Jump to ratings and reviews
Rate this book

Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah

Rate this book
Penduduk desa Afghan setiap hari memandang ke “luar negeri” yang hanya selebar sungai jauhnya. Memandangi mobil-mobil melintas, tanpa pernah menikmati rasanya duduk dalam mobil. Mereka memandangi rumah-rumah cantik bak vila, sementara tinggal di dalam ruangan kumuh remang-remang yang terbuat dari batu dan lempung. Mereka memandangi gadis-gadis bercelana jins tertawa riang, sementara kaum perempuan mereka sendiri buta huruf dan tak bebas bepergian.

Negeri seberang begitu indah, namun hanya fantasi. Fantasi yang sama membawa Agustinus Wibowo bertualang ke negeri-negeri Asia Tengah yang misterius. Tajikistan. Kirgizstan. Kazakhstan. Uzbekistan. Turkmenistan. Negeri-negeri yang namanya semua berakhiran "Stan". Perjalanan ini bukan hanya mengajak Anda mendaki gunung salju, menapaki padang rumput, menyerapi kemegahan khazanah tradisi dan kemilau peradaban Jalan Sutra, ataupun bernostalgia dengan simbol-simbol komunisme Uni Soviet, tetapi juga menguak misteri tentang takdir manusia yang terpisah dalam kotak-kotak garis batas.


Petualangan Agustinus Wibowo di buku ini seakan mengajak kita untuk masuk dan melihat sendiri tempat-tempat yang selama ini tersembunyi di peta dunia. – Andy F. Noya


(*)Sebagian tulisan pernah dimuat di www.kompas.com

528 pages, Paperback

First published April 14, 2011

167 people are currently reading
1814 people want to read

About the author

Agustinus Wibowo

9 books608 followers
Agustinus Wibowo is an Indonesian travel writer and photographer who had spent four years traveling overland continuously. Departing from Beijing, his original destination was South Africa, but he was stuck in Afghanistan and stayed there for 3 years as a photojournalist. He has published two travel narrative books in Indonesian language, namely: Selimut Debu---Impian dan Kebanggaan dari Negeri Perang Afghanistan (Blanket of Dust---Dreams and Pride from War-torn Afghanistan) and Garis Batas---Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah (Borderlines---Journey in Central Asian Countries).

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
878 (49%)
4 stars
613 (34%)
3 stars
201 (11%)
2 stars
43 (2%)
1 star
24 (1%)
Displaying 1 - 30 of 219 reviews
Profile Image for Jimmy.
155 reviews
February 22, 2013
Garis batas - daratan ataupun perairan - antarnegara harus dibuat sangat jelas karena sering menimbulkan konflik. Bahkan perang. Begitu juga dengan garis batas kepemilikan tanah antar penduduk. Menyerobot sedikit saja, bisa berujung pada saling bacok. Batas privasi dengan umum. Batas agama. Batas suku. Batas jenis kelamin. Batas status sosial. Batas wilayah tukang parkir, pengamen, dan mungkin pengemis. Sebut saja. Semua hal bisa dibuat garis batasnya. Cantik-jelek. Kaya-miskin. Pintar-bodoh. Bahkan hewan seperti singa pun menandai garis batas teritorialnya dengan urinnya. Berani menerobos, siap-siap saja kena cakar, atau bahkan dimangsa.

Amu Darya menjadi garis batas yang memisahkan dua negara. Afghanistan dan Tajikistan. Meski sungai itu hanya selebar 20 meter, tapi menyeberang bukanlah hal mudah. Dan dari jarak 20 meter itulah orang Afghanistan melihat mimpi di seberang sana. Dua negara yang seolah hidup di zaman yang berbeda. Yang satu masih menggunakan keledai atau kuda sebagai alat transportasi utama, sementara di seberang sana terlihat mobil-mobil melewati jalan beraspal. Sementara perempuan di seberang sana bebas bepergian, perempuan Afghanistan masih banyak yang terkurung burqa dan ‘burqa’. Benarkah kehidupan di seberang lebih baik? Apakah ‘mimpi’ yang sering mereka saksikan itu nyata?

Agustinus Wibowo masih berdiri di tanah Afghanistan ketika memandang ke arah ‘mimpi’ itu berada. Dan bersiap melanjutkan petualangannya, melewati garis batas menuju lima negara di Asia Tengah yang namanya berakhiran –stan. Saya sudah ‘bertualang’ ke sana, dan saya harap anda pun melakukannya. Jadi, saya tidak akan membahas kelima negara satu per satu karena saya tidak mau mengganggu petualangan anda. Saya hanya ingin menggambarkan sedikit dari banyak kesan yang saya dapat setelah membaca buku ini.

Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan, dan Turkmenistan. Lima negara yang memiliki dinamika hidup masing-masing. Kehidupan di lima negara ini cukup berbeda dengan Afghanistan. Boleh dikatakan lebih bebas, entah dalam arti positif maupun negatif. Anda putuskan sendiri. Kelima negara ini adalah negara buatan Soviet yang dikelompokkan sesuka hati. Membuat etnis tertentu menjadi minoritas di satu negara tetapi menjadi mayoritas di negara yang lain. Dikucilkan di negara sendiri dan tidak dianggap di tanah leluhurnya. Mayoritas dan minoritas. Sungguh … saya sangat benci istilah ini. Karena entah kenapa, banyak orang yang berada di pihak mayoritas merasa punya hak untuk menindas pihak minoritas. Saya jadi ingat peraturan ospek menjelang kuliah dulu, yang jika diubah sedikit akan menjadi:
1. Mayoritas tidak pernah salah.
2. Jika mayoritas salah, lihat peraturan nomor 1.

Membaca catatan perjalanan Agustinus Wibowo di kelima negera ini membuat saya ingat dengan negara saya sendiri, Indonesia. Beribu-ribu pulau. Beratus-ratus suku dan bahasa daerah. Lebih dari satu agama. Sungguh negara yang majemuk. Tapi di tempat ini, istilah mayoritas dan minoritas pun berlaku. Suku atau agama tertentu yang ‘tersesat’ di daerah mayoritas bisa merasa seperti bukan bagian dari kelompok mayoritas itu. Padahal satu negara, satu bangsa, satu bahasa, satu tanah air. Hanya beda suku, agama, atau aliran. Tawuran antar kampung? Cek! Tawuran antar pendukung sepakbola? Cek! Antar agama? Cek! Antar suku? Cek! Dan lain sebagainya.

Meski Indonesia sangat beruntung memiliki Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, tapi ada saja kelompok tertentu yang ingin menyeragamkan keberagaman itu. Eh, kalau tidak salah, Pancasila pun sudah dihapus dan kurikulum pendidikan bukan?

Setelah membaca “Selimut Debu” dan “Garis Batas”, saya semakin tertarik untuk mengetahui kehidupan di negara lain. Semoga semakin banyak buku catatan perjalanan yang ditulis dengan cara seperti ini. Saya juga berharap ada petualang-petualang lain yang menjelajah hingga ke pelosok-pelosok tanah air dan menuliskan catatannya dengan cara seperti ini, atau malah lebih.

Tapi masih ada satu hal yang membuat saya penasaran. Mengenai Turkmenbashi. Mungkinkah si Bapak itu – atau anak buahnya – pernah berkunjung ke Turkmenistan? Atau jangan-jangan pernah membaca kitab ‘suci’ Ruhmana? Iseng saja sih, siapa tahu inspirasi tentang politik pencitraan itu mereka dapat dari Saparmurat Niyazov. Opppssss!

*Catatan iseng sedikit serius*
Pernah nonton Tropic of Cancer dan Tropic of Capricorn yang dibawakan Simon Reeve? Semoga NatGeoAdv tertarik membuat program yang kalau beruntung) dibawakan oleh Agustinus Wibowo.
:D
Profile Image for Uci .
617 reviews123 followers
October 13, 2011
Berbahagialah orang-orang yang tidak pernah harus mempertanyakan garis batas mereka. Sejak lahir sudah tahu kewarganegaraan, agama, bangsa, suku, dan prinsip-prinsip yang dianut kelompok mereka. Karena walaupun katanya dunia semakin lama semakin tidak mengenal batas, toh nyatanya umat manusia tidak pernah berhenti bertengkar karena batas-batas itu, baik yang kasat mata maupun yang imajiner.

Buku kedua Agustinus Wibowo yang merekam perjalanannya di negeri-negeri Asia Tengah ini terasa lebih personal. Karena dalam perjalanan ini dia juga 'belajar' memahami garis batas yang memagari hidupnya. Di Indonesia, tanah airnya, dia dianggap orang asing karena keturunan China. Tapi saat dia pergi ke China, dia tetap dianggap (dan merasa) sebagai orang asing, dan malah semakin merindukan tanah airnya. Kesempurnaan ilusi akan tanah air itu malah membuat saya takut. Saya tahu, Indonesia saya hanyalah Indonesia yang saya ciptakan sendiri. Indonesia saya bukanlah Indonesia yang sebenarnya.

Saya antara takjub dan miris membaca 'kebingungan' negeri-negeri bekas jajahan Uni Soviet ini. Setelah hidup serba 'teratur' dalam asuhan negara besar itu, tiba-tiba mereka harus memikirkan segalanya sendiri. Mana yang lebih penting, bebas bersuara tetapi kelaparan, ataukah mulut dibungkam tapi perut selalu kenyang?

Saking lamanya dibungkam, hak paling dasar seperti agama pun tidak lagi mereka pahami. Misalnya merayakan Idul Adha dengan pesta minum vodka. Walaupun di antara kekacauan itu, hati yang bersih dalam kesederhanaan tetap bisa ditemui. Gulmira mengaku muslim, tetapi ia tak pernah sembahyang atau belajar agama, tak tahu satu pun huruf Arab. Dia hanya tahu bahwa vodka adalah nenek moyangnya setan, dan bahwa hidup harus selalu diisi dengan cinta kasih.

Kita mungkin menggelengkan kepala membaca orang-orang Uzbek, Tajik, Kirgiz, Dungan yang tidak mau disamakan, merasa lebih unggul dari yang lain, padahal secara fisik mereka sama dan gaya hidupnya pun serupa. Tapi jangan lupa, orang luar pun mungkin menggelengkan kepala melihat Indonesia dan Malaysia yang selalu ribut padahal secara fisik dan budaya nyaris mirip. Kulit membungkus manusia. Warnanya adalah garis batas, identitas, label, penentu takdir.

Tapi yang paling membuat takjub adalah negara Turkmenistan yang megah secara atifisial, negara tertutup yang asyik dengan dunianya sendiri. Kitab Ruhnama bikinan presiden seumur hidup pertamanya bahkan dianggap lebih penting ketimbang pengetahuan apa pun. Cuci otak yang sungguh-sungguh berhasil. Mungkin bisa disamakan dengan Korea Utara yang tetap tertutup meskipun bertetangga dengan Korea Selatan, atau dalam kadar rendah, mirip kondisi Indonesia dulu di bawah 'asuhan' Soeharto. Ketika harga-harga begitu murah dan hidup terasa begitu indah, namun kita tidak punya pilihan selain manut pada sang penguasa.

Omong-omong soal cuci otak, Agustinus bercerita bagaimana setelah hanya satu kali membaca kitab Ruhnama dia langsung bermimpi tentang indahnya menjadi warga Turkmenistan, bangsa paling unggul di seantero bumi. Nah, keponakan saya yang berumur 2 tahun, setelah melihat foto patung Turkmenbashi dalam buku ini, berkali-kali meminta saya membuka halaman yang berisi foto itu. "Patung, patung," katanya, dan menolak melihat foto-foto lain yang berwarna-warni. Membuatmu bertanya-tanya bukan... :D

Saat berkutat dengan garis batas, lirik lagu Imagine dari mendiang John Lennon terus terngiang di telinga...

Imagine there's no countries
It isn't hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion too
Imagine all the people
Living life in peace

You may say that I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will be as one
Profile Image for Aklam Panyun.
48 reviews6 followers
June 5, 2011
Buku ini membuktikan kualitas seorang literary traveler bernama Agustinus Wibowo. Saya pikir, dengan buku ini, Agus berhasil membuat satu milestone baru dalam dunia travel writing di Indonesia. Ia tidak hanya menuliskan catatan perjalanan yang linier, tapi ia mengembangkannya dalam bentuk sastra perjalanan yang jauh lebih menarik.

Buku kedua ini memiliki alur yang lebih menarik ketimbang buku pertamanya (Selimut Debu), selain karena banyak negeri yang dikunjungi, perjalanan Agus kali ini terasa lebih istimewa karena ia mampu menarik satu benang merah filosofis berupa 'garis batas'. Pemikiran yang sangat mengendap karena dibantu banyaknya literatur yang dibawa Agus selama perjalanan. "Berat beban bawaanku hampir setengahnya buku!" kata Agus dalam sebuah kesempatan di Surabaya.

Buku ini, dalam dua puluh tahun ke depan, saya pikir akan menjadi karya klasik yang bisa disejajarkan dengan "Melawat Ke Barat" karangan Adinegoro atau "The Great Railway Bazaar"-nya Paul Theroux ala Indonesia.

Spasibo!
Profile Image for Alvina.
732 reviews122 followers
December 29, 2011
Judul Buku : Garis Batas
Penulis : Agustinus Wibowo
Editor : Hetih Rusli
Tebal : 510 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan ketiga : Juli 2011
ISBN : 978-979-22-6884-3

Anda pasti sudah lama tahu apa itu garis batas. Kalau dulu sewaktu saya ikut kelas menggambar di SD, biasanya terlebih dulu saya membuat garis batas di pinggir kertas gambar saya, garis itu menandai bahwa diluar garis batas tersebut adalah daerah yang tidak boleh saya gambari atau saya warnai.

Tadinya saya pikir seperti itu garis batas yang dimaksud penulis di buku ini, garis batas yang nyata, real, bisa disentuh. Kenyataannya, penulis menyodorkan fakta-fakta kecil di sekeliling saya sendiri tentang makna garis batas sebenarnya. Setiap individu memiliki garis batasnya sendiri, zona aman yang jika ia tinggalkan, maka rasa kerinduan akan menghujam seperti kehilangan bagian badan.

Adalah Agustinus, Sang Penulis buku ini yang mencari makna diri dengan menyeberangi banyak garis batas. Negara, suku, ras, kebudayaan, agama, jenis kelamin, bahasa, ia jelajahi keanekaragamannya yang unik di negeri-negeri Asia Tengah.

Di buku ini, ia bercerita tentang perjalanannya di 5 negara Asia Tengah, bekas Uni Soviet yang kini telah berdiri sendiri-sendiri. Memproklamirkan kemerdekaan Negara mereka yang baru. Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan dan Turkmenistan.
Tapi sungguhkah kemerdekaan mereka itu membawa mereka menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya?

Kemiskinan masih terlihat jelas di beberapa negeri yang baru “merdeka” tersebut, tapi di sisi lain kota akan terlihat banyak warga yang hidup mewah berlimpah. Beberapa orang tua masih mengenyangkan kenangan mereka akan masa lalu yang katanya lebih baik, semua dapat pekerjaan, harga barang tidak meroket, kebutuhan tercukupi. Tapi pertanyaan cerdas kembali ditanyakan, adakah lebih baik perut kenyang tetapi terjajah dan dibatasi, atau lebih baik perut lapar tapi merdeka?

Di buku ini, Agustinus bercerita bagaimana susahnya menembus perbatasan Negara Tajikistan, mengurus visa bahkan untuk mengunjungi sebuah provinsi di Tajikistan pun harus ada “surat sakti” yang tentu saja harus dibayar lebih mahal lagi. Tajikistan adalah Negara yang terkecil dan termiskin disbanding Negara stan-stan lainnya. Penghasilan penduduk rata-rata per bulan adalah 20 dolar. (Hal. 29)

Kirgizstan adalah Negara yang berikutnya ia kunjungi, Negara ini masih memiliki keganasan korupsi dan polisi seperti di Tajikistan. Sayangnya di Negara ini juga banyak orang miskin, tapi orang Kirgiz adlaah orang yang tangguh. Sebuah pepatah Kirgiz yang saya suka

“Kami Bangsa Kirgiz, Sudah mengalami ribuan kematian, tetapi kami menjalani ribuan kehidupan.” (Hal. 185)

Selanjutnya, Kazakhstan, seperti biasa, petugas perbatasan menyulitkan dan meminta sogokan.. Tapi di negara ini prosedur imigrasinya sudah modern tidak seperti Kirgizstan. Segala sesuatu di Kazakhstan harganya sangat mahal, contohnya harga dua pisang dan 1 apel senilai 3 dolar. Booming minyak di Negara ini menghasilkan kaum kaya, tetapi juga mencekik yang miskin menjadi semakin miskin. Bahkan ibukotanya juga dipindah ke tengah padang kosong dan perencanaan kotanya dimulai dari awal.

Uzbekistan adalah bukan Negara yang normal, di sini semuanya bisa terjadi. (Hal. 313). Harga mata uang Sum terus jatuh sampai-sampai kalau ingin membeli tiket pesawat pun harus membawa dua kantung plastik berisi uang sum. Ini karena pecahan terbesar tidak sampai senilai 1 dolar amerika, itu juga susah mendapatkannya.

Sedangkan Turkmenistan adalah Negara utopian. Seluruh rakyatnya merasa cukup akan apa yang dimiliki di negaranya, karena mengurus pasport dan visa sulit maka jarang ada warga yang keluar dari negeri bekas komunis tersebut. Saat penulis mengunjungi Negara ini, dimana-mana bisa dilihat foto atau patung emas Turkmenbashi, Sang Pemimpin Agung. Di Negara ini segala sesuatunya serba tercukupi dan serba murah. Ongkos bis hanya 20 rupiah, air, listrik, gas, pelayanan kesehatan semuanya gratis. Sangat utopian bukan?

Tapi tak hanya garis batas antara Negara itu yang dibahas Agustinus, ia juga membahas garis batas yang ada di Indonesia. Yang dulu membuat ia dan keluarganya yang keturunan Tionghoa memperoleh banyak ejekan, ketidakadilan dan perjalanan yang menyakitkan karena garis batas itu.

Pembaca akan menikmati dan memperoleh banyak hal dalam buku ini, belum lagi foto-foto berwarna yang diselipkan di tiap bagian Negara. 5 bintang untuk buku Garis Batas ini. :)


Profile Image for Fauza.
134 reviews1 follower
March 26, 2015
Setelah sebelumnya saya begitu tercengang dengan pengalaman Agustinus Wibowo berpetualang di tempat-tempat berbahaya di Afghanistan lewat buku pertamanya Selimut Debu, sekarangpun saya kembali dibuat terpukau oleh pengalaman penulis menjelajahi negara-negara berakhirtan -Stan di Asia Tengah melalui buku ini. Garis batas berhasil menghadirkan kisah petualangan baru yang tak kalah menarik dari Selimut Debu.

Perjalanan penulis menjelajahi garis batas negara-negara pecahan Uni Soviet, di mulai dari Afghanistan menuju Tajikistan dengan melintasi sungai Amu Darya, kemudian berlanjut ke Kirgiztan, Kazahkstan, Uzbezkistan, dan Turkmenistan. Dalam perjalanannya, penulis lagi-lagi berhasil membuka mata saya dan memberikan wawasan baru, tentang negara-negara di Asia Tengah, bahwa tak selamanya apa yang kita khayalkan sesuai dengan kenyataan. Walaupun negara-negara di Asia Tengah merupakan bekas jajahan negara adikuasa seperti Uni Soviet, tetapi tak lantas menjamin negara tersebut turut maju.

Pada buku ini, tak jarang saya menemukan penulis bergulat dengan pikirannya mengenai apa itu garis batas. Berbagai definisi dan konsep tentang garis batas, penulis coba utarakan, tak sedikit saya turut mengaminkan kebenaran konsep tersebut. Bagi penulis, yang saya sendiri juga setuju, garis batas tak hanya sekedar garis tegas hitam serperti yang digambarkan di peta. Tidak, garis batas tak sesederhana itu. Garis batas, walaupun tak terlihat, namun setiap pergerakan dan langkah kita dipengaruhi olehnya. Pola pikir kita, sejarah yang kita kenang, uang yang kita pegang, pendidikan, status, ideologi, nasionalisme, pembataian etnis dan kehancuran adalah produk dari garis batas. Ada banyak dimensi pada sebuah pengertian garis batas.

Penulis juga berhasil menyodorkan fakta dimana garis batas negeri adalah zona aman bagi masing-masing bangsa, seringkali pertumpahan darah tak terelakan hanya demi melindungi garis batas. Walaupun, berasal dari etnis dan agama yang sama, garis batas berhasil mengkotak-kotakan dan memisahkan setiap individu; yang tadinya bersaudara dan ber"akar" sama, tak jarang mengalami ironi mesti bermusuhan satu sama lain, hanya karena negara mereka terpisah oleh garis batas. Rasa superioritas terhadap satu sama lainpun muncul, negara A merasa lebih baik dari negara B, negara C merasa negara lain selain negaranya tak ada apa-apanya. Padahal, bila ditilisik lebih jauh, masing-masing negara masih mempunya kekerabatan dan moyang yang sangat dekat.

Setelah membaca buku ini, saya dibuat iri setengah mati oleh penulis. Inilah yang saya benci dari membaca buku-buku perjalanan. Sensasi yang ditimbulkannya selalu sama, rasanya saya ingin segera mengemasi barang-barang saya, dan keluar dari zona aman ini, untuk kemudian melihat dan menjelajahi dunia. Tak sekedar berkunjung kesuatu negara, atau menambah koleksi poto, tapi juga mengeksplor, dan memaknai setiap perjalanan.

*planning my own trips*
Profile Image for Vidi.
97 reviews
May 31, 2011
Apakah mungkin sebuah garis imajiner buatan manusia mampu menentukan nasib (sekelompok) manusia? Bagaikan garis takdir Tuhan, garis batas menentukan seluruh sendi kehidupan manusia. Berangkat dari pertanyaan itu sebagai tema sentral Agustinus Wibowo menyusun sebuah tulisan yang sangat menggugah berdasarkan perjalanannya menyusuri Asia Tengah, di negara-negara yang bahkan belum tertera di peta dunia ketika saya mempelajari peta dunia waktu sekolah dasar dulu.

Dalam buku keduanya ini, Agustinus Wibowo berhasil membuktikan dirinya sebagai penjelajah yang tidak hanya melihat dengan mata tetapi juga dengan hatinya. Perjalanan Penulis mengingatkan saya dengan perjalanan Musashi yang sarat dengan pencarian jiwa. Penentuan identitas, jati diri, seseorang hanya dengan seberkas kertas berupa kartu-kartu atau paspor terasa dangkal. Apakah jati diri seseorang ditentukan oleh kartu-kartu itu? Lebih jauh lagi, apakah arti seorang manusia ditentukan oleh ras, warna kulit dan agama?

...Kita sudah tidak bisa lagi mejawab perintah "Tunjukan identitasmu!" dengan menunjuk diri kita sendiri seraya berkata, "Inilah aku! Akulah identitasku!" Tidak. Zaman sekarang, "aku" telah menjelma menjadi kartu-kartu, buku paspor dan stiker visa, kode-kode dan sandi-sandi itu.(hal 205-206)

Terlahir sebagai bagian dari minoritas, saya amat memahami krisis identitas yang dialami Penulis ketika masa kanak-kanak. Induk semang saya di Australia yang seorang imigran dulu pernah bercerita tentang silsilahnya dari Polandia. Cerita yang biasa itu seakan menampar saya. Saya tidak tahu sama sekali tetang silsilah keluarga. Pelarangan penggunaan nama yang berbau Tionghoa pada zaman orde baru berhasil mengubur silsilah keluarga saya. Bahkan saya tidak yakin nama asli kakek saya sendiri. Terlahirlah sebuah generasi tanpa akar.

”Kulit membungkus manusia. Warnanya adalah garis batas, identitas, label, penentu takdir. (hal 265)”

Penulis berhasil menangkap apa yang berada di bawah lapisan kulit terluar dari apa yang Ia lihat. Ia mampu menangkap fenomena-fenomena unik dari negara-negara yang dikunjunginya dan merefleksikannya pada negri sendiri.

Agustinus Wibowo berhasil membuktikan diri sebagai putra bangsa yang membanggakan, yang membawa nama Indonesia sampai ke pegunungan Pamir dan melintasi Amu Darya yang perkasa.

Great Job, Brat! Your mom is smiling in heaven...
Profile Image for Nabila Budayana.
Author 7 books80 followers
April 23, 2011
Tampaknya tidak percuma saya nungguin,beli dan baca 'Garis Batas' ini. Pertama melihat cover depan yg terpikir pertama kali: "Garis Batas?pasti bakalan banyak ulasan tentang batas negara-negara Asia tengah,nih". Emm,setelah baca ternyata dugaan saya tidak salah *namun juga tidak sepenuhnya benar* :D.
Penulis sepertinya ingin memberi perspektif baru tentang garis-garis batas,bukan hanya garis batas yang membatasi negara secara wilayah,tetapi juga garis-garis batas yang membatasi manusia dalam menjalani berbagai esensi kehidupan,baik disadari ataupun tidak.
Merasakan sensasi membaca 'Selimut Debu' dan 'Garis Batas' disaat yang berdekatan membuat saya merasa kedua karya ini berbeda. Kalau 'Selimut Debu' 'hanya' menawarkan petualangan dan kehidupan di Afghanistan, 'Garis Batas' mempersembahkan beberapa negara bekas jajahan Rusia (Tajikistan,Kirgizstan,Kazakhstan,Uzbekistan dan Turkmenistan) yang terbagi dalam beberapa bagian. Selain itu,di karya terbarunya ini Agustinus Wibowo terlihat lebih terbuka tentang kehidupan pribadinya dan menyisipkan beberapa humor kecil di beberapa bagian *yang saya rasa kurang atau mungkin tidak ada pada 'Selimut Debu'*. Foto-foto hasil jepretan penulis juga terlihat lebih banyak di sini *cukup memberi penyegaran mata ditengah tulisan beratus-ratus halaman*.
Pada bagian Epilog,penulis menyisipkan experience nya yang membuat summary berhasil membuat ending yang berkesan pada pembaca.
Satu hal kecil yang menarik bagi saya adalah Chapter 'Rahmat'. Ucapan terima kasih penulis kepada ibunya ini cukup 'mengena'. Penulis sedikit bercerita bagaimana ibu yang dikasihi sangat menantikan terbitnya buku ini disaat beliau mengidap penyakit parah.

Membaca 'Garis Batas' serasa saya diajak mengunjungi,merasakan experience tak ternilai, merasakan sendi kehidupan berbagai bangsa di Asia Tengah. Kata "Saya Suka Buku Ini" tampaknya cukup memberi gambaran bagaimana kesan saya terhadap 'Garis Batas' :).
Profile Image for Rhea.
263 reviews73 followers
May 23, 2011
Lebih tebal, lebih banyak foto-foto dan tentunya lebih mahal dari buku sebelumnya.
Butuh waktu lama membacanya, kenapa? yah, apalagi kalau bukan penyakit lama yang bernama malas yang sepertinya masih suka mendekati saya hingga sekarang. Padahal saya sudah sering menolaknya. :D

Penyampaian yang sedikit berbeda dari buku pertama, disini Agustinus mengungkapkan secara eksplisit refleksi dirinya atas apa yang dia lihat dan alami. Menurut saya, buku ini lebih segar dari sebelumya, tak jarang saya dibuat tersenyum ketika membacanya. Dan seperti buku sebelumnya, Agustinus membawa kita untuk menyelami budaya dan adat mereka.

Garis batas tak terlihat, namun langkah dan embusan napas kita diperngaruhi olehnya. (hal.7)

Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan, dan Turkmenistan. Lima negara yang mempunyai budaya dan adat masing-masing. Hanya satu kesamaan mereka selain berakhiran stan, negara pecahan Soviet.

Tajikistan dengan negerinya yang elok dan kemiskinan yang mendera.
Kirgizstan dengan keganasan korupsi dan polisinya serta bangsa nomadnya.
Kazakhstan dengan harga mahal yang merajalela dan penduduknya yang sedikit.
Uzbekistan yang mengisolasi diri dari dunia luar dan negara yang tidak normal.
Turkmenistan dengan abad emasnya, sang Turkmenbashi dan kitab Ruhnama-nya.

Setiap negara butuh jati diri untuk tetap berdiri. (hal.395)

Lalu, apa jati diri negara kita?
Profile Image for Sandra Sopian.
123 reviews15 followers
June 21, 2015
Garis batas

Perjalanan di negeri-negeri asia tengah ; bermula dari Tajikistan, Lalu Kirgiztan, disambung dengan Kazakhstan, di sambung lagi ke Uzbekistan dan diakhiri di Turkmenistan.

Semuanya, menyembunyikan hal-hal indah dan kocak (?) yang baru saya ketahui. Penulisnya, Mas Agustinus pandai sekali meracik kata dan pengalamannya. Kocak yang membuat saya senyum-senyum sendiri ketika membacanya. Jadi malu, ketika di kursi tunggu stasiun malah cekakan sendiri. habisnya konyol-konyol sih kebiasaan di negeri-negeri tersebut. dan ada-ada saja.

Tajik yang eksotis dan sederhana, Kirgiz yang manis, Kazakhstan yang mahal tapi unik, Uzbek yang keren tapi konyol dan Turkmenistan, sang negara utopis yang serba murah tapinya terisolir.

Btw, Saya semakin ingin untuk tidak berada di dalam sangkar saja. bagaimana pun, mas Agustinus telah memberikan "kail"-nya kepada saya. Hatuuur nuhuun.

Dan atas semua hal itu, saya hanya ingin mengatakan ; tidak ada salahnya mencintai negara sendiri, sembari juga mencintai negara-negara lainnya. Maksudku, bisa saja kan seorang Indonesianis yang mempunyai cita rasa internasional. Kenapa tidak ? :)
Profile Image for Tezar Yulianto.
391 reviews39 followers
October 10, 2011
Ketika berada di dunia yang luas ini, akankah kita terpikirkah bagaimana orang lain yang sedang berada di belahan dunia lain? Bagaimana keadaan mereka? Apa yang sedang dilakukan? Bagiamanakah nasib mereka?
Agustinus Wibowo, dalam kisah perjalannnya, mengantarkan kepada kita, apa saja yang terjadi, di 5 negara asia tengah, bekas pecahan negara adi kuasa Uni Sovyet, dengan baik dalam buku ini, setelah sebelumnya mengisahkan serunya hidup di negara saratkonflik, Afghanistan, dalam bukunya yang pertama, Selimut Debu.
Buku ini sangat menarik, ketika kita mendapatkan berbagai kisah yang tak hanya kita bahkan belum tahu, negara macam apakah itu, Agustinus malha berhasil mendalami negara tersebut dengan kisah yang hidup, tak kurang definisi, dan menarik. Kita seolah-olah tak akan mendapatkan pelajaran geografis, tetapi pelajaran hidup dari bangsa yang dikunjungi oleh Agustinus.
Profile Image for Imas.
515 reviews1 follower
July 29, 2013
Setelah membaca buku pertama Agustinus Selimut Debu, tak sabar rasanya ingin membaca lanjutannya.Langsung hunting buku lanjutannya dan alhamdulillah dapat diskonto pula.Sengaja tidak membeli ketiga serial buku ini,karena berdasarkan pengalaman sebelumnya buku serial yg sudah terlanjur dibeli ternyata bukan seleraku.
Agustinus kembali membawa berkelana ke negeri eks Uni Sovyet plus Afghanistan,alias negara-negara dengan akhiran tan. Kisahnya hampir mirip dengan buku pertama,bagaimana agustinus berkelana eh berkunjung eh traveling ah apalah namanya yang jelas kelam adalah sebagian besar kisah perjalanan ini.
Profile Image for Sharulnizam Yusof.
Author 1 book95 followers
December 31, 2017
Akhirnya, selepas hampir tiga bulan saya berjaya menamatkan bacaan buku ini. Aduh! Sangat perlahan dan mungkin, kurang bersemangat.

Garis Batas sedikit "berat" berbanding "Selimut Debu". Masih berkonsepkan pengembaraan dari satu daerah ke satu daerah bumi "stan", namun lebih banyak catatan refleksi diri dab kehidupan. Penjelajahan Agustinus bukan saja melihat dari mata, tapi turut melihat, menafsir dan menilai dengan akal dan hati.

Saya suka catatan begini. Kalau kembara sekadar melihat apa yang ada dan membandingkan dengan apa yang tiada secara lahiriahnya, itu sudah terlalu biasa dan menjemukan. Kembara seharusnya menjentik minda, menikmati perjalanan yang seharusnya mengajarkan sesuatu tanpa disangka-sangka.

Saya akur dengan keberanian Agustinus yang nekad saja ke bumi asing dan menyerap ke dalam dunia asing tanpa ragu-ragu. Petualang sejati! Sedang saya mahu mengembara seorang diri dalam negara pun masih tidak ada keyakinan diri.

Ini penutup baik buat 2017.

2018, saya harus tamatkan trilogi pengembaraan ini.
Profile Image for Fadilah.
300 reviews69 followers
June 21, 2018
Kisah perjalanan Agustinus Wibowo ini sangat menarik dan menggelitik rasa ingin tahu tentang negara-negara bekas pecahan Uni Soviet. Dengan alur yang pelan, pembaca digiring untuk turut merasakan lika-liku perjalanan dan aneka rupa orang-orang yang ditemui. Seru!
Profile Image for Haryadi Yansyah.
Author 14 books62 followers
February 8, 2017
Buku ini sudah aku beli dari tahun 2011. Well, udah 6 tahun. Kenapa nggak dibaca juga? I dunno. No idea. Padahal buku Selimut Debu dan Titik Nol udah aku baca. Titik Nol bahkan masih jadi buku no.1 sebagai buku yang aku favoritin sejagat raya #alagh.

Lalu kenapa? kenapa? kenapa? kalau kata Tere Liye mah udah jelas : Ya belum dibaca aja. Titik. So, aku sampe sekarang juga heran kenapa bisa dianggurin 6 tahun lebih buku ini. Padahal genrenya aku suka banget, ditulis sama penulis fav dan buku ini berkali-kali aku pandangi foto bagian dalamnya, tapi tetap aja gak dibaca hingga... akhir bulan Januari 2017 lalu tiba-tiba saja aku seolah kerasukan, ambil buku ini, baca.... dan tahu-tahu udah selesai aja gitu.

Gimana tentang bukunya? Aku...Suka...BANGET!

Penjelajahan Agustinus di negeri STAN yang tertulis di buku ini emang kece. Begitu selesai, yang ada di pikiranku itu : negeri STAN indah pake BANGET, tapi polisi/petugas-nya juga ngehe pake BANGET juga.

Nggak nyangka jika Kazahstan adalah negeri yang kaya. Begitu juga dengan Turkmenistan. Ya Allah, mau banget bisa ke sana. Tapi, ngebayangin kudu ditangkap polisi (Agustinus mengalaminya BERKALI-KALI), aku ciut juga. Apalagi kagak bisa bahasa Rusia kayak si penulis.

Ada satu bab yang aku suka banget di buku ini. Lupa judulnya apa (bukunya di rumah, ini diketik di toko hehe), yakni bab terakhir tulisan Kazakhstan. SUKA BANGET.

Udah ah, gak jelas juga ini review atau ocehan apa hehe. Ditunggu buku selanjutnya bang Ming. Suriname, right?
Profile Image for Ariefmai Rakhman.
143 reviews25 followers
May 23, 2011
Buku ini bukan sekedar tentang perjalanan, bukan sekedar cerita tentang tempat-tempat yang indah, dan juga bukan hanya sekedar penjabaran tentang daerah-daerah yang belum kita ketahui.

Buku ini mengajak kita kembali memaknai apa itu negara, apa itu bangsa, apa itu suku, apa itu agama.

Buku ini mengajak kita sadar, bahwa keindahan di balik tembok, keajaiban di seberang sungai, kebebasan si sisi lain jembatan, atau kemewahan di ujung jalan sebelah sana, terkadang hanyalah fatamorgana yang membuat seolah rumput tetangga lebih hijau.

Apa itu Indonesia, apa itu Nusantara, apa itu Malaysia, apa itu jawa, apa itu sumatera, hanyalah garis batas untuk mengkotak-kotakkan manusia. Sebagai suku jawa yang lahir di sumatera dan menjalani hidup di jogja, dunia seolah penuh kotak dan garis batas buatku, kejawaan yang tidak utuh dan ke sumateraan yang juga kurang sempurna.

Sesungguhnya Allah menjadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal.
Sesungguhnya Umat islam itu bersaudara.

Bahkan konsep kesatuan Islam pun seolah tidak bisa mengatasi GARIS BATAS itu.

Atau emang garis batas itu adalah sebuah KEPASTIAN yang tak bisa diubah manusia, karena SURGA pun sebenarnya BERTINGKAT-TINGKAT.


Profile Image for Glenn Ardi.
72 reviews481 followers
August 2, 2014
Sebuah karya yang betul-betul luar biasa. Saya bahkan kesulitan mengungkapkan betapa saya mengagumi tulisan ini. Buku ini ibarat 'oase' di tengah 'padang pasir' dari buku-buku Indonesia yang beredar populer saat ini.

Setelah membuat saya terperangah di buku pertamanya. Sang Avgustin kembali menambahkan rasa KAGUM dan IRI dalam diri saya.

Sebuah memoar perjalanan sinting kembali ditulis oleh AW untuk kembali mengajak kita mengarungi budaya dan kehidupan di Asia Tengah yang penuh misteri, dari mulai Tajikistan, Kirghistan, Kazakhstan, Uzbekistan, dan Turkmenistan.

Garis Batas ditulis dengan pemikiran yang benar-benar sangat matang oleh penulisnya. Karya ini mengajak kita kembali merenungkan secara mendalam konsep identitas kita sebagai bagian dari masyarakat, suku tertentu, kewarganegaraan, agama, sejarah, atau setiap hal yang membuat kita memiliki suatu kebanggaan akan masa lalu dan nenek moyang kita.

AW membuat kita merenungkan kembali betapa absurdnya sebuah batas negara, betapa ironisnya konsep pemersatu identitas itu, dan betapa absurdnya perjuangan atas nama nasionalisme.

Tanpa ada keraguan sedikit pun, saya bisa katakan karya ini telah menaruhkan milestone baru dalam standard travel-writing di Indonesia.

Profile Image for Nanto.
702 reviews102 followers
October 7, 2012


Garis batas mengingatkan saya tentang pidato pengukuhan Guru Besar Pak Kayam tentang kotak-kotak akademik, kali ini Agustinus Wibowo membawa kotak-kotak kemanusiaan bernama etnisitas, negara dan sebagainya. Sebagai buku perjalanan, kedalaman yang dihadirkan buku ini mengingatkan saya pada Rethinking Geopolitics, yang mengisahkan betapa nisbi garis batas itu. Garis batas itu pun tak lebih dari konstruksi yang dibelakangnya ada faktor kekuasaan dan kekuatan politik yang memiliki kepentingannya. Buku ini mengisahkan perubahan pasca-Perang Dingin, saat Uni Soviet sudah tinggal kenangan namun sisa batas artifisial yang dibangunnnya masih menyisakan tapak yang jelas. Dengan sudut pandang yang dekat dan tepat, buku ini telah memikat saya dan memberikan contoh yang penuh arti apa itu sebuah kotak dan garis yang melingkarinya. Betapa tegasnya garis itu, tetap ia sesuatu yang nisbi.

Akhirnya, kicauan @hikmatdarmawan di medsos tetangga secara ringkas dan lugas mewakili pesan buku ini, "Kita ini, ya manusia juga. Manusia saja. Geografi sebermula hanya kebetulan. Identitas hanya bentukan".
Profile Image for eti.
230 reviews107 followers
May 19, 2014
#20 - 2014

pepatah jawa yang mengatakan 'urip kuwi sawang sinawang' ada benarnya juga. saya melihat teman saya hidupnya sepertinya sempurna, bahagia bersama keluarganya. sementara teman saya itu melihat hidup saya sepertinya asyik, nyantai dan menyenangkan, kemana-mana tinggal semaunya.

demikian pula orang-orang yang dikisahkan dalam buku ini. Orang-orang di negara berakhiran -stan seperti yang dikunjungi dalam buku ini (Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan, Turkmenistan) memandang negara-negara di seberang perbatasan, kehidupannya lebih makmur dibandingkan mereka, demikian pula sebaliknya.

seperti halnya buku pertamanya -Selimut Debu, buku ini begitu menggugah. ada banyak refleksi di dalamnya. bahwa seni sebuah perjalanan adalah manakala kita melupakan siapa diri kita (filsafat tiongkok).
Profile Image for Saad Fajrul.
120 reviews2 followers
January 7, 2019
Pertama kali membaca buku karya Agustinus Wibowo adalah Titik Nol. Saya begitu terkesima dengan caranya bercerita. Lembar demi lembar tidak terasa.

Dari rekomendasi teman saya akhirnya kesampaian membeli Garis Batas. Sudah berbulan-bulan saya menyisikan uang demi buku ini. Rasanya benar-benar puas bisa menyelesaikannya. Asia Tengah begitu asingnya bagi banyak orang termasuk saya. Batas wilayah negara yang rumit sebagaimana bekas negara jajahan lainnya. Agustinus sukses membawa saya berkelana menyusuri jalur sutra. Indah sekali. Buku yang layak untuk dikoleksi.

Hebat.
Profile Image for Pujiyanto_x.
428 reviews7 followers
January 6, 2016
Sekali lagi Mas Agustinus berhasil membuatku bagai pindah tempat lewat bukunya. lewat buku ini jadi tahu tentang hal-hal remeh temeh di batas negara tertentu sekaligus menjadi hal penting di negara tetangga. Mengagumkan caranya Mas Agustinus memaknai kata 'batas' di sini. Banyak renungan yang intinya mempertanyakan kenapa harus ada garis batas yang malah membuat hidup kita tersekat-sekat satu sama lain. TOP!!
Profile Image for Marchel.
538 reviews13 followers
November 14, 2016
Buku ini bercerita tentang petualangan Agustinus Wibowo dan interaksinya dengan orang-orang di Tajikistan, Kirgiztan, Kazakhstan, Uzbekistan, Turkmenistan.

Betapa manusia selalu dibatasi oleh garis-garis batas yang walau tak tampak tapi mampu memisahkan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, memisahkan kaum yang satu dengan kaum yang lain.
Profile Image for Argo Prasetyo.
37 reviews1 follower
February 1, 2016
Garis batas, garis imajiner yang memisahkan negara, saudara, ideologi, dan kebudayaan. Garis batas garis tipis yang akan memisahkan perbedaan yang sangat mencolok. Garis batas adalah garis pengakuan akan hidup orang itu. Garis batas adalah garis yang menentukan nasib suatu manusia/ bangsa.

Perjalanan yang mengagumkan
Profile Image for Bunga Mawar.
1,355 reviews43 followers
May 9, 2011
Sudah selesai, cukup dua hari di akhir pekan membacanya (untunglah ada kencan minggu sore yang gagal, hehe...). Dan saya kasih bintang 5. Nggak tahu bisa masuk data buku "read" atau enggak, karena seharian ga bisa2 masukin update buku di goodreads.
Profile Image for Auliasafir Yena Chatleya.
5 reviews
June 1, 2022
Yang selalu menarik dari tulisan beliau adalah bukan hanya sekedar bercerita tentang negara yang dikunjungi. Sudut pandang beliau dalam melihat keadaan sosial dan budaya negara lain yang kemudian diejawantahkan ke masa sekarang sungguh membuka wawasan.
Profile Image for Nila Pratiwi.
120 reviews6 followers
July 22, 2022
agustinus wibowo mengisahkan negara-negara pecahan uni soviet serupa dongeng. dengan kalimat-kalimat yang indah ketika mendeskripsikan tajikistan, kirgizstan, kazakhstan, uzbekistan, dan turkmenistan memberikan kita pandangan baru dan pengetahuan yang akhirnya menimbulkan ketakjuban akan budaya dan segala hal yang menyertainya, termasuk kesulitan-kesulitan yang dihadapi penduduk garis batas. persinggungan dengan negara tetangga tak jarang membuat kehidupan terasa tidak masuk akal sekaligus membingungkan, hingga terasa penuh misteri dan beberapa menimbulkan rasa ngeri.

meski garis batas membentang memberi penekanan untuk segala hal agar tetap mematuhi aturan, tetapi mata uang, budaya, bahasa, dan makananan yang tersaji di atas meja adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. salah satunya adalah tajikistan yang memiliki sungai terpanjang sekaligus menjadi pembatas dengan negara tetangga. pembatas adalah tanda nyata bahwa terdapat kerumitan ketika hendak melintas. nyatanya, garis batas tidak sesederhana yang ditampilan peta di atas kertas.

di balik kehidupan modern yang ditampilkan sebuah negara, nyatanya tersimpan kesulitan hidup. di sebuah garis batas tajikistan, beberapa keluarga mengeluh karena harga untuk bahan pokok makanan terlalu tinggi, pendidikan untuk generasi penerus tidak tersedia, hingga pengangguran layaknya zombie kelaparan yang setiap harinya hanya menjalani nasib tanpa kepastian. perasaanku berkecamuk membaca bagian ini. kesedihan menimbulkan satu pertanyaan, "akan menjadi apa hidup ini kelak, ketika mimpi yang sederhana terasa sangat mewah bagi mereka yang serba terbatas?"

di benak saya selalu tersimpan cerita-cerita dari seseorang tentang keadaan di negeri sendiri yang tak kalah memilukannya. sembari membaca buku ini saya kembali mengingat cerita-cerita jauh yang pernah dikisahkan olehnya. bahwa ketika masyarakat ibu kota sibuk membangun relasi atas dasar keuntungan dan keegoisan semata, di garis batas indonesia yang bahkan letaknya tidak bisa kubayangkan, ada banyak pasang mata dan tangan yang masih menggapai-gapai mimpi sederhana, dan bahkan mereka tidak pernah mengenal deretan abjad.

lebih daripada itu, banyak kesederhanaan hidup yang bisa membuat kita merasa bahwa apa yang dimiliki saat ini, oleh kalian yang membaca ini, adalah sebuah kemewahan. dan saya merasa malu untuk semua yang kumiliki.

kesulitan-kesulitan tersebut tentu saja dipengaruhi oleh birokrasi yang tidak bersahabat. meski demikian, jika berhasil berjalan lebih jauh melewati perbatasan yang pelik sekaligus menegangkan itu, pembaca akan menemukan kehangatan dan keramahan di mana rasa kekeluargaan terasa sangat nyata. sambutan disertai senyum hangat dari masyarakat setempat seolah menggugurkan keletihan dan mengubur kesulitan yang telah ditemui ketika melewati garis batas.

"garis batas" adalah kisah perjalanan yang sangat menyenangkan. saya menikmatinya. tulisan agustinus wibowo terasa ajaib. saya terkagum-kagum bahwa betapa hebatnya agustinus wibowo mencari makna diri dengan menyeberangi banyak negara, suku, dan kebudayaan. hingga mucul pertanyaan, "mengapa harus ada garis batas?"

melalui kisah-kisah dan foto-foto yang dilampirkan pada setiap negara membuat saya berpikir bahwa dunia ini sangatlah luas. keberagaman sangat nyata adanya. misal, agama islam di indonesia berbeda dengan islam di tajikistan, kirgizstan, kazakhstan, uzbekistan, dan turkmenistan. dari keberagaman itu setidaknya masing-masing masyarakat di beberapa negara memiliki keyakinan yang tersimpan jauh di lubuk hati.

ketika akhirnya bisa bertemu langsung dengan agustinus wibowo di acara MIWF tahun ini, saya banyak belajar dari semua hal yang bisa ditangkap oleh mata dan telingaku pada saat itu. bagaimana sebuah perjalanan adalah poses untuk berkembang. memahami diri sendiri melalui orang-orang yang ditemui. agustinus wibowo tidak hanya keluar dari zona nyaman, beliau mencari dan akhirnya menemukan makna di setiap tempat yang disinggahi.
45 reviews4 followers
February 13, 2021
Tajikistan, salah satu negara pecahan Uni Soviet yang berbangsa Tajik—yang masih serumpun dengan Persia dan berbatasan langsung dengan Afganistan. Kedua negara ini hanya dibatasi oleh sungai Amu Darya, tetapi kehidupan begitu kontras. Di Afganistan, suasana kehidupan mirip sekali dengan dongeng padang pasir yang nyaris setiap tempatnya adalah sarang penyamun dan perempuan dengan burqa hadir sebagai anonim. Namun, setelah menyeberang ke wilayah Tajikistan, suasana ratusan tahun lalu tersebut tiba-tiba hilang dan berganti 360 derajat. Perempuan hadir dengan rambut terurai dan menebar senyumnya dan para lelaki dengan pakaian jins. Tak berlebihan, jika negara tetangga ini adalah negeri impian para orang Afgan yang sudah tidak sanggup berselimut debu perang.

Namun, impian orang di Afganistan tidak seindah apa yang sebenarnya terjadi di Tajikistan. Di negeri ini, pengaruh Soviet begitu kental dan khas: birokrasi. Semua hal sebenarnya sederhana, di negara ini bisa menjadi hal yang begitu rumit sampai urusan memotret dokumen saja mesti ada cap dari presiden. Negeri ini sebagian besar dikelilingi gunung dan terdiri dari kampung-kampung terisolir di ketinggian puncak gunung bersalju.

Sejak Uni Soviet pecah, kehidupan sosial masyarakatnya banyak berubah. Walaupun banyak warga negara terdidik sebagai sarjana berkat Soviet, tetapi mereka tidak punya tempat dengan keahlian mereka. Pengangguran semakin banyak disebabkan karena keahlian penduduknya tidak berguna sama sekali di kampung pelosok negara ini. Tajikistan menjadi negara penuh dengan tentara dan birokrasi yang rumit.

Bergeser ke Kirgizstan, akan disambut dengan kota Osh, kota kosmopolit di Asia Tengah. Hampir semua bangsa Persia dan keturunan Tiongkok ada di kota ini. Berbeda dengan Tajikistan yang kental dengan nuansa Soviet, negeri ini memilih untuk melepaskan semua belenggu Soviet dan menjadi negara yang menganut pasar bebas. Privatisasi, investasi, dan kapitalisasi tak jua mengundang pemodal besar dari luar negeri mau menanamkan modalnya di negara ini. Alhasil, mata uang negara—som—anjlok dan bahkan sering habis di bank. Kirgizstan nyari tidak punya apa-apa, selain hidrolik yang tak dilirik investor.

Jalan yang sama juga diambil oleh Kazakhstan. Namun, negeri ini beruntung karena punya cadangan minyak yang banyak di tanahnya. Walaupun begitu, kehidupan di negeri ini pun tak selalu beruntung. Apa-apa mahal dan kebutuhan pokok melambung tinggi, sementara gaji bulanan para pekerja begitu kecil. Hampir mustahil warga negaranya bisa berlibur ke luar negeri hanya dengan mengandalkan gaji bulanan.

Setelah itu, kehidupan berbalik saat tiba di Uzbekistan. Negara yang carut-marut karena mata uangnya anjlok ini merupakan negara yang banyak memiliki sejarah kuno. Bangunan kuno peninggalan imperium Persia masih terawat. Uzbekistan tampil sebagai negara yang cukup banyak polisi berpatroli di siang hari, dan para bandit di malam harinya.

Negara terakhir yang menjadi persinggahan adalah Turkmenistan. Negara utopia yang sebagian besar kebutuhan pokok warga negaranya gratis dan biaya transportasi dan makan sangat murah. Namun, di sisi lain, negara ini adalah negara yang mengisolasikan dirinya terhadap dunia luar. Warganegarnya dijejal dengan beragam slogan, ideologi, dan tentu saja tidak boleh protes jika tidak ingin berakhir di penjara.

Stan-stan, stan. Negara pecahan Uni Soviet yang berjuang menemukan dirinya setelah bubarnya Uni Soviet yang tak pernah mereka pilih.
Profile Image for Anhie Greenish.
393 reviews4 followers
February 2, 2022
Melalui garis batas, kita meraba dunia luar. Melalui garis batas, kita berlindung dari dunia luar.


This is maybe the best books i read this month. Been knowing about this book and finally read it, and even tough i havent read the first book, this book had awed me in so many ways.

Entah mengapa sang penulis tertarik untuk mengunjungi negara-negara stan yang ada di buku ini, tapi saya sangat bersyukur untuk itu, karena saya pribadi mungkin tidak akan pernah tertarik mengunjungi negara-negara tersebut, namun lewat buku ini saya banyak mendapat pengetahuan baru baik dari segi garis batas negara-negara tersebut hingga ke politik kehidupan mereka paska merdeka dari Rusia. Yang saya tahu dari negara-negara stan tersebut awalnya adalah bahwa mereka juga mayoritas muslim, bahkan informasi ini pun ternyata salah.

Perjalanan penulis dimulai dari negara Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan dan berakhir di Turkmenistan. Di Tajikistan, kita melihat negara yang berbatasan langsung dengan Afganistan ini sangat berbeda dari negara tetangganya. Kirgiztan dengan kebiasaan minum vodka para penduduknya. Kazakhstan yang berupaya menhilangkan stigma buruk negaranya dari film Borat, Uzbekistan yang terkenal dengan penduduknya yang rupawan, serta Turkmenistan, negara yang memiliki pemimpin yang berkuasa seumur hidup. Dari semuanya, tentu saja yang paling mencengangkan buat saya adalah negara Turkmenistan dengan segala kenarsisan pemimpinnya.

Dari buku ini saya akhirnya mengetahui, Selain fakta bahwa walaupun mereka beragama Islam tapi merasa tidak wajib melakukan puasa, dan tidak bisa hidup tanpa alkohol, membaca huruf arab simpel laila ha illahllah pun ternyata banyak yang tidak bisa. Namun saya sangat mengagumi bagaimana mereka sangat memperlakukan seorang tamu dengan hormat, walaupun ada beberapa kisah dimana para tamu ini justru lebih dihormati dari perempuan yang merupakan anggota keluarga mereka sendiri.

Membaca buku ini tentu saja membuat saya semakin tidak mempunyai keinginan untuk mengunjungi negara-negara stan tersebut hahaha. Namun, saya pasti akan membaca buku lain dari penulis karena selain narasi yang sangat menyenangkan untuk dibaca, terlepas dari tragedi yang menimpanya yang kerennya ditulis dengan cukup komikal, penulis juga secara tidak langsung menceritakan kegalauan yang dihadapinya di negeri sendiri hanya karena etnis yang berbeda. Dan walaupun saya pribadi juga tidak menyukai sikap-sikap rasis tersebut saya sadar bahwa perlakuan tersebut memang masih terjadi pada etnis minoritas yang ada di negara ini.
Displaying 1 - 30 of 219 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.