Jump to ratings and reviews
Rate this book

Marxisme, Seni, Pembebasan

Rate this book

248 pages, Paperback

First published January 1, 2011

11 people are currently reading
118 people want to read

About the author

Goenawan Mohamad

110 books506 followers
Ia seorang jurnalis dan sastrawan yang kritis dan berwawasan luas. Tanpa lelah, ia memperjuangkan kebebasan berbicara dan berpikir melalui berbagai tulisan dan organisasi yang didirikan-nya. Tulisannya banyak mengangkat tema HAM, agama, demokrasi, korupsi, dan sebagainya. Seminggu sekali menulis kolom “Catatan Pinggir” di Majalah Tempo.

Pendiri dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah Berita Tempo kelahiran Karangasem Batang, Pekalongan, Jawa Tengah, 29 Juli 1941, ini pada masa mudanya lebih dikenal sebagai seorang penyair. Ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan 1964 yang mengakibatkannya dilarang menulis di berbagai media umum.

Ia juga pernah menjadi Nieman fellow di Universitas Harvard dan menerima penghargaan Louis Lyons Award untuk kategori Consience in Journalism dari Nieman Foundation, 1997. Secara teratur, selain menulis kolom Catatan Pinggir, ia juga menulis kolom untuk harian Mainichi Shimbun (Tokyo).

Ia menulis sejak berusia 17 tahun, dan dua tahun kemudian menerjemahkan puisi penyair wanita Amerika, Emily Dickinson. Sejak di kelas VI SD, ia mengaku menyenangi acara puisi siaran RRI. Kemudian, kakaknya yang dokter (Kartono Mohamad, mantan Ketua Umum PB IDI) ketika itu berlangganan majalah Kisah, asuhan H.B. Jassin. “Mbakyu saya juga ada yang menulis, entah di harian apa, di zaman Jepang,” tutur Goenawan.

Pada 1971, Goenawan bersama rekan-rekannya mendirikan Majalah Mingguan Tempo, sebuah majalah yang mengusung karakter jurnalisme majalah Time. Di sana ia banyak menulis kolom tentang agenda-agenda politik di Indonesia. Jiwa kritisnya membawanya untuk mengkritik rezim Soeharto yang pada waktu itu menekan pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Tempo dianggap sebagai oposisi yang merugikan kepentingan pemerintah sehingga dihentikan penerbitannya pada 1994.

Goenawan Mohamad kemudian mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), asosiasi jurnalis independen pertama di Indonesia. Ia juga turut mendirikan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang bekerja mendokumentasikan kekerasan terhadap dunia pers Indonesia. ISAI juga memberikan pelatihan bagi para jurnalis tentang bagaimana membuat surat kabar yang profesional dan berbobot. Goenawan juga melakukan reorientasi terhadap majalah mingguan D&R, dari tabloid menjadi majalah politik.

Ketika Majalah Tempo kembali terbit setelah Pak Harto diturunkan pada 1998, berbagai perubahan dilakukan seperti perubahan jumlah halaman namun tetap mempertahankan mutunya. Tidak lama kemudian, Tempo memperluas usahanya dengan menerbitkan surat kabar harian bernama Koran Tempo.

Setelah terbit beberapa tahun, Koran Tempo menuai masalah. Pertengahan bulan Mei 2004, Pengadilan Negeri Jakarta Timur menghukum Goenawan Mohamad dan Koran Tempo untuk meminta maaf kepada Tomy Winata, (17/5/2004). Pernyataan Goenawan yang dimuat Koran Tempo pada 12-13 Maret 2003 dinilai telah melakukan pencemaran nama baik bos Arta Graha itu.

Goenawan yang biasa dipanggil Goen, mempelajari psikologi di Universitas Indonesia, mempelajari ilmu politik di Belgia dan menjadi Nieman Fellow di Harvard University, Amerika Serikat. Goenawan menikah dengan Widarti Djajadisastra dan memiliki dua anak.

Selama kurang lebih 30 tahun menekuni dunia pers, Goenawan menghasilkan berbagai karya yang sudah diterbitkan di antaranya kumpulan puisi dalam Parikesit (1969) dan Interlude (1971), yang diterjemahkan ke bahasa Belanda, Inggris, Jepang, dan Prancis. Sebagian eseinya terhimpun dalam Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, dan Kita (1980), dan Catatan Pinggir (1982).

Hingga kini, Goenawan Mohamad banyak menghadiri konferensi baik sebagai pembicara, narasumber maupun peserta. Salah satunya, ia mengikuti konferensi yang diadakan di Gedung Putih pada 2001 dimana Bill Clinton dan Madeleine Albright menjadi tuan rumah.

(from tokohindonesia.com)

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
10 (16%)
4 stars
18 (30%)
3 stars
25 (42%)
2 stars
6 (10%)
1 star
0 (0%)
Displaying 1 - 3 of 3 reviews
Profile Image for Vidi.
97 reviews
August 17, 2011
Sebuah kumpulan esai yang membahas tentang filosofi Marxisme dan hakekat paling dasar dari manusia untuk bebas berekspresi.

Buku ini dibuka oleh sebuah esai yang menceritakan tentang peristiwa Manifestasi Kebudayaan (yang kemudian disingkat menjadi Manikebu oleh PKI) di tahun 1963-1964. Terlintas dalam benak saya ketika pelajaran sejarah dulu waktu SMP, kata ‘Manikebu’ hanya diulas sedikit sekali oleh guru saya waktu itu. Sebelum membaca buku ini, saya tidak pernah tahu apa artinya kata itu dan mengapa itu dilarang oleh rezim yang berkuasa pada waktu itu. Esai GM tentang peristiwa Manifestasi Kebudayaan cukup mengobati sedikit amnesia sejarah bangsa ini. Isi dari Manifestasi Kebudayaan yang menolak intervensi dalam mengekspresikan seni ternyata mirip dengan filosofi Marxisme yang juga mengidamkan kebebasan manusia dari belenggu yang diciptakan oleh sistem kapitalis.

Konsep Marxisme bermula dari pandangan Marx tentang perubahan benda-benda dan hal-hal menjadi komoditas, suatu proses yang disebut komodifikasi. Nilai guna suatu benda yang telah berubah menjadi komoditas digantikan oleh ‘nilai tukar’. Nilai tukar ini kemudian dikenal dengan harga, yang kemudian dinilai dalam suatu ekuivalen yang diterima secara umum, yakni uang.

Gemuruh komodifikasi juga meliputi tenaga kerja yang berarti si pekerja juga dianggap sebagai komoditas. Di sinilah terjadi proses alienasi di mana di pekerja dipisahkan dari hasil kerjanya. Gejala yang terjadi kemudian adalah pemujaan terhadap komoditas, ‘fetisisme komoditas’. Menurut Marx, Fetisisme komoditas dan kepemilikan modal kemudian melahirkan eksploitasi kaum buruh yang kemudian disebut proletar. Marx menampilkan proletar sebagai kaum yang tidak memilki apa-apa selain rantai yang membelenggu. Gambaran proletar yang terbelenggu menjadi sangat jelas di abad ke-20. Kaum buruh yang menjual tenaganya untuk menghasilkan komoditas sekaligus merupakan masyarakat konsumsi yang membeli komoditas yang mereka hasilkan sendiri dengan harga yang mengandung laba untuk si pemilik modal (kapitalis). Lingkaran setan ini semakin menjadi-jadi setelah manusia menemukan dua hal yang menurut Daniel Bell ‘penemuan yang paling menakutkan setelah mesiu’: iklan dan cara beli bayar tanpa bayar kontan. Manusia seakan-akan menjadi budak dari komoditas yang seolah-olah bernyawa.

Pembebasan manusia dari perbudakan fetisisme komoditas, menurut Marx, adalah pemberantasan milik perorangan, dalam hal ini kaum borjuis, yaitu modal. Tujuan komunisme yang sebenarnya adalah membebaskan diri dari hubungan milik yang eksklusif dan kekuasaan. Modal merupakan kekuasaan. Marxisme meramalkan suatu revolusi kaum proletar yang akan mengambilalih kekuasaan. Pertanyaannya adalah: ‘Siapakah kaum proletar itu?’.

Pada saat revolusi Leninis, pada awal abad ke-20, industri di Rusia belumlah pada tingkatan di mana terdapat suatu kaum buruh yang massal. Revolusi yang dipimpin oleh Partai Bolsyevik itu dilakukan oleh kader Partai Komunis. Pada akhirnya kesadaran kelas merupakan sesuatu yang diinjeksikan oleh elite partai komunis. Dengan kata lain, keinginan kaum proletar adalah adalah keinginan pimpinan partai komunis. Ironinya adalah utopia komunisme yang dicita-citakan oleh Marx sebagai pembebasan manusia mendapatkan wujudnya dalam kerangkeng besi pada masa Stalin. Kediktatoran Proletariat.

Di sinilah letak kesalahan Marx, kekuasaan tidak selalu berasal dari modal. Kekuasaan politik baru yang timbul setelah revolusi sosialis menimbulkan alienasi baru, yakni alienasi politik. Alienasi politik ini menimbulkan kelas baru yaitu elite partai komunis dan rakyat biasa. Utopia masyarakat tanpa kelas tampaknya jauh dari terwujud.

Menurut saya, pengaruh Marx pada komunisme lebih banyak merupakan pembenaran ilmiah atas suatu gerakan politik yang mendompleng nama rakyat yang dinamakan proletar. Marxisme sebagai suatu filosofi dengan tujuan membebaskan, pada kenyataannya, di tangan Lenin, Stalin dan Mao, menjadi suatu ideologi yang membenarkan pemerintahan diktator dan kultus perorangan.
Profile Image for Ilham Miftahuddin.
13 reviews1 follower
February 26, 2023
GM menulis dan mengkritik "Marxisme" ketika kaum Marxis sudah kalah dan tidak bisa melawan atau menjawab tulisannya dengan leluasa. Sungguh sikap yang, mmh, ya begitulah.
Displaying 1 - 3 of 3 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.