This is the true story of Franz Wisner, a man who thought he had it all- a high profile career and the fiancée of his dreams- when suddenly, his life turned upside down. Just days before they were to be married, his fiancée called off the wedding. Luckily, his large support network of family and friends wouldn't let him succumb to his misery. They decided Franz should have a wedding and a honeymoon anyway- there just wouldn't be a bride at the ceremony, and Franz' travel companion would be his brother, Kurt.
During the "honeymoon," Franz reconnected with his brother and began to look at his life with newfound perspective. The brothers decided to leave their old lives behind them. They quit their jobs, sold all their possessions, and traveled around the world, visiting fifty-three countries for the next two years. In Honeymoon With My Brother, Franz recounts this remarkable journey, during which he turned his heartbreak into an opportunity to learn about himself, the world, and the brother he hardly knew.
Franz Wisner has no idea what to label his profession. Writer? Travel addict? Professional dumpee? He is the NY Times bestselling author of Honeymoon with My Brother and the newly released How the World Makes Love.
The worst book I've ever read? I have to give the nod to Honeymoon with My Brother, which worsened the insult by actually having a fairly clever title, sucking in readers of taste and discernment who quickly realized the nightmare they were trapped in.
This was intensified by the cover blurb, which promised fun and hijinks as the jilted groom, airline reservations already booked and hotel reservations already made for the dream round-the-world honeymoon, decided to take the trip anyway and invite his brother along. Oh, fun! They can explore the world, drink a little too much, bitch about women and do fun stuff like parasailing in Brazil and hiking up an Alp and burning incense at a Malaysian temple.
Or so I thought.
Instead, instead what I got was: 1/4 of a book telling me about how his frat brothers helped him get a great job, where his good looks and infinite charm helped him become a prominent political lobbyist, where he regularly took home six-figure bonuses after helping his country-club clients pass a particularly invidious piece of legislation;
1/4 of a book telling me how said frat brothers and political scumbags rallied to his side when his betrothed cancelled the wedding a week before the event;
3/8 of a book in which he and his brother went to poor countries, checked into the local Sofitel or Mandarin Oriental and tried, occasionally successfully, to fuck the hottest member of the staff;
Teary confessions of how profound these sexual encounters were, how much they changed his worldview about the plight of the poor, but shit, his flight to Costa Rica is leaving in a couple of hours and he's ready to party!
1/8 of a book describing his return home, and accidental encounter with his ex-fiance, noting snottily that she'd gotten a boob job (self-confidence apparently not being one of things that attracted him in the first place) and was therefore irreparably damaged goods and thank God he managed to dodge that particular bullet.
To add icing to the cake (or, more aptly, flies to the turd), he and his brother took to picking fights with people who dissed his book in public forums such as this one. I heard he wrote a sequel in which he explained the mysteries of love, but failed to follow up on that particular piece of news in any way whatsoever
My book club chose "Honeymoon with My Brother," and for the life of me I don't know why. Worse, none of the 15 people there admitted to finding the book weak. Is it possible that Wisner's true talent is to lure readers in with his charm and (arguable) wit, delivering nothing more substantive? Indeed, even I did not confess to my book club my utter distate for his collection of anecdotes.
In my opinion, "Honeymoon with My Brother" was a waste of a good six hours of my time. It is merely a glorified blog written by a narcissistic, privileged white male. Throughout the book, Wisner attempts to impress us with lessons learned. On the contrary, I find Wisner to lack the personal insight necessary to truly understand how little he seems to be able to learn. As far as I can tell, his own account reveals that he learned absolutely nothing that would enable him to become a better human being. Yes, I know that Wisner is under the impression that he learned important "stuff" throughout his adventures and misadventures, but I would argue that those lessons were mostly obvious and superficial.
At best, "Honeymoon with My Brother" might amuse some as a cute travel blog.
Zaman dahulu kala, saya pernah merasa sangat marah ketika seseorang yang merasa dirinya berkuasa melarang saya untuk bertugas di tempat biasanya saya bertugas. Yang membuat saya sangat marah sama sekali bukan karena larangan tersebut, tapi cara dia menyampaikannya dan alasannya.
“Lo ga usah datang lagi … bla-bla-bla ...”
SMS itu saya terima sesaat sebelum meninggalkan parkiran bandara. Gila!!! Hanya dengan SMS??? Apa tidak bisa disampaikan secara langsung atau lewat telepon? Emosi. Semakin emosi lagi saat saya merasa perlu membaca alasannya itu berulang-ulang hanya untuk memastikan mata saya tidak salah membaca. Alasan yang sangat pribadi, sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Tidak bisakah urusan pribadi dipisahkan dari urusan pekerjaan? Konyol! Kampungan! Pikirku saat itu. Kalau memang saya melakukan kesalahan dalam tugas, tentu dengan lapang dada dan lapang hati akan saya terima keputusan ini.
Sial! Seumur-umur, baru kali ini saya diperlakukan orang dengan cara seperti ini. Seandainya saya berada dalam adegan film kartun, mungkin asap sudah mengepul keluar dari kedua telinga saya, bahkan dari ubun-ubun. Selama beberapa hari saya terpaksa beraktifitas dalam rasa kesal hingga akhirnya saya bisa berdamai dengan diri saya, tapi belum dengan orang itu.
Beberapa waktu kemudian, saya merasa bersyukur tidak bertugas lagi di tempat itu (tapi masih tetap tidak setuju dengan cara orang itu). Banyak kesempatan yang muncul di depan mata. Kesempatan-kesempatan yang memberikan saya kesempatan untuk lebih berkembang. Kesempatan-kesempatan yang tidak mungkin saya raih ketika masih bertugas di tempat itu. “Pasti ada hikmah di balik ini,” kata teman saya waktu itu. Ya, ini seperti “blessing in disguise”.
Dan akhirnya, saya jadi mampu bersyukur karena pernah bertugas di sana. Saya juga mampu memaafkan dia meski saya merasa tidak perlu lagi punya hubungan dalam bentuk apa pun dengan orang itu. Saya tidak mendendam, hanya saja saya tidak ingin kejadian serupa (dan kejadian-kejadian lainnya) tidak terulang lagi di kemudian hari.
Blessing in disguise. Kalimat itu dan juga kenangan mengenai kejadian itu muncul lagi ketika saya membaca buku ini. Memang, kejadian yang saya alami sama sekali tidak ada apa-apanya dengan apa yang dialami oleh Franz Wisner.
Karir Franz sebagai pelobi, eksekutif humas, dan sekretaris pers pemerintah terbilang cukup sukses. Bisa dibilang hidupnya sudah mapan. Dia juga punya kekasih yang sudah bertahun-tahun mendampinginya dan siap untuk menikah. Sayangnya, keadaan tiba-tiba berbalik. Seminggu sebelum acara pernikahan, calon istrinya membatalkan rencana pernikahan. Hidup Franz terasa hancur berkeping-keping. Kebahagiaan yang sudah berada di depan mata tiba-tiba memudar. Semua biaya persiapan pesta pernikahan seolah terbuang percuma. Belum lagi menahan rasa malu karena undangan sudah terlanjur disebar. Dibantu oleh sahabat-sahabat dan adiknya, Franz menelepon setiap undangan untuk memberitahukan pembatalan acara pernikahan itu.
Serasa hidupnya belum cukup hancur, entah kepingan-kepingan kehancuran itu masih kurang kecil, Franz harus menerima penurunan jabatan di kantornya. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Kasihan deh loe!? Sehancur itukah dia menerima musibah itu? Terpurukkah dia? Tidak. Pada akhirnya, Franz - dengan dorongan orang-orang terdekatnya - memutuskan untuk tetap melangsungkan pesta pernikahan dan juga bulan madu meski tanpa kehadiran mempelai perempuan. Dalam pesta, dia bersenang-senang dengan para tamu, sekedar untuk meringankan bebannya, meski hanya sementara. Sementara untuk urusan bulan madu, Franz meminta Kurt, adiknya, untuk menjadi pasangan honeymoon-nya.
Singkat kata singkat cerita, Franz dan Kurt – yang sebelumnya sudah bercerai dari istrinya - memutuskan untuk keluar dari pekerjaan mereka, menjual rumah mereka dan menyumbangkan sebagian besar barang-barang mereka, lalu pergi berbulan madu, melakukan perjalanan ke puluhan negara (termasuk Indonesia), dan sempat menjadi backpacker. Perjalanan itu berlangsung selama empat tahun.
Banyak hal yang mereka alami dan pelajari selama melakukan perjalanan. Hubungan abang-adik itu sebelumnya tidak begitu akrab, tapi perjalanan panjang membuat mereka semakin bisa mengenal dan memahami kepribadian masing-masing. Perjalanan itu juga membuat cara mereka memandang hidup jadi berbeda. Tapi yang paling utama, mereka sedikit demi sedikit bisa meninggalkan rutinitas hidup dan pekerjaan yang menjemukan, dan melakukan sesuatu yang membuat mereka bisa menikmati hidup.
Apa yang tadinya terasa bagaikan bencana dalam hidup, ternyata jadi pembuka jalan bagi Franz untuk bisa menikmati hidupnya. Blessing in disguise. (lagi)
Berikut salah satu paragraf yang dia tulis yang menurut saya sebagai ungkapan kalau tak selamanya seseorang itu berada di bawah kendali orang lain. Berada di bawah kendali diri sendiri masih jauh lebih nikmat:
“Selama bertahun-tahun, aku menulis untuk orang lain. Pernyatan pers untuk Gubernur Pete Wilson, pidato untuk para eksekutif di The Irvine Company . . . Sekarang, selama perjalananku, untuk pertama kalinya dalam kehidupanku, aku menulis untuk diriku sendiri. Kapan pun aku mau. Tentang apa pun yang kuinginkan. Kapan pun aku mendapatkan dorongan untuk menulis, aku akan menyambar pena, menorehkan catatan, menghabiskan waktu di warnet, serta mengirimkan beberapa buah pemikiran dan pengamatanku kepada keluarga dan teman-temanku.” (Hal 407)
Sejumlah surat kabar malah tertarik untuk mempublikasikan artikel-artikel yang dia tulis. Mungkin karena ditulis tanpa tekanan, tanpa pesan-pesan sponsor, tapi dengan kejujuran.
Inilah yang dia tulis saat berada di Afrika yang penduduknya harus berhadapan dengan bencana alam, gejolak politik, virus AIDS, dan nyamuk malaria.
“. . . yah, mereka telah terbiasa akan hal ini; tapi tidak seorang pun merasa nyaman saat berurusan dengan kematian. Kita semua akan berjuang, melawan, dan meronta darinya. Kesadaran akan mengambil alih, dan kita akan melakukan apa pun agar bisa bertahan hidup. Perbedaannya, orang Afrika melakukannya sambil tersenyum. Dan kemampuan untuk tetap menjadi manusia (muncul) ketika segenap kemanusiaan hancur lebur di sekeliling mereka.” Hal 445
Dan kutipan terakhir ini yang paling saya suka:
“Mereka akan memahami bahwa kemiskinan tidak secara otomatis sama dengan ketidakbahagiaan. Beberapa senyum terlebar yang pernah kami lihat berasal dari wilayah-wilayah berpenduduk miskin . . . Mereka akan tahu bahwa komunitas miskin tidak seluruhnya “mengenaskan”. Ada energi persahabatan yang jarang dijumpai di kota-kota Barat.” Hal 476
Pada akhirnya, kepingan-kepingan kehancuran yang sempat terjadi dalam hidup Franz, akhirnya berubah menjadi kepingan-kepingan mozaik dalam warna-warna yang indah, yang kemudian saling menyatu untuk membentuk sebuah karya yang indah dalam hidupnya.
Meski buku ini tidak serta merta membuat saya berteriak “WOW”, tapi banyak hal yang bisa dijadikan pelajaran dari buku setebal 485 halaman ini. Tiga setengah bintang - antara like it dan really like it - a.k.a. almost really like it.
I did give this book 3 stars, though I debated for quite some time, but then I went back and changed it, because, on reflection, I really really didn't like the guy. There did seem to be SOME important personal revelations at the end. The author did seem to WANT the book to convey that he went on this journey and found his true self in the process. However, I found it hard to get past the fact that what this book really was is the story of a rich Republican (who doesn't seem to come to any revelations about that despite being exposed to the rest of the world's poverty) that gets jilted and takes himself on a pampering journey of self-discovery and gets laid a lot in the process. I felt perhaps I could understand why Annie couldn't marry him, because every other woman he met was simply a good piece of ass. Of course, he felt moderately bad about that at times, but not enough to ever give any of these women any further thought. And the whole point? Stop here if you don't want it spoiled for you... He winds up EVEN RICHER due to inheritance so he and his brother get to go back on their travels and don't have to go back and get jobs! OH HAPPY DAY! Hmm... somehow I'm not really seeing him as a "vagabond" as he's described in the bio on the jacket of the book. Long story short? It's great and all that these two rich dudes are able to pack up and leave their sad lives of $77,000 bonuses at work. It would be even better if they'd write a book about how the rest of us poor and middle class folk can do the same thing.
The first thing I looked up when I read this book is what the heck is panic attack. I know I panicked when I couldn't find my glasses, when I forgot where I put my debit card, or worst when my family begin the inquiries when will I get married and have children! -oh father I know you want grandchildren but didn't you aware that milk and school fees are only available for the riches in this country?
Anyway as usual I looked up to wikipedia and here's what I found, Panic attacks are very sudden, discrete periods of intense anxiety, mounting physiological arousal, fear, stomach problems and discomfort that are associated with a variety of somatic and cognitive symptoms. The onset of these episodes is typically abrupt, and may have no obvious triggers. Although these episodes may appear random, they are a subset of an evolutionary response commonly referred to as fight or flight that occur out of context. This response floods the body with hormones, particularly epinephrine (adrenaline), that aid it in defending against harm. Experiencing a panic attack is said to be one of the most intensely frightening, upsetting and uncomfortable experiences of a person's life. According to the American Psychological Association the symptoms of a panic attack commonly last approximately thirty minutes. However, panic attacks can be as short as 15 seconds, while sometimes panic attacks may form a cyclic series of episodes, lasting for an extended period, sometimes hours. Often those afflicted will experience significant anticipatory anxiety and limited symptom attacks in between attacks, in situations where attacks have previously occurred.
To be honest I still did not get it, until I read the next line. Panic attacks are commonly linked to agoraphobia and the fear of not being able to escape a bad situation. Many who experience panic attacks feel trapped and unable to free themselves. ahhhh alright now I get it!
So this sickness has brought the bride cancelled her wedding few days before the day. I can imagine how devastated it was for Franz, the groom. And in this moment there's always someone who will say, 'Dudeeee there's something beautiful awaits you at the end of the road, you'll be thankful once you realised it!' But I personally think that Franz was in a rollercoaster ride and stucked in a nightmare of unable to stop the darn machine [I'll never ride that hell of machine again I swear!:].
I couldn't stop comparing this memoir with Greg Mortenson's Three Cups of Tea. Oh how I wished Greg wrote his own memoir instead of having David Relin. Franz relates us to every emotion rollercoaster he had. When he's devastated we know exactly how much his heart was shattered. When he said he loves United States of America to the American backpackers that cursing their own country, you know he means it[as you expected from a Republican:]. When a six year old boy in Vietnam squeezed his penis, I can tell the pain [not that I have one, but a friend took all effort to describe it and even more but let's not talk about it here:]. Or as several Malawian children accompanied him when he had a short-distance run, hugged his legs and then left him crying alone in the road. He's crying for his Africa.
Kurt is the reason this honeymoon like a lively football match. There's drama, tension, pride and tears. I think Franz will never blessed the day Annie cancelled their wedding, but at least he can have his little brother again and found a new best friend within the same guy. The one who accompanied him throughout the honeymoon, who totally ignored his brother's ex-fiance that had a lunch with her husband [sc**w her!:] Franz loves him for that, I'll give my first born! I really can't wait for their next journey book, for LaRue ... cheers!
***
Hal pertama yang aku lakukan saat membaca buku ini adalah mencari tahu di wikipedia apa sebenarnya penyakit 'Serangan Panik' itu. Aku panik jika tidak bisa menemukan kacamataku, atau kartu debet yang ternyata ketinggalan di Indomaret, atau yang terparah ketika keluarga besarku mulai bertanya kapan aku akan menikah dan punya anak! [Aku tahu bapak ingin punya cucu tapi pak harga susu melambung tinggi belum lagi biaya sekolah yang gila-gilaan di Indonesia Raya ini!:]
Aku menemukan defenisi ini di wikipedia, Panik adalah suatu kondisi kecemasan yang sangat berat yang disertai dorongan untuk lari atau bersembunyi sewaktu menghadapi suatu kondisi yang dirasakan berbahaya atau mengancam. Rasa takut yang muncul tiba-tiba ini dapat menghilangkan kemampuan berpikir dan mempengaruhi kelompok atau individu manusia atau hewan yang awalnya cenderung untuk menyebabkan sikap diam tak bisa berbuat apa-apa. Panik umumnya timbul pada kondisi bencana, atau kekerasan seperti perampokan dan penjarahan yang dapat membahayakan kesehatan atau jiwa. Kata ini berasal dari nama dewa mitologi Yunani Pan yang memiliki kemampuan menimbulkan ketakutan untuk sendiri atau berada di daerah terbuka.
Sebenarnya sih defenisi masih terlalu umum bagiku, namun di wiki edisi Inggris aku menemukan satu kalimat lanjutan bahwa Serangan Panik ini sering dikaitkan dengan agoraphobia, dan ketakutan tidak mampu melepaskan diri dari situasi yang buruk. Dan banyak yang mengalami serangan panik ini merasa terjebak dan tidak bisa melepaskan diri.
Jadi sekarang aku paham penyakit (jika ini bisa dikatakan penyakit) yang membuat Annie membatalkan pernikahannya hanya beberapa hari dari hari H. Bisa dibayangkan betapa hancurnya perasaan Franz. Memang sih di situasi seperti ini pasti akan ada yang bilang, 'Teman pasti ada sesuatu yang baik di balik penderitaan ini!' Tapi menurutku tidak semudah itu karena sepertinya Franz terjebak dalam wahana rollercoaster yang tidak bisa berhenti dan terus bergerak dalam variasi kecepatan yang memusingkan [sumpah aku gak mau lagi naik mesin mainan si**an itu!:].
Sepanjang perjalanan emosi Franz ini aku juga sulit untuk tidak membandingkannya dengan memoar Greg Mortensen [Three Cups of Tea:], sumpah aku pernah berharap seandainya Greg menulis sendiri memoarnya! Franz melibatkan pembaca dalam setiap naik turun emosi yang dia rasakan. Ketika hatinya hancur, kita menyadarinya. Saat para backpackers asal negeri Paman Sam menghujat negaranya sendiri dia dengan lantang bilang 'I love America' dan memaparkan apa yang bisa ditawarkan oleh negaranya bagi dunia (Republikan sejati nih). Saat seorang anak kecil berusia enam tahun 'meremas' penisnya kuat-kuat, bisa dibayangkan rasa sakitnya (emang sih aku gak punya, tapi ada temen yang bikin sesi khusus menjabarkan rasa sakit luar biasa proses ini hehe). Yang membuatku ikut berkaca-kaca adalah ketika suatu hari Franz berlari santai di Malawi, segerombolan anak kecil kurang gizi berlari bersamanya, memeluk kaki-kakinya kemudian pulang ke rumah mereka .. dan meninggalkan Franz sendirian, menangisi Afrika-nya.
Satu hal lain yang menarik dalam buku ini adalah Kurt Wisner, sang adik yang rela terbang jauh menemui sang abang yang ditinggalkan beberapa hari sebelum pernikahannya. Keberadaan Kurt membuat perjalanan bulan madu ini sehidup sebuah pertandingan bola. Ada drama, tekanan yang tinggi, harga diri dan air mata. Mungkin Franz tidak akan pernah mengucap syukur ditinggal di altar, tapi berkat kejadian itu juga dia menemukan kembali adik laki-lakinya dan bonus sahabat baru di tubuh yang sama. Seorang adik yang menjadi teman seperjalanan, yang begitu dingin mengacuhkan Annie ketika tanpa sengaja mereka bertemu dengannya di suatu siang.
Besulang untuk perjalanan mereka selanjutnya, untuk LaRue!
Theresia Meidina, itulah yang mereka tau Perkenalan formal memanggil tere Perkenalan informal cukup dengan rhe Bukan Re seperti dewa matahari dengan sesaji chamomile Tak juga re dalam sebuah melodi lagu Tapi rhe dengan H di tengahnya Nada yang belum ditemukan atau justru terlupakan
Saat pendidikan bukan lagi kebutuhan tapi tuntutan sosial Anak dunia yang terdaftar sebagai mahasiswa fakultas jalanan ini Belum juga menuntaskan studinya dalam mempelajari manusia
Orang-orang bilang rhe itu manusia Tapi saat semua dinilai dari selembar surat Mereka sebut ijazah Rhe belum juga lulus dari fakultasnya Belajar ilmu tentang manusia Jadi apakah rhe bisa disebut manusia? Jika rhe belum juga lulus dan mendapat gelar sarjana Untuk bisa disebut sebagai manusia
Lalu siapa rhe? Atau lebih tepatnya: Apakah rhe itu?? Mengapa tere??? Bagaimana mereka hanya tau Theresia Meidina????
-140909-
tulisan iseng selepas dinyatakan tidak lagi menjadi mahasiswa itu langsung terlintas ketika membaca buku ini. kisah perjalanan kakak beradik yang keluar dari rutinitas na untuk keliling dunia. sebenar na dunia itu apa?
setiap hari kita bangun dan menjalani rutinitas. 'ini duniaku' mungkin orang-orang sering menyebut na begitu. tapi segitu sempitkah dunia ini sampai kita masuk ke wilayah nyaman na dan enggan untuk keluar lagi. klo aku pergi aku ga kerja. klo ga kerja ga punya duit. klo ga punya duit hidup pake apa? kekhawatiran semacam itulah yang sering menghabat seseorang untuk keluar dari wilayah nyaman na. frans dan kurt pun sempat merasakan hal ini di akhir perjalanan mereka.
namun, kalau melihat lagi dari apa yang kita peroleh. bisa jadi itu sebanding dengan apa yang telah kita keluarkan untuk mendapatkan na. sebuah perjalanan bukanlah kesia-siaan, pasti ada hal yang bisa dipelajari dan diperoleh di dalam na. universitas jalanan bahkan tidak pernah memungut biaya formal untuk apa yang telah mereka ajarkan. ujian na pun tak sekedar hitam di atas putih yang tak bisa kita terapkan.
fakultas ini tidak hanya akan menelorkan buruh-buruh berdasi yang menjadi kapitalis paroh waktu. lihat waktu rhe, 15 tahun dipersiapkan melalui pendidikan formal dan berakhir dalam kubikel di depan komputer. ini duniaku? tentu na bukan. duniaku ada di luar sana. ntah sedang bersama siapa, menunggu penjelajahanku selanjut na :)
Terus terang saja ini adalah buku tentang travelling pertama yang saya baca. Menceritakan seorang Franz Wisner, seorang lelaki yang diputuskan beberapa hari menjelang hari pernikahannya oleh Annie, tunangannya yang telah 10 tahun dipacarinya. Franz yang patah hati memutuskan mengajak Kurt adiknya yang tidak begitu dikenalnya untuk "berbulan madu" ke Kosta Rica, tempat yang direncanakan Franz sebagai tempat berbulan madu bersama Annie setelah mereka menikah.
Petualangan mereka berlanjut ketika mereka memutuskan untuk mengelilingi dunia berdua. Dimulai dari Eropa Timur berlanjut ke Asia Tenggara, Amerika Latin dan berakhir di Afrika ala backpacker (gak semua bergaya backpacker sih). Franz berusaha keras untuk "melupakan" Annie dan berusaha untuk lebih mengenal adiknya dalam perjalanan selama dua tahun mereka.
Menarik dan kocak, itulah kesan pertama saya ketika membaca buku ini. Mungkin karena Franz menceritakannya dengan gaya komikal tentang petualangannya. Bagian yang menarik bagi saya mungkin adalah surat-surat yang ditujukan kepada LaRue, nenek tirinya (ada surat khusus yang menceritakan tentang Indonesia). Sayang, seperti kebanyakan turis asing lainnya tempat yang dikunjungi oleh Franz dan adiknya hanya Bali, Lombok dan pulau Komodo aje.
Ini beberapa bocoran yang mebuat ngakak ketika membaca buku ini
Hal 263 Hierarki Packer ditentukan melalui topik pertama yang selalu dibicarakan---jumlah tahun yang telah dihabiskan dijalan, atau, lebih khususnya, "Sudah berapa lama kau keluar?" Status pemula untuk tiga bulan atau kurang. Setahun berkedudukan sama dengan wakil presiden bank---pangkat yang lumayan, tapi banyak yang mendudukinya. Dua tahun di jalan adalah jendral Australia, pangkat yang diambil untuk menghormati konsep perjalanan Aborigin. Dua hingga lima tahun, dan kau berada di puncak. Lebih dari lima tahun kau akan dianggap ... gila. Lima tahun lebih dan bahkan para backpacker pun akan berpikir kau seharusnya mulai memakai dasi.
Hal 349-352 (Ekuador) Dean, Backpacker Sinting
"Sudah berapa lama kau di jalan?" tanya Kurt "dua puluh lima tahun." Aduh, Dia merendah. Kami sedang berhadapan dengan Yoda. ............................ Aku meminjam pena si pelayan untuk mencatat saran Dean. "Apa kalian pernah dengar soal Rainbow City?" "Di manakah itu? Bolivia?" Hening sejenak. Dean melihat ke sekeliling kami untuk memeriksa apakah apakah ada orang lain yang mencuri dengar. "Letaknya 800 km di bawah tanah," katanya. "Aku berencana kesana secepatnya." Pelayan, tidak jadi meminjam pena. Bonnya saja. Yoda baru saja memberi tahu kami soal perjalanan ke negeri antah berantah Dean terus saja berbicara tentang Rainbow City... ................................ tapi aku merelakan tidur siangku. ini lebih menarik.
Huwahahaha *guling-guling*
Hal 277 (Vietnam) "Aku sangat senang mendengarnya," kata Kurt. "Sebuah kisah cinta sempurna dari Vietnam. Siapa tahu, Tu, kita juga akan mengalaminya." "Tu" kata gadis itu menyebutkan namanya, "D'ew." "Tu." "D'ew." "Bagaimana mengejanya?" "T-U." "Aku juga sudah bilang begitu, Tu." "D'ew." "Duh," Kurt terus berusaha. "D'ew." "Ada yang lapar? Mau makan?"
Huwahahaha...
"Gong" yang bikin ngakak (buat saya) ada ketika mereka di Vietnam. Hal 287 (Vietnam) Duel antara Franz versus bocah lelaki enam tahun
Anak2 yang lain mengerumuni dan mendorong-dorong bocah itu ke arah kami. Sang ksatria gagah berani. Dia menghampiri kami dengan tatapan penuh tekad. "Lihat ini Kurt." Aku berdehem dan memamerkan pose Karate Kid terbaikku, merentangkan kedua tanganku lebar-lebar. Tepat ketika aku hendak menjeritkan yel yang membekukan darah, anak kecil itu berlari ke arah kami. Serius, penuh tekad, dia berlari kencang ke arahku, mengulurkan tangannya, dan meremas penisku. Keras, bukan sekedar cubitan. Genggaman memeras-jeruk-hingga-ke-ampas-ampasnya". Dan dia tidak mau melepaskan tangannya. Aku hanya mampu berdiam diri. Mencengkram pinggang dengan kedua tangan. Syok. Tidak ingin menunjukan ke pada anak-anak bahwa aku luar biasa kesakitan atau ingin muntah. Mereka bersorak sorai dan mengelu-elukan si pendekar penyambar penis itu. Dia melepaskan organ tubuhku dan berlari kembali ke arah mereka, mendapatkan tepukan di punggung dari teman-temannya. Sang pahlawan penakluk. "Bangsat kecil itu!" Kurt tidak mampu menahan tawa. Aku mengusap air mataku dan mengatakan kepadanya bahwa aku butuh tidur sejenak sebelum kami makan malam.
HUAHAHA.. haduh! haduh! semua kaum testosteron sepertinya bisa membayangkan "kengiluan" itu, HUAHAHA ................................
Hal. 119 "Kau kelihatan ramping, Franz," kata seorang sekretaris baik hati di kantorku pada suatu hari. "Apa rahasiamu?" "Aku mengikuti program baru yang hebat. Aku diputuskan sebelum pernikahanku dan mendapatkan penurunan jabatan di tempat kerjaku. Hasilnya aku kehilangan delapan kilogram dalam hitungan hari."
Bwahaha...
Hal 176 (Russia) "Maafkan aku," kataku kepada si pirang. "pasti ada kesalahanpahaman. Sebut saja aku kuno, tapi aku tak mau membayar untuk seks. Kau sepertinya gadis baik-baik, dan aku senang saat bersamamu. Bagaimana kalau kita akhiri saja malam ini?" "Bagaimana kalau lima puluh dolar saja?" "Bagaimana kalau kau kuberi kartu nama saja?"
Huahahaha...
Hal 196 (Bulgaria) Tawar menawar "harga" tilang critanya... Polisi itu berjalan kembali ke mobil kami dan meyodorkan selembar kartu kecil ke wajah Kurt. Tulisannya, dalam bahasa Inggris: Anda telah melanggar peraturan lalu lintas dengan melewati garis kuning ganda. Denda untuk pelanggaran ini adalah 100 leva. Kami menerima uang tunai atau kartu kredit. "menurutmu aku bisa berpura-pura buta huruf?" tanya Kurt
Huahahaha lagi...
Hal 213 (Turki) Tentara yang "iseng" minjem mobil baru Kurt... Saab yang melaju kencang kembali muncul di ujung jalan. Aku dapat melihat mobil itu menukik, bannya menyentuh bahu jalan, pada kecepatan penuh. Mobil itu melewati kami dengan kecepatan setidaknya seratus lima puluh kilometer per jam. "Dia tahu cara menyetir, kan?" tanya Kurt, setengah bercanda, kepada salah seorang prajurut yang berdiri disampingnya. Tidak,"kata si prajurit. "Sepertinya ini pertama kalinya."
I enjoyed some of the anecdotes from around the world, but I could have done without the preaching and unasked-for advice.
I wanted to like this book, and I'll admit it made me think a great deal about choices we make and world travel, but most of all, I am left with a feeling of discomfort with the book's marketing and refrains. Now that Wisner is married it seems in poor taste to continue sketching himself as jilted. I don't feel that the angle of "left at the altar" [he was notified five days before the scheduled wedding:] is necessary or helpful. I was happy for Wisner when he found he was over his ex but I also grieved for her a bit. I'm sorry we never got to hear her side of things. I guess it gave a solid depiction of how complicated love can be, but the worthwhile sections of the book are mostly about plain old travel.
I tensed (or bristled, maybe?) at what seemed to me to be unwitting looksism on the part of the author and his brother. He travels the world to meet real people and still continues to speak of women and their looks before anything else about them. Perhaps other male authors are more careful or more forthright, but the author's diatribes paired with his depictions of women upset me. I felt he was, without knowing it himself, a self-congratulating hypocrite.
I would recommend this book to anyone who loves travel or senses a loss of closeness with a sibling. I thought of many people who might enjoy reading this book. The author ticked me off just enough and the writing was inconsistent enough that I think I will only recommend it to people who either wont notice these things, exhibit these things themselves, or would genuinely enjoy the book for its better qualities.
The last fifth or sixth of this book was good, because then author Franz Wisner seemed at his most honest. At the point, the book felt a bit like a conversation. For that reason, I give the book two stars. As for the totality of the book, it has an interesting premise but falls dead flat. So Wisner first tells about how he gets dumped at the altar and gets downgraded at his job. However, since he's already booked the tickets for his honeymoon, he decides to travel with his brother Kurt. But still at a loss for what to do with his life after that, he decides to trek through 50-some-odd countries. Again, this is a great premise. But I have a feeling that Wisner doesn't know that the reason why his previous life broke down so quickly, and the reason why his book is not so great, is because he's generally unlikable. I'm sure his parents and close friends like him. And I even think the guy is superficially likable. I met him when he came to my university to talk about this book. He's handsome and initially charming and witty, but beneath that patina of charm and wit lies this deep and real emptiness, I think. I dunno. Maybe he's changed. But given that he wrote this book on reflection, maybe not.
This book was, at times, entertaining (so entertaining that I sometimes questioned his validity). But mostly I found it annoying. Or, I should say, I found the author annoying. If I had to hear about one more "tanned, long-legged, silky-skinned" woman he hooked up with in his sojourns around the world, I was going to stick my finger down my throat! It also bothered me how snobby he became as he traveled for 2 years. He, and only he, knew the right, the authentic way, to travel. He and his brother continually made fun of the rest of the tourists. Uh, Franz, not everyone can just drop everything and go off trekking around the world like you did. Some of us can only spend a few days in a location because we have families, jobs, and a limited budget. That does not make you a superior traveler. You do, however, have connections that enabled you to get your self-indulgent book published. And, oh no...there's another one coming!
Ini buku yang gue pinjem dari Harun. Seinget gue covernya ngga begini deh. Oh ya, gue juga baru inget kalo Harun juga pernah ngomong gini, "Eh, elo tuh kalo baca bukunya terjemahan, bikin reviewnya juga pake buku yang terjemahannya." Intinya dia mau bilang, "Kalo lo baca bukunya pake bahasa Indonesia, ga usah sotoy ngaku-ngaku baca buku yang bahasa Inggris dengan majang cover edisi bahasa Inggrisnya ngapah?!"
Aduh gimana, gue kan bikin account di Goodreads cuma buat pamer. HUAHAHAHAHA.. Biarin aja orang-orang pikir gue canggih, karena baca buku dalam bahasa Inggris. HAHAHAHA
Anyway, gue suka sama buku ini. Walopun gue bukan orang yang suka travelling. Ehm. Bukan ga suka travelling. Tapi belom mampu travelling. Tar deh, kalo duit gue udah banyak. Atau kalo niat gue untuk jadi backpacker sudah melebihi cita-cita gue untuk wisata kuliner makanan fastfood from mall to mall.
Jadi ceritanya, Franz Wisner ini roda kehidupannya sedang berada di bawah. Dicampakkan beberapa hari sebelum menikah sama ceweknya (kenapa ngga nyari gueee??), terus didemote dari jabatannya di perusahaan. Tapi, karena semua persiapan pernikahan udah dilakukan (nikahnya private party gitu bo.. di cottage.. tuh kan, kenapa ngga nyari gue aja sih buat gantiin si Annie?? sebal) jadilah pesta itu tetap diadakan. Tapi karena kebaikan hati teman-temannya dan simpati serta empati mendalam yang akhirnya bikin temen2nya tetep mau dateng ke pesta itu walopun ga ada pengantin wanitanya.
Rencana bulan madunya bergeser dari dia dan mantan calon istrinya menjadi dia dan adiknya. Dan mereka keliling dunia BO!! Resign dari kerjaannya, jual-jualin semua perabotan. Duitnya dipake buat keliling dunia dari Asia ampe Afrika.
Coba gue juga bisa membuat keputusan se-drastis itu yah. Resign dari kantor, dan menjual semua perabotan rumah, pastinya gue juga akan keliling dunia demi menghindari ayunan golok bokap dan nyokap gue karena gue udah ngejualin semua perabotannya mereka...
Hal menarik dari buku ini adalah tentang taksi gelap di Bangkok. Gue bisa kasih referensi ke temen kantor gue yang dari Melbourne, cara menghindari taksi gelap di Bangkok.
Deketin tukang taksinya pelan-pelan. Terus tanya sambil bisik-bisik, "Kamu taksi resmi apa taksi gelap?" Kalo dia jawab, "saya taksi resmi!!" kita bilang, "Sori, saya mau cari yang taksi gelap.." Kalo dia bilang, "Saya taksi gelap.." kita bilang, "Maaf, saya mau cari yang resmi.."
HUAHAUHUAHUAHUAHUA oh, satu pelajaran lagi. Jangan pernah percaya buku referensi wisata. Sumber referensi wisata terpercaya adalah: penduduk setempat, atau teman sesama backpacker. Jadi kalo mau backpacking, beli peta sama buku referensi wisata, tapi jangan terlalu percaya.
The author gets dumped by his fiancee a few days before his wedding, so after a raucous and drunken weekend with friends, he takes his brother and his $77,000 semiannual bonus, earned by being a Republican press secretary and lobbyist, and heads out for an extended "honeymoon", renting his $500,000 house to friends and continuing to pay the mortgage in the meantime. So sad, right?
I had a hard time getting into this book. Go figure.
Wisner's eventual realizations are genuine and feel-good, but then you remember he's 35, not 25, as he's having them. And really, it takes him the better part of two years to peel off his upper class American blinders and see reality in all its beauty and brutality. For most of the book, he came off as a good ol' boy from the club. I don't think I would have wanted to know him until he was done with that two-year honeymoon; I mightn't have liked him and certainly wouldn't have respected him. I still don't think I would like most of his friends as he describes them. I think it's because they're so capitalist. Is there anything wrong with that? Not necessarily. It's just not how I want to live in the world.
As for being dumped just before the altar, that's brutal on anyone. It becomes abundantly clear that Wisner and his fiancee should never have made it that far; the signs things wouldn't work were flashing neon for years. I can't say an uncommunicative workaholic would've floated my boat either. I also can't say an uncommunicative ostrich should've floated his.
I was disgusted by the rich-boy bits of this book--Wisner takes out his wallet and waves it at a friend to indicate the friend can't afford to be at the political level Wisner's at. At the GOP convention, that is. The gradual recognition of the beauty of the outlook of the retirees ("Where are you going next?" vs "What will you do for work when you stop?") was lovely and a point well taken. Work to live or live to work?
The little revelations are a little smarmy, but by the end of the book I believed Wisner was finally experiencing the world in real time, neither as a capitalist Republican nor as a recovering capitalist Republican, but just as a person in the world.
It took most of the book, but I finally like Wisner. Mostly.
it was less about the travel more about franz, franz, franz, and a bit of kurt (his brother) and the rest of the world. the editor either did the best they could or should get another gig...it was difficult to follow the time line when they returned to California to sell the house... when they traveled america after sept. 11 was just whining...as if adventures and seeing a different way of life only happens in countries in which you don't speak the main language. i realize that franz wisner is a real person so i am holding back since i know nothing more about the guy then what he wrote... his little chapter about why it would be good for children to travel to places like cambodia saddened me... here is a guy who does not know that on the other side of his city that there are people who do not have a cushy life and are plenty interesting... the guy illustrated small minded, republican who can't not have an audience. if only someone would use this book to knock some sense into him.
would have been nice to get kurt's perspective and some of his photos... what the heck is the plug for putumayo world music about.
poor annie (the ex bride to be), he never really seemed to know her but orchestrated a long relationship with her...
I expected this book to be better. I felt Wisner was a tad full of himself - even as he adjusted to getting dumped by his fiancee. When he started talking about his high-powered job - and how he had "held the checkbook" for his company for 5 years it really turned me off. Boo-hoo that his couch wouldn't fit into his smaller office - most people don't have a couch in their office. So my point? Weisner's a spoiled guy. And then yes, this embarassing and heartbreaking thing happens to him. So he takes his brother on his honeymoon and then they decide to leave their jobs and their homes to travel the world for 2 years (partially funded by Weisner's $77,000.00 bonus - that he received after being demoted - again, boo-hoo). So some of the time they really do rough it. And they do really immerse themselves in each culture that they experience. However, then Weisner starts acting like staying in a country for 2 months and flying by the seat of your pants as far as where you're going to stay and what sites you are going to visit is the only way to travel. Who has time for that???
When his fiancée dumped him five days before their wedding, Franz called on his brother Kurt to help him cancel the event. Nonrefundable airline tickets, and deposits on the venue / musicians, etc helped make the decision for them. They held the party anyway, and then decided they’d go on the honeymoon together (with no champagne and no “honeymoon suites”). This is a memoir of a year and a half spent traveling the world, trying to forget.
Boring.
This should have been interesting, but I quickly tired of his continued laments about Annie (the fiancée), and his attempts to forget by bedding any girl who was remotely willing. Not to mention his constant references to what fantastic careers he and his brother had, the amount of bonus money he got, the famous people he met, the profit from selling their homes, etc. He came off as self-absorbed and immature. Annie was right to bail.
The author's fiancée dumps him, after a nine-year relationship, one week before his wedding. He celebrates what would have been his wedding day and decides to take his brother with him on what was originally to be his honeymoon. This book is about Wisner's self-discovery and getting to know his brother on their two-year journey, where they travel to many parts of the world. Personally, I would hope that the author has adjusted his far-right leanings a bit more to the left now that he's seen much of the world.
Dengan berat hati memberikan 3 bintang saja, karena waktu membeli buku ini sempat punya bayangan setinggi langit mengenai hubungan adek dan kakak yang katanya sempat asing terus jadi akrab.
Sebagai pria yang benar-benar cinta mati ma tunangannya memang tidak mudah untuk melupakan cintanya yang sudah 10 tahun bersama dan tinggal serumah. Franz bukan saja telah diputus tapi juga dipermalukan didepan teman-teman dan keluarga akan keputusan Annie yang menggagalkan pernikahan seminggu sebelum hari pernikahan. Semua yang telah dipersiapkan dengan matang, tempat resepsi di Sea Ranch California, Keluarga yang mulai berdatangan dan teman-teman jauh yang sudah memesan tiket pesawat untuk datang. Serta tiket perjalanan bulan madu ke Kostarika-pun serasa tinggal kenangan...*mendramatisir*
Perjalanan Franz dan Kurt yang dimulai (resminya, padahal dah dimulai di Kostarika yang kemudian memunculkan ide untuk berbulan madu selamanya sambil keliling dunia) di Eropa Timur dan Timur Tengah kemudian ke Asia Tenggara, Amerika Latin dan Afrika. Lumayan asyik dan menghiburlah buku ini, jadi pengen jalan-jalan. Tapi menurutku pengalaman paling seru adalah pengalaman mereka bertemu dengan orang-orang baru yang tottaly different from them.
Pertemuan pertama adalah dengan Franz si Rusia (namanya sama), yang awalnya mereka pikir penjahat tapi memberikan tips untuk mendapatkan antrian terdepan di imigrasi bandara, dan berhasil membuat Franz dan Kurt diprotes semua pengantre dan dibilang sebagai bajingan tak tahu malu. Kemudian Jana...kalo yang ini mending baca bukunya deh...kacau-kacau-kacau...sempat bikin Franz mati kutu. Kehangatan dan keramahan orang-orang di Suriah. Di Indonesia bertemu Chad si Backpacker dengan Lonely Planet-nya dan Abdullah pengendara van putih bobrok dengan stereo murahan, membawa istri pertama dihari pertama dan istri kedua pada hari kedua serta meminta tambahan tip dengan alasan menghidupi dua keluarga,yang memberikan mereka tumpangan hingga pulau Komodo. Quandy seorang wanita jangkung yang menarik, senyum lebar dan suara melengking menyamarkan 10 tahun masa tugas di AL Thailand ditemani Pen si Juru masak di kapal memandu perjalanan Franz dan Kurt beserta teman-temannya mengelilingi pulau-pulau indah di Laut Andaman. (Duh jadi Ingat Koh Pipi nih). Ohya mereka juga bertemu sopir taksi yang paling menyebalkan didunia....hahahaha. Dan yang tidak kalah seru adalah Dean si sinting yang berhasil membuat Franz dan Kurt mati penasaran akan Rainbow City di Bolivia yang terletak dibawah tanah, diselingi cerita sastranya akan Borges yang cemerlang dan metafora Nobokov....hhhemmmmmm...*berdecak kagum*. Dan banyak lagi orang-orang dari benua Afrika yang punya keistimewaan dimata Franz. Orang-orang ini memberikan andil yang tidak sedikit akan masa penyembuhan Franz dari kekecewaannya. Justru dari orang-orang ini Franz bisa melupakan Annie.
Dan kurasa di Afrika, Franz menemukan arti dirinya bagi kehidupan, seperti ceritanya dihalaman 450-451: ...Oh, wajah-wajah itu, suara-suara kecil melengking itu, wajah-wajah yang memancarkan kebahagiaan murni dengan gigi keropos dan hidung pesek. Anak-anak itu menjerit-jerit dan mengacung-acungkan tinju ke udara seolah -olah mereka memenangkan pertandingan tinju denga TKO, memaksaku berhenti berlari karena tak bisa menahan tawa.
Bocah terkecil dalam kelompok itu, seorang gadis cilik, didorong-dorong oleh teman-temannya. dia hanya mengenakan seprai yang dijahit ala kadarnya. Pakaian itu tidak bisa menyembunyikan perut buncitnya ataupun tulang-belulangnya yang semestinya lebih panjang. Meskipun bertubuh mungil dia memiliki kasih sayang dan semangat besar. Rasa penasaran mendorongnya untuk meraba kakiku, lalu memandangi jemariku. Aku tersenyum, dan dia membalasnya dengan memeluk kakiku dengan sepenuh kekuatan yang bisa dikeluarkan oleh tubuhnya. tak lama kemudian teman-temannya mengikuti jejaknya. Panggilan seorang Ayah dari salah satu gubuk menarik lepas mereka dari kakiku dan memaksa mereka berlari pulang. pria bersepeda meninggalkanku. Aku berdiri ditengah jalan tanah itu, terpaku, dan mulai menangis. Inilah Afrika.
Yah dan selalu menyenangkan apabila kita bisa berbagi mengenai perjalanan hidup kita dengan orang-orang yang kita sayangi. La Rue dan teman-teman tuanya di Eskaton memberi semangat tersendiri pada Franz dan Kurt pada perjalanan bulan madunya. Karena mereka memberikan harapan, cerita, kenangan dan mimpi pada lansia-lansia tersebut.
Nice story dan wajib dibaca buat yang suka jalan. Dan mungkin aku akan menambah bintangnya, jika Kurt yang bercerita akan lebih seru kali yah, mengingat Kurt lebih berani ambil resiko...hahahaha.
Dan akhir kata, there's no place like home. Terus gimana dong kalo setiap tempat dah kayak rumah sendiri?...*halah mulai mengaco nih*
Buku ini diawali dengan kisah nelangsa Franz Wisner yang diputuskan oleh tunangannya seminggu sebelum pernikahan mereka. Dengan dukungan Kurt, sang adik, dan para sahabatnya, akhirnya Franz menjalankan pesta dan bulan madu tanpa mempelai wanita. Bulan madu yang tadinya hanya untuk meringankan kesedihan, akhirnya menjadi pengalaman yang menarik bagi Franz dan Kurt. Kedua lalu memutuskan berhenti dari pekerjaan mereka dan pergi bersama berkeliling dunia. Mereka mengunjungi Eropa, Asia Tenggara (termasuk Indonesia), Amerika Utara dan Selatan, lalu diakhiri dengan Afrika.
Banyak cerita menarik tentang pengalaman Franz dan Kurt di negara2 yang mereka kunjungi. Di buku ini cerita2 itu dituliskan dengan humor yang menghibur. Bahasa adalah salah satu kendala yang sering mereka temui.
Contohnya ketika Franz dan Kurt minum teh di kota Hoi An, Vietnam. Mereka ditemani seorang wanita setempat yang bahasa Inggrisnya buruk dan teman2nya yang tidak bisa berbahasa Inggris. Orang2 Vietnam itu mengangguk2 setiap mendengar kata Orange County, tempat dengan populasi warga Vietnam terbesar di luar Vietnam. Kurt mencoba memfasilitasi obrolan dengan menggambar peta California di selembar serbet. Orang2 Vietnam itu saling berbisik. Akhirnya wanita yang pertama menyapa Franz dan Kurt menggenggam tangan Franz dan berbicara penuh perasaan pada teman2nya. Bbrp temannya menjabat tangan Kurt. Bbrp lagi membungkuk hormat. Para wanita itu tersenyum dan membungkuk sambil mengucapkan selamat tinggal. Lalu Franz bercakap2 dengan Kurt sambil berjalan pulang ke hotel.
"Apa sebenarnya yang terjadi disana tadi ?" tanyaku. "Mana aku tahu. Tapi aku punya firasat, kita baru saja setuju menikahi sepasang gadis Vietnam dan membawa mereka ke Orange County". "Ah, mungkin karena itulah wanita itu terus-menerus bilang 'pretty, pretty'. Kupikir dia membicarakan Hoi An. Aku mengangguk2 saja. 'Yes, very pretty'". "Apa kau menyimpan serbet itu ?" "Tidak. Wanita itu merebutnya dariku". "Apa kau menuliskan nama kita disana ?" "Ya". "Jangan2 dia akan menjadikannya sebagai kontrak untuk mengikat kita secara hukum". "Kita bisa melakukan yang lebih parah". "Mana bisa aku menikah dengan gadis Vietnam" kata Kurt. "Kenapa tidak ?" "Aku tak bisa menyebutkan nama mereka".
Cerita lain ketika Franz dan Kurt akan menjelajahi Delta Okavangod di Afrika.
"Tidak banyak yang bisa dikagumi dari babun" pemimpin kamp memperingatkan saat kami mendaftar. Selalu kunci kamarmu, katanya, atau monyet2 itu akan mengobrak-abrik isinya. Bbrp hari sebelumnya seorang wanita yang menderita nyeri punggung parah mendapati kamarnya berantakan dan persediaan obatnya selama sebulan digasak oleh babun -- babun yang mabuk berat. "Bagaimana kita mengetahui jika seekor singa ada di dekat kita ?" aku bertanya pada pemandu kami pada suatu hari saat kami sedang bersafari jalan kaki. Pertanyaanku dipicu fakta bahwa dia tidak membawa senjata. "Para babun akan memperingatkan kita" jawabnya. Luar biasa. Aku mempercayakan nyawaku pada babun yang sedang mabuk Demerol.
Perjalanan Franz dan Kurt mengajarkan banyak hal, salah satunya adalah rasa bersyukur. "Semakin lama kau berada di jalan, semakin jarang kau akan mengeluhkan hal-hal sepele" begitu tulis Franz. Mereka berdua telah berkunjung ke banyak tempat dan melihat banyaknya kemiskinan di dunia ini. "Bahkan, jika kau hanya memberiku satu kata sifat untuk mendeskripsikan dunia, aku akan menggunakan kata miskin" kata Franz.
Maka ketika salah seorang teman Franz mengirim email untuk menanyakan apakah Kamboja (ketika itu Franz tengah berada di Kamboja) sesuai untuk anak2, Franz langsung menjawab: "Tentu saja".
Mereka bisa belajar banyak dari orang miskin. Begitu pula orangtua mereka. Aku tahu karena aku telah mengalaminya, tulis Franz. Mereka akan belajar bahwa mandi dengan air dingin lebih baik drpd tidak bisa mandi sama sekali. Mereka akan tahu bahwa di sebagian besar dunia, anak2 tidak mengolok2 teman2nya gara2 pakaian dan orang dewasa tidak meributkan baju yang dikenakan rekan2nya. Hanya memakai baju sudah jauh lebih baik drpd harus merisaukan hal2 sepele. ... Mereka akan tahu bahwa ibu mereka benar. Ada orang2 kelaparan di Afrika. Jadi, makanlah sayuranmu.
Buku yang menghibur, sekaligus memberi pelajaran bersyukur :)
Honeymoon with My Brother is a memoir of two brothers experiencing your run-of-the-mill, mid-life Republican backpacking crisis after the elder is jilted by his fiance a couple of days before his wedding. Deciding to plunge ahead with both a party for those already committed to arriving for the celebration and then onward to a honeymoon already paid for, sans the bride, what begins as a two-week break manifests itself to a two-year voyage of self discovery.
Treading softly to begin, they start their travels at the turn of the millennium by visiting countries where friends have already taken up residence, firstly in Croatia and then followed by Russia. As part of a car purchase scheme, the boys then pick up a brand new Saab in Sweden, which becomes their mode of transport for the rest of their journey through Eastern Europe. Not quite the rusted out station wagon that backpackers usually resort to, but who said backpacking can only be done in one way?!
After getting their fill of Europe, the book then moves up a couple of gears as they travel on to South East Asia, South America and then southern Africa. In all, this results in travels to 53 countries across four continents over two years, meaning that there is plenty of material through which to compile a book. Trips to Komodo Island, the Galapagos islands, propositions from inn-operators on the banks of Lake Malawi and hiking to Machu Picchu are all mixed together with the less savoury elements of travel including being mugged at knife point on the streets of Rio, watching cockfighting in Bali, and having your penis grabbed in beautiful Hoi An.
With this amount of ground covered, it also means that there is a lot that gets left out. As a result Honeymoon with My Brother ends up being a chronological collection of stories with an over-arching theme of recovering from his break-up from his fiance, rather than a linear-type travelogue. Skipping the psychologists and counsellor sessions, Wisner instead receives his help from travellers on the road who are able to teach him ethics, reinvention and chutzpah. Some of this help is good, some less good and some on their own planet with assertions such as "I don't believe in reincarnation. I know reincarnation".
This is a well written and inspiring read for those of all ages who might be contemplating trading in their conventional lifestyle for one out of a backpack, with a few extra trimmings. In order to achieve it, being stood up at the alter is optional, although definitely not recommended. Full Review Here
White man gets the incredible privilege to quit his high-paying job and travel all around the world over the course of two years. He is, in turns, rude, arrogant, judgmental, ignorant, condescending, preachy, and pretentious. At his best he manages to be a combination of all of these. He is also often a whiny little baby.
He included one of the most cringe-inducing sex scenes I’ve ever read, obscenely detailed to showcase what a stud he is. He also lamented never being able to know his ex-fiancee’s new breasts but was elated at being able to hug her and feel them through his shirt, though he decided he preferred her previous flat chest (his opinion on his ex-fiancee’s breasts was presumably never requested by his ex-fiancee, nor anyone). He had the decency to be appalled at a man leering over a 14-year-old Vietnamese girl, but this decency was neutralized by his “kind” lie to a man whose girlfriend he did not actually find hot, but told him he did anyway, and his self-congratulatory recounting of the hilarity that anyone might find that woman in the Day-Glo bikini attractive.
At no point does he seem to realize that perhaps Annie didn’t want to marry him because he is insufferable. Apparently he did “find” himself, though, so congratulations.
I started this book without any commitment to finish it, but ended up being so interested, I sat down and finished it within two days. Since being abroad, I really enjoy reading other peoples views on travel, I think it helps me rekindle my love at times when it's lacking.
I enjoyed his Europe, Asia and S.America trips, maybe because I'm less involved with those regions, so I had no biases against them. While he admits by the time he traveled to Africa he was living the high-life of travel writing, it meant his view of Africa was similar to everyone else's: a view from inside a private car. The only time I enjoyed his Africa trip was when he got out of the fancy areas and took a public bus. That made me happy. Whatever my problems with the Africa section, I enjoyed this quote:
"Africa seemed like a graduate degree for travel, a place where you'd go only after extensive practice in other countries. Hard-core travelers we had met described Africa as the ultimate high. If travel was a drug, they said, Africa is heroin" (235).
While I don't think I had "extensive practice" I agree with this quote. I can't wait to travel elsewhere and see how it really compares.
I was really excited to read this book, and I was sadly disappointed. I was hoping for a good story from the perspective of a man who had his heart broken, but he made a series of decisions to put himself in the situation. I found it hard to be sympathetic to the author as he seemed to not understand what his former fiance was going through, nor did it appear to have tried to learn more about her struggles. He was just concerned about himself and how he was not willing to lose her, because he had a vision of their future with which he was not willing to part.
Even the repair of the author's relationship with his brother seemed forced and inauthentic. The relationship piece was just sprinkled amoungst the descriptions of his travel experiences as more of an afterthought. If you like reading short stories, it may be up your alley, I just found this book to be a series of vignettes without much self-realization.
The good: some interesting tales about places I'll probably never visit.
The bad: a stunningly self-centered, privileged writer who spends two years and tens of thousands of dollars to discover that there are poor people in the world.
Oh -- and there's the great moral revelation gleaned from the traveler in South America: "Do what's right."
In short, if you have to spend that much time and money to learn that poverty exists and you shouldn't steal hand towels from hotels, then I think you're probably not a very good person.
This memoir tells of the authors decision, after being dumped at the altar, to invite his brother to join him on the honeymoon. They end up selling everything and spend two years traveling the world. Their adventures are interesting but I didn’t feel like it was a very personal story and I disliked the sex scenes he stuck in for no apparent reason. Basically, I just didn’t like the author very much and that kept me from really getting into the story.
3.4 stars. The travel narrative was cute and I really liked the way the story was structure. However the fact that he had a 77,000 bonus so casually and some of his extremely sexist comments/actions pissed me off just enough. A quote I appreciated though:
And I always thought it was so weird when politicians said, ‘God bless America,’” she said. “Doesn’t God bless everywhere?”
So I was a little skeptical about the premise, but for someone who is close to their siblings and LOVES travelling the story really made me envious as I read on. So many places yet to visit in the world.....
I got really bored and really tired of the story. Yea, I know it's real, and it's someone's life, but he went on Oprah to promote it, so I'm thinking he's doing ok without my hocking his wares.
My dear friend lent me this book to read as we both enjoy similar content and storylines. The author worked for the same company my friend does so it was cool to feel like I shared in some inside scoop of the Irvine Company world. What I most enjoyed about this book was the author’s candidness and sharing with his readers how he, to borrow an old adage, made lemonade out of lemons along with his accomplice- his brother Kurt. Their brotherly love, adventures around the globe and sweet letters to their grandmother LaRue back home were simply heartwarming and the perfect example of how deep our family bonds truly are. I highly recommend this book to those who love to travel, have ever felt heartaches, love their brothers and grandmothers, oh heck…I recommend this to everyone!
Setiap kali usai membaca sebuah buku catatan perjalanan, hasrat jalan-jalanku senantiasa bergelora kembali. Aku tidak yakin, apakah ada orang di planet ini yang tidak suka jalan-jalan, sebuah kegiatan yang bagiku amat menyenangkan dan selalu ingin kulakukan kembali. Andai saja aku punya uang dan waktu yang banyak, aku ingin keliling dunia seperti Trinity (The Naked Traveler), Nawal El Saadawi (My Travels Around the World), Sigit Susanto (Menyusuri Lorong-Lorong Dunia), atau Franz Wizner dalam Honeymoon with My Brother.
Dari keempat buku yang kusebut di atas, umumnya mengemukakan hal yang hampir sama. Keempat manusia yang suka jalan itu sama-sama menyoroti tempat dan objek wisata yang tidak umum, yang tidak tertera dalam buku panduan perjalanan sekelas Lonely Planet sekali pun. Para pengukur jalanan ini memiliki minat yang nyaris serupa tentang berkunjung ke tempat-tempat yang unik dan mendapatkan pengalaman yang unik pula dari tempat-tempat tersebut. Mereka menggali sesuatu yang lain dari setiap kunjungan mereka ke pelosok dunia.
Khusus dalam Honeymoon with My Brother yang konon kisahnya akan segera dilayarlebarkan, ceritanya tidak sekadar catatan perjalanan. Franz Wisner melengkapinya dengan kisah cintanya yang gagal total; yang menjadi awal mula perjalanannya kelililing bumi.
Jadi begini, semula Franz Wisner adalah seorang pekerja kantoran di sebuah perusahaan besar di Amerika: The Irvine Company. Ia memiliki segalanya sebagai seorang pria: penampilan fisik yang oke, pekerjaan dan karier yang mapan, keluarga yang selalu siap memberikan dukungan, sahabat-sahabat yang baik, dan tentu, seorang tunangan cantik yang tak lama lagi akan dibawanya ke altar pernikahan.
Namun, ternyata wajah tampan dan karier bagus, masih kurang cukup sebagai modal untuk menyeret seorang gadis ke dalam sebuah perkawinan. Setelah 10 tahun berpacaran dan hanya tinggal lima hari menjelang pernikahan, sang gadis, Annie, memutuskan untuk membatalkan pernikahan tersebut. Begitu saja.
Meski hatinya hancur lebur, tak ada yang mampu dilakukan Franz untuk menyelamatkan rencana agung tersebut. Ia terlalu gengsi–mungkin–kalau mesti memohon-mohon kepada Annie untuk membatalkan keputusannya.
Dan itu artinya, Franz harus juga membatalkan rencana perjalanan bulan madu mereka. Padahal semua telah siap. Tiket pesawat serta kamar hotel sudah dipesan, tinggal eksekusinya saja. Dan celakanya (oh, tapi kemudian Franz justru harus menyebut: dan untungnya…) semua itu tidak bisa dibatalkan. Maka, alih-alih membatalkannya, Franz kemudian malah mengajak adiknya, Kurt, untuk pergi berbulan madu bersamanya.
Perjalanan bulan madu inilah yang selanjutnya menjadi pintu masuk Wisner Bersaudara untuk menjelajahi sudut-sudut dunia selama 4 tahun sembari memperbaiki kembali hubungan kakak-adik mereka yang selama ini sempat mendingin seiring pertambahan usia keduanya.
Maka, jadilah Honeymoon with My Brother sebuah catatan perjalanan yang menarik dicermati. Di samping hal-hal unik tentang objek-objek yang mereka singgahi, Franz juga membumbui kisahnya dengan sentuhan emosional ihwal hubungannya dengan nenek, ayah ibu, para sahabat, serta terutama sang adik, Kurt Oscar Wisner, kepada siapa ia mempersembahkan buku ini (di halaman pembuka, dengan manis ia menulis: Untuk Kurt Ocsar Wisner, adikku, pahlawanku, dan sahabat baruku).
Bagian relasi kakak-adik ini mau tidak mau membawa ingatanku tentang hubunganku dengan adik-adikku yang kurasakan kini juga sudah tak seakrab dulu ketika kami kanak-kanak. Rasanya dulu aku selalu merasa rindu jika salah seorang dari ketiga adikku tidak tampak di rumah. Dulu, kami masih suka pergi ke mal atau nonton bareng. Tetapi saat kami sama-sama beranjak dewasa dan memiliki kesibukan masing-masing, acara pergi bareng pun nyaris tidak pernah lagi dilakukan. Kami tentu lebih senang pergi dengan pacar atau teman-teman.
Apalagi sekarang, mereka, adik-adikku ini, sudah menikah. Untungnya semua masih tinggal di Jakarta, sehingga masih bisa berjumpa sedikitnya satu bulan sekali. Sayangnya, masa pertemuan itu pun tidak selalu bisa kuhadiri dengan alasan ngantor (konsekuensi bekerja di sebuah objek wisata yang kudu tetap ngantor di hari libur, hari keluarga. Hiks…)
Oops! Kok jadi curcol sih? Maaf ya . Baiklah, kita balik ke Franz lagi.
Intinya, ini adalah sebuah buku yang memikat. Sebuah kisah perjalanan yang dikemas seperti novel. Secara cerdik, Franz mengolah ceritanya menjadi bacaan yang gurih, lucu, dan menyentuh perasaan. Gurih, lebih kepada cara penyampaiannya yang segar dan mengalir. Lucu, terutama pada bagian-bagian yang mengisahkan tempat dan kejadian-kejadian unik yang mereka alami. Menyentuh, karena Franz berhasil menggugah perasaanku melalui penuturannya tentang Annie, LaRue, dan Kurt. Sayang banget mereka tidak menyertainya dengan foto-foto hasil jepretan Kurt yang tentu akan membuat buku ini lebih menarik.
Ngomong-ngomong, akan seperti apakah filmnya nanti? Mestinya sih akan jadi film tamasya yang bagus, ya?
Tapi yang pasti, seperti biasa, seusai membaca buku kisah perjalanan, hasrat jalan-jalanku jadi kambuh lagi. Jalan-jalan memang asyik. Apalagi jika tak harus patah hati terlebih dahulu. Yuuuk! ***