Sejak lama terlihat dan terasa bahwa minat dan kebanggaan kita terhadap bahasa nasional kian menurun. Hal itu nampak dalam penggunaan bahasa Indonesia sehari-hari, baik yang digunakan oleh para pemimpin pemerintahan, para pemimpin politik, para wartawan cetak maupun elektronik, bahkan juga kaum intelektual –apalagi kaum-kaum lainnya seperti pedagang, buruh, dan lain-lain. Tetapi yang lebih menyedihkan ialah bahasa yang digunakan oleh para remaja, para mahasiswa, dan kaum selebriti. Bukan saja mereka memperlihatkan bahwa mereka kurang menguasai –atau pura-pura tidak menguasai-bahasa nasionalnya dengan baik, namun melecehkannya dengan (hendak) memperlihatkan bahwa mereka lebih lancar dan lebih menguasai bahasa Inggris dengan di sana-sini antara sebentar menyelipkan kata-kata atau ungkapan-ungkapan bahasa Inggris, seakan-akan bahasa nasionalnya kurang mampu menyampaikan pikiran atau isi hatinya.
Ajip Rosidi (dibaca: Ayip Rosidi) mula-mula menulis karya kreatif dalam bahasa Indonesia, kemudian telaah dan komentar tentang sastera, bahasa dan budaya, baik berupa artikel, buku atau makalah dalam berbagai pertemuan di tingkat regional, nasional, maupun internasional. Ia banyak melacak jejak dan tonggak alur sejarah sastera Indonesia dan Sunda, menyampaikan pandangan tentang masalah sosial politik, baik berupa artikel dalam majalah, berupa ceramah atau makalah. Dia juga menulis biografi seniman dan tokoh politik. Pendidikan formalnya SD di Jatiwangi (1950), SMP di Jakarta (1953) dan Taman Madya di Jakarta (tidak tamat, 1956), selanjutnya otodidak.
Ia mulai mengumumkan karya sastera tahun 1952, dimuat dalam majalah-majalah terkemuka pada waktu itu seperti Mimbar Indonesia, Gelanggang/Siasat, Indonesia, Zenith, Kisah dll. Menurut penelitian Dr. Ulrich Kratz (1988), sampai dengan tahun 1983, Ajip adalah pengarang sajak dan cerita pendek yang paling produktif (326 judul karya dimuat dalam 22 majalah).
Bukunya yang pertama, Tahun-tahun Kematian terbit ketika usianya 17 tahun (1955), diikuti oleh kumpulan sajak, kumpulan cerita pendek, roman, drama, kumpulan esai dan kritik, hasil penelitian, dll., baik dalam bahasa Indonesia maupun Sunda, yang jumlahnya kl. seratus judul.
Karyanya banyak yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, dimuat dalam bungarampai atau terbit sebagai buku, a.l. dalam bahasa Belanda, Cina, Inggris, Jepang, Perands, Kroatia, Rusia, dll. Bukunya yang dalam bahasa Sunda, a.l. Kanjutkundang (bungarampai sastera setelah perang disusun bersama Rusman Sutiasumarga, 1963), Beber Layar! (1964), Jante Arkidam (1967), DurPanjak! (1967), Ngalanglang K.asusastran Sunda (1983), Dengkleung De’ngde’k (1985), Polemik Undak-usuk Basa Sunda (1987), Haji Hasan Mustapajeung Karya-karyana (1988), Hurip Waras! (1988), Pancakaki (1996), Cupumanik Astagina (1997), Eundeuk-eundeukan (1998), Trang-trang Kolentrang (1999), dll.
Ia juga mengumpulkan dan menyunting tulisan tersebar Sjafruddin Prawiranegara (3 jilid) dan Asrul Sani (Surat-surat Kepercayaan, 1997). Ketika masih duduk di SMP men-jadi redaktur majalah Suluh Pelajar (Suluh Peladjar) (1953-1955) yang tersebar ke seluruh Indonesia. Kemudian men-jadi pemimpin redaksi bulanan Prosa (1955), Mingguan (kemudian Majalah Sunda (1965-1967), bulanan Budaya Jaya (Budaja Djaja, 1968-1979). Mendirikan dan memimpin Proyek Penelitian Pantun dan Folklor Sunda (PPP-FS) yang banyak merekam Carita Pantun dan mempublikasikannya (1970-1973).
Sejak 1981 diangkat menjadi gurubesar tamu di Osaka Gaikokugo Daigaku (Universitas Bahasa Asing Osaka), sambil mengajar di Kyoto Sangyo Daigaku (1982-1996) dan Tenri Daignku (1982-1994), tetapi terus aktif memperhatikan kehi-dupan sastera-budaya dan sosial-politik di tanahair dan terus menulis. Tahun 1989 secara pribadi memberikan hadiah sastera tahunan Rancage yang kemudian dilanjutkan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage yang didirikannya.
Kumpulan tulisan Ajip di sini bagus-bagus, setidaknya bisa menggelitik pikiran kita. Bahwa masih banyak persoalan yang harus dijawab, terutama dalam hal konsistensi, menurut Ajip.
Sekiranya, sekarang Indonesia butuh sosok seperti Ajip ini, yang berani dan getol mengkritik penggunaan bahasa Indonesia. Bukan dalam artian menjadi polisi bahasa, tapi lebih pada mencari, menimbang dan memikirkan kembali bahasa kita, mana yang lebih baik, bukan benar salah.
Esai-esai Ajip juga sebagian besar tidak melakukan justifikasi benar-salah, tapi lebih pada pemberian opsi-opsi. Ya meskipun dengan tegas, Ajip mengatakan bahasa Indonesia tidak konsisten, tapi itu hanya dalam beberapa aspek saja.
Bapaknya ini, loooh, cerewet sekali. Semua-semua soal bahasa Indonesia dipertanyakan dan tak jarang sampai dikritik, bahkan hingga ke level sekecil kata.
Tapi, yah, memang yang begitu-begitu itu perlu, sih, soalnya bahasa Indonesia memang masih banyak kurangnya. Saya aja kadang bete sendiri sama KBBI.
Tapi (lagi), kalimat-kalimatnya bisa dibuat lebih enteng sedikit tidak, Pak? Otak saya cepat aus padahal tiap bagian rata-rata cuma 4 halaman.
Aku menginstall kembali ipusnas di ponsel karena beberapa alasan, a.l.: 1. Ada ebook yang tidak ada di Gramedia Digital 2. Buku nonfiksi asyik (IMHO) model begini tidak ada antrian pinjamnya (sedih juga sih sebenarnya)
Banyak buku yang sejenis membahas permasalahan bahasa Indonesia yang tiada habisnya dari kepala hingga ujung kaki. Setidaknya, setiap penulis kebahasaan, termasuk si Ajip Rosidi tentu mempunyai pandangan yang berbeda. Namun, apa yang beliau tulis, perlu diapresiasi...
Memang benar-benar membahas berbagai masalah Bahasa Indonesia dari sudut pandang Ajip Rosidi, ternyata ada juga lembaga resmi bahasa indonesia yang nekatnyontek karya orang lain..agaaggagaga...