Jump to ratings and reviews
Rate this book

A road with no end

Rate this book
Jakarta selama bulan-bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, adalah kota yang dicekam ketegangan. Ketegangan antara kelompok pemuda-pemuda pejuang kemerdekaan dengan berbagai kesatuan tentara Jepang yang menunggu-nunggu kedatangan tentara sekutu, karena pemuda-pemuda pejuang kemerdekaan sedang asik mengumpulkan persenjataan dari pasukan-pasukan Jepang, dan juga ketegangan dalam hati seluruh rakyat Indonesia mengenai siapakah yang akan datang pertama dari tentara Sekutu, tentara Inggris, atau Belanda? Itulah "setting" Jalan Tak Ada Ujung ini, yang mengisahkan pejuang-pejuang seperti Hazil, pemusik yang bersemangat berapi-api, Guru Isa yang lembut hati dan tidak suka pada kekerasan, istrinya yang merindukan kasih lelaki. Perlawanan terhadap tentara Belanda yang hendak menjajah Indonesia, kehangatan cinta, semangat berkorbar perjuangan, ketakutan, kejahatan manusia terhadap manusia, penemuan diri di bawah siksaan, dan kemenangan manusia dalam pergaulan dengan dirinya sendiri, kekejaman peperangan…. Senua ini dapat ditemukan dalam novel ini.

151 pages, Paperback

First published January 1, 1952

144 people are currently reading
1893 people want to read

About the author

Mochtar Lubis

91 books198 followers
Mochtar Lubis lahir tanggal 7 Maret 1922 di Padang. Mendapat pendidikan di Sekolah Ekonomi INS Kayu Tanam, Sumatera serta Jefferson Fellowship East and West Center, Universitas Hawai. Aktif sebagai penerbit dan Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya Jakarta. Memperoleh Magsaysay Award untuk jurnalistik dan kesusasteraan, Golden Pen Award dari International Association of Editors and Publishers, Hadiah Sastra dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Hadiah Penghargaan dari Persatuan Wartawan Indonesia, Hadiah dari Departemen P dan K tahun 1975 bagi novelnya "Harimau! Harimau!", dan Hadiah sastra dari Yayasan Jaya Raya untuk buku terbaik tahun 1977-1978, tanggal 15 Desember 1979, untuk romannya "Maut dan Cinta".

Buku-bukunya yang telah terbit antara lain: "Senja di Jakarta", "Jalan Tak Ada Ujung" (terbit dalam berbagai bahasa), dan "Etika Pegawai Negeri" (ed.bersama James Scott). Selain itu ada juga buku-buku tentang liputan dan pers, bacaan anak-anak, dan dua ceramah yang diterbitkan sebagai buku, yaitu "Manusia Indonesia" dan "Bangsa Indonesia". Semasa hidupnya beliau menjadi Anggota banyak lembaga penting, seperti Pimpinan Umum majalah Horison, Editor majalah Media (yang diterbitkan di Hongkong oleh Press Foundation of Asia); anggota Board of the International Association for Cultural Freedom, dan anggota Board of the International Press Institute (Zurich).

Beliau juga banyak mencurahkan perhatiannya pada masalah lingkungan hidup dan masalah-masalah ekologi. Mengalami tahanan penjara selama 9 tahun (1956-1965) dalam masa pemerintahan Presiden Soekarno; dan pada tahun 1974 mengalami dua bulan tahanan setelah terjadinya peristiwa "Malari" bersamaan waktunya dengan pembreidelan Indonesia Raya. Beliau juga pernah menjadi Direktur Yayasaan Obor Indonesia.

Bibliography:
* Tidak Ada Esok (novel, 1951)
* Si Jamal dan Cerita-Cerita Lain (1950)
* Teknik Mengarang (1951)
* Teknik Menulis Skenario Film (1952)
* Harta Karun (cerita anak, 1964)
* Tanah Gersang (novel, 1966)
* Senja di Jakarta (novel, 1970)
* Judar Bersaudara (children story, 1971)
* Penyamun dalam Rimba (children story, 1972)
* Manusia Indonesia (1977)
* Berkelana dalam Rimba (children story, 1980)
* Kuli Kontrak (1982)
* Bromocorah (1983)

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
453 (29%)
4 stars
644 (41%)
3 stars
369 (24%)
2 stars
45 (2%)
1 star
26 (1%)
Displaying 1 - 30 of 232 reviews
Profile Image for Azarine Arinta.
42 reviews
Read
July 1, 2016
Secara gamblang dari awal Mochtar Lubis telah mengenalkan pembaca dengan tema utama dari buku ini: ketakutan manusia. Dalam pembukanya, Mochtar Lubis mengutip kata-kata dari Jules Romains: ‘Apakah yang harus kita punyai, agar kita bebas dari ketakutan?’

Tema ini semakin dipertegas dengan paragraf pembuka dari buku yang menggambarkan suasana mencekam di Ibu Kota Jakarta selepas proklamasi kemerdekaan. Mengambil latar belakang kota Jakarta di tahun 1946, Mochtar Lubis menggambarkan kekacauaan yang terjadi pasca kemerdekaan di mana bentrokan kekerasan digambarkan sebagai makanan sehari – hari dari warga Jakarta yang hidup dalam tekanan tidak hanya tekanan akan ancaman kekerasan tetapi juga tekanan sosial seperti krisis pangan dan ekonomi yang semakin merajalela.

“Jalan – jalan kosong dan sepi. Beberapa orang bergegas lari dari hujan. Dan lari dari ancaman yang telah lama memeluk seluruh kota.” – Mochtar Lubis, Jalan Tak Ada Ujung, halaman 1.

Setelah menggambarkan pada pembaca latar belakang dari cerita, Mochtar Lubis kemudian mengenalkan pembaca kepada tokoh sentral dari cerita ini: Guru Isa dan Hazil. Tokoh Guru Isa kembali mengikat pembaca terhadap tema utama dari buku dengan penggambarannya sebagai sosok yang dipenuhi ketakutan. Guru Isa adalah orang yang benci dan anti kekerasan, perilaku yang datang dari ketakutannya akan kematian, masa depan, dan banyak hal. Dia adalah seseorang yang sangat menghindari konflik dan berusaha keras untuk tidak terlibat pada konflik apapun yang terjadi di luar sana. Sementara itu, Hazil, tokoh sentral lainnya, adalah seorang pemuda yang memiliki semangat juang tinggi dan sangat berapi-api untuk memerangi para serdadu – serdadu asing yang berusaha merebut kembali kemerdekaan negara. Kedua tokoh yang saling bertolak belakang ini dipertemukan pada pertemuan gerakan revolusioner bawah tanah, di mana Guru Isa ditunjuk untuk memegang peranan penting karena kedudukan terhormatnya sebagai guru.

Musik menjadi perekat antara Guru Isa dan Hazil meskipun kedua tokoh utama ini memiliki sifat yang sangat bertolak belakang, Guru Isa dengan ketakutannya akan kematian dan keengganannya terlibat proses revolusi yang tengah bergulir dan Hazil dengan keinginannya untuk mati demi revolusi yang utuh.

“Dan hanya ada Guru Isa dan Hazil, dan musik itu. Musik yang datang dari jagat ke dalam manusia, dan dari manusia ke jagat kembali.” – Mochtar Lubis, Jalan Tak Ada Ujung, halaman 43.

Alur pun bergulir mengikuti perjuangan revolusi yang tengah dijalani oleh Guru Isa, Hazil, dan sederetan tokoh lainnya. Semakin terseret arus revolusi, semakin ciutlah hati Guru Isa, ia semakin terombang-ambing dalam ketakutannya akan kematian untuk revolusi dan ketakutannya untuk tidak ikut dalam proses revolusi ini. Selain itu, alur pun menunjukkan wajah buruk dari revolusi di mana kekerasan dilakukan dan penindasan akan rakyat kecil tetap terjadi atas nama revolusi yang mendambakan sebuah negara ideal. Klimaks dari alur pun terjadi ketika Guru Isa akhirnya ditahan mengikuti penahanan Hazil. Pada akhirnya Guru Isa bisa melawan ketakutannya, atau lebih tepatnya merangkul ketakutannya dan memeluk erat ketakutan tersebut seperti kawan lama.

Ini merupakan kali kedua saya membaca karya dari Mochtar Lubis, sebelumnya saya sudah pernah membaca Senja di Jakarta yang juga kental dengan isu-isu sosial politik. Pembahasan isu-isu sosial politik di buku Mochtar Lubis bukan hal yang mengherankan, mengingat Mochtar Lubis sendiri memang memilikiprofesi jurnalis dan kerap meliput berita-berita yang berhubungan dengan sosial politik. Selain itu, sastrawan-sastrawan Indonesia di era 1940 – 1960 seperti Chairil Anwar, Sanusi Pane, Pramoedya Ananta Toer, dan Mochtar Lubis Sendiri memang seringkali membahas isu-isu sosial politik melalui karya-karya sastra.

Lagi-lagi saya merasakan betapa menyenangkannya mempelajari sejarah bangsa sendiri melalui sebuah karya sastra atau roman, sebagaimana saya sangat menikmati sejarah Indonesia pra kemerdekaan yang diliput secara apik oleh Pramoedya Ananta Toer di Tetralogi Pulau Buru atau mengenal keadaan sosial politik Jakarta di tahun 1960-an (yang ternyata tidak jauh berbeda dengan keadaan sekarang) melalui karya Mochtar Lubis yang lain: Senja di Jakarta.

Secara pribadi saya sangat menyukai buku-buku yang ditulis pada masa itu seperti ‘Jalan Tak Ada Ujung’, di mana sebuah karya sastra bukan hanya rangkaian kata-kata indah belaka atau perjalanan egoistik dari si protagonis denganmasalah-masalahnya sendiri yang terlepas dari masalah kemanusiaan di sekitarnya. Buku-buku pada masa itu merupakan kritik terhadap keadaan sosial dan politik juga, sebuah rangkaian kata yang memiliki maksud untuk membangunkan kesadaran-kesadaran yang tertidur.

Profile Image for WA.  Prakosa.
104 reviews2 followers
February 19, 2024
Karya Mochtar Lubis memang luar biasa. Gambaran kondisi psikologis dari tokoh Guru Isa menjelaskan kepada pembaca tentang respon normal sebagai manusia yang hidup ditengah huru-hara revolusi nasional Indonesia tahun 1945-1949. Selebihnya karya ini jadi sastra klasik Indonesia pertama yang saya baca pada awal tahun 2024 ini.
Profile Image for Missy J.
626 reviews107 followers
December 24, 2023
Mochtar Lubis is one of my favorite Indonesian authors. I remember reading Twilight in Jakarta and Harimau! Harimau! vividly. Both of these novels stood out - one book is set in a corrupt Jakarta, while the other is set in the haunting and mystical forests of Sumatra. So I was glad when I found this book - Jalan Tak Ada Ujung, which roughly translates as "The Never-ending Road".

This story is set in revolutionary Jakarta. Autumn 1946, Sukarno already declared independence, but the Netherlands hasn't accepted this yet. The air is full of tension and everybody is confused. Are will still a Dutch colony? Or are we independent? Revolution is the never-ending road. There's always change, always something to improve, always something that needs to evolve.

The main protagonist is a school teacher called Guru Isa. His parents have already passed away. He is in his mid-30s and married to Fatimah. Since the revolution began, life for Guru Isa has become more difficult. His salary isn't reliable anymore. On the way to work, he sometimes witnesses inhumane and heinous acts against civilians. The roads are filled with Sikh and Indian soldiers (sent by the British) to patrol the streets and be on the lookout for difficult Indonesian revolutionaries. I didn't know that.

Anyway, Guru Isa's marriage with Fatimah isn't doing well. Because Guru Isa's day-to-day life is filled with fear and terror, he has become impotent. The newly-married Fatimah isn't happy of course. So, they adopt a young boy called Salim. Nevertheless, Fatimah doesn't have any consideration for Guru Isa's worries and fears. If there is one thing that can console Guru Isa, it is his violin. He plays that instrument and all his fears dissipate.

And that's how he meets a young man called Hazil, who works with the underground revolutionaries. Together, they play music, but then politics takes over their relationship. Hazil is part of a group that smuggles weapons from Jakarta to the rural areas of Java and vice-versa. Hazil is full of idealism and puts up a brave face, very different from Guru Isa, who kind of reminds me of the main protagonist in the movie Si Mamad. Without consent, Guru Isa is recruited into this group and this only intensifies his worries and fears. Guru Isa wants to only live a peaceful life and mind his own business. The revolutionaries he meets are not impressive people - when given too much power, they kill and rape civilians too ("Memang mereka yang sungguh-sungguh berjuang masih banyak. Tapi perlahan-lahan aku lihat bertambah banyak orang yang memakai perjuangan untuk kedok mencari untung bagi dirinya sendiri.").

Something scandalous happens in the book, but the ending has a redeeming quality. We think we know who these people are, but they turn out to be completely different. I still need to let this book marinate in my mind. Overall, I think it was about fear and how people handle fear. There's a part towards the end of the book, where the protagonist contemplates that the most fearful people are the ones that commit the cruelest crimes. Probably the author wanted to write how fear can numb a person, even the nicest person you know may suddenly commit an unspeakable crime simply because he or she is terrorized by fear and cannot think rationally anymore.

"Tiap orang punya ketakutan sendiri, dan mesti belajar hidup dan mengalahkan ketakutannya."
Profile Image for Rido Arbain.
Author 6 books97 followers
May 30, 2019
Perjuangan menuju kemerdekaan ternyata bukanlah akhir dari tujuan. Sebab setelah kemerdekaan itu diraih, masih ada jalan lain yang harus dituju. Jalan tak ada ujung.⁣

Lewat novel klasik yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1952 ini, Mochtar Lubis ingin memaparkan kisah perjalanan kemanusiaan seorang guru yang senantiasa hidup dalam tekanan dan ketakutan pada masa revolusi sepanjang tahun 1946-1947.⁣

Namanya Guru Isa. Sosok plegmatis, yang sesaat setelah proklamasi dikumandangkan, ia tetap harus berjuang melawan permasalahannya sendiri nan kompleks. Akibat sering kali merasa tertekan, Guru Isa harus kena serangan impotensi yang membuat hubungannya dengan sang istri menjadi dingin. Belum lagi konflik keterlibatannya dengan pejuang gerilya, ketakutannya berurusan dengan polisi militer, hingga impitan ekonomi keluarga yang membuatnya terpaksa mencuri buku-buku tulis di sekolah.⁣

Menelusuri kisah perjuangan hidup tokoh-tokoh dalam Jalan Tak Ada Ujung, kita dapat menemukan pandangan kemanusiaan yang bersifat universal. Perlawanan rakyat Indonesia terhadap penjajahan Belanda, konflik rumah tangga, hingga potret kejahatan manusia terhadap manusia lainnya, seakan-akan semuanya tergambar dalam suasana revolusi yang realistis. ⁣

Secara implisit, Mochtar Lubis telah menuliskan kritik bahwa bangsa Indonesia pada masa itu tidak selalu bersatu dalam melawan penjajahan. Sebab perasaan terjajah itu sudah memudar seiring kebutuhan yang sulit terpenuhi bagi bangsa yang katanya telah merdeka itu sendiri.⁣
Profile Image for Sandra dewi.
97 reviews7 followers
January 15, 2010
waaah. gw bener2 ga tahu kalo novel ini pernah masuk dalam pelajaran b. indonesia qta jaman sekolah dulu (b. indonesia termasuk pelajaran yg tidak menyenangkan pada saat itu). secara nggak sengaja ketemu buku ini dan iseng2 dibaca aja karena dari nama pengarangnya cukup dikenal. rasa bergidik, sedih dan takjub menjadi satu ketika baca buku ini. sebenarnya nggak pernah ngerasain suasana perang tapi novel ini tanpa mengumbar dengan kata2 yang kasar, tetap bisa bikin qta ikut merasakan suasananya....
tapi dari semua itu yang paling hebat adalah ending ceritanya....
bener2 ending.... just a very very very a great ending....
Profile Image for hans.
1,150 reviews152 followers
February 6, 2023
Buku kedua penulis yang saya baca selepas 'Perempuan'. Penulisan-nya sentiasa menarik hati saya-- tidak jemu walau berkait hal perang (tidak secara keseluruhan) dan perjuangan.

Gemar dengan penceritaan kisah Guru Isa dari awal hingga akhir walau saya sedikit terkesan dengan ending-nya yang begitu saja-- sekurangnya saya berharap ada sedikit closure tentang hubungan Guru Isa dan Fatimah namun saya akur barangkali ending yang begitu lebih adil bagi buku ini.

4 bintang ya!
Profile Image for Rinaldo.
277 reviews49 followers
February 2, 2021
3.25/5

Sebenarnya buku ini berbicara tentang tema-tema yang menarik: dari sisi gelap perjuangan kemerdekaan Indonesia, normalisasi kekerasan, permasalahan mental (seperti PTSD, depresi, anxiety), hingga tujuan dan makna perjalanan hidup itu sendiri. Sayangnya, secara struktur dan penulisan, buku ini terasa begitu kikuk di beberapa tempat; dari struktur prolog yang berantakan, fokus pada karakter yang tidak penting di cerita (Mr. Kamaruddin), penggambaran seksualitas yang usang, hingga klimaks yang terasa timpang dan mendadak.

Mengambil latar di Jakarta pada era setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (akhir 1940-an), cerita berfokus pada Guru Isa, seorang guru sekolah yang bersahaja dan benci kekerasan, serta Hazil, seorang komponis yang beralih menjadi pejuang kemerdekaan. Takdir mempertemukan kedua lelaki ini di kubu perjuangan pemuda Indonesia yang melakukan perlawanan secara sporadis kepada tentara NICA dan Gurkha. Keduanya terikat oleh kegemaran yang sama akan musik. Hazil kerap mengunjungi rumah Isa untuk berbincang-bincang tentang kehidupan dan menggubah musik.

Di sisi lain, Isa sedang mengalami pergulatan batin yang sulit. Setelah menyaksikan kekerasan militer dan baku tembak, ia mengalami trauma (PTSD) dan kegelisahan yang berat. Ia semakin terjepit karena para pemuda pejuang kemerdekaan memberi peranan penting kepadanya, sedangkan berbagai bentuk kekerasan yang kecil pun tidak dapat ia tolerir. Di sisi lain, ia juga terhimpit masalah ekonomi dan rumah tangga yang tidak bahagia. Ditekan oleh berbagai ketakutan dan trauma, kesehatan Guru Isa pun semakin terpuruk, hingga pada puncaknya ia diharuskan ikut dalam misi perjuangan kemerdekaan yang riskan.

Sekali lagi, sebenarnya pergumulan Guru Isa digambarkan sangat baik di sini, terutama pada adegan di mana ia dan Hazil mendiskusikan jalan perjuangan yang tanpa ujung dan berulang, yang saya baca seperti figur Sisyphus dalam mitologi Yunani yang terjebak dalam tugas tanpa akhir. Mereka pun menggubah musik yang terinspirasi dari perjuangan tersebut. Benturan perjuangan individual dan perjuangan kolektif yang tiada akhir dikupas dari dua sisi: sudut pandang Hazil yang optimis dan membara, dan sudut pandang Guru Isa yang dirundung rasa takut dan trauma. Sayangnya, ketika kedua sudut pandang ini ditinjau ulang di akhir, perubahan yang disajikan oleh Mochtar Lubis terasa canggung, mendadak, dan dipaksakan.

Walaupun buku ini memiliki peranan penting dalam sejarah sastra Indonesia (terutama dalam menggambarkan sisi gelap kemerdekaan dan perjuangan batin), secara pribadi saya merasa lelah dengan karya sastra dengan struktur yang timpang dan nada yang sinis. Edisi Yayasan Obor ini juga penuh dengan typo yang parah, di mana pada bagian akhir ada dua paragraf besar yang terulang. Hal ini juga mengurangi apresiasi saya terhadap buku ini.

---

In all honesty, this book speaks about interesting themes: from the dark side of Indonesian independence wars, the normalisation of violence, the mental problems (like PTSD, depression, anxiety), to the purpose and the meaning of life's journey itself. Unfortunately, structurally and technically, this book feels clumsy at different parts; from the messy prologue structure, focus on an unimportant side character (Mr. Kamaruddin), the obsolete depiction of sexuality, to the uneven and abrupt climax.

Taking place in Jakarta during the era after the Proclamation of Indonesian Independence (late 1940's) the story focuses on Teacher Isa, a humble and violence-hating schoolteacher, and Hazil, a composer turning to a freedom fighter. Fate brought these two men together in the Indonesian freedom fighter camp who have been sporadically fighting against NICA and Gurkha forces. Both men were bonded by the mutual passion for music. Hazil often visited Isa's house to talk about life and compose music.

On the other hand, Isa was undergoing tough mental struggles. After witnessing military violence and crossfire, he experienced PTSD and severe anxiety. He got even strangulated by the burden of the vital role given to him by the freedom fighters, all while being unable to tolerate the smallest forms of violence. Moreover, he was in a bind of an economic problem and unhappy married life. Pressured by various fears and trauma, Guru Isa's health took on a plunge, until at the climax he was tasked to accompany a high-risk mission for freedom fighters.

Once again, Teacher Isa's internal struggles were depicted superbly here, especially during the scene where he and Hazil discussing the repeating and endless road of endeavour, which in my reading resembles Sisyphus from Greek Myth who was trapped in an endless task. Both men then compose a musical piece inspired by the endless struggle. The endless clashes between individual struggles and collective endeavours were dissected from two perspectives: the optimistic and fiery Hazil and the fearful and trauma-riddled Teacher Isa. Unfortunately, when these two perspectives were revisited at the end of the book, the change/twist offered by Mochtar Lubis felt awkward, abrupt, and forced.

Although this book has a significant role in Indonesian literature history (especially in depicting the dark sides of independence wars and internal struggles), personally I am exhausted by literary works with uneven structure and cynical tone. This Yayasan Obor edition of the book is riddled with severe typos, where during the last part of the book there is a repetition of two big paragraphs. This also contributes to reducing my appreciation of this book.
Profile Image for Khalisha.
45 reviews
June 10, 2025
Terhitung tipis dan mini, bisa bgt dibaca sekali duduk! Seperti tulisan-tulisan Mochtar Lubis lainnya tentu buku ini super kerennn! Walaupun kisahnya beberapa tahun setelah merdeka, tp banyak bgt pelajaran yang bisa kepake sampe sekarang.

Untuk pembaca perfeksionis yang sangat memperhatikan penulisan, mungkin akan geregetan sendiri yaa karena masih banyak bgt typo nya! Dan beberapa kata masih menggunakan ejaan lama. Di bagian terakhir bahkan ada paragraf yang tertulis sama dua kali, atau mungkin ada pesan di balik ituuu???

"Bahwa semua orang memilih dan memiliki 'Jalan Tak Ada Ujung'-nya masing-masing.

"Sebentar dia ingat kepada perkataan Hazil yang mengatakan bahwa manusia bisa biasa pada apa saja. Pada kekerasan, pembunuhan. Juga pada pencurian." (Hal: 96)

"Aku takut, apa kita cukup kuat dan besar untuk menerusii jalan tak ada ujung yang sudah kita pilih ini? Manusia yang ketakutan bisakah mencipta dalam dunia yang juga ketakutan ini?" (Hal: 98)

"Tiap orang punya ketakutan sendiri, dan mesti belajar hidup dan mengalahkan ketakutannya." (Hal: 161)
Profile Image for Endah.
285 reviews155 followers
January 11, 2009
Apakah judul novel yang tokoh utamanya bernama Guru Isa? Siapakah pengarangnya?
Masih ingat nggak pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang sering diajukan oleh guru-guru bahasa Indonesia kita sewaktu di SMP atau di SMA dulu? Lalu kita menjawabnya bahwa buku itu adalah Jalan Tak Ada Ujung. Pengarangnya : Mochtar Lubis. Apakah kita mengetahui jawaban tersebut karena kita telah membaca novel itu? Atau sekadar menghapalnya saja? Kalau saya sih tahunya karena menghapal. Novel itu sendiri baru saya tamatkan sore tadi. Hehehe.

Parah banget ya cara pengajaran sastra dan bahasa Indonesia yang kita terima dulu .Penyampaian materinya lebih banyak menekankan pada hapalan, tanpa pernah menugaskan siswa untuk membaca sendiri karya tersebut. Jangan-jangan hal itu karena bapak dan ibu guru kita sebenarnya juga tidak pernah membacanya. Sekarang, masih kayak gitu nggak ya?

Terlepas dari itu semua, akhirnya toh saya berkesempatan juga mengenal Guru Isa dalam Jalan Tak Ada Ujung. Guru Isa, tokoh yang antihero, dengan segala kelemahan dan kekurangannya sebagai manusia, lelaki, dan suami. Tak ada yang membanggakan yang bisa diceritakan dari seorang Isa, pria 35 tahun yang menderita impotensi berkepanjangan, guru sekolah rakyat yang miskin dan penakut. Di saat kawan-kawannya berjuang memanggul senjata menentang masuknya kembali Belanda ke tanah air, ia malah gemetar di kamarnya setiap kali mendengar letusan senapan dan berdoa agar perang cepat selesai. Ketika pemuda-pemuda dengan bangga menceritakan pembunuhan yang mereka lakukan terhadap para "mata-mata" Nica, ia mendengarkannya dengan rasa mual hingga tanpa terasa kencing di celana. Sewaktu suasana Jakarta makin panas akibat pertempuran dan orang-orang ramai mengungsi ke luar kota, Guru Isa bahkan tak memiliki keberanian untuk melakukan hal yang sama. Baginya, lebih baik menghadapi teror yang telah jelas dikenalnya, dari pada harus dihantui rasa takut oleh teror yang belum jelas di tempat pengungsian. Satu-satunya hal paling "berani" yang ia lakukan - itupun jika masih boleh disebut sebagai sebuah keberanian - adalah mencuri buku-buku tulis di lemari sekolahnya untuk membeli beras.

Perang membuat situasi kehidupan rumah tangganya menjadi tambah sulit. Hubungannya dengan Fatimah, sang istri, bertambah buruk saja karena uang susah didapat. Fatimah sebenarnya istri yang baik. Ia tetap setia meski Isa menderita impotensi sejak awal pernikahan mereka, sampai ia bertemu Hazil yang membawa bara hangat ke dalam kehidupan asmaranya yang nyaris beku. Kesetiaan itu pun runtuh. Isa mengetahuinya, tetapi ia takut menghadapi kenyataan itu.

Saya - seperti selalu terjadi - terpesona. Novel ber-setting Jakarta tahun empatpuluhan (pasca kemerdekaan) ini mengajak saya menyelam ke kedalaman jiwa, menyeruak satu rasa paling manusiawi yang dimiliki semua insan : takut. Setiap kita pasti memiliki rasa takut, seperti Guru Isa, seperti Hazil, seperti para tentara Gurkha itu. Takut pada perang, pada kematian, pada pengkhianatan, pada kebenaran, pada kehidupan, pada...... Lalu, apa yang harus kita punyai, agar kita bebas dari ketakutan? (Jules Romains)

Ketakutan-ketakutan yang mendera Guru Isa itu, menjelma mimpi-mimpi buruk di setiap tidurnya. Seperti tanpa akhir. Bagaikan jalan tak ada ujung. Hingga pada suatu masa, tiba juga ia di ujung jalan itu : penjara. Dalam sel sempit itulah ia justru menemukan kebebasannya.

Novel ini pertama kali terbit pada 1952. Sampai dengan cetakan ke delapan, penerbitnya adalah PT Dunia Pustaka Jaya. Baru pada 1992, diterbitkan kembali oleh Yayasan Obor Indonesia. Penulisnya, Mochtar Lubis (lahir tanggal 7 Maret 1922 di Padang), pernah menadapat hadiah Magsaysay pada tahun 1966 untuk karya-karya jurnalistiknya.
Profile Image for Puty.
Author 8 books1,363 followers
Read
June 19, 2025
Karya klasik Indonesia yang kerap disebut sebagai karya terbaik Mochtar Lubis. Berlatar masa setelah kemerdekaan, novel ini mengeksplorasi peperangan di luar dan dalam diri seseorang. Novel ini mengikuti karakter Guru Isa yang selalu dipenuhi ketakutan, bukan hanya karena gejolak situasi yang terjadi di masa-masa setelah kemerdekaan, tapi juga atas dirinya sendiri yang tidak bisa memenuhi ekspektasi dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Guru Isa menikah dengan Fatimah yang hanya membawa kesepian dan keasingan bagi keduanya, serta berkawan dengan Hazil, sosok pemuda yang bergerilya atas nama memperjuangkan kemerdekaan.

Menurut saya Mochtar Lubis memang sangat piawai menggambarkan situasi psikologis karakter-karakternya, membawa pergulatan batin tersendiri bagi para pembaca. Semua karakternya begitu manusiawi, dengan kebaikan dan keburukan masing-masing.

A timeless piece of Indonesian literary.
Profile Image for Galuh Haris Septyana.
33 reviews1 follower
March 27, 2022
Buku ini sempat dilarang ada zaman Orde Lama kepemimpinan Soekarno. Cukup menarik karena berlatar belakang pada waktu huru hara 'internal' Indonesia pasca kemerdekaan yang sering luput dari sorotan sejarah yakni waktu peristiwa Masa Bersiap. Mochtar Lubis dapat menggambarkan penderitaan tokoh utama sangat realistis dan benar-benar mencekam pembaca. Latar waktu dan penggambaran batin pada buku inilah yang layak diberikan bintang 5 untuk ukuran buku setipis 165 halaman
Profile Image for Ikram.
6 reviews5 followers
June 24, 2007
Pada titik tertentu, orang bisa berubah. Yang semula penakut menjadi pemberani.
Profile Image for Ariel Seraphino.
Author 1 book52 followers
May 18, 2023
Terlepas dari banyaknya salah ketik, seolah tanpa editing, karya ini menarik sekali. Tak heran Mochtar Lubis menjadi idola. Bermain-main dengan begitu rumit perasaan manusia yang terjebak dalam kecamuk perang pasca revolusi membuat karya ini layak dibaca untuk generasi yang akan datang. Pendalaman perasaan setiap karakternya begitu dalam dan penuh tikungan. Alur ceritanya mungkin terkesan sederhana tetapi permainan kata beliau mencerminkan kepiawaiannya dalam meramu cerita.
Profile Image for Asuka Mai.
631 reviews31 followers
Read
September 14, 2023
Judul : Jalan Tak Ada Ujung
Author : Mochtar Lubis
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tahun Terbit : Februari 2016 (cetul)
ISBN : 9789794619803
Baca di : Ruang buku Kominfo
Tebal : 163 hal

Buku ini berlatar jaman perang kemerdekaan Indonesia tahun 1946. Dimana walaupun Indonesia telah diumumkan kemerdekaan nya pada tgl 17 Agustus 1945, keadaan kota Jakarta saat itu tetap sangatlah mencekam. Karena Belanda masih belum menerima bahwa Indonesia telah merdeka.

Penduduk Indonesia masih merasakan ketegangan apakah mereka betul-betul merdeka atau akan di jajah kembali. Sebetulnya apabila kita di posisi pada saat itu pastilah kita pun merasa takut dan bingung.

Tokoh utama di buku ini bernama Guru Isa. Ia mempunyai istri bernama Fatimah. Kehidupan Guru pada saat itu sangat tidak menentu, tak jarang gaji Guru Isa tak terbayarkan.
Kehidupan Guru Isa bersama istrinya pun sebetulnya kurang harmonis karena ia mengalami impoten dan membuat Fatimah merasa tak bahagia. Mereka pun mengadopsi seorang anak bernama Salim.

Guru Isa sangat menyukai Biola dan dengan bermain biola ia merasa tenang. Suatu saat ia bertemu dengan seorang pria bernama Hazil. Hazil mempunyai idealisme sendiri dan berusaha memperjuangkan apa yang menurut nya benar.

Melalui buku ini kita dapat melihat pengalaman para penduduk yang merasa trauma dengan teror dari penjajah dan keadaan ekonomi yang begitu sulit saat itu. Bisa dibilang mereka masih belum merasakan kemerdekaan sepenuhnya karena suatu waktu penangkapan dan penggeledahan masih terjadi kapanpun.

Untuk penyuka Historical Fiction buku ini worth to read banget :')
Profile Image for Rural Soul.
546 reviews87 followers
April 18, 2019
Road With No End is far better novel than my rating. I have read something about Mochtar Lubis after finishing this novel. I just have a feeling that in Hazil, Lubis created a character which holds so much of his ownself.
Hazil is young, thoughtful, brave and of course just like Lubis raised in better environment of His aristocratic family.
When I look at Guru Isa, I think it's integral part of Lubis as well. I think these both characters aren't seperate but reflection of a single human being. Someone who is not the same person in different times.

The story revolves around Guru Isa, a fearful and peaceloving elementary school teacher who unwillingly is involved in guerilla underground groups. Story takes place after World War II. With the passage of time he understands that he lives in a constant fear. He understands that fight for freedom is just like a road with no end. He conquers his fears even in tough times when his fellow tough guys break but he doesn't.
It's simply breathtaking to read this transformation.
Profile Image for Aksara Raia.
48 reviews13 followers
June 1, 2023
4/5

Karya Mochtar Lubis pertama yang aku baca dan enggak disangka-sangka butuh waktu lumayan lama dalam menyelesaikannya. Kenapa begitu? Karena banyaknya unsur ketakutan dan keresahan dari sosok Guru Isa juga masyarakat Jakarta selepas merdeka buat aku harus sebentar-sebentar istirahat.

Ketakutan dan keresahan Guru Isa begitu jelas tergambarkan dalam narasinya. Latar waktu dan tempat yang menjadi poin utama dalam novel Jalan Tak Ada Ujung ini begitu nyata terbayangkan karena narasi yang terasa hidup dengan penokohan yang kompleks.

Semakin mendekati akhir kian mencekam, semangat juang para pemuda untuk Revolusi juga pada akhirnya harus tumbang oleh serdadu-serdadu. Dialog antara Guru Isa dan Hazil tentang perjuangan di jalan yang tak ada ujung dalam pertengahan novel betul-betul terngiang terus dalam benak.

Namun sayangnya untuk teks masih banyak aku jumpai salah ketik di mana-mana. :' )
Profile Image for Evan Kanigara.
66 reviews20 followers
May 11, 2020
Kebetulan sekali saya membaca buku karya Mochtar Lubis ini setelah karya Iksaka Banu. Keduanya memiliki spirit yang paralel meskipun eksekusinya berbeda. Buku Lubis dan (beberapa) cerpen Banu sama-sama berlatar Indonesia pasca penjajahan. Kali ini, ‘Jalan tak Ada Ujung’ berlatar di Jakarta, berbulan-bulan setelah proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pasukan NICA dan Belanda masih berusaha meredam kembali semangat laskar untuk benar-benar memerdekakan Indonesia.

Jika perjuangan laskar biasanya dibayangkan seolah seperti kerumunan yang berani mati, yang ‘maju terus pantang mundur’, maka ‘Jalan tak Ada Ujung’ ini justru mengisahkan sebaliknya. Sang protagonis, Guru Isa, merupakan seorang guru sekolah rakyat yang cintai damai dan tidak menyukai kekerasan. Ia terpaksa ikut perjuangan laskar karena takut dikira mata-mata. “’Dalam revolusi ini,’ dia menyusun pikirannya, ‘banyak orang terpaksa melakukan rolnya yang acapkali tidak dikehendakinya’ (hal 73).” Tokoh lain seperti Mr. Kamaruddin, bahkan menganggap bahwa zaman Belanda jauh lebih baik. “Dia tidak mengerti mengapa orang tidak hendak menerima perintah Belanda kembali. Jika Belanda kembali, semuanya akan beres” (hal 21). Lebih jauh lagi , “Dia ingat pada masa pemerintahan Belanda-pikirannya waktu itu jauh lebih baik dari seperti kini, katanya dalam hatinya. Itu waktu orang bisa bekerja dan hidup, dan tidak terganggu. Jaman Jepang juga lebih baik dari ini” (hal 137).

Revolusi kemerdekaan juga tidak digambarkan sebagai sebuah perjuangan yang luhur oleh Lubis. Banyak anggota laskar yang sengaja membunuh orang lain tanpa sebab. Bukan imaji negara Indonesia, melainkan hasrat membunuh dan mencuri yang ada di kepala mereka. “Aku lihat bertambah banyak orang yang memakai perjuangan untuk kedok mencari untung bagi dirinya sendiri. Kita sendiri juga telah menjalankan teror pada rakyat kita sendiri” (hal 97).

Akhirnya, mau tidak mau dan suka tidak suka, seluruh warga Indonesia kala itu harus mengalami revolusi kemerdekaan. Lubis menggambarkannya sebagai sebuah “jalan tanpa ujung”. Sekali memulai, tak akan bisa kembali. Maka kita harus melalui sebuah jalan menuju “hari-hari depan yang kabur dan menakutkan” (hal 18). Tokoh-tokoh yang digambarkan Lubis, merupakan reaksi akan ketidakpastian tersebut. Ada yang enggan, ada yang penuh sesal, dan ada yang penuh amarah. Namun satu perasaan yang begitu dieksplorasi oleh Lubis adalah perasaan takut. Perasaan takut akan perubahan, akan sesuatu yang tidak dapat dimengerti. Maka, “Jalan tak ada Ujung” merupakan pergulatan Guru Isa akan perasaan ketakutannya dan usahanya untuk melampauinya.

“Apakah orang itu, tiap orang, harus hidup dengan ketakutannya sendiri? Harus belajar bagaimana bisa hidup bersama dengan ketakutannya? Ataukah ketakutan itu dapat dibuang habis-habis? Apakah tiap orang mempunyai ketakutannya sendiri-sendiri? Atau apakah ada orang yang sama sekali tidak merasa takut, pada waktu dan saat dan keadaan bagaimanapun juga? Atau memang setiap orang itu sama seperti Salim kecil-harus belajar hidup bersama-sama dengan ketakutannya?” (hal 145).


Pergulatan Guru Isa akan perasaan takutnya mengingatkan saya pada kondisi yang sedang kita alami saat ini. Jika Guru Isa berhadapan dengan revolusi yang berdarah-darah, mungkin kita sedang berhadapan dengan pandemi yang membunuh dalam sunyi. Keduanya jelas berbeda, tetapi meminjam istilah Arundhati Roy, keduanya merupakan sebuah portal akan sebuah dunia yang baru. Keduanya sama-sama menuntut kita untuk beradaptasi sedemikian rupa dan berdamai dengan rasa takut yang kita alami sehari-hari. Kalau kata Hazil, kawan dari Guru Isa, “Manusia punya tenaga menyesuaikan diri yang amat besar” (hal 88). Penyangkalan akan ketakutan bukanlah jawaban, karena “Merasa takut adalah suatu perasaan yang sehat” (hal 121). Reaksi akan ketakutan itulah yang amat sangat penting. Akankah ketakutan itu akan membawamu kepada suatu sikap bertanggung jawab dengan selalu memakai masker dan rajin mencuci tangan, atau justru kepada naungan teori konspirasi lalu menginginkan sebuah infeksi massal agar imunitas kawanan terjadi? Silakan pilih sendiri.

Sayangnya, saya merasa Lubis terlalu terburu-buru dalam menyelesaikan karya ini. Banyak sekali detail yang dapat dieksplorasi. Itulah kekuatan dari Iksaka Banu yang tidak saya temukan pada Mochtar Lubis. Lubis tidak begitu peduli dengan penggambaran latar dan memfokuskan diri pada alur cerita. Tentu dijabarkan keterangan-keterangan trivial seperti penggunaan senjata bambu runcing, truk Chevrolet, atau perjanjian Linggarjati. Namun bayangan saya terhadap kota Jakarta tahun 1946 tetaplah kabur. Uraian kota Jakarta pada tahun itu juga hanya berhenti pada keterangan lokasi seperti Gang Sirih Wetan dan Gang Jaksa. Tidak banyak informasi baru yang saya dapatkan.

(3.5)
Profile Image for Sarashanti.
46 reviews8 followers
August 4, 2025
Lagi-lagi buku yang bisa dibaca habis dalam sekali duduk tapi sukses membuat saya merenung hingga beberapa hari kemudian. Jalan Tak Ada Ujung (Mochtar Lubis, 1952) bercerita tentang Guru Isa dengan tumpukan duka dan peristiwa pahit yang belum tertuntaskan. Duka atas kematian ayahnya. Duka atas hilangnya cinta dalam pernikahannya bersama Fatimah. Ketakutan akan tidak mampunya ia dalam menafkahi keluarga. Ditambah pergolakan politik pasca kemerdekaan mempersulit kondisi keuangan yang sebelumnya sudah sulit. Ketakutan Guru Isa semakin akut ketika Indonesia memasuki periode revolusi di mana Belanda berusaha kembali menduduki Indonesia yang baru saja memproklamasikan kemerdekaan.

Rasa enggan untuk dijajah kembali oleh Belanda menyatukan rakyat. Semua orang berusaha ambil bagian dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tidak terkecuali orang-orang dalam lingkaran terdekat Guru Isa. Dan itu berarti Guru Isa juga harus ambil bagian dalam pemberontakan. Semua tugas pemberontakan ia tolak di awal dengan alasan fisik, usia, dan profesinya sebagai guru membuat tugas tersebut tidak cocok bagi dirinya. Namun tekanan atas penolakan Guru Isa lebih kuat. Dan Guru Isa yang penuh ketakutan semakin takut ketika membayangkan bagaimana ia harus kembali hidup dalam penjajahan Belanda jika ia tidak turut berpartisipasi dalam pemberontakan. Alhasil setiap aksi dilakoni Guru Isa dengan keengganan dan ketakutan yang semakin membuncah.

Ketakutan yang semula hanya bersumber dari masalah pribadi perlahan berubah menjadi paranoia. Menjalani hari di masa revolusi memaksa Guru Isa menjadi saksi atas berbagai peristiwa memilukan hati. Baku tembak, penculikan, warga sekarat di pinggir jalan, hingga penemuan bangkai manusia dalam sumur. Ketakutan bertubi-tubi mengkerdilkan Guru Isa sebagai manusia. Dan interaksinya dengan sahabatnya, Haikal, yang pemberani, penuh daya juang, dan diam-diam berani pula meniduri Fatimah turut mengkerdilkan harga diri Guru Isa sebagai lelaki.

Semua pengalaman pahit tidak bisa berhenti berputar di kepala Guru Isa. Seolah otak ingin terus mengingatkan betapa nelangsa hidup Guru Isa sebagai lelaki. Tidak cukup memutar ulang semua kejadian pahit. Setiap memori kejadian pahit semakin terasa pilu dengan bumbu pertanyaan-pertanyaan Guru Isa yang masih belum terjawab. Belum cukup sampai di situ. Guru Isa memperburuk situasi dengan membayangkan semua kemungkinan pahit di masa depan sebagai bentuk pertahanan diri. Dalam kacamata saat ini, bisa dibilang Guru Isa adalah overthinker sejati.

Ketakutan Guru Isa mulai mereda ketika mendapati anak angkatnya, Salim, ternyata menyimpan rasa takut untuk tidur dalam gelap. Bagaimana Salim menaklukan rasa takut menjadi titik awal pencerahan Guru Isa bahwasanya manusia bisa hidup berdampingan dengan rasa takut. Ide tersebut diperkuat ketika ia ditangkap sebagai salah satu tersangka dalam peristiwa pelemparan granat. Guru Isa mendapati bahwa ternyata interogasi serdadu tidak ada apa-apanya dibandingkan ketakutan yang berkecamuk dalam kepalanya selama ini. Ketakutan Guru Isa yang sudah berkurang akhirnya sirna paripurna ketika ia menyaksikan bagaimana keberanian dan kelaki-lakian Haikal dilucuti selama di tahanan. Melihat pengkerdilan Haikal yang telah mengkerdilkan kelaki-lakian Guru Isa membuat kondisi berbalik. Kini ketakutan Guru Isa yang mengkerdil hingga kelaki-lakiannya kembali dan ia mampu menguasai dirinya sendiri.

Saya kagum sekali dengan kepiawaian Mochtar Lubis dalam mengeksplorasi isi kepala Guru Isa yang hidup dalam mode ketakutan konstan. Rentetan ketakutan yang datang secara acak dan respon Guru Isa terhadap setiap ketakutan dituliskan dengan apik tanpa terasa depresif. Malah membuat pembaca berempati kepada generasi lalu yang telah melalui segudang hal mengerikan selama masa perang.

Delapan puluh tahun lalu, untuk sekadar bertahan hidup saja sudah berada dalam mode sulit. Apalagi jika harus terlibat dalam aksi pemberontakan dan menyaksikan langsung korban berjatuhan dengan cara paling sadistis. Saya yakin pasti ada banyak Guru Isa lain pada masa revolusi. Guru Isa - Guru Isa dengan segudang masalah pribadi ini tidak punya jeda untuk berpikir tentang jalan terbaik apa yang seharusnya diambil dengan kondisi pribadi masing-masing. Kondisi individu seolah tidak ada artinya lagi. Sebab semua individu harus berkumpul untuk memperjuangkan cita-cita yang sama: kemerdekaan.

Apa yang paling masuk akal di depan mata, maka jalan itulah yang ditempuh. Meskipun upaya paling minim yang bisa dilakukan adalah dengan tidak beranjak dari tempat tinggal dan memekikan Merdeka! setiap berpapasan dengan pejuang. Jalan Tak Ada Ujung bukan hanya mengingatkan betapa mahalnya sebuah kemerdekaan. Namun juga pengingat bahwa kemerdekaan adalah alat untuk mencapai satu tujuan sebagaimana halnya revolusi.

"Revolusi hanya alat mencapai kemerdekaan. Dan kemerdekaan juga hanya alat. Alat untuk memperkaya kebahagiaan dan kemuliaan penghidupan manusia."

Setelah delapan puluh tahun merdeka, manusia Indonesia bagian manakah yang merasakan kebahagiaan dan hidup yang mulia itu?
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for nana.
64 reviews6 followers
May 12, 2023
Buku ini membawa kita memahami situasi dan kondisi masyarakat Indonesia pasca kemerdekaan. Kita akan diajak untuk memasuki kehidupan masyarakat yang "dipaksa"masih harus berjuang−melawan teror demi teror dan juga tekanan, pun kehidupan yang justru makin serba sulit dan mencekik.

Revolusi hanya alat mencapai kemerdekaan. Dan kemerdekaan juga hanya alat. Alat untuk memperkaya kebahagiaan dan kemuliaan penghidupan manusia-manusia.

Kita akan diajak berkenalan dengan kedua tokoh yang memiliki watak bekebalikan; Guru Isa, seseorang yang bersahaja, lemah lembut dan tidak suka kekerasan, sementara Hazil adalah seorang pemuda yang berapi-api dan memiliki semangat juang revolusi.

Sepanjang cerita, kita akan disuguhkan oleh pergulatan batin Guru Isa yang terpaksa mengambil peran untuk ikut berjuang bersama para pemuda untuk mengusir tentara Nica dan Gurkha yang sering menyebabkan teror di sepanjang Jakarta. Guru Isa merasa terpaksa untuk ikut andil karena ketakutannya, serta ia mempertanyakan apa pentingnya ia untuk ikut atau tidak ikut dalam perjuangan−toh, kehidupan tak pernah lebih baik. Baik saat penjajahan Belanda, Jepang, maupun setelah merdeka, hidup masih saja sulit. Guru Isa setiap hari diteror oleh persoalan ekonomi; gaji yang tak menentu dan terlambat dibayar. Sehingga ia melakukan perbuatan tercela yang membuat tidur malamnya tidak nyenyak karena didatangi mimpi buruk terus menerus.

Guru Isa mengalami tekanan dari berbagai sisi; ketakutannya dalam perjuangan melawan tentara musuh yang riskan, serta beban ekonomi dan kehidupan pernikahannya yang tidak bahagia. Ketakutannya yang kian hari bertambah akhirnya membawa Guru Isa larut dalam keterpurukan yang dalam.

Dari sini kita bisa melihat sisi gelap yang ditimbulkan dari perjuangan kemerdekaan, dengan munculnya masalah kesehatan mental juga adanya normalisasi kekerasan dan perekonomian yang jatuh anjlok. Trauma yang dimunculkan melalui tokoh Guru Isa sanggup memberikan banyangan seberapa besar teror yang terjadi pada saat itu; tembakan-tembakan tiada henti, penangkapan dan penggeledahan yang bisa datang kapan saja, serta harga sebuah nyawa yang tidak ada artinya.

Sejujurnya, saya merasa agak terganggu dengan typo yang muncul di sana-sini terutama di bagian akhir buku adanya paragraf berulang−menurut saya itu agak menjengkelkan Meskipun begitu, sekali lagi, buku ini adalah salah satu karya sastra lama Indonesia yang wajib untuk diapresiasi.
Profile Image for Evan I. Pasha.
30 reviews
May 2, 2025
Ada semacam perasaan tak nyaman secara psikis dari membaca alur cerita yang sejatinya normal dan sangat sesuai dengan zamannya—ketidaknyamanan terhadap sisi gelap Revolusi yang tak banyak dibincangkan. Mochtar Lubis berhasil dengan sangat baik menerjemahkan perasaan takut, khawatir, tegang, gundah warga sehari-hari di Jakarta pada masa itu yang pada hemat saya sangat realistis ke dalam sebuah karya sastra. Perasaan mengerikan yang tak nyaman ini hanya bisa saya rasakan saat membaca beberapa karya penulis lain seperti Kafka misal. Karya Dostoevsky pun harusnya memberi perasaan demikian, tapi diri ini belum sempat membaca buku-bukunya.

Sebelum memberi bintang lima, pilihan saya sejatinya hampir-hampir kepada menjatuhkan bintang empat saja ke karya ini. Alasannya? Ada beberapa momen yang mana hadirnya beberapa karakter terasa membuat kita bertanya “kenapa ya dia dihadirkan?” Seperti Mr. Kamaruddin misalnya, perannya kurang banyak dan kurang sentral. Pada awalnya dia terasa sebagai sekadar “pengisi” saja. Namun setelah dicermati ulang dengan baik, Mr. Kamaruddin juga merupakan cerminan dari—Tuhan yang tahu seberapa banyak—masyarakat negeri ini yang lebih nyaman dengan status quo di bawah Belanda dan mempunyai semangat antitesa dari semangat Revolusi, yang ironisnya dijalankan dengan sungguh oleh anaknya sendiri. Penggalan kisah-kisah dan realita kecil ini sungguh justru mencerminkan kedalaman detail sejarah pada hari-hari itu yang tidak luput dimasukkan oleh Mochtar Lubis. Karakter-karakter yang “sekadar” ini ternyata benar-benar menambah kedalaman historis tersendiri pada karya ini.

Pada akhirnya, Jalan Tak Ada Ujung ini fiktif memang, tapi sisi kedalaman pengolahrasaan psikologisnya, detail penokohannya, dapat membuatnya layak dihargai sebagai sebuah arsip historis perjalanan bangsa Indonesia.
Profile Image for solana.
109 reviews
October 15, 2025
Membacanya beberapa bulan lalu. Menulis sedikit interpretasi singkat tentangnya. Berbeda dengan apa yang orang pada umumnya persepsikan, aku tidak melihat buku ini sebagai fiksi historis. Iya, Lubis memang menggambarkan sejarah. Tetapi, sejarah sendiri juga merupakan kehidupan masyarakat pada umumnya, kan—yang mana, dilengkapi dengan permasalahan-permasalahan yang tak juga jauh berbeda dengan yang terjadi sekarang. Perbedaan waktu, perbedaan kondisi sekitar yang membedakannya. Kesadaran orang-orangnya, mungkin serupa.

Itu yang kulihat dari novel ini. Lubis tidak mencoba menggambarkan aspek kronologis peristiwanya, melainkan justru aspek psikologisnya. Bagaimana manusia memandang ketakutan yang mereka punya. Bagaimana kita deal with all kind of uncertainties. Bagaimana kita memutuskan untuk bertindak ketika tidak ada orang yang beritahu kita mana yang salah dan mana yang benar, kemanakah kita harus berpihak? Bayangkan negara sebagai seorang individu. Indonesia yang mencari identitas kemerdekaannya ialah Guru Isa yang mencari pegangan hidupnya. Dan, novel ini pula, berakhir dengan amat melegakan. Menjawab pertanyaan mengenai: bagaimana cara kita bisa berdamai dengan ketakutan yang kita miliki, sama seperti Sisifus yang bahagia mendorong batu dan siksaannya sendiri.
Profile Image for Pratiwi Utaminingsih.
63 reviews7 followers
June 30, 2025
Bagi pembaca pemula atau bahkan yg tidak suka membaca pun, saya sangat rekomendasikan buku ini. Kenapa? Karena buku ini bagus, sangat bagus!!
Namun kalian harus bersabar dalam membaca buku ini. Karena menurut saya bagian awalnya sedikit flat dan membosankan. Tapi begitu masuk seperempat buku, GONG! Ga akan bisa lepas, saya jamin.
Menceritakan situasi paska proklamasi, seorang guru yang bernama Isa, yang hidup dengan istrinya yang bernama Fatimah. Guru Isa menderita impotensi sehingga hubungannya dengan istrinya tidak begitu baik. Lalu muncullah Hazil, murid musik Guru Isa yang masuk dalam kehidupan mereka. Guru Isa yang digambarkan sebagai sosok yang lemah, penakut, dan mentalnya terganggu akibat melihat secara langsung adegan baku tembak antara tentara Gurkha yang dikendarai NICA dengan pejuang BKR. Pada masa revolusi terjadi pergolakan antar pemuda. Ada yang mau menghabisi Belanda dengan tuntas tapi ada pula yang membiarkan saja asal mereka tidak mengganggu. Dan Guru Isa adalah tipe yang ke-2. Dia sebetulnya tidak mau melawan karena takut. Tapi kalau dia tidak mau ikut perlawanan ini, dia takut juga dianggap pengecut. Takut terus hidupnya pokoknya mah. Sepertinya zodiak beliau ini adalah pisces 😆🤔.
Ceritanya sangat kompleks sehingga tidak mungkin saya sampaikan semua disini karena nanti kena spoiler. Jadi silakan dibaca sendiri ya, hhehe.
Oh iya novel ini juga diadaptasi ke sebuah film yang berjudul Perang Kota. Bagi yang mau tahu kisi-kisi singkatnya bisa ditonton dulu filmnya.

📚Jalan Tak Ada Ujung
✍️ Mochtar Lubis
⭐️ 10/10
Profile Image for nayla.
30 reviews7 followers
June 29, 2022
4,5/5

Buku ke-2 karya Mochtar Lubis yang aku baca, dan sukaaa banget! Walaupun aku baca buku ini lama banget karena di awal kita diajak buat memahami situasi dan mengenal karakter para tokoh, tapi pas menuju ending BOOM!!!

Gaya penulisan yang bikin aku ikut kebawa suasana dan dapat membayangkannya dengan jelas karena dijelaskan secara mendetail. Apalagi karena buku ini genre-nya his-fic, aku yakin penulis juga melakukan research yang mendalam.

Penempatan tokoh dan karakternya aku rasa udah pas banget dan 'ngena' di aku. Rasa mencekam, takut, dan gelisah yang dirasakan Guru Isa. Aku juga suka sosok Hazil sebagai pejuang walau bikin tercengang pas bagian sama Fatimah (tapi aku udah expect sebelumnya). Sosok Salim kecil yang ketakutan di malam hari karena takut gelap, membuat aku berpikir bahwa siapapun punya rasa takut, dan kita gak boleh menyepelekan rasa takut orang lain.

Banyak banget pesan moral yang dapat diambil dari buku ini. Bahwa dalam hidup manusia selalu setiap waktu ada musuh dan rintangan-rintangan yang harus dilawan dan dikalahkan. Bagaimana memahami bahwa semua orang memiliki rasa takutnya sendiri, dan harus belajar hidup berdamai dengan rasa takut itu.

Recommended!
Profile Image for Kumala Dee.
156 reviews13 followers
December 7, 2023
1945 Indonesia merdeka tapi tak serta merta memiliki kebebasan.

Buku ini adalah sebuah fiksi sejarah yang menggambarkan pergolakan hati yang dialami orang-orang pada masa itu. Ceritanya menggambarkan makna kebebasan sejati.
Profile Image for Maudy.
129 reviews5 followers
August 28, 2024
i consider 'Jalan Tak Ada Ujung' as one of the comfort books that i keep coming back to. i've reread it so many times, perhaps too many. the book is short, densely packed, and unexpectedly heavy for its size. no one would expect this small-sized book to be like a big loaded gun. nearly every sentence that Mochtar Lubis crafted is infused with immense and disquieting emotions.

the novel revolves around a character named Guru Isa and the struggles he confronts. Isa, an empathetic and emotionally fragile elementary school teacher, clashes with the injustices during the revolutionary period. adding to these challenges, it appears that the universe is decidedly unsympathetic to his situation. this beleaguered man also contends with financial struggles; his wife Fatimah had to borrow money to make ends meet. not only that, the couple faces the battle of infertility, a challenge that rests heavily on Isa. in an attempt to 'fulfill' the emotional needs of their small, struggling family, Fatimah decides to adopt a 4-year-old child named Salim. as we all had expected, this doesn't cancel the poor family's sorrow, not even a little.

there are a lot of things to talk about in this book. believe me, you'll get me once you read it. but for me, one of the most intriguing aspects of this book is the central character, Isa. he is an intricately multi-layered individual. the moral dilemmas in his mind sounded way louder than his own voice in real life. portrayed as a delicate snowflake with a tender heart, Isa grapples with preserving his values while societal expectations compel him to become a fighter. these characteristics of Isa become even more twisted and captivating when he encounters Hazil, who is a stark contrast to Isa. Hazil is a determined and stubborn individual who passionately advocates for Nationality and Independence Struggle. Hazil is a strong hard-rock, inflexible, willful, a fiery man.

Hazil plays a significant role in accentuating Isa's emotional turmoil as he endeavors to conform to the nation's idealized image of a man during that era. Isa, refusing to fight, remains a gentle soul with a fragile heart, leading to his enduring suffering throughout the entire narrative. i find it very interesting how Mochtar Lubis can also convey the idea of masculinity (especially in the revolutionary period) through his not-so-ordinary male main character. just perfect. the contrasts between the duo made their interaction so interesting. Isa is just a teacher. an elementary school teacher. with a gentle heart. to fit in, while he is with Hazil, he is pretending; pretending to be brave, pretending to rebel. pretending to be someone he isn't. and for this constant act of pretending, he grows internal self-loath. he hates what he did, but he can't stop doing it either. that's where it gets complicated.

revolution and history were taught in school, but they are somehow glorified and romanticized in so many ways. this book offers the other side of the story, a story that may have been experienced by many humans living at that time. a narrative that'll make you wonder that independence feels like a question just hanging in the air, like a balloon with no string. like a never-ending race with no finish line. it's there, but you're not quite sure where it leads or when it'll reach a conclusion. it's a never-ending road.

after all, there are too many things that can be explored in every read. i may not have reached the perfect depth in all senses, but I think this book is still a must-read for everyone!
Profile Image for Azia.
243 reviews11 followers
September 24, 2012
“Saya sudah tahu –semenjak semula—bahwa jalan yang kutempuh ini adalah tidak ada ujung. Dia tidak akan habis-habisnya kita tempuh. Mulai dari sini, terus, terus, terus, tidak ada ujungnya. Perjuangan ini, meskipun kita sudah merdeka, belum juga sampai ke ujungnya. Dimana ujung jalan perjuangan dan perburuan manusia mencari bahagia? Dalam hidup manusia selalu setiap waktu ada musuh dan rintangan-rintangan yang harus dilawan dan dikalahkan. Habis satu muncul yang lain, demikian seterusnya. Sekali kita memilih jalan perjuangan,maka itu jalan tak ada ujungnya. Dan kita, engkau, aku, semuanya telah memilih jalan perjuangan”.- (Hazil, Jalan Tak Ada Ujung)

Kondisi sosial politik Indonesia pasca deklarasi kemerdekaan masih belum stabil. Kota Jakarta masih dikuasai oleh tentara sekutu yang melakukan penggeledahan sesuka hati. Laskar-laskar rakyat masih melakukan pertempuran di daerah Bekasi – Karawang. Guru Isa ikut bergabung dalam perjuangan. Dalam pergerakan ia berjumpa dengan pemuda bernama Hazil. Kecocokan mereka dipersatukan oleh musik. Tidak seperti Hazil yang telah memilih berjuang dengan sepenuh hati, Guru Isa berjuang karena ketakutannya. Takut dengan anggapan orang sekitar. Tuduhan menjadi mata-mata sangat serius karena bisa saja langsung dieksekusi mati. Ketika Guru Isa berada dalam perjuangan, ketakutannya semakin bertambah. Ketakutan-ketakutannya menjadi mimpi buruk di setiap malam. Walaupun ia tidak mengatakannya secara terus terang, istrinya Fatimah mengetahuinya.

Walaupun statusnya sebagai guru mendapatkan penghargaan lebih dari masyarakat namun gaji Guru Isa tidak lagi mencukupi kebutuhan keluarganya. Sementara tidak mungkin untuk meminta kenaikan kepada kepala sekolah. Akhirnya Guru Isa mengambil buku-buku tulis baru dan menjualnya ke toko alat tulis. Hati nuraninya menentang pertama kalinya tetapi keadaan membuatnya mengabaikan rasa bersalahnya.
Sementara itu Hanzil lebih banyak terjun langsung dalam perjuangan. Dia menghampiri rumah Guru Isa jika ada tugas perjuangan atau untuk bermain biola. Frekuensi kedatangannya tidak menentu. Kadang-kadang ia menghilang cukup lama.

Suasana dari novel ‘Jalan Tak Ada Ujung’ ini suram dan mencekam. Mochtar Lubis tidak hanya menggambarkan suasana Jakarta pada saat revolusi tetapi juga situasi sosial yang diwakilkan lewat tokoh-tokohnya seperti Guru Isa, Hazil, Ayah dari Hazil. “Sebagai kebanyakan orang di hari-hari pertama revolusi itu, Guru Isa belum menganalisa benar-benar kedudukannya, kewajibannya dan pekerjaannya dalam revolusi. Selama ini dia membiarkan dirinya dibawa arus. Arus semangat rakyat banyak”.

‘Jalan Tak Ada Ujung’ pertama kali diterbitkan pada tahun 1952 oleh penerbit PT Dunia Pustaka Jaya. Novel ini sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris 'A Road with no End' pada tahun 1968.
Profile Image for Bimana Novantara.
275 reviews28 followers
August 19, 2021
Satu-satunya karya Mochtar Lubis yang pernah saya baca adalah Harimau! Harimau! yang dulu saya pinjam dari perpustakaan kampus. Mengingat Jalan Tak Ada Ujung akan segera keluar adaptasi filmnya dan digarap oleh salah satu sutradara terbaik Indonesia saat ini, Mouly Surya, saya pikir sudah saatnya untuk membaca karyanya yang ini.

Selama membaca novel ini, saya membayangkan kondisi jalan-jalan dan tempat-tempat di Jakarta yang disebut di dalam cerita dan membandingkan dengan kondisinya di masa sekarang dengan mengecek foto-foto lama dan sejarahnya lewat Google. Mulai dari Jalan Kebon Sirih, Gang Jaksa, Laan Holle (sekarang Jl Sabang), Kwitang, Gang Sentiong, sekolah di Tanah Abang (saya tebak ini adalah SMK 38 di pojok persimpangan Jl Kebon Sirih dan Jl Abdul Muis sebelum Bank Indonesia), bioskop Rex di Senen (yang gedungnya sampai sekarang masih ada), dan penjara di Laan Trivelli (sepertinya ini sekarang adalah markas Paspampres di Jl Tanah Abang 2).

Lokasi-lokasi itu menjadi latar seluruh peristiwa yang terjadi pada dua orang tokoh utama, yaitu Guru Isa dan Hazil. Lewat dua tokoh ini tergambarkanlah suasana kejiwaan orang-orang Jakarta pada masa tidak lama setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Pasukan musuh dari pihak Belanda dan sekutu masih berkeliaran dan menebar teror pada masyarakat karena kemerdekaan itu belum diakui.

Guru Isa mewakili kalangan yang takut dan gelisah akan perubahan besar yang timbul akibat pernyataan kemerdekaan Indonesia, sedangkan Hazil yang lebih muda lebih memiliki semangat dan kepercayaan dalam menempuh alam kemerdekaan yang ia sebut sebagai jalan tak ada ujung dan oleh karena itu harus diperjuangkan dan dipertahankan. Konflik batin Guru Isa menjadi bagian yang dominan dari keseluruhan cerita. Pernikahannya yang hambar karena ia impoten, usahanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya, serta mimpi-mimpi buruknya ditampilkan secara bergantian sehingga memberikan gambaran gejolak internal manusia sehari-hari.

Dengan cerita dan karakter yang kuat, sangat disayangkan terdapat banyak salah ketik yang bertebaran di banyak halaman sehingga mengganggu kenikmatan membacanya. Mengingat novel ini sudah dicetak kesekian kalinya sejak pertama kali terbit, saya heran mengapa penerbitnya seakan-akan membiarkan saja semua cacat penulisan yang adaa dari satu edisi ke edisi berikutnya.

Hal lain yang agak mengusik saya adalah beberapa bagian yang penyebutannya terasa berulang-ulang, seakan penulisnya ingin menekankan hal tersebut berkali-kali untuk menimbulkan efek yang ia maksudkan. Padahal penyebutan sekali-dua kali saja sebenarnya sudah cukup karena hal itu sudah terejawantahkan sendiri lewat ceritanya. Terlepas dari hal-hal ini, novel ini tetaplah menarik dan penting untuk dibaca.
Profile Image for Jusmalia Oktaviani.
Author 4 books4 followers
April 29, 2013
Kemerdekaan, rupanya adalah sebuah awal, bukan sebuah tujuan semata. Begitu memilih jalan perjuangan untuk menuju kemerdekaan, maka jalan itu akan berupa jalan yang tak ada ujung. Takkan ada habis-habisnya, bahkan setelah kemerdekaan itu sendiri diraih.

Itulah salah satu pesan yang saya tangkap dari buku karangan Mochtar Lubis ini. Guru Isa, tokoh utama dalam buku ini merupakan pecinta damai, yang tidak mau melakukan kekerasan meski sedikit. Rasa kemanusiaannya begitu halus, sehingga baginya kekerasan hanya dilakukan oleh orang barbar. Namun pemikirannya itu tidak bisa ia aplikasikan dalam kehidupan nyata, karena ia sendiri hidup di masa perang, saat proklamasi baru saja dikumandangkan. Ia begitu ketakutan dengan suasana mencekam di Jakarta saat itu, dan ia merasa resah karena harus terus-menerus hidup dalam ketakutannya sendiri mengenai berbagai hal: hubungannya yang membeku dengan Fatimah, sang istri; keterlibatannya dalam laskar rakyat; persahabatannya dengan Hazil; belitan ekonomi rumah tangganya yang membuatnya harus mencuri; takut dipenjara dan disiksa polisi militer; dan seterusnya.

Satu hal yang saya acungi jempol dari buku ini adalah cara Mochtar Lubis menuturkan ketakutan yang dirasakan Guru Isa. Saya seakan bisa merasakan ketakutan Guru Isa terhadap segala sesuatu yang ia cemaskan.

Mochtar Lubis seakan ingin menyampaikan, bahwa dalam hidup, kita akan terus-menerus dikungkung oleh ketakutan-ketakutan kita sendiri. Kadang, rasa takut yang kita imajinasikan bahkan berlebihan, melebihi rasa takut yang kita hadapi dalam kejadian yang sebenarnya. Kita tidak akan bisa lari dari rasa takut itu, melainkan harus terus menghadapinya dan berdamai dengannya. Orang yang penakut seperti Guru Isa, namun masih mau menghadapi ketakutannya, justru adalah orang yang menurut saya paling berani. Di saat itulah, kita akan merasakan bebas yang sesungguhnya.
Profile Image for Pem Parenti.
1 review
May 30, 2022
‘Jalan Tak Ada Ujung’ adalah jenis buku yang akan selalu menghantui pikiran setelah selesai membacanya. Buku ini terasa seperti lima tahap kesedihan: penyangkalan, kemarahan, pengandaian, depresi, dan pada akhirnya, penerimaan. Semuanya diramu dengan rapi oleh Mochtar Lubis di dalam buku setebal 116 halaman ini. Bukunya tipis, jalan ceritanya juga bergerak cepat. Walaupun begitu, buku ini berurusan dengan topik-topik yang lumayan berat, dengan perjuangan dan rasa takut sebagai fokus utama. Buku ini berhasil membuatku merasa ada cengkeraman tangan tak terlihat di dalam tubuhku setelah aku menamatkannya.

Cerita berawal dengan tenang; suasana pagi, anak-anak yang bermain, juga pria-pria yang berkumpul sebelum memulai hari. Akan tetapi, keadaan itu tak berlangsung lama. Serdadu NICA datang dan mulai menembak, tidak pandang bulu. Aksi itu benar-benar mengejutkan, terutama ketika berikutnya kita mengetahui kalau anak kecil juga menjadi korban.

Barulah kita berkenalan dengan Guru Isa, tokoh utama cerita. Sama seperti orang-orang sebelumnya, ia juga mengalami pagi yang penuh ketegangan, dan lagi-lagi, pembaca disuguhkan dengan kebengisan serdadu. Guru Isa terlambat tiba di sekolah, tetapi karena huru-hara yang barusan terjadi, sekolah pun kosong. Ia menghabiskan waktunya di sana untuk memeriksa buku-buku muridnya, sekaligus merenungkan keadaan yang semakin memburuk. Ia pun menyadari kalau ia teramat takut, baik dengan kebrutalan yang disaksikannya maupun dengan hari-hari esok yang menunggu, tentang keselamatan keluarganya, ekonomi, dan hal-hal lainnya.

Ketakutan inilah yang menjadi salah satu tema utama dalam buku. ‘Jalan tak ada Ujung’ menceritakan tentang ketakutan Guru Isa yang semakin hari semakin bertumbuh, ketakutan yang juga semakin bertambah pemicunya. Ketakutan itu, menurut dugaanku, juga menjadi salah satu penyebab dari impotensinya, sebuah kondisi yang membuat hubungan Guru Isa dengan istrinya semakin lama semakin dingin dan berjarak.

Kemudian kita diperkenalkan dengan tokoh lain dalam cerita, yakni Hazil. Ketika cerita berjalan nantinya, Hazil menjadi sahabat baik Guru Isa. Perkenalan tokoh Hazil sangatlah sentimentil juga. Hazil diperkenalkan melalui sudut pandang ayahnya, Mr. Kamaruddin, seorang pensiunan kepala Landraad. Mr. Kamaruddin bukanlah orang yang menyenangkan, cenderung kasar pada pelayannya, pikirannya juga sangat kolot, tetapi selama membaca buku ini, aku tidak bisa merasakan hal lain selain rasa iba dan kasihan padanya. Mr. Kamaruddin melarang Hazil untuk ikut bertempur dalam perjuangan, sebuah larangan yang membuat Hazil semakin menjadi-jadi berontaknya. Sekilas, jalan pikiran Mr. Kamaruddin yang tidak nasionalis ini memang sangat sulit untuk dimaklumi, tetapi ketika kita melihat pada gambaran besar, aku hanya bisa melihat orang tua rapuh yang bernostalgia pada masa-masa kebesarannya dan hanya ingin hidup tenang dengan putranya.

Hazil ingin lepas dan bebas, terutama dari ayahnya. Sebagaimana yang ia katakan pada Guru Isa, “Aku masih terikat oleh dunia tempat aku dari kecil menjadi besar.” Sementara, Mr. Kamaruddin hanya ingin anaknya bersama dengannya. Ia khawatir dengan keadaan Hazil, tetapi di sisi lain, ia tak bisa berbuat apa-apa selain menunjukkan kemarahan. “Dan rumah itu sunyi. Tidak ada suara hidup. Rumah orang tua. Orang muda sudah meninggalkan rumah pergi membikin rumah baru.” Menurutku, narasi itu adalah narasi paling menyedihkan yang pernah diutarakan Mr. Kamaruddin.

Mr. Kamaruddin, sama seperti Guru Isa, tidak berimpian muluk-muluk. Kedua karakter mereka memang bertolak belakang, tetapi mereka seakan punya persetujuan tak terbantahkan kalau mereka ingin hidup penuh kedamaian, meskipun sederhana sekalipun.

Karakter-karakter dalam buku ini kompleks, sangat manusiawi. Mochtar Lubis mengeksplor inti-inti manusiawi mereka, memberi mereka kekurangan-kekurangan fatal yang berkontribusi pada pilihan-pilihan yang mereka buat. Pada beberapa kesempatan, pilihan itu hadir karena ketidakberdayaan. Pada kesempatan lain, pilihan itu hadir karena nafsu. Bahkan, seringkali aku merasa mereka membuat pilihan yang salah karena ketiadaan pilihan itu di tempat pertama.

Akan tetapi, buku ini tidak selalu tentang hal-hal kelam saja. Ada banyak hal-hal menghangatkan di dalamnya, seperti persahabatan Guru Isa dan Hazil, kecintaan mereka pada musik, juga kasih sayang guru Isa pada keluarganya. Bagiku pribadi, kekhawatiran Mr. Kamaruddin pada Hazil pun punya kehangatannya tersendiri.

Tidak seperti Hazil yang berapi-api, Guru Isa punya banyak waswas dalam hatinya. Kompas moral mereka berbeda, tetapi jarum keduanya tidak punya pilihan selain menunjuk hal yang sama demi terlaksananya perjuangan. Aku seringkali kurang menyukai pilihan-pilihan yang Hazil buat, terutama ‘pengkhianatan’ yang ia lakukan tatkala Guru Isa sakit. Tetapi mungkin, itulah kekuatan buku ini. Hal itu sangatlah manusiawi. Buku ini juga menceritakan sisi gelap dari perjuangan itu sendiri, tentang orang-orang yang katanya ‘berjuang’ tetapi menggunakan istilah itu untuk menuduh dan menjalankan nafsu zalimnya. Banyak nyawa tak bersalah yang malah menjadi korban di tangan orang-orang ini.

Kehadiran Salim, anak angkatnya Guru Isa, meskipun bisa dihitung dengan jari dan hanya sering muncul sebagai karakter di latar belakang, juga punya pesonanya sendiri. Kepolosannya menjadi kontras bagi manusia-manusia lain dalam buku ini. Kemampuannya menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil seakan menjadi ironi ketika cerita berkembang dan kita pada akhirnya mengetahui kalau Salim, sama seperti Guru Isa, sama seperti orang-orang lainnya, juga punya rasa takutnya sendiri.

Fatimah, istri Guru Isa, juga patut mendapat perhatian. Meskipun mudah bagi pembaca untuk menyalahkannya atas sikap dinginnya dan pengkhianatan, tetapi seperti yang kusebutkan sebelumnya, beberapa pilihan dibuat karena ketidakberdayaan. Aku tidak menyetujui apa yang ia lakukan, menurutku hal itu luar biasa jahatnya, tetapi ketika membaca dan mencoba memahami lebih dalam, tampak sekali bagaimana Fatimah, sama seperti suaminya, hanya menginginkan sesuatu yang 'lebih'. Menurutku masih ada kasih sayang di dalam dirinya, kasih sayang yang tertimbun rasa lelah dan putus asa.

Menurutku cerita ini juga mengeksplorasi pembicaraan tentang maskulinitas toksik, di mana ‘kejantanan’ seseorang seolah hanya didasarkan pada kemampuan ereksi dan nyali berkelahi. Sesuatu yang tidak dimiliki Guru Isa, juga sesuatu yang tidak disukainya. Sesuatu yang sangat diharapkan Fatimah, istrinya. Sesuatu yang dimiliki Hazil dan tidak dimilikinya.

Buku diakhiri dengan jalan cerita yang semakin kelam. Hazil yang penuh semangat kini hanyalah cangkang kosong retak penuh ketakutan. Sebaliknya, Guru Isa yang selalu cemas dan takut pada akhirnya bisa menerima untuk hidup dengan rasa takut. Guru Isa pada akhirnya merasa damai dan bebas.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Martin Kurniadi.
244 reviews
July 12, 2020
This is the first time I read Indonesian literature, in Indonesian, by an author I recognize more or less from high school.

I have to say that Indonesian history is interesting but I never really have the urge to find out. When I found this book, inside an old box filled with college scripts and presentation papers, it was already yellowing and its papers are giving me a fiendish look. This is the literature I've been told to read in high school, and yet this is the time that I felt strong urge to find out.

At first, I thought this book has no main character because it told in journalistic style. This reminds me of Hemingway, with simplicity on his prose and yet give you strong emotion about what was happening in the story. You could feel the terror, fear, even that after 1945 Indonesia has been declared independent, it is still - not truly free. People are still hiding from Sikh soldiers (working for England), and young men are smuggling guns and grenades for supplying the resistance in gaining freedom.

Isa finally appear as the main character in the book. He reminds me of Winston from 1984. I can tell it was an Orwellian world, afraid of everything, afraid of being found out helping the resistance, afraid of finding out his wife does not love him anymore, afraid of the pain he will suffer if he get caught, afraid of all the blood he saw when he witnessed someone getting shot in front of his eyes. This terror is what human beings are like; pressure and more pressure; a road without an end.

This book is necessary in Indonesian literature. Sadly, I don't think many people read literature anymore. In my country.
Displaying 1 - 30 of 232 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.