga, aku telah mengantarkan seseorang sampai di gerbang yang amat berharga. Ya, di gerbang hari esok yang pasti akan jauh lebih berarti, yang jauh lebih banyak diceritakan orang secara ramai. Dan mungkin yang jauh lebih gemerlapan, lebih mewah. Tetapi apalah arti kemewahan. Yang penting adalah kebahagiaan dan itu adanya di dalam hati. Ya, yang terpenting adalah soal di dalam hati! Kebebasan, itulah yang penting... (h.454).




@hws18082011



Profile Image for Tezar Yulianto.
391 reviews39 followers
January 28, 2012
Di balik Soekarno yang hebat, ternyata ada sosok Inggit Ganarsih. Istri yang kebanyakan orang tidak mengetahui sosoknya. Tapi apa yang tak dikenal itu, justru berpengaruh besar pada Soekarno.

Buku ini menghubungkan kita akan sosok tak dikenal itu, Inggit Ganarsih. Sosok yang pernah dicintai oleh Soekarno, ditulis dengan sangat apik oleh Ramadhan K.H. Banyak kisah Soekarno, yang selama ini tak diketahui oleh umum, disarikan dalam buku ini. Bagaimana ibu Inggit menghidupi kehidupan dengan Soekarno, menyemangati di kala musibah menghadang, mengiringi perjuangan Soekarno muda, sampai menemani Soekarno di pengasingan. Ada kisah yang terungkap dengan indah tentang pengabdian Ganarsdih kepada Kusno, panggilan akrab Ganarsih kepada Soekarno, yaitu pengabdian dengan penuh cinta dari seorang istri. Pengabdian yang sudah luar biasa, mengingat Soekarno adalah orang besar, calon pemimpin bangsa, dan pada saat penjajahan kolonialisme, zaman yang orang awam akan mengerti, hidup di zaman itu akan penuh kesusahan dan derita.

Kutipan favorit:
"Ir. Soekarno, ijazah ini dapat robek dan hancur menjadi abu pada satu saat. Ia tidak kekal. Ingatlah, satu-satunya kekuatan yang bisa hidup terusdan kekal adalah karakter seseorang. Ia akan tetap hidup dalam hati rakyat, sekalipun sesudah mati." (Prof. Klopper kepada Soekarno, setelah lulus dari THS Bandung, halaman 63).
Profile Image for AyuShafiyah.
11 reviews6 followers
May 9, 2011
Sangat mengharukan membaca buku ini. Selain kita diajak berkelana mengikuti jejak perjalanan Soekarno sebelum masa kemerdekaan, kita juga diajak mengikuti perjalanan perasaan seorang Enggit, Ibu Inggit Ganarsih, isteri yang sangat setia mendampingi Soekarno dalam masa suka dukanya.

Awalnya, ragu-ragu keinginan saya untuk melanjutkan membaca buku ini, setelah mengikuti kisah pertama, bagaimana awal mereka bertemu dan saling jatuh cinta. Karena buat saya, tidak boleh seseorang yang telah beristri ataupun bersuami untuk jatuh cinta lagi selain kepada istri atau suaminya sendiri. Tapi tidak seperti itu yang terjadi pada Inggit. Mungkin karena merasa kurangnya perhatian dari Haji Sanusi atau Kang Uci, membuat hatinya berpindah ke laki-laki lain, yang lebih terlihat limpahan kasih sayangnya. Sungguh, ini benar-benar membuat hati saya bertentangan untuk meneruskan membaca atau tidak. Tapi akhirnya, saya sadari, bahwa memang inilah kenyataannya, mengapa tidak saya ambil sisi baik dan membuang sisi negatifnya saja.

Dan gejolak hati Kusno (Soekarno) dan Enggit pun akhirnya dipersatukan dengan pernikahan (setelah Enggit resmi bercerai dengan Haji Sanusi). Kehidupan pernikahannya tidaklah selancar air mengalir. Kusno yang masih menuntut ilmu di Technische Hoogeschool (THS), menuntut Enggit untuk terus memotivasi Soekarno agar menyelesaikan sekolahnya dengan baik disamping kegiatannya sebagai aktivis pergerakan pada masa itu.

Setelah Kusno menyelesaikan sekolahnya pun, Enggit harus terus mencari tambahan penghasilan demi melayani hasrat Kusno dan pergerakannya. Singkat kata, Enggit bukanlah seorang istri yang menerima uang belanja dari suami, tapi semua keperluan rumah tangga dia mengusahakannya sendiri dengan tenaga dan jerih payahnya sendiri.

Namun Enggit merasa bahagia, sangat bahagia. Masa-masa sulit di pembuangan di Ende Flores pun dia jalani dengan tegar. Dengan setia didampinginya Soekarno. Dengan susah payah dihalaunya kesepian yang dirasakan Soekarno di pulau terpencil itu. Enggit sosok istri yang tegar, contoh untuk semua istri dan para calon istri, bagaimana mendampingi suami disaat susah dan senangnya.

Sampai akhirnya cobaan itu datang untuk Enggit. Kusno jatuh cinta lagi dan ingin punya anak, punya keturunan dari darah dagingnya sendiri. Bagaimanalah perasaan yang berkecamuk dalam dada Enggit, menyaksikan suami yang sudah bersamanya sejak puluhan tahun, yang sudah dibesarkannya dengan penuh kelembutan dan perjuangan menginginkan sesuatu yang Enggit tak bisa penuhi, di usianya yang tak lagi muda.

Firasat itu sebenarnya sudah ada, perasaan bahwa Kusno berubah perlakuan terhadap dirinya. Ditambah lagi bisik-bisik orang sekitar tentang kedekatan Kusno dengan Fatma. Namun, memang benarlah Enggit seorang wanita yang kuat. Ditengah kegalauan hatinya yang sedang berkecamuk hebat, masih terlintas pemikiran tentang hal-hal yang baik.

Tidak sebersitpun pemikiran negatif tentang suaminya terlintas.

"Tergodakah dia? Barangkali, ya, barangkali begitu. Sebab itu, sabarlah! Barangkali kejadian ini cuma meminta kesabaran. Barangkali cuma meminta percobaan. Barangkali cuma meminta keibuan dariku yang untuk sementara harus aku maklumi segalanya dan nantinya akan menjadi beres kembali. Tetapi, janganlah menyerah sebelum apa-apa. Jangan ribut. Tahan! Sabarlah! Bersopanlah! Sopan! Dan aku pun ikuti perasaan dan pikiran itu. Aku pun taat kepada pikiran-pikiran itu. Aku sabar. Menyabar-nyabarkan diri." (h-342)

Samudera kesabaranmu begitu luasnya, Enggit. Hanya Tuhan yang bisa membalas semua keikhlasan dan kebaikanmu selama mendampingi suamimu.

Saya kesal dengan pernyataan Kusno pada anak angkatnya Djuami. Seolah itulah balasan dari pengabdian Enggit selama ini. Sungguh tidak adil memang.

“Ibumu berusia lebih daripada Papi. Memang dia dahulu cantik. Dan, dia wanita yang setia dan bijaksana. Tetapi, Papi laki-laki dalam usia jaya. Mengertilah, Omi. Izinkanlah Papi mengawini dia.” (h-354)

Seperti itukah lelaki? Itukah balasan atas pengabdiannya selama ini?
Walau akhirnya Enggit dipulangkan ke Bandung, dibelikan rumah, diberi nafkah tiap bulannya. Tapi rasa sepi itu tak bisa digantikan dengan segala yang diberi Kusno pada Enggit. Merasa kesepiankah Enggit?

Entahlah.. Yang jelas, pengabdian Enggit tak kan pernah terbalas oleh Kusno. Tak kan bisa Kusno meraih puncak tanpa kehadiran Enggit yang jadi tiang penyangga tempat Kusno menyandarkan diri saat susah dahulu.

Profile Image for Nanny SA.
343 reviews41 followers
December 10, 2013
Membaca kisah dalam buku ini kita bisa melihat dan merasakan kasih yang tulus dari seorang istri, Inggit Garnasih, yang diperistri oleh Sukarno. Inggit ikut merasakan kepedihan dalam perjuangan, baik ketika Soekarno dalam bui,dalam pembuangan dan dalam segala susah dan duka dengan mengorbankan segala yang dimiliki termasuk harta benda. Tapi menjelang kemerdekaan Sukarno berpaling hati kepada Fatmawati yang diangkat anak oleh mereka ( ketika Bung Karno dibuang ke Bengkulu ). Inggit merelakan Sukarno menikahi Fatmawati dan dia bersedia dicerai karena tidak mau dimadu.

Ramadhan menceritakan episode kehidupan Inggit-Sukarno ini dengan sangat indah dan menyentuh,menggetarkan hati bagi yang membacanya.
Profile Image for Zulfa.
77 reviews6 followers
April 29, 2020
Roman antara geulisnya Kusno dan kasepnya Enggit ini adalah cerita paling tabah dan ikhlas yang pernah saya baca. Ingin rasanya mengucapkan banyak terima kasih kepada Bu Inggit yang dengan setia menemani Bung Karno selama dua puluh tahun, mulai dari penjara Banceuy sampai diasingkan ke Ende dan Bengkulu. Meskipun jalan yang dilalui tidak bertabur bunga, namun itulah jalan yang mengantarkan ke gerbang kemerdekaan Indonesia.
Profile Image for htanzil.
379 reviews149 followers
June 10, 2011
"Ini tentang pengalamanku dengannya, dengan seseorang yang mementingkan segi membangkitkan semangat dan solidaritas bangsa untuk mencapai apa yang dicita-citakannya, apa yang sebenarnya kita cita-citakan bersama, yakni kemerdekaan bagi bangsa kita. Dibalik itu, ia pun adalah seorang yang sangat penuh romantika. Aku mengikutinya, melayaninya, mengemongnya, berusaha keras menyenangkannya , meluluhkan keinginan-keinginannya,.

Namun, pada suatu saat, setelah aku mengantarkannya sampai di gerbang apa yang jadii cita-citanya, berpisahlah kami, karena aku berpegang pada sesuatu yang berbenturan dengan keinginannya. Ia pun melanjutkan perjuangannya seperti yang tetap aku doakan. Aku tidak pernah berhenti mendoakannya"

(Inggit Ganarsih, Kuantar ke Gerbang hlm 2)

Dibanding istri-istri Soekarno, Inggit Ganarsih termasuk istri yang kurang dikenal. Masyarakat umumnya lebih mengenal Fatmawati, atau Dewi Soekarno dibanding Inggit Ganarsih. Tak banyak memang yang menulis tentang Inggit Ganarsih, dalam buku teks sejarah-sejarah resmi namanya ditulis selewat saja. Karenanya kita patut bersyukur karena penggalan kehidupan Inggit Ganarsih ketika masih bersama Bung Karno sempat dituliskan oleh Ramadhan KH dalam novel “Kuantar ke Gerbang” (Kisah cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno)

Dalam novel ini kita akan mendapatkan kisah kehidupan seorang wanita Sunda yang menjadi pendamping Bung Karno saat ia menimba ilmu di ITB Bandung sambil merintis jalannya di bidang politik, masa-masa sulit ketika Bung Karno dipenjara dan diasingkan, hingga kepindahannya ke jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta beberapa bulan sebelum Proklamasi Kemerdekaan dibacakan oleh bung Karno.

Dalam hal menjalin kehidupan rumah tangga, walau usia Inggit lebih tua 13 tahun ketika menikah dengan Bung Karno namun Inggit mampu menjadi seorang pendamping yang sepadan bagi Bung Karno. Perbedaan usia yang mencolok ini malah menjadi keuntungan bagi Bung Karno karena baginya Inggit bukan hanya sekedar kekasih dan istri, namun sekaligus ibu yang mengemong dan membimbingnya.

Inggit adalah wanita sederhana, ia tak bisa membaca dan menulis, namun dalam kesederhanaan dan keterbatasannya itulah Inggit mampu membuat Soekarno muda bertumbuh menjadi seorang pejuang yang tangguh. Ketika bersama Inggitlah Bung Karno merintis jalan politiknya, di Bandung ia mendirikan Partai Nasional Indonesia dan menjadi singa podium yang berjuang untuk kemerdekan Indonesia. Di masa ini Inggit memang tidak menjadi partnernya yang bisa diajak berdiskusi masalah pergerakan namun dengan ketulusan cintanya Inggit memberikan kasih sayang dan dorongan moril baginya, sesuatu yang tidak bisa diperoleh Bung Karno di arena gelanggang politiknya.

Jika Bung Karno diibaratkan nyala api, maka Inggit Ganarsih adalah kayu bakarnya. Inggit menghapus keringat ketika Soekarno kelelahan, Inggit menghibur ketika Soekarno kesepian atau membutuhkan dorongan darinya.

“Setiap kelelahan, ia memerlukan hati yang lembut, tetapi sekaligus memerlukan dorongan lagi yang besar yang mencambuknya, membesarkan hatinya. Istirahat, dielus, dipuaskan, diberi semangat lagi, dipuji dan didorong lagi”

"Waktu sampai rumah aku harus menyediakan minuman asam untuk mengembalikan suara Kusno (Bung Karno) yang sudah parau itu. Aku seduh air jeruk atau asam kawak. Aku sendiri yang harus menidurkan kesayanganku yang besar ini, singa panggung ini. Tak ubahnya ia dengan anak kecil yang ingin dimanja" (hal 99)

Ketika akhirnya Bung Karno ditangkap dan dipenjara di Banceuy Bandung, Inggit tetap setia, Ia rajin mengunjungi dan mengirim makanan untuk suaminya di penjara. Untuk mendapatkan uang ia membuat bedak, manjadi agen sabun cuci, membuat dan menjual rokok hingga menjahit pakaian dan kutang.

Kegigihan Inggit untuk menafkahi keluarganya saat bung Karno dalam penjara, membuat Bung Karno sedih karena telah melalaikan tugasnya sebagai kepala rumah tangga, ketika hal itu disampaikan pada istrinya, Inggit memberinya semangat.
“Tidak, Kasep, jangan berpikir begitu. Mengapa mesti berkecil hati. Di rumah segala berjalan beres….Tegakkan dirimu, Kus, tegakkan! Teruskan perjuanganmu! Jangan luntur karena cobaan semacam ini!” (hal 159)

Saat Bung Karno sedang menyusun naskah pembelaannya Inggit membantu mencari dan mengirim data serta dokumen untuk referensi suaminya menyusun pembelaan (pledoi). Inggit dengan berani menyelundupkan data dan dokumen yang diperlukan Bung Karno ke Penjara Banceuy. Agar tak ketahuan sipir penjara ia menyembunyikan naskah tersebut dibalik kebayanya.Jerih payah Inggit ini membuat Bung Karno berhasil menyusun pembelaannya yang sangat terkenal, Indonesia Menggugat, yang dibacakan di Landraad Bandung, 18 Agustus 1930.

Dengan cerdas Inggit juga memberikan kode-kode rahasia tentang situasi diluar penjara baik melalui telur yang dibawanya atau melalui Al Quran yang telah diberi kode rahasia kepada suaminya, dengan demikian walau setiap kunjungan selalu diawasi oleh sipir penjara, bung Karno tetap dapat mengetahui baik buruknya situasi perjuangan saat itu.

Pengorbanan dan kesetiaan cinta Inggit tidak hanya terlihat ketika Soekarno di Penjara. Masa-masa pembuangan di Ended an Bengkulu menjadi saksi bagi ketabahan dan kesetiaannya pada Bung Karno . Sebetulnya Inggit adalah manusia bebas yang memiliki hak untuk tidak ikut bersama suaminya dalam pembuangan, namun cinta dan kesetiaannya pada Bung Karno membuatnya bertekad menyertai suaminya dalam suka dan duka
“..apakah artinya aku sebagai istrinya kalau suami dibuang dan aku tidak ikut dengannya?...aku sudah tahu, meskirpun tidak dikatakan berapa lama kami harus hidup dalam pembuangan, aku sudah harus siap untuk hidup disana sampai ajal” (hal 267)

Niatnya untuk mendampingi suaminya selama di pengasingan benar-benar diwujudkannya , di masa-masa sulit inilah Inggit menjadi peredam dan tempat berteduh bagi jiwa Bung Karno yang kesepian dan tertekan karena perjuangannya untuk memerdekakan bangsanya harus terhenti entah sampai kapan.
“Aku lalu mengajaknya keluar dari kesepian. Aku harus pandai mencumbunya supaya ia bebas dari dari tekanan –tekanan yang menimpa batinnya.” (hal 300)

Malangnya usaha Inggit untuk menghibur dan mendampingi Bung Karno selama di pengasingan ternyata tak cukup bagi Bung Karno. Soekarno yang saat itu berada di usia yang sedang bergelora tak kuasa meilhat kecantikan Fatmawati, anak angkatnya sendiri yang diasuhnya bersama Inggit di Bengkulu. Bung Karno akhirnya meminta izin pada Inggit untuk diizinkan menikah dengan Fatmawati dengan alasan ingin memiliki keturunan. Satu-satunya yang tak bisa diberikan Inggit pada suaminya. Bung Karno tak berniat menceraikan Inggit, ia hanya meminta restu Inggit untuk menikah lagi dan status Inggit menjadi istri pertamanya.

Dengan tegas Inggit menolak untuk dimadu, ia memilih bercerai daripada harus dimadu.
“Aku orang Banjaran dari keluarga yang pantangannya adalah dimadu dalam keadaan bagaimanapun…Sudah aku jelaskan, kalau mau mengambil dia, ceraikanlah aku! Aku pantang dimadu!” (hal 405)

Ditengah kegalauan hatinya ini Inggit tetap melayani Bung Karno dengan cintanya. Ketika sekutu kalah perang dan Jepang memasuki Sumatera Inggit dan Bung Karno harus menghadapi tantangan baru. Walau mereka diizinkan meninggalkan Bengkulu dan diperintahkan untuk menuju Jakarta, mereka harus melakukan perjalanan darat menuju Padang melalui hutan belantara agar terhindar dari pasukan Jepang .

Akhirnya selepas dari pembuangan di Bengkulu, pada tahun 1942 Bung Karno dan Inggit resmi bercerai di Jakarta. Perceraiannya ini disertai juga dengan sejumlah persayaratan yang dibuat dihadapan 4 Serangkai (Hatta, Ki Hajar Dewantara, KH Mas Mansur, dan Soekarno) . Bagi Inggit yang telah menjalani bahtera rumah tangganya bersama Bung Karno selama hampir 20 tahun lamanya ini adalah suatu peristiwa yang paling menyedihkan dalam hidupnya, namun ia tak mau larut dalam kesedihan. Cintanya yang tulus pada Bung Karno dan kepasrahannya pada jalan hidup yang telah digariskanNYA membuat ia kuat dan mensyukuri apa yang telah dialaminya.
“..sesungguhnya aku harus senang pula karena dengan menempuh jalan yang bukan bertabur bunga, aku telah menghantarkan seseorang sampai di gerbang yang amat berharga” (hal 415)

Demikianlah novel ini menggambarkan dengan menarik bagaimana suka duka dan pasang surut kisah cinta Inggit dengan Bung Karno. Novel ini ditulis dengan menggunakan kata ganti ‘aku’ sehingga kita yang membacanya seakan langsung mendengar penuturan langsung dari bu Inggit. Dengan demikian penulis juga bisa secara dalam mengeksplorasi semua isi hati Inggit selama ia mendampingi Bung Karno baik dalam suka maupun duka. Semua perasaan dan pergolakan batin yang dirasakan Inggit terdeskripsikan dengan blak-blakan dan apa adanya sehingga semua ungkapan cinta romantis, kemarahan, dan kegalauan hati Inggit benar-benar dapat dirasakan pembacanya

Selain kisah cinta Inggit dan Soekarno, novel ini juga memaparkan berbagai peristiwa, isu-siu sejarah, dan kisah-kisah keseharian Bung Karno dari sudut pandang Ibu Inggit antara lain soal isu bahwa Bung Karno telah berbalik haluan dan meminta maaf serta ampun kepada pemerintah Hindia Belanda.

Di buku ini terungkap bagaimana isu ini begitu menganggunya sampai-sampai Inggit harus meminta konfirmasi langsung pada suaminya, sayangnya seperti yang dikisahkan dalam novel ini Bung Karno hanya diam dan tidak memberi reaksi apa-apa, sebagai istri yang taat dan memahami perasaaan suaminya Inggit tidak mendesak Bung Karno untuk menjawabnya sehingga isu tersebut tetap menjadi misteri dan pedebatan di kalangan sejarahwan hingga kini.

Selain itu ada banyak hal-hal menarik tentang Bung Karno, baik itu pemikiran dan strategi perjuangannya, pembelaannya di pengadilan Landraad Bandung, pandangannya terhadap dunia Islam, kegemarannya melukis, melatih Ratna Juami, anak angkatnya berpidato di pantai, hingga hewan peliharaannya, akan terkisahkan di novel ini.

Kesemua itu ditulis oleh Ramadhan KH dengan kalimat-kalimat yang sederhana namun sarat makna seakan mampu mewakili gambaran sosok bu Inggit yang sederhana dan cerdas. Intinya lewat novel ini kita semua akan diajak menyelami penggalan kehidupan Ibu Inggit dan Bung Karno semenjak kuliah di Bandung hingga beberapa saat sebelum memasuki gerbang kemerdeakaan yang dicita-citakannya.

Melalui novel ini kita juga akan tahu bahwa Inggit yang namanya dan bukti pengabdiannya hanya tersisa lewat seonggok bangunan yang terkepung di tengah-tengah debu dan hiruk pikuk kaki lima serta lalu lalang kendaraan di Jalan Inggit Ganarasih (dulu Ciateul) Nomor 18 Bandung Itu ternyata memiliki kontribusi yang besar baik terhadap bangsa ini maupun terhadap pembentukan pribadi Bung Karno untuk menjadi seorang pejuang yang tangguh.

Tak berlebihan jika Prof. S.I Poeradisastra dalam kata Pengantarnya edisi pertama novel ini yang diterbitkan oleh Penerbit Sinar Harapan (1981) menulis demikian :

“Separuh dari semua prestasi Soekarno dapat didepositokan atas rekening Inggit Garnasih di dalam Bank Jasa Nasional Indonesia”. Inggit telah menjalankan tugasnya dengan sempurna, lebih dari seorang istri.”

“Saya mohon maaf sebesar-besarnya kepada semua janda Sukarno dengan segala jasa dan segala segi positifnya masing-masing, tetapi saya harus mengatakan, bahwa hanya Inggit Garnasihlah yang merupakan tiga dalam satu diri. Ibu, kekasih, dan kawan yang memberi tanpa menerima. Kekurangan Inggit hanyalah karena ia tak mampu melahirkan anak bagi Sukarno”


Sejarah Penerbitan

Novel ini diulis oleh sastrawan senior Ramadhan KH (1927-2006) pada tahun 1979-180 berdasarkan wawancara langsung dengan Ibu Inggit yang saat itu telah berusia 91 tahun dengan dibantu oleh Ratna Djuami dan Kartika Uteh yang adalah anak Soekarno-Inggit. Selain itu penulis juga mengadakan wawancara dengan sejumlah tokoh yang pernah aktif dalam pergerakan pada tahun 1920-1943. Berdasarkan wawancara dan studi literatur yang bersangkutan dengan kejadian-kejadian pada masa itu.

Pada tahun 1981 novel ini untuk pertama kalinya diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan. Kemudian di tahun 2000-an penerbit Kiblat Buku Utama – Bandung menerbitkan lagi novel ini dan sempat mencetak ulang novel ini sebanyak 3 kali sebelum akhirnya di tahun 2011 ini diterbitkan oleh Bentang Pustaka dengan cover yang lebih menarik dan tambahan foto-foto dokumentasi yang relevan dengan isi bukunya.


Selain menerbitkan ulang novel ini, Mizan Group dibawah bendera Mizan Production juga akan mengangkat kisah cinta Ibu Inggit dan Bung Karno ini kedalam versi layar lebar. Rencanaya film ini akan mulai diproduksi pada juli 2011 nanti dan baru tayang pada 2012 mendatan. Maudy Koesnaedi yang terpillih menjadi Ibu Inggit. Sedangkan sosok proklamator di film ini kabarnya masih sedang dicari.

@htanzil
Profile Image for Irwan.
Author 9 books122 followers
October 30, 2022
Bagus sekali! Kisah yang mengharu sekaligus penuh kekuatan soal ketegaran seorang perempuan di tengah gejolak kehidupan seorang lelaki yang berperanguh besar dalam sejarah sebuah bangsa.
Profile Image for Dewi Yuliana.
4 reviews1 follower
January 26, 2017
"Ingatan itu masih tertera jelas. Sosok mungil dengan sekuntum bunga warna merah tersunting di sanggulnya. Hingga bertahun-tahun, sosok itulah yang hidup dalam benak Soekarno. Inggit bukan sekedar kekasih. Dalam dirinya, Soekarno menemukan kawan sekaligus ibu. Di dalam rengkuhan perempuan sederhana itu, dia bertumbuh menjadi seorang pejuang yang tangguh. Mereka melewati beragam peristiwa. Masa-masa pembuangan di Ende dan Bengkulu menjadi saksi ketabahan Inggit. Perempuan yang tak bisa baca tulis ini memompa semangat Soekarno dalam caranya sendiri. Tiada jemu bibirnya melontarkan kata-kata yang menyejukkan hati sang ksatria muda tatkala putus asa menyerang. Tiada lelah pula ia mengingatkan akan mimpi besar yang harus dikejar tatkala kecemasan datang membanyangi. Sungguh, inggit menawarkan cinta yang tulus."

Demikianlah sinopsis buku Kuantar ke Gerbang yang tertera di sampul belakangnya.
Kuantar ke Gerbang adalah sebuah novel yang disusun berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Inggit Garnasih dan anak-anaknya. Pertama kali aku mendengar judul novel ini di program televisi "Memoar" di KompasTV edisi spesial Hari Ibu. Dan setelah itu aku mencari novel ini dimana-mana, tapi tak kunjung ketemu. Di Gramedia, Dian Ilmu, Togamas, bahkan sekedar versi bajakannya di Pasar Buku Wilis pun tak ada. Sampai kemudian secara kebetulan aku jumpa dengan novel ini di pameran buku yang rutin diadakan di Aula SKODAM Malang (depan alun-alun tugu).

Secara umum, ini adalah kisah perjalanan Bu Inggit menemani perjuangan Bu Karno melalui jalan yang curam dan berliku untuk sampai di depan gerbang istana kemerdekaan. Ini adalah kisah tahun-tahun yang dihabiskan bu Inggit bersama Kusno-nya dalam masa sulit yang mereka lalui. Sampai kemudian gerbang itu sudah tampak, Bu Inggit pun harus rela melepaskan Bung Karno melangkah memasuki gerbang itu bersama wanita lain, Fatmawati. Gadis yang pernah ia beri tumpangan di rumahnya dan ia anggap sebagai anaknya sendiri. Rasanya tidak adil, Bung Karno melewati masa-masa perjuangan yang sulit dengan Bu Inggit, tapi menjalani masa kejayaannya dengan wanita lain. Tapi tentu, ini semua adalah takdir Tuhan.

Bung Karno mengatakan bahwa Bu Inggit adalah sosok wanita yang setia dan bijaksana. Bagaimana tidak? Bu Inggitlah yang mendampingi Bung Karno pada masa pembuangan di Ende dan Bengkulu. Padahal ia adalah orang yang merdeka, yang bebas mau kemana saja dan tidak perlu ikut Bung Karno diasingkan. Sebelumnya, Bu Inggit pun dengan rajin mengunjungi Bung Karno 2 kali seminggu di penjara Sukamiskin Bandung, meskipun harus berjalan kaki 10 km pulang pergi ketika tak memiliki uang untuk biaya transportasi. Bahkan Bu Inggit harus berpuasa untuk mengecilkan perutnya sehingga dapat menyembunyikan naskah pembelaan di balik bajunya untuk kemudian diberikan pada suaminya itu. Di novel ini pun diceritakan bagaimana Bu Inggit menemukan cara untuk menyampaikan pesan-pesan terlarang lewat sandi yang ia buat sendiri bersama Bung Karno. Ia mengirim makanan tertentu untuk menjelaskan suasana politik yang sedang terjadi di luar penjara. Ia melubangi huruf-huruf tertentu di al-Quran dan buku-buku agama agar Bung Karno dapat merabanya sebagai bintik dan merangkai hurufnya menjadi sebuah pesan. Mengapa buku agama? Karena hanya buku-buku semacam inilah yang diijinkan masuk penjara.

Bu Inggit tak pernah meratapi keputusannya menikah dengan seorang pejuang kemerdekaan yang tidak hanya sekali dipenjara dan diasingkan. Justru ketika Bung Karno berada di dalam penjaralah Bu Inggit merasakan cintanya begitu besar pada suaminya itu.

"Sungguh, mendengar itu, aku merasa menjadi pasangan yang tidak bisa diceraikan, tidak mungkin diceraikan, sekalipun oleh dinding-dinding tebal Sukamiskin itu. Aku patut terus mendampinginya." (hal. 215)

Begitulah, Bu Inggit terus mendampingi Bung Karno. Di Ende, mereka menjalani masa pembuangan selama 5 tahun. Ketika keputusan untuk memindahkan Bung Karno ke Bengkulu sampai, Bu Inggit pun merasa senang. Karena Bengkulu lebih dekat dengan Jawa. Tapi ternyata, justru di Bengkulu lah rumah tangga mereka goyah. Rumah mereka kedatangan seorang tamu, anak gadis kawan Bung Karno yang akan menginap beberapa waktu bersama mereka untuk bersekolah. Namanya Fatmah. Di rumah Bung Karno dan Bu Inggit, Fatmah tidur sekamar dengan anak angkat mereka yang pertama, Ratna Djuami. Fatmah dan Ratna Djuami pun menjadi teman akrab. Mereka bersekolah di tempat yang sama. Bung Karno dan Bu Inggit membelikan keduanya sepeda yang sama, keperluan sekolah yang sama, dan tidak membeda-bedakan. Bu Inggit tak pernah menaruh rasa khawatir, karena Fatmah lebih muda daripada Ratna Djuami. Namun rupanya Bung Karno tertarik pada Fatmah. Bung Karno meminta ijin pada Bu Inggit untuk menikahi Fatmawati. Meski begitu, ia ingin Bu Inggit tetap disampingnya. Bung Karno akan tetap menghormati Bu Inggit sebagai istri pertamanya. Tapi Bu Inggit meminta perceraian.

Kalau boleh ku katakan, sebenarnya ada unsur timbal balik pada kisah Bu Inggit dan Bung Karno. Jauh sebelum Fatmah hadir dalam kehidupan rumah tangga mereka, Bung Karno lah yang hadir dalam kehidupan rumah tangga Bu Inggit dan suaminya, H. Sanusi. Bung Karno lah yang datang sebagai orang yang menumpang di rumah Bu Inggit dan H. Sanusi untuk bersekolah. Tapi kemudian Bung Karno dan Bu Inggit saling tertarik. H. Sanusi pun melepas Bu Inggit ke tangan Bung Karno dengan lapang dada. Maafkan mulutku yang lancang, tapi bisakah ini disebut karma?

Bung Karno ingin menikahi Fatmawati karena alasan ingin memiliki keturunan, darah dagingnya sendiri. Kedua anaknya dengan Bu Inggit, Ratna Djuami dan Kartika, adalah anak angkat. Tapi bertahun-tahun kemudian, terbukti bahwa alasan itu tidak sepenuhnya benar. Di buku lain aku pernah membaca kisah Bung Karno dengan Ibu Fatmawati yang berakhir pula dengan perpisahan. Ibu Fatmawati telah memberinya beberapa orang anak seperti yang ia inginkan, yang tidak ia dapatkan dari Bu Inggit. Tapi yang menyedihkan, keduanya bercerai hanya beberapa hari setelah Bu Fatmawati melahirkan anak bungsunya. Sama seperti Bu Inggit, Bu Fatmawati juga tidak rela dimadu. Rupanya, sejak Bu Fatmawati hamil anak bungsunya, Bung Karno telah memiliki kedekatan dengan wanita lain. Bung Karno pun menyampaikan keinginannya untuk menikahi wanita itu, tapi Ibu Fatmawati meminta perceraian. Entahlah, tapi mungkinkah pada saat seperti itu Bu Fatmawati teringat kembali dengan Bu Inggit? Apakah ini juga karma?

Lepas dari kisah cinta mereka, buku ini adalah buku yang bagus. Bukan hanya penuturannya yang indah, tapi buku ini juga dilengkapi dengan foto-foto Bung Karno dan Ibu Inggit. Ada foto muda Bung Karno sewaktu masih menjadi mahasiswa di Bandung. Di foto ini, Bung Karno tampak berbeda sekali tanpa peci hitamnya. Rambutnya dibelah pinggir klimis, dan ada kumis tipis di atas bibirnya. Ada foto ketika Bung Karno dan Bu Inggit diasingkan di Ende dan Bengkulu, ada foto Fatmawati muda berdiri di belakang Bung Karno dan Bu Inggit sewaktu belum bercerai, ada foto Fatmawati berpose dengan Ratna Djuami, ada foto pertemuan kembali Bu Inggit dan Bu Fatmawati setelah puluhan tahun tak bertemu, dan masih banyak yang lain. Yang terakhir, ada foto Dewi Soekarno (istri Bung Karno yang lain) sedang berdoa di depan makam Bu Inggit. Selain foto tokoh-tokohnya, dalam buku ini juga disertakan foto dokumen-dokumen penting yang berhubungan dengan kisah Bu Inggit dan Bung Karno. Antara lain adalah foto (atau hasil scan?) surat nikah dan surat cerai Bung Karno dan Ibu Inggit.

Pengarangnya, Ramadhan K.H, mengatakan bahwa buku ini disusun sebagai roman dan bukan buku sejarah. Namun di dalamnya, sedikit banyak kita dapat belajar sejarah Indonesia tanpa merasa bosan dan digurui. Ada peristiwa-peristiwa penting yang dituturkan yang berkaitan erat dengan sejarah bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Dari setiap sejarah, ada pelajaran yang bisa dipetik.
Profile Image for Ariefmai Rakhman.
143 reviews25 followers
April 25, 2011
Kisah yang dituturkan serta ditulis dengan sangat menarik, dan benar-benar mencerminkan besarnya cinta dan pengorbanan ibu Inggit kepada Bung Karno.

Saya pribadi menilai jatuh cintanya Bung Karno kepada Ibu Inggit yang notabene Ibu Kostnya bisa dibenarkan, siapa yang bisa menolak sosok wanita yang lebih dewasa, cantik, matang dan memiliki sifat mengayomi dan melindungi. Ideal banget :) mirip Rasulullah yang mencintai Khadijah yang lebih tua, bedanya Rasululah gak pake acara "Berduaan dan Terjerumus", meski gak diceritakan terjerumusnya sampai mana, apakah timba sudah masuk ke dalam sumur atau tidak, kita tidak bisa tahu.

Membacanya juga tak hanya menemukan kisah cinta, tapi juga kisah perjuangan bung karno, pergulatan pemikirannya, hubungannya dengan tokoh-tokoh founding father yang lain.

Buku Hebat
Profile Image for Nura.
1,056 reviews30 followers
April 11, 2012
saya terkejut melihat sisi lain dari seorang Soekarno di buku ini. sang singa podium yang begitu hebat ternyata tumbuh dan berkembang berkat seorang wanita biasa. seorang inggit ganarsih. salut dengan perjuangannya yang terus setia dan rela menemani putra sang fajar selama dua puluh tahun. Ikut merasa kesal dan sakit hati ketika Soekarno memutuskan untuk meminang Fatmawati, gadis yang bahkan lebih muda dari putri angkatnya sendiri. sempat terperangah ketika empat serangkai meminta Soekarno mencantumkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam surat cerainya.

#memaksa menamatkan di tengah perburuan singa gara-gara pengen tahu soal asmara hadi. tapi berhubung bacanya udah lama dan sepotong-sepotong, jadi kebanyakan dah lupa. kudu baca lagi nanti.
Profile Image for Theresia.
Author 2 books20 followers
December 14, 2008
Inggit Ganarsih was truly a one-of-a-kind woman. An outstanding, long-suffering woman, she much less shaped Soekarno into the Soekarno the world saw in 40's and stood by Soekarno's side until the most famous founding father of Indonesia decided to marry Fatmawati, his second wife (third in religious view, if Oetari was counted, too) as well as the nation's first First Lady. I really admired her strength as well as her feminine independence when she said she's not into polygamy and would never stoop down to be Soekarno's elder spouse ("dicandung" in Sundanese as she put it, or "dimadu" in Bahasa Indonesia).
Profile Image for Salaka.
2 reviews2 followers
May 23, 2017
buku ini mengubah penilaian saya terhadap bung karno. cerita yang disajikan mampu membuat saya berpikir "oo..rupanya seperti ini kejadian yang terjadi di balik layar...".

Setelah membaca buku ini (yang merupakan hasil wawancara langsung dengan ibu inggit), tidak hanya tentang kehidupan pribadi beliau, namun juga tentang bagaimana proses beliau untuk bisa menjadi suami ibu inggit, dan seperti apa pemikiran bung karno tentang bernegara, berhasil membuat saya kecewa pada seorang 'bung karno'.

Tanpa bermaksud melupakan jasa jasa beliau untuk negeri, namun sosok bung karno di benak saya tidak lagi "sesempurna" saat saya mengingat beliau dulu.
Profile Image for Budiono Budi.
11 reviews2 followers
February 22, 2015
Menilik sejarah bangsa yang dituturkan istri seorang tokoh, buku ini membawa kita ke kehidupan era pra-kemerdekaan yang penuh dilema dan perjuangan. Gaya penulisan ala roman membuat buku ini tidak membosankan. Rasa penasaran membuat saya ingin terus membacanya karena ingin mengenal lebih jauh sisi lain perjalanan hidup sang proklamator. Saya rasa buku ini pantas untuk menjadi bacaan wajib para siswa sekolah menengah. Mereka dapat belajar sejarah sambil mengapresiasi karya sastra.
Profile Image for Nadia.
27 reviews
March 18, 2020
Barangkali menjadi satu-satunya buku yang dapat memperkenalkan pembaca kepada Ibu Inggit Ganarsih. Wanita hebat, pekerja keras, keibuan, dan penjunjung hak wanita secara diam-diam. Biografi yang disusun oleh Ramadhan K.H. ini juga menunjukkan sisi lain Soekarno, di balik citranya sebagai "Singa Podium" yang juga disetujui oleh Ibu Inggit. Perempuan Indonesia juga laki-laki, dan anak-anak bangsa Indonesia, perlu mengenal sosok Ibu Inggit, setidaknya melalui sedikit cerita dari buku ini.
Profile Image for Rosa.
25 reviews
October 27, 2021
Saya ingin berterima kasih kepada Bapak Ramadhan KH yang sempat menulis karya ini. Kalau tidak ada buku ini mungkin kita tidak mengenal lebih dalam siapa itu sosok Ibu Inggit, ya begitu adanya; tidak banyak tertera dalam sejarah. Dan ya, buku ini memang bukan buku sejarah jua.

Buku ini membuat perasaan senang, sedih, mengumpat-ngumpat, dan bahkan menangis tersedu-sedu menjadi terekspresikan dalam satu bacaan. Buku ini cocok kepada perempuan mana saja yang sedang lajang, akan menikah, atau telah memiliki pendamping hidup sekali pun; ya buku ini cocok untuk semua perempuan apa pun statusnya.

Ketulusan dalam mengabdi tergambar jelas dalam hidup Bu Inggit. Selama menyelami kata demi kata yang ditulis penulis, saya cukup merasakan bagaimana pengorbanan-pengorbanan Bu Inggit selama menjadi istri Pak Kusno dapat dinilai sebagai ibadah, bagaimana cinta yang tulus itu, dan bagaimana prinsip harus dipegang teguh.

Terlebih, yang penting untuk di-highlight bagi saya khususnya adalah buku ini menjelaskan bahwa bagaimana ‘kewarasan’ Bu Inggit dapat melebihi ‘kebucinannya’. Rela untuk diceraikan karena tidak ingin dimadu setelah dua puluh tahun bersama, menurut saya itu hal yang sangat tidak mudah. Bagaimana tiba-tiba harus merelakan sosok orang yang paling dicintai menikah dengan orang yang paling dekat dengan hidupnya.

Ini adalah hal yang saya kagumi dari sosok Bu Inggit, bagaimana akhirnya ia menutup kisah ini dengan keikhlasan tanpa harap balas.

Saya cukup malas untuk mereview sosok Pak Kusno karena ya, baca sajalah bagaimana alasan Pak Kusno ingin menikah lagi yang menurut saya sampai sekarang tidak masuk akal.

Apapun itu, buku ini benar-benar sesuai judulnya; perihal mengantarkan ke gerbang dan melepasnya pada saat itu juga.
1 review
August 31, 2017
"Namun, pada suatu saat, setelah aku mengantarkannya sampai di gerbang apa yang jadi cita-citanya, berpisahlah kami, karena aku berpegang pada sesuatu yang berbenturan dengan keinginannya. Ia pun melanjutkan perjuangannya seperti yang tetap aku doakan. Aku tidak pernah berhenti mendoakannya."

Kalimat di atas seperti gabungan dari rasa ikhlas, cinta, kesedihan dan realitas yang tetap menjunjung harga diri. Benar kata pak Sapardi Djoko Damono dalam puisinya yang berjudul Dalam Do'aku yaitu : "Aku mencintaimu. Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu"

Ibu Inggit adalah sepaket air mata dan senyum dalam perjuangan Soekarno.
Profile Image for Rulfhi Alimudin Pratama.
79 reviews
July 14, 2017
Ketertarikan buku "Kuantar Ke Gerbang" dimulai dari seorang teman yg meresensi buku ini di kelas literasi.
Sejak itu saya mulai membaca roman sejarah ini, dan kisah cinta bu Inggit ini memang benar-benar memukai, sebuah cinta yang tulus bu Inggit kepada Soekarno namun berakhir dengan pilu
.
Dan juga bagaimana kesetiaan bu Inggit di uji ketika bung Karno dipenjara ataupun di asingkan, ia tetap tabah menemani dalam suka dan duka bung Karno.
mungkin kalau saat itu bung Karno tidak mempunyai istri seperti bu Inggit, mungkin ia kelak tak akan jadi bapak proklamator.
Profile Image for Wiwien Chan.
20 reviews1 follower
February 11, 2018
"Dalam waktu perkenalanku yang tidak panjang, aku sudah bisa menangkap cita citanya yg sebenarnya. Ia tidak akan mengutamakan mengumpulkan harta kekayaan. Ini berarti aku harus bekerja keras, terutama sewaktu Kusno masih sekolah. Namun, aku telah dipersiapkan untuk itu. Aku telah terbiasa bekerja. Aku telah biasa mendapatkan nafkah sendiri dengan hasil keringat sendiri, dan aku berjuang untuk itu."
Profile Image for Tresna Putri.
71 reviews
April 2, 2020
Sebagai sosok perempuan, merasakan juga bagaimana peran dan posisi bu Inggit. Sabar dan seria mendampingi, mandiri, berbakti, dan beruntungnya Soekarno didampingi oleh sosok seperti beliau. Namun, saat tiba waktunya Indonesia, akhirnya bu Inggit harus merelakan Soekarno menikah lagi karena keinginannya untuk memikiki keturunan. Di sinilah keinginan Soekarno dan prinsip bu Inggit yang berbenturan. Bagi Soekarno sendiri Bu Inggit ini istri, kekasih, dan teman.
Profile Image for Wibisono Yamin.
88 reviews
August 28, 2022
This biographical novel conveys moral stories about a tough and brave wife, Ibu Inggit; a figure who has become an example for us. She was so faithful in accompanying her husband, Ir Soekarno, in both joy and sorrow, in his struggle for the independence of their homeland. She escorted him to the gate of his dreams, then parted ways. She chose the path that was not strewn with flowers. Her sincere love is enough to make the readers staggered and stunned.
Profile Image for Alvin Qobulsyah.
75 reviews1 follower
December 27, 2019
There is a "missing detailed fragment" on Cindy Adams' Soekarno Autobiograph that was filled by this classic roman.
.
I never stopped on hoping that the stories will ended on Chapter 72. The rest is sorrow and more sorrow.. :(
This entire review has been hidden because of spoilers.
2 reviews
October 10, 2020
Buku yang menceritakan tentang kesabaran dan keteguhan hati ibu inggit garnasih dalam menemani suaminya dalam setiap perjuangannya untuk mencapai suatu cita-cita yang mulia yaitu kemerdekaan indonesia
3 reviews
January 4, 2022
buku yang berhasil buat aku baca 3x tanpa ngerasa bosen, buku ini berhasil bgt bikin aku terkagum kagum sama sosok bu inggit garnasih, dalam kehidupannya, dalam perjuangannya, dalam kesetiaannya terhadap satu laki2.
1 review
September 11, 2019
Sejarah kisah cinta Ibu Inggit yg sangat tegar
This entire review has been hidden because of spoilers.
Displaying 1 - 30 of 74 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.