Jump to ratings and reviews
Rate this book

Pram Melawan

Rate this book
Kalau soal seks tahu belakangan aja. Baru sejak tahun '53. Saya kan menderita rendah diri karena kekerasan ayah saya dulu. Nggak berani ngomong, nggak berani apa. Itu hilangnya tahun '53 di negeri Belanda. Saya punya pacar Belanda, di Amsterdam. Oh, itu yang membebaskan saya dari perasaan minder. Jadi dapat pacar bangsa yang pernah menjajah saya. Ingat seks.... Lihat : dulu dia tuan saya, sekarang saya tidur bersama dia. Hilang itu perasaan minder. [Seks, Selingkuh]

Saya praktis mandiri biarpun menjadi anggota Lekra. Lagian bukan organisasi jahat Lekra kan. Di tuduh onderbow PKI nggak soal. PKI itu salh satu pemenang pemilihan umum kok. Punya wakil-wakil di parlemen! Terakhir beberapa menteri dari sana malah. Itu bukan organisasi jahat. Legal! [LEKRA]

Ya...Soekarno. Belum ada yang sebesar Soekarno dari sekian presiden. LIhat Soekarno, wajah presiden indonesia yang seperti mercusuar, melancarkan perlawanan terhadap imperialisme. Dia mercusuar Asia-Afrika. Dengan dorongan dia asia -Afrika pada merdeka. Itu nggak ada yang bisa menandingi. [Presiden]

Ya, itulah: ironis! Yang membiayai pembangunan mesjid, gereja, vihara dan sebagainya itu biasanya para koruptor, supaya impas dosanya. Itu budaya, bukan politik. Karena itu bentuklah kekuatan angkatan muda yang kokoh. Korupsi itu sudah budaya indonesia. Dulunya namanya upeti, sekarang korupsi. Nah, korupsi itu sumbernya karena Indonesia nggak terdidik untuk berproduksi, hanya berkonsumsi aja. Pengalaman berproduksi itu yang membikin orang mempunyai karakter. Tanpa pengalaman produksi dalam kesulitan pasti korupsi. [Korupsi]

Jadi orang Indonesia bagian barat itu, menurut antropologi, Melayu Mongoloid karena berdarah Cina. Tandanya berdarah Cina sudah tahukan? Bayi itu kalau pantatnya biru, Jadi, kenapa musti begini. Padahal banyak kita mengambil peradaban Cina, bahkan orang tambak-tambak ikan seluruh Indonesia berguru pada Cina. [Hoakiau, Cina]

504 pages, Paperback

First published June 1, 2011

6 people are currently reading
59 people want to read

About the author

P. Hasudungan Sirait

5 books1 follower

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
11 (32%)
4 stars
17 (50%)
3 stars
5 (14%)
2 stars
1 (2%)
1 star
0 (0%)
Displaying 1 - 7 of 7 reviews
Profile Image for Yaya.
4 reviews
December 29, 2015
Ia yang tak bisa dilupakan dan tak bisa dilumpuhkan

Oleh Nurul Fitria

PRAM BERTELANJANG DADA, training hitam dan topi koboi dikenakan. Sapu lidi ia ayunkan ditanah. Pohon-pohon gugurkan daun kering. Satu tumpukan daun dan sampah terkumpul. Asap pembakaran mengepul disekelilingnya. Membakar sampah di pekarangan rumah jadi rutinitas untuk kerja fisik. Usia 78 tahun tak surutkan tubuh untuk terus bergerak.



Pram—panggilan akrab Pramoedya Ananta Toer— tak pernah absen untuk lakukan kerja fisik. Ini kebiasaan yang ia dapatkan setelah diasingkan ke Pulau Buru. Pulau besar di Kepulauan Maluku, jadi pulau pengasingan bagi Tahanan Politik (Tapol). Dari 1969 hingga 1979, ia habiskan waktu di pulau pengasingan dengan menulis dan kerja fisik. Di Pulau Burulah lahir kuatrin yang merupakan magnum opus miliknya. Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca.

Bukan hanya di Pulau Buru. Saat muda, 1948, ia pernah di penjara di Bukit Duri Jakarta. Tuduhan mencetak dan menyebarkan pamflet menentang agresi Belanda jadi sebab ia dipenjara. Tapi tetap saja. Terali besi membelenggu fisik, tapi tak mampu memenjarakan pikiran dan kreatifitas Pram. Perburuan dan Keluarga Gerilya jadi dua karya perdana yang mengesahkan ia jadi pengarang.

P. HASUDUNGAN SIRAIT menyukai karya Pram. Ia sering mendengar, tapi tak pernah membacanya. Saat kuliah di Fakultas Ekonomi UI dan tinggal di Asrama Pegangsaan Timur 17-lah ia bisa wujudkan impiannya itu. Meminjam buku dari senior kamar sebelah, dalam 3 hari ia tembus membaca 4 kitab Pram tersebut.

Mengumpulkan karya-karya Pram jadi aktivitas Has—panggilan Hasudungan. Perburuan ke pasar loak jadi tujuan. Setelah bertahun-tahun, barulah karya-karya Pram berhasil ia kumpulkan. Has ikuti pendidikan jurnalistik di Yogyakarta dan bekerja di Bisnis Indonesia.

Kekaguman terhadap Pram mendorong Has timbulkan ide untuk wawancara Pram. Wawancara rubrik feature tokoh jadi sasaran. Pram tanggapi dengan antusias. Selesai wawancara Has dan Meirizal—teman sekantornya, bawa hasil wawancara ke rapat redaksi. Tanggapannya, wawancara dengan Pram tak bisa dimuat. Kala itu nama Pram adalah hal yang dapat bahayakan koran tempat tulisan itu dimuat.

Setelah wawancara itu, Has terus jalin komunikasi dengan Pram. Setelah Soeharto tumbang, Has, Rin Hindryari dan Rheinhard sepakat mewawancarai Pram secara intens. Rhein—panggilan Rheinhard— adik Has. Aktif di gerakan mahasiswa. Sedangkan Rin, wartawan The Asian Wallstreet Journal biro Jakarta. Mereka punya satu kesamaan. Menghormati dan mengagumi Pram.

Mereka buat janji wawancara dengan Pram. Setiap Kamis jadi jadwal. Pram selalu menunggu tiga serangkai ini setiap Kamis. Jika tak datang, Pram akan menanyakan kenapa kemarin tak datang. “Padahal sudah ditunggu loh,” ujar Pram berseloroh.

Mulai dari 1997 mereka bersepakat untuk wawancara Pram secara intens. Hasilnya akan dijadikan buku perkisahan. Saat 2003-2004, mereka tak lagi intens wawancarai Pram. Keuangan serta waktu luang yang tak banyak jadi kendala. Selama 2005 total mereka tak sekalipun mewawancarai Pram. Mereka hanya ajak berdiskusi lepas. Maemunah Thamrin, Istri Pram dan Astuti Ananta Toer, Putri Pram yang jadi narasumber wawancara.

Akhir April 2006, tepat angka 30, sehari sebelum May Day Pram tutup usia. Angka 81 adalah akhir bagi perjalanan sastrawan ini. Hans dan kawan-kawan sebenarnya bermaksud untuk terbitkan karya ini saat Pram masih hidup. Tapi apalah daya. Niatan untuk minta Pram berikan kata sambutan saat peluncuran tak tercapai.

Akhirnya, Juni 2011, cetakan pertama buku berjudul PRAM MELAWAN: Dari Perkara Sex, Lekra, PKI Sampai Proses Kreatif diluncurkan. Buku setebal 502+ xxxviii ini berlatar putih dan gambar siluet Pram gunakan topi koboi bertelanjang dada sambil menunjuk jadi cover.

Hans awalnya ingin buat buku ini dengan format narasi. Tapi mereka menyadari ada yang menarik dari Pram. Caranya berbicara. Pram miliki pemilihan kata dengan susunan yang sangat Pram. Tak ada duanya. Akhirnya mereka putuskan tak ingin menghilangkan kekhasan Pram. Biarkan Pram bicara secara natural, putus mereka. Tapi ada juga beberapa bagian yang dinarasikan oleh Hans dan kawan-kawan.

Hans dkk pun mengelompokkan hasil wawancara sesuai dengan topic. Sehingga pembaca akan mendapatkan gambaran utuh tentang topik pembicaraan. Sebelum tulisan tanya jawab, cerita akan dimulai dengan narasi. Beberapa foto Pram pun menghiasi halaman. Membuat pembaca dapat melihat sosok Pram saat ia diwawancarai ataupun beraktifitas.

Beberapa topik diantaranya terkait proses kreatif Pram dalam menghasilkan karya-karyanya. Bagaimana ia menulis dengan mengandalkan keberanian dan banyak membaca. “Pertama kali keberanian. Yang lain itu membantu aja,” ujarnya ketika Hans tanyakan bagaimana mulai menulis.

Selain itu juga pembahasan saat ia di pengasingan serta pandangannya terhadap Soekarno, Hatta, Sjahrir dan Tan Malaka. Buku ini memuat 7 cerita. Di cerita I tentang proses kreatif dan perjalanan Pram mulai dari awal menulis hingga diasingkan di Pulau Buru.

Cerita II lebih kepada pandangannya terhadap keadaan nasional. Tentang korupsi, tentara, terorisme, sejarah serta kesadaran sosial. “Ya itulah, ironis! Yang biayai pembangunan mesjid, gereja dan vihara itu biasanya koruptor, supaya impas dosanya,” ujar Pram tanggapi pernyataan Has tentang orang yang rajin beribadah malu untuk korupsi.

Keluarga dan pribadi Pram jadi pengisi di cerita III. Pram menceritakan bahwa ia merasa bebas setelah mengetahui bahasa Indonesia. Bahasanya sudah kepincut dan kesemsem. Ia yang keturunan Jawa ini tak mau lagi pelajari bahasa Jawa. Cerita tentang ayah dan ibu Pram pun warnai Tanya jawab di cerita III ini.

Tanggapan Pram terhadap pemerintahan Soeharto, sinetron, TV, Aceh dan Kepemimpinan Presiden jadi pembahasan di Cerita IV. Pram beritahukan salah satu hobi lainnya selain menulis. Ia sangat suka mengkliping. Ketertarikan ini ia peroleh saat bekerja di kantor berita Domei. Ia jadi dapat tugas untuk mendokumentasikan berita-berita.

Pesta ulangtahun Pram ke 78 awali Cerita V. Penghargaan yang Pram dapatkan dari karya-karyanya mengisi bagian ini. Peluncuran buku Pram yang dihadidri banyak kaula muda buat Pram gembira. Tak segan-segan ia tanggapi pertanyaan dari peserta. Akhirnya tutup usianya Pram juga tertulis di bagian ini.

Kehidupan Pram didesa kelahirannya, Blora hiasi Cerita VI. ini bagian catatan harian Rien selama berada di Blora bersama Pram dan Coes—Panggilan akrab Soesilo, adik Pram. Mereka kunjungi rumah kediaman Pram dan keluarga dulu di Blora. Tak ayal ketika Pram, Coes beserta Has dkk kunjungi SMP Negeri 5 Blora, tempat dulunya Institut Boedi Oetomo (IBO) yayasan yang didirikan Mas Toer, ayah Pram, pihak sekolah senang melihat Pram.

Pram diminta untuk berbicara didepan guru dan siswa SMP tersebut. Pram sangat semangat jika dihubungkan dengan angkatan muda. “Murid-murid itu sangat ingin bertemu dengan Bung. Angkatan muda itu sudah menunggu,” ujar Has. Wajah Pram jadi riang dan bersemangat untuk bertemu dengan penerus generasi bangsa tersebut.

Wawancara dengan Coes, Maemunah dan Titi—panggilan Astuti, berada di Cerita VII. Secara keseluruhan buku ini menarik karena pembaca akan tahu secara langsung bagaimana pandangan Pram dalam suatu permasalahan. Penempatan foto dalam tulisan juga menarik untuk di lihat karena berkaitan dengan tulisan.#

Deskripsi Buku:

Judul : PRAM MELAWAN: Dari Perkara Sex, Lekra, PKI, Sampai Proses Kreatif

Penulis : P. Hasudungan Sirait, Rin Hindryari dan Rheinhardt

Tebal : 502+ xxxviii

Terbit : Juni 2011

Penerbit : NALAR

Tulisan ini diterbitkan dalam majalah Bahana Mahasiswa Edisi Juli- Oktober 2012
Profile Image for Hendra Kurniawan.
5 reviews
March 8, 2017
Banyak mengungkap sisi lain Pram yang jarang diketahui khalayak seperti sisi spiritual Pram dan sebagainya.
Profile Image for Muhammad Nawawy Arasy Padil.
108 reviews27 followers
February 16, 2017
Waktu itu Pram berkesempatan memberikan diskusi kepada anak-anak SMP 5 Blora di kampung halamannya, bangga juga banyak anak seusia SMP sudah mengenal Pram dan peduli dengan karya sastra. Satu bagian yang menurut saya penting untuk disebutkan disini adalah salah satu jawaban Pram:

"Ya, saya ajari kalian berani. Tanpa keberanian nggak akan terjadi apa-apa. Semua modalnya berani. Ilmu dan pengetahuan itu cuma bahan aja. tetapi semua itu diawali dengan keberanian. Angkatan muda tanpa keberanian itu sama dengan ternak. Karena tugas dalam hidupnya, ya hanya menternakkan diri. Sori saya ngomong begini ya, he...he... Berani, berani! Berani nggak datang dari langit. Tetapi hasil kehidupan praktis sehari-hari. Memutuskan sendiri. Mengerjakan sendiri. Apa sebabnya Indonesia menjadi bangsa kuli? Karena nggak ada latihan berani berproduksi. Akhirnya jadi pesuruh. Di seluruh dunia jadi pesuruh aja. Jadi, menurut Bung Karno, kita ini bangsa kuli dan kuli diantara bangsa-bangsa. Ke mana aja dikirim kan jadi pesuruh aja. Jangan begitu. Sejak sekarang mulai berani berproduksi, membikin apa aja. Bekerja bukan hanya dengan otak tapi dengan tangan. Supaya nggak menjadi pesuruh aja. Dengan berproduksi tingkatnya kemudian ke kreasi. Baik produksi maupun kreasi merangsang bisnis. Jadi berkembang dengan produksi supaya nggak jadi pesuruh. Masak kita jadi pesuruh aja di mana-mana. Seperti kata Bung Karno, kita bangsa kuli. Ke mana aja dikirim hanya jadi pesuruh. Sori saya mengatakan begini, he...he..."


Long live, Pram!
Profile Image for Anton.
157 reviews10 followers
April 22, 2012
Sebagian pandangan saya pada Pramoedya Ananta Toer berubah setelah baca buku ini.

Sebelumnya, saya kira Pram seadil tulisan-tulisannya dalam berbagai roman, novel, atau buku-bukunya yang lain. Ternyata tidak juga. Pram tak seadil yang saya kira. Dia juga manusia biasa, lengkap dengan cacat dan ironinya.

Sebagian pikiran Pram yang tak adil itu terungkap dari wawancara mendalam oleh tiga penulis buku ini. Beberapa di antaranya, menurut saya, adalah bagian tentang pandangan Pram pada beberapa tokoh yang berbeda aliran politik ataupun sastra. 

Nyaris semua orang tersebut, misal Mochtar Lubis, Hatta, bahkan Tan Malaka sekalipun, dianggap oleh Pram sebagai orang yang salah. Satu saja yang paling benar, Soekarno.

Saya juga menangkap stereotipe berlebihan Pram pad orang-orang Jawa atau Jawanisme, pada orang Arab, dan tentu saja orang Indonesia. Tak menyangka saja penulis yang saya kagumi ini ternyata juga bersikap "tak adil" begitu. Padahal, salah satu kutipan penting dari Pram adalah, "Adilah sejak dalam pikiran."

Pandangan Pram pada para tokoh dan etnis tersebut hanya salah satu dari sekian banyak pandangannya lewat buku ini. Ada pula pandangan dan pengalaman Pram tentang politik, sastra, seks, agama, dan isu lainnya. Semuanya ditulis dalam bentuk wawancara telanjang atau tanya jawab.

Inilah kekuatan buku ini, sekitar 80 persen merupakan wawancara telanjang. Dengan begitu pembaca, setidaknya, bisa lebih memahami pikiran Pram langsung karena tak banyak tafsir oleh penulisnya. Buku ini melengkapi referensi tentang Pram seperti yang pernah ditulis doktor Korea, Koh Young Hun, dan adiknya sendiri, Koesalah Toer.

Dengan gaya tulisan wawancara mendalam dan dekat, saya merasa buku in mengalir. Lancar. Membaca tiap pertanyaan dan jawaban dalam buku ini, saya seperti berbincang langsung dengan Pram itu sendiri. 
Profile Image for Nanang K..
5 reviews3 followers
March 8, 2012
Buku ini sangat direkomendasikan kepada generasi muda yang belum terlalu mengenal sang maestro sastra Indonesia Pramoedya Ananta Toer (terutama saya cuk!). Dalam buku ini diulas begitu dalam tentang Pram, mulai dari proses kreatif, seks, kolonialisme, kejatuhan nusantara, dan kondisi Indonesia saat ini (seperti yang pada judul buku "Pram Melawan, dari Perkara Seks, Lekra, PKI, Hingga Proses Kreatif). Melalui dialog santai, penulis mengajak pembaca untuk berbincang - bincang secara langsung dan intim dengan sang maestro.
Displaying 1 - 7 of 7 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.