Terhadap mereka yang mengkritik hadirnya kami pada Kongres di Bierville itu, kami ingin menyatakan bahwa kehadiran kami itu menunjukkan kepada kaum demokrasi Barat bahwa ada hubungan yang tidak dapat diputus antara dasar kemanusiaan dengan perjuangan revolusioner untuk kemerdekaan bangsa. Langkah pertama untuk memperkenalkan Tanah Air kita Indonesia di luar negeri dibuat dengan berhasil. Nama "Indonesia" tidak perlu dimajukan dengan resolusi. Selama aku di sana dan setelah mendengar pidatoku pada pembukaan Kongres itu, semuanya menyebut Indonesia. Orang-orang Belanda, yang pada pidato permulaan masih menyebut "Hindia Belanda", kata itu tidak diulang mereka lagi, dalam perdebatan maupun dalam pembicaraan lainnya. Dalam tulisan-tulisan mereka ke luar, kepada kawan dan keterangan umum, mereka sebut "Indonesia". Apalagi setelah bertukar pikiran dengan aku. Dalam agenda pimpinan Kongres, nama Indonesia telah terekam, tidak dapat ditukar kembali dengan "Indes-neerlandaises".
Latar Belakang dan Pendidikan Dr.(H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta (populer sebagai Bung Hatta, lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 12 Agustus 1902 – wafat di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun) adalah pejuang, negarawan, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Bandar udara internasional Jakarta menggunakan namanya sebagai penghormatan terhadap jasanya sebagai salah seorang proklamator kemerdekaan Indonesia.
Nama yang diberikan oleh orang tuanya ketika dilahirkan adalah Muhammad Athar. Anak perempuannya bernama Meutia Hatta menjabat sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dalam Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta.
Perjuangan Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karir sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond (JSB) Cabang Padang. Di kota ini Hatta mulai menimbun pengetahuan perihal perkembangan masyarakat dan politik, salah satunya lewat membaca berbagai koran, bukan saja koran terbitan Padang tetapi juga Batavia. Lewat itulah Hatta mengenal pemikiran Tjokroaminoto dalam surat kabar Utusan Hindia, dan Agus Salim dalam Neratja.
Kesadaran politik Hatta makin berkembang karena kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan politik. Salah seorang tokoh politik yang menjadi idola Hatta ketika itu ialah Abdul Moeis. “Aku kagum melihat cara Abdul Moeis berpidato, aku asyik mendengarkan suaranya yang merdu setengah parau, terpesona oleh ayun katanya. Sampai saat itu aku belum pernah mendengarkan pidato yang begitu hebat menarik perhatian dan membakar semangat,” aku Hatta dalam Memoir-nya. Itulah Abdul Moeis: pengarang roman Salah Asuhan; aktivis partai Sarekat Islam; anggota Volksraad; dan pegiat dalam majalah Hindia Sarekat, koran Kaoem Moeda, Neratja, Hindia Baroe, serta Utusan Melayu dan Peroebahan.
Pada usia 17 tahun, Hatta lulus dari sekolah tingkat menengah (MULO). Lantas ia bertolak ke Batavia untuk melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School. Di sini, Hatta mulai aktif menulis. Karangannya dimuat dalam majalah Jong Sumatera, “Namaku Hindania!” begitulah judulnya. Berkisah perihal janda cantik dan kaya yang terbujuk kawin lagi. Setelah ditinggal mati suaminya, Brahmana dari Hindustan, datanglah musafir dari Barat bernama Wolandia, yang kemudian meminangnya. “Tapi Wolandia terlalu miskin sehingga lebih mencintai hartaku daripada diriku dan menyia-nyiakan anak-anakku,” rutuk Hatta lewat Hindania.
Pemuda Hatta makin tajam pemikirannya karena diasah dengan beragam bacaan, pengalaman sebagai Bendahara JSB Pusat, perbincangan dengan tokoh-tokoh pergerakan asal Minangkabau yang mukim di Batavia, serta diskusi dengan temannya sesama anggota JSB: Bahder Djohan. Saban Sabtu, ia dan Bahder Djohan punya kebiasaan keliling kota. Selama berkeliling kota, mereka bertukar pikiran tentang berbagai hal mengenai tanah air. Pokok soal yang kerap pula mereka perbincangkan ialah perihal memajukan bahasa Melayu. Untuk itu, menurut Bahder Djohan perlu diadakan suatu majalah. Majalah dalam rencana Bahder Djohan itupun sudah ia beri nama Malaya. Antara mereka berdua sempat ada pembagian pekerjaan. Bahder Djohan akan mengutamakan perhatiannya pada persiapan redaksi majalah, sedangkan Hatta pada soal organisasi dan pembiayaan penerbitan. Namun, “Karena berbagai hal cita-cita kami itu tak dapat diteruskan,” kenang Hatta lagi dalam Memoir-nya.
Selama menjabat Bendahara JSB Pusat, Hatta menjalin kerjasama dengan percetakan surat kabar Neratja. Hubungan itu terus berlanjut meski Hatta berada di Rotterdam, ia dipercaya sebagai koresponden. Suatu ketika pada medio tahun 1922, terjadi peristiwa yang mengemparkan Eropa, Turki yang dipandang sebagai kerajaan yang sedang runtuh (the sick man of Europe) memukul mundur
Di buku kedua ini, Bung Hatta mengisahkan hidupnya setelah ia kembali ke Indonesia pada 1932 setelah selama sebelas tahun menuntut ilmu di Eropa, khususnya Belanda. Ia mulai aktif menjadi aktivis di Pendidikan Nasional Indonesia (PNI). Ia pun berharap bahwa PNI merupakan organisasi yang memang bisa mencerdaskan para kadernya, bukan sekedar berkumpul mengikuti kata pemimpinnya.
Selain itu, dikisahkan juga tentang perdebatan antara Bung Hatta dengan Bung Karno. Mereka berbeda pemikiran dalam memaknai nonkooperatif terhadap Pemerintahan Belanda. Mereka saling membalas opini lewat esai di surat kabar. Meskipun begitu, mereka tidak saling mencaci maki dan membenci secara personal. Lantas, ketika Pemerintahan Belanda mulai gelisah terhadap pergerakan masyarakat yang menyebarkan paham-paham kemerdekaan, satu persatu tokoh yang berperan pun mulai ditangkap dan diasingkan, salah satunya adalah Bung Hatta.
Awalnya, Bung Hatta dimasukkan ke penjara di Glodok. Setelah itu, ia pun diasingkan ke Boven Digoel selama beberapa waktu, sebelum akhirnya dipindahkan ke Banda Neira. Selama di tempat pengasingan, Bung Hatta mulai menyusun rencana hidup baru dan sesekali menulis untuk surat kabar. Keadaan di Boven Digoel memang memprihatinkan, jauh dari keramaian dan lebih banyak hutan belantara. Namun, ketika ia berada di Banda Neira, ia merasa keadaan mulai cukup membaik.
Dua Bung besar Indonesia, ternyata sering berbeda pandangan dan berbeda cara, mereka saling kritik, meskipun punya tujuan yang sama: Indonesia merdeka.
Visi, sikap dan pemikiran Hatta menuju Indonesia merdeka, jelas terlihat. Alih-alih melalui agitasi/ menggunakan pendekatan emosional seperti yang dilakukan Soekarno melalui orasi-orasinya, Hatta menggunakan pendekatan pendidikan, pengkaderan yang dilakukan secara rapi. Bagi Hatta, tidak boleh hanya pimpinan yang merasa bertanggung jawab dan mengerti perjuangan menuju kemerdekaan, melainkan seluruh rakyat wajib merasa bertanggung jawab dan mengerti garis menuju kemerdekaan. Untuk hal itu, maka tiap orang harus mendapatkan pendidikan yang semestinya.
Dalam buku ini, Hatta mengemukakan hal perbedaan pendapatnya dengan Sukarno, serta perang pendapat mereka yang sengit melalui media. Perbedaan itu tentang asas non koperasi yang dianut PNI (Pendidikan Nasional Indonesia) dengan Partindo. Saya menikmati penjabaran dan bantahan-bantahan Hatta yang dingin dan tajam. Terasa seperti dikuliahinya. Selain itu, Hatta juga menceritakan tentang kisah pembuangannya ke beberapa bagian negara Indonesia. Informatif dan inspiratif.
Dalam buku bagian ini terlihat sekali pertentangan pemikiran politik atau dalam cara memimpin antara bung hatta dan bung karno.. Bung hatta menilai perlunya pendidikan terhadap kader-kader organisasinya dan juga mendidik rakyat indonesia dengan beragam tulisan-tulisan cerdas yang dimuat di majalahnya.. Sehingga bila pemimpin partai mengalami penangkapan atau pembuangan. Partai tersebut bisa meneruskan jalannya dalam berorganisasi.. Ada beberapa bagian yang ditulis oleh bung hatta yang ditujukan untuk menentang cara atau gaya kepemimpinan bung karno dengan cara yang sangat halus dan menggunakan beragam perumpamaan yang apabila disadari ternyata catatan tersebut memang ditujukan untuk bung karno... Terlepas dengan perbedaan yang sangat tajam itu bung karno dan bung hatta tetap menjalin hubungan baik.. Saat baca buku ini saya juga membuka kembali bagian buku penyambung lidah rakyat,bung karno mengungkapkan untuk mendidik rakyat itu butuh puluhan tahun dan untuk meraih kemerdekaan rakyat indonesia harus bergerak sekarang juga... Bung hatta yang sangat menjunjung intelektualitas di posisi utama sedangkan bung karno memposisikan pergerakan sebagai prioritas... Setelah bagian pertentangan itu masuk ke bagian pembuangan bung hatta ke digul, neira dan sukabumi. Bung hatta menuturkan kegiatan kesehariannya menjalani hidup dalam pembuangan tersebut. Dalam sudut pandangnya tidak terlalu banyak hal yang berat yang dialaminya di masa-masa pengisolasian itu.. Terlihat sekali bung hatta adalah sosok yang sangat tenang dan menerima bagaiamanpun keadaan hidupnya.. Ada pula bagian uniknya yaitu beliau yang membawa semua koleksi bukunya sebanyak 16 peti besi pada akhirnya harus ia tinggalkan di neira karena ketika akan berangkat ke sukabumi armada yang membawanya adalah kapal terbang yang memiliki keterbatasan kapasitas barang bawaan.
Kalau buku pertama adalah masa di mana Hatta belajar dan merintis pergerakan di Belanda, maka di buku kedua adalah masa dia benar-benar terjun ke pergerakan.
Banyak ceritanya ketika bersinggungan dengan Soekarno dan perbedaan di antara keduanya. Bagaimana ia menguraikan non kooperation versinya. Kritiknya terhadap model kepemimpinan Soekarno dan pemahamannya terhadap "leadership".
"Dalam perjuangan kita menuju cita-cita, kita akan kalah berkali-kali dan tewas berulang-ulang."
"Janganlah mencita-cita adanya pemimpin-pemimpin bagi Indonesia, melainkan kehendakilah adanya pahlawan-pahlawan yang tak punya nama."
20 Juni-25 Agustus (36 hari) Akhirnya selesai juga buku seri yg kedua ini. Setelah menghabiskan waktu 36 hari hanya untuk 188 halaman, rasanya tuh seperti dihukum makan buah Asam Jawa sebakul. (Oke, ini sungguh ungkapan yg berlebihan).
Isi bukunya? Worth it banget untuk dibaca lalu dihayati. Tapi ya namanya ini karangan asli Moh. Hatta, jadi ejaannya masih jadul, Hinda-Belanda gitu dan agak berat untuk dimengerti. Tapi it's oke. Selama konsisten butuh dan ingin mengetahui usinya, maka bisa selesai juga.
Isi bukunya tentang perjuangan Bung Hatta dalam mendirikan dan menjapankan organisasi partai PNI. Juga sedikit dibahas mengenai Partindo yg digagas Bung Karno. Jadi di buku ini diceritakan awal mula perkenalan Bung Karno dan Bung Hatta. Meski tidak banyak, namun kita bisa tau bahwasanya mereka baru saling kenal pada awal2 tahun 1930an. Lalu diceritakan bahwa gerakan organisasi mereka ini meresahkan pemerintah Belanda. Sehingga perlahan para cerdik cendikia, kaum intelek ini diasingkan ke berbagai wilayah di Indonesia. Awalnya Bung Karno dipenjara di Sukamiskin. Tak lama sesudah itu disusul oleh Bung Hatta yg bersamaan dengan Syahrir. Awalnya mereka dimasukkan ke penjara. Bung Hatta ditempatkan di penjara di Glodok, sedangkan Syahrir di Cipinang. Lalu kemudia mereka diasingkan ke Boven Digul yg ternyata di sana sudah terlebih dahulu beberapa intelek yg diasingkan. Di Digul mereka menjalani kehidupan yg cukup sulit dengan jumlah jatah makan setengah dari jatah makan ketika di penjara. Di sana, bagi kaum naturalis seperti Bung Hatta yg tidak mau diajak bekerjasama dengan pemerintah Belanda, harus bisa bertahan dengan jatah sebulan beras 18 kg, ikan asin 2 kg, 300 gram teh, 300 gram kacang hijau, 2/3 botol limonade minyak kelapa. Namun untunglah Bung Hatta bisa menghasilkan uang dari tulisannya untuk surat kabar. Ketika ke Boven Digul, Bung Hatta sempat2nya membawa buku2nya yg berjumlah 16 peti. Banyaknya nyamuk penyebab malaria di Digul ini menimbulkan banyak korban penyakit malaria bagi para penduduknya, tak terkecuali Hatta dan Syahrir. Tak lama setelah itu, Moh. Hatta dan Syahrir dipindahkan ke Banda Neira. Di sana kehidupan sedikit membaik. Mereka mendapat jatah uang f 75 sebulan yg dapat dipergunakan untuk menyewa rumah dan makan sehari-hari. Mereka bertemu dengan dr. Tjiptomangunkusumo dan Mr. Iwa Kususmasumantri yg sudah terlebih dahulu diasingkan di sana. Di Banda Neira, Bung Hatta menjadi guru bagi anak dr. Tjokroaminoto, dan beberapa anak lain yg bahkan datang dari Bukittinggi. Di Banda Neira, Syahrir mengalami serangan kesepian, karena hanya mereka ber-4 kaum naturalis yg diasingkan di Neira. Syahrir kesepian karena tidak memiliki teman berbincang yg banyak. Akhinya beliau sering bermain dengan anak di dekat rumahnya dan ada 3 orang anak dijadikannya sebagai anak angkat. Setelah beberapa tahun tinggal di Banda Neira, dr. Tjipto dan Mr. Iwa dipindahkan ke Makassar. Tak lama setelah itu dr. Tjipto dipindahkan ke Sukabumi, Salabintana. Tak lama setelah kepergian dr. Tjipto dan Mr. Iwa, Bung Hatta dan Syahrir juga dipindahkan ke Sukabumi. Awalnya mereka menaiki pesawat Catalina menuju Surabaya lalu dilanjutkan perjalanan dengan kereta api menuju Jakarta kemudian Sukabumi. Dalam perjalanan pindah ke Sukabumi ini, Syahrir mengajak turut serta ke-3 anak angkatnya.
Karena tantangan baca The Book Club Makassar tentang buku dengan halaman 150 - 250 halaman, agak dilema sebenarnya memilih mana buku yang pas. Dari 3 buku pilihan, The Skytales, Strange Weather in Tokyo dan buku ini. Namun nampaknya sudah lama saya buat jeda dari buku pertama, sebaiknya saya menuntaskan jalan cerita Oom Hatta ini.
Jika buku pertama bercerita banyak hal tentang perjalanan sekolah dari kampung Jakarta hingga ke Belanda dan Jerman, buku kedua cerita bahwa sekolah doktoralnya di Erasmus Universiteit di Rotterdam akhirnya tuntas dan kembali ke Indonesia dengan segala rencana kemerdekaan itu. Terbayang saat sekolah disana saja beliau sudah bergerak menyusun rencana pergerakan, klo dibandingkan dengan saya? sekolah fokus saja belum tentu bisa berhasil.
Satu kata untuk buku pertama adalah “Pendidikan” sedangkan buku kedua tentang “Kepemimpinan”. Buku kedua ini juga bercerita pergulatan dengan beberapa tokoh nasional, terutama Bung Karno. Dalam tulisan beliau, cukup banyak mengkritik cara Bung Karno memimpin dengan satu bagian berjudul “Contoh yang Tidak Tepat”. Beliau berpendapat, sepatutnya pergerakan itu walau pemimpinnya diasingkan, sepatutnya gerakan itu tetap ada, muncul dari semangat para pengikutnya bukan sekadar mengikuti arahan si pemimpin.
Buku ini tidak bercerita detail tentang proses beliau berangkat dari Indonesia ke Belanda hingga ke Jepang, pertanyaan saya ini pasti masih dengan kapal laut seperti buku pertama. Saya baru mendengarkan adanya armada kapal terbang laut Catalina tahun 1942 dari Banda Neira ke Surabaya.
Cerita ini sebenarnya ada bagian yang menggelitik, Bung Hatta layaknya masyarakat pada umumnya, ada cerita lucunya namun kritis. Yang tetap ada diawal dan akhir buku ini adalah proses beliau memindahkan tumpukan peti bukunya dari Belanda, ke Indonesia, ke Boven Digul hingga ke Banda Neira. Asli pencinta buku, ini mengingatkan saya pulang dari rantau harus membawa berkardus-kardus buku dari Ende ke Makassar.
Oh yah, saat beliau diasingkan ke Bovel Digul dan Banda Neira, saat bersamaan juga Bung Karno diasingkan di Ende, cuma beliau ada sedikit iri dengan lokasi pengasingan bung Karno sih heheheh. Namanya manusia, klo zaman sekarang, kita kadang suka iri dengan lokasi penempatan kerja teman seangkatan kita, makanya pada hal. 135 seperti menyiratkan dimana kaki dipijak disana langit dijunjung.
Bung Hatta sempat marah karena bukunya ketumpahan air karena anak-anak main di rumahnya sampai kebasahan, “Kukatakan kepada anak-anak itu bahwa mereka harus berhati-hati dan menginsafi bahwa buku-buku itu alat pengetahuan dan harus dijaga betul.”
Terhadap mereka yang mengkritik hadirnya kami pada Kongres di Bierville itu, kami ingin menyatakan bahwa kehadiran kami itu menunjukkan kepada kaum demokrasi Barat bahwa ada hubungan yang tidak dapat diputus antara dasar kemanusiaan dengan perjuangan revolusioner untuk kemerdekaan bangsa.
Langkah pertama untuk memperkenalkan Tanah Air kita Indonesia di luar negeri dibuat dengan berhasil. Nama "Indonesia" tidak perlu dimajukan dengan resolusi. Selama aku di sana dan setelah mendengar pidatoku pada pembukaan Kongres itu, semuanya menyebut Indonesia. Orang-orang Belanda, yang pada pidato permulaan masih menyebut "Hindia Belanda", kata itu tidak diulang mereka lagi, dalam perdebatan maupun dalam pembicaraan lainnya. Dalam tulisan-tulisan mereka ke luar, kepada kawan dan keterangan umum, mereka sebut "Indonesia". Apalagi setelah bertukar pikiran dengan aku. Dalam agenda pimpinan Kongres, nama Indonesia telah terekam, tidak dapat ditukar kembali dengan "Indes- neerlandaises".
To those who criticize our attendance at the Congress in Bierville, we would like to state that our presence demonstrates to Western democracies that there is an unbreakable connection between basic humanity and the revolutionary struggle for national independence.
The first step to introduce our homeland Indonesia abroad was made successfully. The name "Indonesia" does not need to be advanced by resolution. While I was there and after hearing my speech at the opening of the Congress, everyone mentioned Indonesia. The Dutch people, who in their initial speech still called "Dutch East Indies", did not repeat that word again, in debates or in other conversations. In their writings abroad, to friends and general information, they call "Indonesia". Especially after exchanging thoughts with me. In the agenda of the leadership of the Congress, the name of Indonesia has been recorded and cannot be exchanged for "Indes- neerlandaises".
Saya sudah cukup lama mempunyai satu set buku ini, namun sampai awal Juni 2023, baru sampai pada buku kedua. Buku ketiga satu seri ini belum saya sentuh sama sekali. Di buku pertama saya merasa sangat dekat membawa kenangan kepada tanah tempat saya lahir dan dibesarkan. Sumatera Barat. Beruntung dan bangga sekali bisa satu suku dengan Bung Hatta.
Di dalam buku kedua ini, ada satu hal yang terpatri di dalam kepala saya dan masih saya ingat sampai saat ini (semoga sampai kapanpun). Bung Hatta, di buku kedua ini, pernah berkata bahwa, anak Indonesia harus bisa bersikap nasionalis. Bukan Provinsialisme. Di manapun dia ditempatkan di tanah air ini, dia harus bisa membangun tanah tempatnya berpijak. Tak peduli meski bukan di tempat dia dilahirkan. Tak peduli harus jauh dari suatu tempat yang dia sebut rumah.
Tentu saja untaian kalimat di atas bukan seutuhnya yang ditulis Bung Hatta di buku ini. Saya melakukan elaborasi atas apa yang saya baca di dalamnya. Tapi intinya begitu.
Setelah membaca inti dari ucapan Bung Hatta ini, saya sempat termenung beberapa waktu karena memang merasa tersentil dengan pesan di atas. Sejak sekolah sampai bekerja saat ini, saya ditempatkan di daerah yang belum pernah saya jamah sebelumnya. Sempat ada kekhawatiran mengenai perkembangan diri. Namun, pernyataan Bung Hatta seakan menampar saya.
Saya harus dan akan terus berkembang di manapun saya ditempatkan. Meski jauh dari tempat saya lahir.
Satu set buku ini menarik sekali. Bung Hatta begitu menyusun kehidupannya dengan rapi. Tertata. Patuh pada aturan yang dibuatnya sendiri. Itu adalah satu hal yang saya pelajari dari beliau.
"Di atas segala lapangan Tanah Air aku hidup aku gembira. Dan di mana kakiku menginjak bumi Indonesia, di sanalah tumbuh bibit cita-cita yang kusimpan dalam dadaku." (Pesan Bung Hatta kepada rekan-rekan di kelompok pergerakan agar tidak gentar menerima hukuman pengasingan dari pemerintah kolonial).
"Berjuang dan Dibuang" fokus pada lika-liku Bung Hatta selama berada di kelompok pergerakan, khususnya selama aktif di PNI Baru. Pertemuan pertamanya dengan Bung Karno turut diceritakan pula, serta yang cukup menarik, Bung Hatta dan Bung Karno sempat berdebat panas soal politik non-kooperasi pasca hendak dipilihnya Hatta sebagai anggota Tweede Kamer (Parlemen Kerajaan Belanda).
Dalam buku ini Hatta juga menceritakan pengalamannya diasingkan ke Boven Digul di pedalaman Papua, dan kemudian ke Banda Neira bersama Sutan Sjahrir, sampai akhirnya mereka dipindahkan ke Sukabumi tatkala Perang Pasifik berkecamuk. Bung Hatta, tak pernah lepas dari buku, dan selama masa pengasingannya, buku-bukunya yang dimuat dalam 16 peti besi turut serta dibawa, dan dijadikan bahan bacaan bersama untuk mendidik rekan sejawat yang turut diasingkan baik di Digul maupun di Banda Neira.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Otobiografi Hatta lanjutan Bukittinggi - Rotterdam Lewat Betawi, ceritanya mulai dari kelulusan kuliah Hatta di Belanda, kembali ke Indonesia dan perjuangan beliau di sana (memimpin organisasi, penerbitan majalah) hingga akhirnya ditangkap Belanda dan diasingkan ke Digul dan Banda. Seperti buku sebelumnya, cara penulisannya humble, akrab dan gampang diikuti. Awal-awalnya kurang menarik tapi selanjutnya banyak cerita yang berkesan, termasuk konflik dengan Sukarno dan kisah buku-buku beliau yang jumlahnya 16 peti dan ngepacknya saja butuh 3 hari. Kalau suka buku pertamanya tentu harus lanjut baca buku ini.
Pak Hatta sekali lagi membuktikan value hidupnya melalui tulisan. Kadang kalanya saya merasa tersesat hidup di dunia ini. Tapi melalui auto biografinya, saya belajar jika hidup bukan hanya tentang saya atau dia, tapi tentang kita semua. Dalam tulisannya ada cinta, ada gairah, ada kerendahan hati, ada kehangatan, ada keteguhan. Satu hal yang bisa saya gambarkan mengenai bukunya kali ini, Butuh kepercayaan pada Allah yang tinggi dan kebesaran hati untuk menerima takdir dan tetap berharapan baik di tengah kesengsaraan.
Jalan panjang seorang revolusioner sedari pulang dalam menempuh pendidikan di Belanda hingga aktif dalam pergerakan nasional dan tetap ikhtiar dalam perjuangan hingga dalam pembuangan. Mendapat nilai tentang pendirian dalam pergerakan, penyadaran perihal posisi pemimpin dan rakyat yang berpartisipasi di dalam haluan politik nonkooperasi beserta dinamikanya hingga berakhir pada satu cita-cita yang utuh, yakni kesadaran nasionalisme Indonesia.
Perjalanan Bung Hatta sepulang dari Rotterdam. Saat Bung Hatta giat melakukan pergerakan dan menulis, belia ditangkap dan diasingkan di Digul, Banda Neira. Dari sini akhirnya saya mengerti bagaimana Bung Hatta sangat mencintai dan menghormati buku (sebagai sumber ilmu pengetauan).
Buku ini merupakan buku ke-2 dari trilogy “Untuk Negeriku” yang merupakan otobiografi salah seorang tokoh proklamator kita yakni Bung Hatta.
Dalam buku ini diceritakan Bung Hatta berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana ekonomi pada tahun 1932. Aktivitas organisasi dan politiknya membuat proses studynya memakan waktu selama 11 tahun. Namun karena aktivitas politiknya yang luas dan kerajinan membaca buku, membuat proses ujiannya terasa mudah karena para professor pengujinya meyakini kemampuan Bung Hatta dalam penguasaan teori dan analisa.
Sekembalinya ke tanah air, Hatta dihadapkan pada kondisi bubarnya Partai Nasional Indonesia dan ditangkapnya Soekarno oleh Belanda. Bung Hatta kemudian mulai aktif dalam Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) yang dia rintis bersama Sjahrir. PNI Baru ini merupakan partai yang bersikap non cooperative terhadap Belanda, dan menekankan pada pendidikan para kader (partai kader). PNI Baru ini relative selektif memilih anggota kader dan berusaha mendidik anggotanya dengan wawasan kebangsaan maupun pendidikan politik. Selain melalui kursus-kursus pendidikan politik, PNI Baru juga menerbitkan majalah Daulat Rakyat yang menjadi media pendidikan bagi anggotanya. Melalui majalah ini Bung Hatta, Sjahrir dan anggota lainnya membuat tulisan dan berusaha menyebarluaskan gagasan kebangsaan bagi anggotanya.
Aktivitas Bung Hatta di PNI Baru ini membuat Bung Hatta kenal dengan Soekarno dan sempat terlibat polemic dengannya soal pendekatan non cooperative. Soekarno menuduh Hatta tidak konsisten dengan pendekatan non cooperative, namun Hatta mampu membantah secara elegan. Bagi saya perdebatan tersebut, cukup menarik karena mereka bisa saling menguji konsep/teori, dan perdebatan yang dimuat di media tersebut menjadi pendidikan politik bagi public.
Selama aktif di PNI Baru, Bung Hatta semakin berkilau. Saat melakukan kunjungan dagang bersama pamannya ke Jepang, Bung Hatta sering disebut pihak Jepang sebagai Gandhi from Java, karena pendekatan non cooperative dan anti kekerasan. Jepang yang sudah mengincar Asia, sebenarnya mulai melakukan pendekatan ke Bung Hatta. Namun Bung Hatta bersikap menghindar karena beliau konsisten untuk memerdekakan Indonesia, terlepas dari penjajahan siapapun.
Tulisan Bung Hatta yang tajam di majalah Daulat Rakyat membuat Belanda was-was. Muncul berbagai upaya untuk menghambat aktivitas Bung Hatta, dan pada puncaknya tahun 1934 Bung Hatta, Sjahrir dan beberapa aktivis PNI Baru ditangkap untuk kemudian dibuang ke Boven Digul –Papua (tahun 1935), kemudian dipindahkan ke Bandaneira.
Suatu hal yang membuat saya takjub adalah spirit intelektualitas Bung Hatta yang luar biasa. Beliau rajin membaca buku, rajin menulis artikel untuk mengkomunikasikan pemikiran-pemikiran beliau dan beliau rajin melakukan aktivitas mendidik/mengajari orang. Beliau melakukan hal itu tatkala aktif di organisasi maupun ketika berada di tempat pembuangan yang terpencil…. Nampaknya tidak ada sesuatu yang bisa menghentikan semangat Bung Hatta untuk belajar dan menulis. Spirit untuk menerangi kegelapan nampaknya sudah mendarah daging dalam setiap denyut dan tarikan nafas beliau……
saya menginsyafi bahwa karakter bapak bangsa yang satu ini sungguh patut diteladani. terlepas kebiasaan tulis-menulisnya yang akhirnya mampu menyokong kehidupannya di manapun bahkan di tempat pembuangan, sikap disiplinnya juga patut ditiru. ia membagi-bagi waktu hariannya untuk membaca dan belajar lagi dari buku-bukunya yang berjumlah 16 peti, juga untuk merelaksasikan diri dengan berjalan-jalan di sore hari. dan oh, jangan lupa dengan kemampuan berbaurnya saat bertemu misionaris protestan, serta bagaimana ia mampu sarapan hanya dengan telur rebus dan segelas kopi. di antara kegiatan intelektualnya yang patut ditiru, gaya hidupnya juga patut dijadikan contoh.
apa yang diharapkan ketika membaca sebuah otobiografi terjawab.. sudut pandang yang tidak menerka-nerka. hatta benar2 menggambarkan dengan detail pemikirannya, baik ketika pertentangannya dengan soekarno, tujuannya partainya, ataupun ketika masuk ke dalam masa interniran.
poin kedua adalah detail. entah berasal dari ingatannya atau memang dia mencatat dengan detail setiap kegiatannya.. terlepas dari itu ia benar2 mendeskripsikan segalanya dengan detail. sehingga menarik pembaca untuk masuk ke dalam setting yg dia buat.
Bung Hatta akhirnya menyelesaikan pendidikan doktoralnya di negeri Belanda. Sekembalinya ke Indonesia beliau langsung aktif di PNI. Bukan PNI-nya Sukarno, melainkan Pendidikan Nasional Indonesia yang didirikan setelah Bung Karno ditangkap dan dipenjarakan di Sukamiskin. Saya kagum sekali dengan kegigihan Bung Hatta dalam pergerakan kemerdekaan. Meski harus ditangkap dan diasingkan berkali-kali, beliau tetap pada pendiriannya.
Bagian yang paling aku sukai dari buku ini adalah ketika Hatta dan Sjahrir di buang ke Banda Neira. Ada pertanyaan besar di kepala saya, Hatta meninggalkan 16 peti buku di Banda Neira. Hal ini dikarenakan pesawat membawanya pulang ke Surabaya tidak bisa menampungnya.
Dimanakah buku-buku itu sekarang? Jika memang benar masih berada di Banda Neira, berarti tempat ini harus masuk 'the next bucket-list', tempat yang harus dikunjungi sebelum mati.
Bagi kita rakyat itu yang utama, rakyat umum yang memunyai kedaulatan, kekuasaan [souvereiniteit]. Karena rakyat itu jantung hati bangsa, dan rakyat itulah yang menjadi ukuran tinggi rendahnya derajat kita. Dengan rakyat itu, kita akan naik dan dengan rakyat kita akan tenggelam. Hidup atau mati rakyat Indonesia bergantung pada semangat rakyat. Penganjur-penganjur dan golongan kaum terpelajar baru ada kalau di belakangnya ada rakyat yang sadar dan insaf akan kedaulatan dirinya.
jadi isi buku ini lebih banyak menceritakan tentang perjuangan Hatta dengan PNI (Pendidikan Nasional Indonesia) dan pertentangan beliau dengan Sukarno+partindo-nya. menurut saya, meskipun halamannya lebih sedikit, bagian autobiografi yang ini lebih emosional dibanding buku pertamanya.
This book is amazing Hatta shows us how to win a debate, build a captive argument, and take over opponent ground, acquisited him/her. His basic principles is how turn an opponent into an ally, which is more powerful and applicable in recent world than Soekarno's flawed agitation.