Kidnapped from Java, five year-old Mirah is taken to the Banda islands. Mirah of Banda reads like a personal from her life in a nutmeg plantation during the Dutch colonial era, the Japanese occupation, and the Indonesian revolution era. Mirah’s story is told to an Australian who visits the family Mirah works for as a cook and her myriad experiences include her life as a contracted nutmeg picker and the plantation owner’s concubine. The fate of her daughter Lili, when she is taken away to become a “comfort woman” for Japanese soldiers, is even more heartbreaking.
Hanna Rambe is an Indonesian writer and journalist and was educated largely in Jakarta. In the mid-1960s, she entered the Literature Department at the University of Indonesia where she enrolled in the English language division, but she did not complete her schooling. She began working as a journalist, beginning as a copy-editor at the Indonesian Observer newspaper, and then worked as a translator and reporter for Indonesia Raya until 1974. She also worked as a contributor to the magazine Intisari (1972–1977), and then as a journalist at Mutiara magazine from (1977–1992).
Novel historical fiction ini menceritakan sejarah Pulau Banda yg terkenal akan komoditi buah Pala nya hingga ke seantero Eropa. Mulai dari dongeng seorang putri yg dipinang raja Jawa hingga genosida yg dilakukan oleh JP Coen di abad 17 krn orang Banda melanggar perjanjian kesepakatan yg dibuat. Namun inti utama ceritanya adalah kehidupan seorang gadis bernama Mirah di tahun 1920-1945.
Mirah sejak kecil benar² nelangsa, diculik dan dijual mjd budak di perkebunan pala di Pulau Banda ini. Namun krn kecantikannya, Mirah "naik pangkat" mjd perempuan simpanan/gundik dari Tuan Besar Ulupitu yg bernama Setin. Pd dasarnya Mirah ini lugu dan keras kepala, penakut tapi tabah. Mirah bukan tipe perempuan yg bisa memanfaatkan keuntungan situasinya, justru Mirah cenderung minderan. Hingga kedatangan pasukan Jepang yg menculik anak² dan suaminya, kehidupannya tidak lagi sama.
Author menceritakan dari sisi author dgn maksud obyektif kynya. Mirah dan Wendy saling tidak sadar bhw mrk msh berhubungan darah. Cara penulisan author agak sulit diterima benak saya. Belum lagi dialog²nya menggunakan bahasa Ambon/Banda. Pdhl cerita sejarahnya sangat menarik terutama ttg kehidupan di Banda menjelang Jepang masuk ke pulau tsb. Msh ada nuansa kolonialis Belanda dan multi kultural yg terjadi di pulau tsb.
Awal² memang lebih menceritakan ttg kuliner di Pulau Banda tsb baru kemudian author perlahan-lahan menceritakan sejarah Pala dan fuli dari Pulau Banda ini. Dari masa kejayaannya hingga kejatuhannya stl Indonesia merdeka. Kadang saya merasa miris jg knp dulu² guru² sejarah gak kasih penjelasan knp buah Pala ini diburu dan dihargai sangat tinggi di Eropa, krn setahu saya wkt kecil pala ini cuma salah satu bumbu dapur yg murah meriah. Ternyata krn konon bahan makanan mjd awet jika dibaluri rempah² ini. Dan krn pala ini hanya ditanam di bbrp pulau eksotik/mistik utk ukuran orang abad 17, gak heran krn mendptkannya jg susah sekali, maka pala ini mjd komoditi paling mahal di dunia saat itu.
Buku ini ternyata ada jg di IPusnas, namun saya baca buku fisiknya. Yg tertarik sejarah kolonial Belanda di awal abad 20, silakan pinjam dan baca buku ini.
Selesai juga membaca kisah Mirah dari Banda. Buku ini termasuk dalam kategori fiksi, namun penulis amat detail menggambarkan latar tempat dan peristiwa di pulau Banda semenjak zaman Belanda. Mengingat buku ini pertama kali terbit tahun 1986 yang mana pada saat itu internet belum populer, saya membayangkan sang penulis betul-betul telaten untuk dapat menuliskan kisah Mirah. Sampai-sampai, saya sebagai pembaca merasa betul-betul ditarik ke alam Banda dan menyaksikan sendiri kejayaan kepulauan Banda dengan buah pala, buah yang setara emas hingga Belanda rela menukar salah satu pulau di kepulauan tersebut dengan daerah Manhattan demi mengatur monopoli kekuasaan perdagangan pala.
Halaman buku ini cukup panjang, saya membaca versi e-book dengan total 372 halaman. Namun setelah membacanya dalam waktu beberapa minggu, saya merasa kenal lebih dekat dengan rempah yang pernah menjadi primadona dan komoditas yang diperebutkan bangsa-bangsa. Ibu Hanna Rambe juga menuliskan sejarah lengkap dengan tahun-tahun perkembangan Banda, namun dengan bahasa yang amat halus dan perasaan yang peka. Sebagai pembaca, saya merasa tidak hanya sedang belajar sejarah, namun juga alasan-alasan di balik peristiwa yang terjadi. Lalu begitulah, saya rasa cara terbaik mempelajari sejarah adalah dengan menyimak cerita seperti ini.
Secara keseluruhan, novel ini berkisah tentang Mirah dan orang-orang yang memiliki hubungan darah maupun pernah bersinggungan hidup dengannya. Mirah sendiri bukan perempuan asli Banda, ia termasuk dalam budak yang dibawa Belanda ke Banda untuk bekerja sebagai kuli kontrak pengambil buah pala yang sudah matang. Hidup Mirah penuh dengan kemalangan demi kemalangan, namun ia juga dikaruniai dengan hidup yang penuh dengan orang-orang spesial yang mengelilinginya.
Hidup di masa perang, Mirah pernah menjadi Nyai simpanan Tuan Belanda, menjadi ibu dari anak-anaknya yang berdarah campuran Indo, mengalami ketakutan demi ketakutan masa itu ketika satu per satu orang-orang di sekelilingnya pergi meninggalkan Mirah yang akhirnya menetap hingga hari tua di Banda.
Saya suka bagaimana penulis dapat memadukan sejarah dan cerita fiksi, dengan begitu detail dan menyelipkan unsur percakapan bahasa Banda di sela-selanya. Tapi nggak perlu khawatir, sebab kita bisa mengetahui artinya dengan membaca kamus singkat di akhir buku.
Kisah Mirah barangkali dapat menyadarkan kita akan betapa negeri ini dilimpahi Tuhan dengan tanah subur yang dahulu pernah disebut menumbuhkan buah 'emas', namun juga memiliki kisah kelam perebutan kekuasaan.
Dan ya, saya jadi kepingin mengunjungi Banda suatu hari. Banda yang indah dengan tanah vulkanisnya, Banda yang wangi buah pala.
Mirah dari Banda mengisahkan masa penjajahan Belanda dan Jepang di Banda yang berpusat pada perkebunan pala, dan diambil melalui mata Mirah, perempuan Jawa yang terseret perbudakan kontrak. Buku ini hampir roman. Mirah diculik dari orang tuanya sejak umur 5 tahun dan tak dapat kembali ke kampung halamannya di Jawa hingga lanjut usia. Di antaranya, kita bisa menyaksikan hidup seorang anak yang dicerabut dari akarnya, kuli kebun, babu dalam, gundik dan ibu dari anak-anak indo Tuan Besar, wanita yang mencintai dalam tragedi, dan manusia yang sangat-sangat kuat.
Sebagai orang kontrak di negara terjajah, lagi perempuan dan buta huruf, kemampuan Mirah untuk melawan hal-hal zalim dalam hidupnya sangat terbatas. Tapi di buku ini kita bisa melihat perlawanan dari tempat yang demikian muram. Mirah belajar sejak muda bahwa ia memiliki harga diri dan boleh melawan untuk mempertahankannya. Begitupun, untuk bertahan hidup saja sungguh banyak hal yang harus ia relakan. Hidup pun lekas berubah-ubah, yang berharga dan bisa diperjuangkan cepat datang dan pergi. Mirah masih berdiri sampai akhir, tapi tidak tanpa bekas luka dan rasa kehilangan yang mendalam. Di akhir, diungkap bahwa ada hubungan tersembunyi antara Mirah dan turis Wendy. Buatku ini cukup sinetron, bisa ditebak dan agak lawak. Tapi fakta ini tidak diuraikan dengan mengganggu, dan justru menjadi jalan untuk menceritakan kelanjutan kisah Lili, yang sungguh aku sambut.
Membaca buku ini haru dan pedih. Tapi buku ini adalah potret yang penting dari sejarah kita, khususnya yang menyoroti kepulauan lain yang bukan Jawa. Cukup mengagetkan bahwa pala benar-benar indigen dari kepulauan Maluku, dan Maluku saja, hingga memungkinkan monopoli pasar dan akhirnya penjajahan berkepanjangan oleh Belanda. Persebaran pala di seluruh dunia pun hanya terjadi karena penjajahan. Dan ironis bahwa selama ini aku pikir rasa pala malah lebih cocok untuk makanan dengan pengaruh barat seperti sup sayur dan saus pasta tomat. Karena itu, aku sangat menghargai konteks sejarah pala yang buku ini berikan.
Buku ini juga memberikan gambaran budaya pada era tersebut, khususnya dinamika kelas antara orang dengan etnis berbeda. Hal ini tampak dari hubungan para buruh dengan Tuan, Nyonya, Noni dan Sinyo di perek. Mirah juga pernah berkata bahwa ia yang orang kontrak berbeda dari anak-anaknya yang Indo. Mereka juga seperti tak diajarkan untuk mencintai ibunya yang semua orang sebut gundik Jawa. Betapa miris. Pun pedih membaca bagaimana setelah melewati penantian yang panjang, akhirnya Mirah menggusah Lawao pergi karena ia yakin nilai utama wanita adalah kemampuan memberi anak; barangkali gambaran yang realistis tentang kuatnya nilai patriarki pada masa tersebut sampai belakangan ini.
Banyak yang aku pelajari dari buku ini. Tapi buku ini juga seru! Awalnya, cerira dimulai dari sudut pandang seorang turis. Tak habis-habis aku baca 100 halaman bagian ini sampai sebulan. Tapi begitu memasuki sudut pandang Mirah, 280an halaman aku babat dalam sehari. Penulisannya sederhana dan polos, mudah dibaca dan cocok sekali untuk karakter Mirah. Dan walaupun banyak time-skip, ceritanya disusun dan disampaikan dengan baik. Buku ini aku rekomendasikan untuk penggemar hisfic, sastra Indonesia, dan Pachinko!
This entire review has been hidden because of spoilers.
Untuk saya yang sudah lama penasaran tentang sejarah pulau banda yang selama ini cuma saya tau dari sebuah cerpen iksaka banu di Teh dan Pengkhianat, buku ini benar-benar bisa memuaskan rasa ingin tahu dan penasaran saya.
Ada banyak sekali elemen-elemen yang membuat saya sangat menyukai novel ini.
Pertama. Pada bagian awal novel pembaca akan diajak pelesir menjelajahi keindahan Banda yang masih terjaga. Menyelam di lautnya yang indah penuh dengan coral dan ikan-ikan beraneka warna. Menikmati hidangan khas Banda yang istimewa, menjelajahi Perkebunan Pala dan mengunjungi Benteng dan gedung-gedung bersejarah peninggalan para penjajah. Bahasa penulis dan ringan dan mengalir mengingatkan saya pada petualangan-petualangan Lima Sekawan karangan Enid Blyton
Kedua. Melalui Mirah, kita akan diajak kembali ke Pulau Banda pada masa Belanda masih berkuasa dan Pala masih berjaya. Sebuah kisah yang terkait erat dengan sejarah para kuli kontrak dan para Nyai. Bagaimana ribuan orang Indonesia dijebak, ditipu, atau bahkan diculik untuk dapat memenuhi kebutuhan Belanda akan kuli, untuk menggantikan para budak yang sudah tidak lagi diperbolehkan. Bagaimana sebenarnya kehidupan para kuli yang tidak lebih baik dari budak. Bahkan bagi kuli wanita keadaan itu menjadi jauh lebih buruk. Kita juga akan diajak menyelami kehidupan, keputusasaan dan posisi seorang wanita yang dipaksa menjadi Nyai (gundik) Belanda.
Potongan Narasi itu dilengkapi pula oleh sejarah dan legenda Pulau Banda jauh sebelum Belanda datang, seperti kisah Putri Cilu Bintang yang pertama kali mendatangkan Pala ke Banda dan kisah pembantaian para Orang Kaya oleh JP Coen pada abad ke 17. Sejarah Pulau Banda dituturkan mengalir hingga masa pendudukan jepang, kemenangan sekutu, hingga masa setelah kemerdekaan yang menjadi masa kini dari novel Mirah dari Banda.
Sebuah novel yang sangat direkomendasikan untuk dibaca. Mungkin sudah sulit menemukan novel fisiknya sekarang, tapi teman-teman bisa membacanya secara gratis di ipusnas seperti saya.
"Oh ya? Baru kali inilah saya mendengar cerita tentang sagu dan putri Hainuwele dari Seram," jawab Jack. "Yang saya herankan mengapa cerita tentang bahan pangan selalu datang dari perempuan." "Karena secara tradisional perempuan dihubungkan dengan dapur," Ratna menyahut.
Cerita rakyat Seram Barat yang mengisahkan asal usul pohon sagu yang berasal dari tempat dimana Putri Hainuwele, seorang korban pembunuhan, dimakamkan. Cerita rakyat Jawa yang mengisahkan asal usul padi yang berasal dari kisah Dewi Sri dan selendangnya. Ternyata, cerita rakyat Kepulauan Banda tentang asal usul pohon pala juga mengisahkan hal yang serupa. Alkisah, seorang putri rupawan bernama Ceilo Bintang ketika akan dipinang oleh seorang Raja dari sebuah negeri bernama Timur mengajukan syarat agar dibawakan kepadanya pohon pala yang sudah dikeluarkan dari persemaian sebanyak seribu batang. Walaupun pada akhirnya pernikahannya dengan seorang raja dari negeri Timur tersebut dikisahkan tidak pernah terjadi akibat tewasnya sang raja di tengah perjalanan ke Kepulauan Banda dan sang putri akhirnya menikah dengan seorang raja dari Jawa dan ikut suaminya pindah ke sana.
Kekuatan novel ini buat saya ada dua. Pertama, pembahasan tentang sejarah tanaman pala di Kepulauan Banda begitu detail. Dikisahkan seorang pemandu wisata bernama Jack (Mohammad Zakaria) menceritakan sejarah tentang pala tersebut ketika memandu rombongan dari Ambon (Matthew Morgan/Mat, Wendy, Amir, Diah, dan Ratna) yang melakukan perjalanan ke Kepulauan Banda, yang dijuluki sebagai Bride of the Moluccas dalam rangka pembuatan film tentang taman laut dan segala keindahannya. Bentuk ceritanya juga enak dibaca, serasa diajak tur mengelilingi pulau demi pulau di Kepulauan Banda. Kedua, pembahasan tentang bagaimana perbudakan perkebunan pala di masa setelah VOC (kongsi dagang Hindia Belanda) berhasil mengusir penduduk-penduduk asli Kepulauan Banda dan menguasai wilayah-wilayah di Kepulauan Banda. Melalui kisah Mirah, seorang perempuan Jawa, pembaca akan disuguhkan lika-liku kehidupannya, mulai dari perannya sebagai kuli kontrak, sebagai gundik dari seorang Tuan Besar, sampai sebagai ibu dari anak-anak berdarah campuran Indo-Eropa.
Terasa sekali kekuatan novel ini berasal dari telatennya melakukan riset lapangan dan mengolah hasil riset tersebut. Dari kisah Mirah juga tergambarkan bagaimana interaksi antar pelaku-pelaku perkebunan pala, antara kuli kontrak dengan Tuan Besar, antara asisten rumah tangga dengan Nyonya Besar, antara sesama kuli kontrak, di zaman perbudakan dulu.
Belakangan ini aku sangat menyukai kisah-kisah dari Indonesia Timur. Novel ini, aku rekomendasikan untuk novel sejarah yang serius namun tetap nikmat dibaca.
Membaca novel ini, kita dibawa berabad-abad ke belakang. Kau akan dapat membayangkan birunya laut, putih pasirnya, segarnya ikan, melihat rimbunan pala dan kenari bersama wangi pala. Membaca novel ini kau juga dapat mencium amisnya darah perbudakan dan perang.
Mirah dan Pulau Banda memiliki banyak kesamaan. Mirah sebagai seorang korban perdagangan manusia. Banda sebagai pulau berpohon emas, yang dibumihanguskan dari penduduk aslinya. keduanya dicabut dari akar lingkungan yang membesarkannya dan dibesarkan demi memuaskan hasrat kapitalis. Menjadi penghasil Pala dunia. Menjadi perempuang piara.
Mirah dan Banda yang cantik. Namun tak punya kekuatan menentukan masa depannya. Apakah kecantikan dan pohon pala merupakan berkat atau petaka?. itulah yang selalu dipertanyakan dalam buku ini.
Suram ya? Untunglah, sang penulis membubuhkan kisah cinta didalamnya. Perjuangan menunggu dan kembali kepada orang-orang yang dicintai. Karena hidup adalah memberi arti. Mirah yang malang.
“Yang saya herankan mengapa cerita tentang bahan pangan selalu datang dari Perempuan.” “ Karena secara tradisional Perempuan dihubungkan dengan dapur,” Ratna menyahut. (Rambe, 2010:83) 🌿🌊
Setelah sebelumnya membaca sebuah novel romantis komedi terjemahan dengan bahasa super duper ringan, aku merasakan sedikit kesulitan awalnya untuk masuk kedalam cerita novel ini yang tema lebih berat dan lebih banyak narasi. Apalagi setelah aku bolak balik novel ini ditulis sudah lumayan lama, diterbitkan pertama kali pada tahun 1983 oleh Universitas Indonesia Press. Novel ini menceritakan tentang Wendy, perempuan asal Australia yang telah lumayan lama menetap di Indonesia mengikuti suaminya. Suatu hari Wendy mendapat kesempatan untuk berlibur ke pulau Banda bersama dengan suami dan juga teman-temanya.Dalam liburannya tersebut Wendy tertarik kepada seorang koki tua di dapur bernama Mirah. Mirah dulunya adalah bekas buruh kebun pala dan gundik dari salah satu tuan besar penguasa satu dari sekian banyak kebun pala di kepulauan Banda. Secara misterius baik Mirah maupun Wendy telah terikat dengan takdir yang terjalin puluhan tahun sebelumnya.
Jujur saja awalnya aku sangat ragu untuk membaca novel ini, karen aku takut bakalan bosan. Bahkan setelah membaca beberapa lembar pertama aku merasa ingin beralih pada novel lain terlebih dahulu, dan membaca novel ini kemududian. Tetapi aku akhirnya memantapkan hati untuk membaca novel ini. Seperti yang telah sebelumnya kusebutkan diatas kalau aku merasa sedikit kesulitan untuk masuk ke dalam cerita karena bahasa yang digunakan dalam novel ini lumayan kaku. Setelah aku buka memang buku yang kubaca cetakan 2010 dan setelah itu sepertinya belum dicetak lagi dan pembaharuan dari segi tata bahasa. Cerita ini sendiri terbagi menjadi dua sudut pandang, yakni dari sudut pandang orang ketiga serba tahu yang menceritakan sisi kini yang fokus utamanya adalah tokoh Wendy dan sudut pandang orang pertama dari tokoh Mirah yang menceritakan masa lalunya.
Awalnya akua agak mengantuk dan bosan saat membaca novel ini karena didalamnya lebih banyak narasai dibandingkan dengan dialog, apalagi pada bagian kembali ke kehidupan Mirah. Tetapi aku mulai penasaran dan terbawa suasana dari novel ini dan ikut menikmatri cerita sejarah pulau Banda yang dibawakan oleh pak Jack salah satu tokoh dalam novel ini yang suka bercerita. Selama ini aku tidak pernah menaruh perhatian khusus kepada Banda, mungkin beberapa kali namanya lewat sekilas dibeberapa literatur yang kubaca. Setelah membaca novel ini aku merasa medampatkan tambahan pengetahuan baru mengenai sejarah Banda. Mulai dari awal datangnya manusia kepulau Banda hingga berakhir kekuasaan para penjajah di pulau Banda. Saat membaca aku mendapatkan pengetahuan baru bahwa kebanyakan asal-usul bahan pangan selalu dihubungkan dengan perempuan. Seperti asal usul pohon Pala yang ada di pulau Banda berkaitan dengan putri Celio Bintang, asal usul padi di pulau Jawa yang berkaitan dengan dewi Sri, dan asal usul Pohon sagu di Seram yangberkaitan dengan putri Hainuwele.
Selain itu aku juga mengetahu tentang tragisnya penjajahan yang dilakukan oleh J.P Coen. Selam ini tokoh gubernur jenderal Hindia Belanda yang aku kenal hanya Raffles dan Daendles, melalui novel ini aku menjadi sedikit mengenal tokoh J.P Coen yang belum dijelaskan secara detail dalam pelajaran sejarah di sekolah mengenai pembataian yang dilakukan pada rakyat Banda. Melalui buku ini aku menjadi banyak belajar tentang bagaimana susahnya hidup pada masa penjajahan. Kesusahan hidup tersebut berdamnpak kepada semua kalangan tidak hanya kalangan bawah atau atas saja. Kalangan bawah pada masa penjajahan mengalami kesulitan karena hidup sangat menderita, dipaksa harus bekerja keras siang dan malam tetapi tidak mendapat bayaran yang sepadan, ketakutan karena sewaktu-waktu dihukum dengan berat jika melakukan kesalahan, belum lagi dengan semua penderitaan itu masih ada kewajiban untuk membayar pajak. Kalangan atas juga kesulitan karena harus meneruti keinginan para penjajahan yang tidak semuanya menguntungkan mereka, harus siap jika sewaktu-waktu harta kekayaan mereka dirampas, juga mendapat ancaman hukuman jika suatu perbuatan mereka dirasa salah di mata para penjajah. Aku juga mendapat Pelajaran baru mengenai bagaimana upaya para penjajah tidak membiarkan para rakyat mendapat kecerdasan dengan belajar disekolah dan juga menabung. Cara yang mereka lakukan adalah dengan memberikan berbagai tempat hiburan seperti Lokasi perjudian, billiard, dan tempat hiburan yang menyediakan candu. Disitulah tempat para pekerja menghabiskan gaji yang baru dibayar tanpa sisa bahkan sampai mereka terlilit utang.
Dalam segi karakter entah kenapa ada beberapa karakter yang membuatku greget sendiri. Pertama ada tokoh Karsih yang menurutku sangat goblok banget kek apaasih. Dalam bagian awal buku ini Mirah bercerita bahwa keluarganya lumayan berada ketika di pulau Jawa, walaupun tidak disebutkan dengan pasti di Jawa bagian mananya. Tapi entah kenapa perasaanku mengatakan bahwa daerah asal Mirah dan juga Karsih berada diwilayah Jawa Tengah. Mirah sepertinya di daerah asalnya merupakan keluarga yang berharga terlihat dari rumah besar dan kendang sapi yang dideskripsikannya, tapi si Karsih ini kasarnya kan cuma pembantu. Bisa-bisanya Karsih mau-mau saja saat diajak oleh laki-laki asing yang ditemuinya dipasar. Kalau dia pergi sendiri sih gak papa, la ini malah mengajak Mirah yang saat itu masih kecil dan sama sekali belum tau apa-apa. Walaupun aku sempat kasihan bagaimana dia menjadi wanita yang secara terpaksa harus menjadi budak nafsu para lelaki yang berkuasa. Tapi aku salut juga ditengah keaadaan sulit yang menimpanya dia selalu menyayangi dan menjaga Mirah seperti anaknya sendiri. Aku ikut senang karena setelah apa yang dialaminya selama bertahun-tahun ada laki-laki yang mau menerima dan mencintainya dengan tulus.
Tokoh selanjutnya yang benar-benar menarik perhatinku yaitu Mirah. Membaca novel ini aku serasa diajak untuk menelusuri hidup Mirah mulai dari dia kecil yang sangat polos dan tidak mengerti apa-apa hingga menjadi Wanita tua yang masih polos, tapi lebih bijaksana. Mirah kecil yang tanpa sengaja ikut terbawa bersama Karsih meninggalkan pulau Jawa untuk menjadi buruh pala di Banda. Mirah yang bahkan saking masih kecilnya saat dibawa sama sekali tidak bisa mengingat nama kampung halamannya, hanya ingat kalau rumahnya dulu tinggal ada di Jawa. Mirah yang sangat polos dan tidak tau apa-apa. Dia sangat gampang percaya dengan apa yang dikatakan orang, aku merasa sangat kasihan akan nasib cintanya yang tragis. Selama bertahun-tahun dia terus mengharapkan cintanya yang Lawao yang tak kunjung kembali, hingga dia terpaksa menjadi gundik tuan besar. Walaupun pada akhirnya Lawao dan Mirah bisa bersama, tapi kebahagiaan itu entah kenapa tidak terasa sebahagia yang seharusnya. Mirah sangat sangat kasihan. Masa mudanya dihabsikan sebagai buruh pala hingga dia dijadikan gundik tuan besar, jika perkiraanku benar dia menjadi gundik pada usia yang masih sangat muda mungkin sekitar 15 hingga 17 tahunan, sedangkan tuan besar pasti sudah sangat tua. Membayangkannya saja sudah membuatku benar-benar kasihan pada Mirah. Bahkan saat menjadi Nyai tuan besar pun Mirah yang polos tidak bisa sepenuhnya menikmati kekayaan yang dimilikinya, benaknya terus diisi kerinduan kepada Lawao. Apalagi walaupun dia sudah diangkat menjadi Nyai, Mirah tidak mendapatkkan kehormatan yang seharusnya dimilikinya. Kata-kata Tuan besar yang sering mengatainya wanita bodoh, yang dijelaskan apapun tidak akan bisa mengerti. Hal menyedihkan lain adalah walaupun Mirah yang telah melahirkan Lily dan Weli dia sama sekali tidak mendapatkan kehormatan layaknya seorang ibu yang wajib di hormati. Weli dan Lily mendapatkan didikan bahwa mereka keturunan Belanda, walaupun ibunya Mirah. Tidak ada interaksi penuh kasih saying dan rasa hormat yang seharusnya diberikan kepada Mirah. Hal inilah yang selama membaca terus kupertanyakan dan membuatku kesel sendiri. Kok bisa gituloo inilo ibunya sendiri. Aku puas banget waktu Mirah berani menyelatkan Weli dari amukan tuan besar. Itu adalah keberaniaan pertama yang ditunjukkan Mirah. Terlepas dari dirinya yang takut dan segan untuk berinteraksi dengan anak-anaknya karena batas tak kasat mata yang memisahkan mereka, Mirah selalu berusaha menjadi Ibu yang baik. Bahkan dia berusaha sekuat tenaga untuk menyelatkan Lily sampai hidup di gunung yang jauh dari mana-mana. Selain itu aku juga greget banget sama Mirah ini yang pasrah saja menghadapi semuanya, saat ditanyakan pendapat atau diharuskan untuk mengambil keputusan dia tidak pernah bisa dengan alasan hanya wanita bodoh yang tidak tau apa apa. Benar-benar tidak ada keberanian untuk berjuang sekuat tenaga menjadi wanita gagah perkasa.
Dari awal sampai akhir menurutku hidup Mirah tidak ada bahagia-bahagianya sama sekali, cuma sedikit, dikit banget. Kayak mulai dari kecil yang harus ikut menjadi buruh pala hingga masa tuanya yang kesepian tidak mempunyai siapa-siapa sama sekali. Sampai akhir aku merasa kasihan dengan hidup Mirah. Ternyata sesulit itu ya hidup pada masa penjajahan sebagai seorang wanita. Tapi aku sangat mengapresiasi keteguhan hati Mirah untuk tetap menyatakan dirinya sebagai pemeluk agama Islam, walaupun entah Mirah apakah sudah pernah melafalkan kalimat syahadat, walaupun dia tidak tau sama sekali islam itu seperti apa, tapi dia tetap teguh pada agamanya. Aku beneran terharu saat menuju bagian akhir buku dimana dijelaskan masa tua Mirah, bagaimana dia yang merasa sangat bahagia saat diberi lampu baru oleh Wendy, saat dia diajak naik mobil untuk pertama kalinya dan melihat lihat pesawat, kek tau gak sih hatiku sakit dan trenyuh banget kasihan mirah harus melewati hari tuanya sendirian, kesepian, dan gak punya siapa siapa. Aku jadi mulai mikir gimana masa tuaku nanti ya, apakah bakalan ada yang menemani atau sendirian dan kesepian.
Membaca novel ini juga membuatku gregetan sendiri kok dibuat kayak gitu ceritanya, Kenapa kok gak dibuat Mirah dan Wendy akhirnya tau kalau mereka adalah cucu dan nenek. Kalau begitu akhirnya pasti lebih bahagia . Wendy tidak akan terus sedih memikirkan asalnya yang sesungguhnya dan Mirah tidak sendirian lagi. Kenapa sih alurnya kayak gitu. Yah mungkin karena aku yang terbiasa dengan ending yang bahagia selamanya makanya beneran kesel sendiri. Namun, aku juga sangat mengpresiasi bagaimana penulis bisa menceritakan kondisi sosial dan alam dalam setiap masa yang menjadi setting cerita dengan sangat detail hingga membuat aku sebagai pembaca benar benar bisa menyelami dan masuk kedalam cerita. Novel ini juga membuatku semakin membulatkan tekad untuk bisa berkunjung ke Banda Neira suatu saat nanti, untuk melihat secara langsung keindahan alam yang diceritakan. Semoga aku benar-benar bisa mewujudkannya. Satu lagi yang aku apresiasi dari penulis yaitu tidak menampilkan adegan kekerasan fisik atau pun seksual yang dialami tokoh-tokohnya secara eksplisit hingga tetap membuat nyaman selama membaca.Aku merupakan orang yang merasa kurang nyaman saat dalam sebuah novel adegan seksualnya diceritakan secara ekplisit, membuatku ngeri dan tidak nyaman, hingga kadang harus mengambil jeda beberapa saat sebelum melanjutkan membaca. Aku sangat bersyukur dalam novel ini walaupun harusnya ada adegan seperti itu penulis memilih untuk tidak menampilkannya, walaupun ditampilkan Bahasa yang digunakan sesopan mungkin . Secara keseluruhan aku sangat menikmati sekali membaca novel ini.
This entire review has been hidden because of spoilers.
If you want to learn something about Indonesia's past and present, or how nutmeg is actually grown, its a good starting point. See here, what the editor says about the story: Kidnapped from Java, along with her older cousin, five year-old Mirah is taken to the Banda islands where she spends the rest of her life on a nutmeg plantation. She is first taken in as a servant by the Dutch estate owner, then works as a contract nutmeg picker and finally, when his wife leaves him, she is forced to become the man's concubine with whom she bears two children. Mirah lives out her life-through the Dutch colonial era, the Japanese Occupation, the Revolution and modern days-with no say in what befalls her. more at http://bit.ly/16tt2N9 The Lontar Foundation is doing a great job in making books from Indonesian available to the world. What I did not like, is that this book was abridged for translation, without saying it in the book. I learned it from a panel discussion with the translator.
I enjoyed reading this book, as I will visit some of the places where it is set in November.It is set in Banda, Indonesia. The story is about what happens to a community colonised by the Dutch and then invaded by the Japanese in WW2. The complexities of life are made so much more difficult by the lack of a common language. I wonder how our world would be different if we shared a common language.
I accidentally found this book in the regional library and it turned out I really fell in love with everything in this book and felt empty after I finished it😔
Mirah dari Banda mengangkat kisah sejarah dan tragedi pulau Banda, khususnya terkait tragedi genosida pembumihangusan penduduk asli Banda yang dilakukan oleh Jan Pieterszoon Coen atau yang dikenal sebagai JP Coen, Gubernur Jenderal VOC pada abad ke-17.
Buku ini menceritakan kisah seorang perempuan bernama Mirah, yang mengalami berbagai peristiwa pahit akibat perang dan kolonialisme Belanda dan Jepang di Kepulauan Banda. Ditulis menggunakan alur maju-mundur, pada awal bab, pembaca disuguhkan oleh keindahan Bandaneira, alur cerita mengenai liburan Wendy alias Rowena Higgins mengunjungi Kepulauan Banda, serta bagaimana pertemuannya dengan Mirah, seorang koki tua keluarga Jack, yang dulunya pernah menjadi buruh kebun pala kemudian menjadi "Prampuang Piara" atau Nyai Tuan Besar masa kolonial Hindia Belanda.
Melalui kisah Mirah sebagai tokoh utama, pembaca diajak menelusuri kilas balik bagaimana kehidupan Mirah di zaman kolonial saat tuan-tuan tanah perkebunan pala dan cengkeh masih berkuasa di Banda. Dalam menghadapi masa penjajahan, Mirah menjadi simbol dari perempuan pribumi serta korban perbudakan dan kekerasan seksual yang disertai trauma dan kehilangan orang-orang terkasih.
Buku ini menyoroti sisi gelap tragedi kemanusiaan akibat perang dan perbudakan, terutama yang dialami oleh perempuan. Kehidupan masyarakat pribumi, khususnya perempuan pada masa itu dicerabut dari tempat asalnya dan dipaksa menempati "rumah" yang asing bagi mereka. Mirah sendiri bukanlah orang Banda asli, melainkan gadis Jawa yang sejak kecil dipaksa meninggalkan kampung halamannya bersama dengan bibinya, Yu Karsih, menuju ke Banda untuk menjadi budak perkebunan dalam situasi kolonial yang sangat keras dan penuh penindasan.
Ada kegetiran tersendiri saat mengikuti kisah hidup Mirah yang sejak kecil hidupnya sangat keras dan penuh penderitaan. Kekerasan yang meliputi kerja paksa, ancaman, penindasan akibat dominasi kolonialisme dan patriarki yang terus menerus menimpa Mirah menyebabkan trauma mendalam, namun juga memaksa dirinya untuk mengembangkan ketangguhan dan terus berjuang untuk bertahan hidup dan memelihara harapan meski hidup dalam kondisi yang menindas dan asing baginya.
Aku bisa merasakan kesepian dan kehampaan dalam hidup Mirah yang penuh dengan kesendirian, ditinggal orang-orang tercinta, tinggal di pulau terpencil yang sangat asing baginya, dan tidak dapat kembali ke tanah kelahiran hingga hari tuanya.
Cara penulis memadukan sejarah dan fiksi dengan begitu detail sangat mengesankan. Selain itu, ada pula unsur-unsur percakapan bahasa Banda yang terselip di dalamnya. Banyaknya percakapan yang menggunakan bahasa Banda membuatku harus membaca kalimatnya pelan-pelan dan berulang agar bisa memahami artinya karena buku ini tidak dilengkapi dengan catatan kaki. Namun sebagai gantinya, buku ini dilengkapi dengan kamus arti istilah setempat di bagian akhir buku yang sangat membantu untuk dapat memahami dialognya. Meskipun pada awalnya buku ini sedikit membosankan, namun aku sangat terpukau dengan bagaimana cara penulis menggambarkan keindahan pulau Banda melalui narasi yang ditulis dengan riset mendalam.
Overall, this book is undoubtedly one of my top picks in the historical fiction genre, and I highly recommend it to anyone who likes historical fiction🍃🌼✨️💗
"Mira of Banda" is from the estimable Lontar series of the Indoneisan modern library. It suffers from many of the problems that one finds in novels from areas that lack a long tradition in the novel, that don't have a number of Samuel Richardsons and Edward Bulwer-Lyttons to forge paths in the wrong direction for following generations to avoid. "Mirah of Banda" strays down lots of those irritating paths. And yet it works, assuming the form of a late-night narration by Mirah, an older Indonesian woman, of her life during the Dutch colony and Japanese occupation to a younger Eurasian one. Although the Indonesians in it are Muslim, it takes place in the Banda Islands, to the east, where the Dutch and Portuguese fought for control of the nutmeg trade. The issues that I found off-putting mostly derive from the framing story, principally the roving band of good very rich people (mostly Indonesians, since that part of the novel takes place after independence) who aren't at all decadent and are kind to their workers. A rich man gives a historian's long disquisition on Banda's history. And of course there is a too-convenient connection between the principal characters. One thing I will laud the novel for: this is a story of violence and rape. Characters are sent to lethal labor camps. are made into "nyais" (Indonesian concubines of the Dutch nutmeg planters) or become comfort women for Japanese troops, but there's no close-up detail on these horrors as a crutch to impress on us how awful they are. Where the story gathers emotional force and narrative is when Mirah takes it over. She is kidnapped and sold to a planter, works on the plantation, and works in the big house, where she eventually is made into a nyai, bearing two children who are lost to her in the war. He narration is everything the preliminary rich people lectures aren't: direct and compelling, full of deeply-felt grief and loss, with multi-dimensional characters with real choices. Not everything depends on having a long tradition of bad choices to avoid; passion and having an original story to tell matter, too.
Dulu waktu sekolah, novel ini sering dicuplik dlm buku paket Bahasa Indonesia sebagai contoh kalimat, contoh majas, dsb. Tanpa sadar, aku pun jadi suka baca semua cuplikan2 novel klasik di dalam buku Bahasa Indonesia sampai habis. "Mirah dari Banda" ini adalah favoritku. Lalu kucatat & kuingat baik2 judul novel ini, sambil bertekad suatu saat aku harus baca novel Mirah ini secara keseluruhan. Daaann.. Alhamdulillah sekarang terwujud, berkat ipusnas. Hehe.. Awal cerita mengisahkan tentang Wendy, seorang wanita Indo-Belanda, dan suaminya, yang mengunjungi Pulau Bandaneira dlm rangka berlibur. Pelesiran ini berubah jadi semacam wisata sejarah Pala yang menarik minat Wendy. Ketertarikan Wendy pada kejayaan Kebun2 Pala di masa lampau semakin bertambah ketika ia berjumpa dengan Mirah, sang juru masak di rumah kawan tempatnya menginap, yang ternyata pernah menjadi Nyai seorang pemilik kebun. Dan dari penuturan Mirah inilah kisah kejayaan dan kejatuhan Pala diceritakan.. Secara keseluruhan aku baper sama ceritanya, dan nyaris ikut nangis ketika Mak Mirah tua menangis. Yang kurang kusuka dari segi cerita, awalan cerita tentang Wendy dan rombongan yang berkeliling bekas kebun Pala rasanya terlalu panjang, sehingga terkesan bertele-tele. Cerita Mak Mirah sendiri baru dimulai di bab 5 kalau aku tdk salah ingat. Lalu ending-nya juga terkesan gantung, aku berharap sekali Mak Mirah diajak Wendy naik pesawat dan meninggalkan Bandaneira.. =') Dari segi editorial, lumayan banyak dijumpai salah ketik yg cukup mengganggu. Ketiadaan catatan kaki (yang diganti dengan lampiran "daftar istilah" di akhir buku) juga mengurangi kenikmatan membaca. Banyaknya dialog yg menggunakan bahasa Banda dan beberapa bahasa asing membuatku harus membaca pelan2 dan berulang agar paham artinya. Tapi overall, buku ini salah satu rekomendasiku bagi kalian yang suka fiksi sejarah atau baru mau mulai mencoba baca fiksi sejarah. Bagi yang pernah baca "Teh dan Pengkhianat"-nya Iksaka Banu tentang pembantaian suku asli Banda, di buku ini juga diceritakan agak lebih panjang, baik sebelum pembantaian terjadi maupun dampak punahnya suku asli Banda setelahnya.
"Berfikir ternyata pekerjaan yang sangat berat. Lebih berat dari mengangkat berbakul bakul pala".
"Kita senang berangan-angan, bermimpi karena pekerjaan itu murah dan aman".
Begitulah pemikiran Mirah kecil yang sangat polos. Mirah adalah anak kecil yang terbawa oleh pengasuhnya dalam tipuan perdagangan manusia, yang penuh tipu daya dari Jawa ke Banda. Mereka berdua akhirnya terpaksa menjadi kuli kontrak di Banda, dengan gaji yang sangat kecil, perlu bertahun-tahun bagi mereka mengumpulkan uang jika ingin kembali ke Jawa sehingga terpaksa menjalankan hidup yang sangat berat sebagai kuli di kebun pala.
Buku ini adalah kisah fiksi yang diramu dengan cermat oleh Penulis berdasarkan sejarah "Pala" di kepulauan Banda, suatu komoditi rempah yang berharga seperti emas di masa kejayaannya di abad ke-17. Komoditi yang seperti kutukan ini, menyebabkan penduduk asli kepulauan Banda dibantai oleh VOC dan diganti seluruhnya oleh kuli dari luar Banda. Tujuannya hanya satu, untuk memonopoli Pala agar dapat dijual dengan harga selangit di Eropa, dengan adanya prinsip Kapitalisme dari para penanam modal VOC di Belanda.
Pala dahulu bukan digunakan sebagai bumbu masak, namun di masa dimana belum ditemukan alat/mesin pendingin, Pala fungsinya untuk mengawetkan utamanya daging merah, juga untuk upacara keagamaan bahkan konon bangsa Mesir kuno mengawetkan jenazah menggunakan rempah-rempah diantaranya Pala. Buku ini sangat baik untuk pembaca yang tertarik mempelajari sejarah & kolonialisme akibat rempah di Indonesia Timur.
Novel Mirah dari Banda mengisahkan Mirah, seorang mantan pekerja buruh pala serta mantan "prampuang piara" seorang Belanda yang menceritakan kisahnya kepada Wendy, yang mungkin adalah cucunya sendiri.
Novel ini menarik karena sebelum kisah Mirah dimulai, karakter lain seperti Jack, Ratna, dan Wendy, menjelaskan sejarah kelam dari kepulauan Banda, serta keindahan dan kekayaan alam dan budaya masyarakat Banda. Kemudian dilanjutkan penceritaan Mirah mengenai masa lalunya sebagai pekerja Banda yang dibawa dari Semarang menuju Banda, karena ditipu oleh orang bangsanya sendiri. Novel ini dapat dikaji secara poskolonial dan gender. Terjemahan dalam bahasa Inggrisna pun tersedia di lontar.org, meski ada bagian dalam terjemahannya yang dihilangkan.
Saya sendiri menangis di bab 8, bahkan sempat melompati bab 9 karena tidah tahan dengan pemaparan Mirah ketika Tuan Besar dan kedua anaknya harus pergi meninggalkannya karena penjajahan Jepang. Mirah merupakan sosok perempuan tegar namun sungguh malang. Yang menyakitkan bagi saya bahwa Mirah benar-benar nyaris tidak dibuat bahagia oleh Hanna Rambe. Semua kisah hidupnya merupakan kesedihan yang tidak terhapuskan.
Bab 9 sendiri mengisahkan anaknya, Lili yang dijadikan Jugun Ianfu berkedok perawat oleh penjajah Jepang. Namun romansa tetap tampak dalam kisah Mirah, Wendy, dan Lili. Novel ini sangat saya rekomendasikan.
Fiksi sejarah yang berlatar di Banda, dari masa Belanda, Jepang, hingga setelah kemerdekaan. Pandanganku soal pala, si bumbu dapur, tidak lagi sama setelah bertemu Mirah dan kawan-kawannya. Memasak jadi lebih mindful.
Mirah dari Banda benar-benar membahagiakan aku dalam banyak sisi. Gaya bercerita Bu Hanna Rambe yang sederhana, indah, namun sangat detail berhasil menciptakan setiap lembarnya seperti bernafas dan bernyawa, bahkan hidangan yg disebut seakan bisa dikecap.
Bersama Wendy dan rombongannya, keindahan Banda dihamparkan. Birunya laut, cantiknya terumbu karang, lucunya ikan-ikan, tinggi nan hijaunya pepohonan juga gunung-gunung, pemandangan menyejukkan yang bisa dibayangkan. Pembaca kemudian diajak berkelana menyusuri benteng-benteng lawas peninggalan Belanda, lalu menikmati hidangan khas Banda. Deskripsi kulinernya JUARA! Bumbu, aroma, rasa, segalanya dijelaskan.
Bobot sejarah yang disajikan begitu mengenyangkan kosongnya pengetahuanku terhadap sejarah Banda dan pala, si pohon emas. Gara-gara pala dan fuli, orang Banda asli punah sebab genosida JP Coen di tahun 1621, bahkan Belanda rela menukar pulau Manhattan (waktu itu New Amsterdam) yang besar dengan pulau Rhun yang kecil demi Pala dalam perjanjian Breda bersama Inggris. Sebab pala juga, orang Indonesia pada akhirnya terjajah, tidak merdeka, tidak memiliki harga dan kebebasan, diculik, dijual, menjadi kuli kontrak, kalau cantik dilecehkan atau dijadikan Nyai, lalu tidak bisa pulang seperti Mirah.
Pengalaman Mirah yang sebenarnya berasal dari Semarang, menyibak keseharian dan tekanan yang dialami para pekerja di perkebunan Pala, sekaligus kerumitan dalam merawat dan memanen Pala yang ternyata sulit, salah sedikit bisa gagal panen. Begitu pun dengan monopoli dan siasat tidak terduga yang dilakukan Belanda dalam menjebak para pekerja, termasuk memberi hiburan judi. Mirah juga menjadi saksi dari sadisnya kehadiran Jepang dengan jugun ianfu-nya. Nyeseekkk.
[ Perjalanan hidup saya membuktikan saya harus selalu sendirian. Bukankah manusia dilahirkan seorang diri ke dunia, dan kelak akan berangkat ke tana-jao sendirian pula? ]
Kisah fiksi sejarah yang telah memperkenalkan saya kepada Kepulauan Banda, pemaparannya membuat saya sebagai pembaca "melihat" langsung kecantikannya tersebut.
Author did a very good job dalam mengemas perjalanan waktu, romansa, dan konflik secara intens dan detail. Memberikan perasaan suram dan melankolis yang membekas di hati saya karena peperangan dan dampaknya yang terjadi pada masa itu.
Akan tetapi, novel ini tidak berhasil membuat saya terhibur atau lebih tepatnya, membuat saya cepat bosan.
Di awal cerita, dimasukkan berbagai macam sejarah yang dijelaskan terlalu panjang dan dapat saja disingkat/diringkas. Setelah 130+ halaman, baru kita memasuki "Kisah Mirah" yang sesungguhnya. . . Endingnya juga tidak membuat saya puas dan tidak memberikan jawaban yang pasti.
Tidak sengaja menemukan buku ini di ipusnas. Aku tertarik dengan kata "Banda" di judulnya. Karena, yang ada di benakku setelah mendengar kata Banda adalah pala dan pembinasaan.
Di awal cerita, kita ikut dibawa berjalan-jalan mengelilingi pulau Banda bersama tokoh-tokohnya. Keliling naik perahu, menyelam, keliling kebun pala, mencicipi makanan asli Banda. Penggambaran kejadiannya membuatku seperti menjadi rombongan bersama mereka di Banda.
Perjalanan ini benar-benar perjalanan yang kaya akan sejarah. Karena, disetiap bagian perjalanan kita akan disuguhkan kisah-kisah di masa lalu pulau Banda. Membaca buku ini mengingatkanku pada buku "Pulau Run". Aku merekomendasikan buku ini jika kamu ingin belajar secara singkat kisah apa sih yang ada di masa lalunya Pulau Banda. 4/5 ⭐ dariku!
Hang on - the story improves as it progresses. It’s worth persevering if you are interested in Indonesia because it’s rare to find a book by an Indonesian author that has been translated into English.
The frame of novel story set probably in the 1970s or 80s feels contrived and with several errors possibly by a faulty translation. Also in this section the author dumps a lot of history on the reader in a tedious manner.
Only when the story flashes back to the time period from about 1920 until the end of WWII does the author find her authentic voice. This is a meaningful story worth wading through the frustration.
A good editor could have changed this into a great book.
Bagus bgt ceritanya! Ini novel sejarah yang dikemas dengan cerita fiksi, tapi tetap enak buat dibaca.
Karena ceritanya si tokoh utamanya, Mirah, ada di Banda dan ngejalanin kehidupan disana, so mostly nyeritain tentang Pulau Banda waktu Indonesia masih dijajah.
As you guys know, Pulau Banda dulu terkenal sekali dengan pala dan fulinya yang bikin seluruh dunia rela perang buat dapetinnya.
Buku ini bisa banget bikin pembaca bener-bener tenggelam ke dalam bacaan dan ngerasa lagi ada di jaman itu juga.
Shout out untuk penulis! Ini keren banget bukunya!
Mirah dari Banda sangat detail mendeskripsikan mengenai keindahan alam pulau kecil di timur Indonesia. Saya sebagai pembaca dibuat hanyut oleh cerita sekaligus dibuat miris dan terenyuh ketika dijelaskan mengenai sejarah pulau Banda, "di mana kekayaan alam (re:pala) membawa kesengsaraan bagi penduduk asli". Hanna sangat baik membuat konflik dalam hidup tokohnya dengan sangat intens hingga mengakar dalam keterikatan perjalanan waktu, romansa, jati diri, dan sejarah.
Tiga hari ini, mengisi waktu luang dengan jalan-jalan secara spiritual ke Banda, lewat buku Mirah dari Banda. Sebuah perjalanan nikmat namun pedih yang mengayakan pengertian akan kemanusiaan. Berharap ada kesempatan berikut untuk menjelajahi pengalaman mental lain dengan dipandu Hanna Rambe yang selalu menulis melalui riset lebih dulu.
As books and stories (also a documentary film and a stage theatrical performance) about Banda bloody history emerged, and people's fascination grow as we passed the 350th year of the Breda convention swapping Rhun (one of Banda's islands) with Manhattan (a.k.a. New York City), this is one novel that one can't miss. The story weaves complex historical paths that the people of Bandaneira went through in the past. As expected, the horrors and miseries of wars are a big part of the story, but also love and hope, told through the lens of a woman who are always torn apart from her homes and families.
The parts set in the past were stronger than the present time. The first third of the book introduces us to Wendy and Matthew, expatriates in Indonesia in the 80s. Mat works at an oil company in Sumatra and his wife Wendy is actually half Japanese and half Indo (meaning half Dutch, half Indonesian), who was born at the end of the Second World War and given up for adoption to an Australian couple. They have lived around the world due to Mat's work and are enjoying their time in Indonesia, traveling around the country. This time they travel with their Indonesian friend Jack to his childhood island of Banda, which is also known as the island of nutmeg. Europeans sought a way to this island for a long time and it gave birth to colonization. In Banda, they enjoy Jack's and his family's hospitality, but it's their cook Mirah, an old, yet beautiful woman, who captures Wendy's attention. Wendy wants to know all there is about Mirah's life and history. Mirah's life was turned upside down when her aunt got scammed by a few men, who took them to Banda from Java. There they became slaves for a Dutchman's nutmeg plantation. Mirah never knew how to return to her parents and never returned to Java. She became the "nyai" of the Dutchman and gave birth to a boy and a girl. Her life was simply filled with tragedy and sad stories and even if winds of destiny blew in her favor, it never lasted for a long time. The final blow in Mirah's life came when the Japanese arrived during World War II and tore her family apart. Unfortunately, the story was somewhat predictable. But I enjoyed to read a story set in Banda and learn about its history. For instance, I didn't know that the native Banda people were completely wiped away by the Dutch if they hadn't managed to run away to other islands. Most of the people living on Banda today are descendants of the slave workers that were brought to this island to pick nutmeg. The population of Banda is small compared to other parts in Indonesia and it was difficult to get workers to pick nutmeg, so people got scammed and brought to the island. Even if they were viewed as slaves, they had their living quarters and were paid a wage, which was surprisingly higher during Dutch colonial times than after independence. Nutmeg is a tricky fruit to grow and there's also a fleshy part in the fruit that can only be eaten fresh. I just wish, the book had just focused on Mirah, instead of adding the voice of Wendy. That part of the story was so useless. Also, Mirah clung hard to her Islamic faith and didn't have any rights over her children. It was sad to read how distant her relationship was to her biological children hindered by race, religion and class. Wish the book focused more on Mirah.
I picked up Mirah of Banda out of pure curiosity from a bookstore. Reading the back cover made the book seem intriguing and so I quickly set to work reading Rambe’s novel. The book is structured as a frame story with the outermost layer following Wendy, an Australian expatriate living in Indonesia with her husband. While on a trip with family friends to the Banda Islands in Maluku she encounters Mirah, an ethnic Javanese transplant, who works as a cook. One night, Mirah narrates the events of her life which coincidentally intersect with portions of Wendy’s mysterious origins.
Although it was not so dull as to lead me to leave Mirah uncompleted, the storytelling is rather bland. This could be in part due to the nature of Bahasa Indonesia opposed to English or just poor translation but in either case the story does little to create a connection with the characters or develop said characters into multi-dimensional figures. Wendy is kind and curious while Mirah is a frequent victim but never actually takes charge of a situation.
My greatest complain regarding Mirah of Banda is that Rambe takes the age-old writer’s advice, “show, don’t tell” and completely ignores it. An example: “We often had conversations like this and shared our deepest thoughts with each other. I began to feel restless if I didn’t see him for a while. The more often we met the calmer I felt. I came to depend on him just like an addict on his drugs. Lawao had become my drug. (p. 90)” By the way, there was no deep conversation that preceded this. The story is told in broad generalities without significant illustrations to amend the flat, static nature of the characters. On one page Mirah is deeply in love with a character and two pages later she is divorcing him with absolutely no development between the two.
The most redeeming point of Rambe’s novel is that it contains a decent chunk of Indonesian history. I chose this book to learn more about Indonesia and, even though I’ve done a lot of studying, I still learned more about the history of Eastern Indonesia. Unfortunately the presentation is very bland. Wendy gets a tour and people tell her things. There is little in the way of discovery or wonder and much, but not all, of the history is just thrown in because the author thought it would be interesting while adding little to the book as a piece of literature.
Do I regret reading it? No. Will I re-read it soon? No. Would I recommend this to others? Not unless you religiously watch the Hallmark channel and want to learn some Indonesian history.
Orang-orang yang terbelenggu dalam penghambaan, dalam kebodohan dan dalam perpecahan, tidak mempunyai daya [hal. 351]
Mirah, seorang mantan buruh pemetik pala di Bandaneira pada saat penjajahan Belanda. Dan sempat pula menjadi Nyai bagi Tuan Besar Ulupitu. Awalnya, Mirah hanyalah gadis Jawa yang masih kecil, dari keluarga berada, yg sengaja "diculik" dan dibawa ke Banda untuk dijadikan budak. Perjuangan Mirah untuk mencari kebebasannya, kemerdekaannya serta rasa penghargaan sebagai seorang manusia dikupas habis-habisan oleh Hanna Rambe.
Di sisi lain, ada Rowena "Wendy" Morgan-Higgins, yang seorang warga negara Australia dan sedang berlibur ke Banda. Wendy, yg dulunya adalah bayi perang tidak pernah mengetahui siapa ayah dan ibu kandungnya, dan kemudian diangkat anak oleh keluarga Higgins. Yang dia ketahui hanyalah ayahnya seorang Jepang dan ibunya Indo-Belanda. Kebetulan, saat berlibur itu, Wendy bertemu dengan Mirah. Dari sini awal mula plot dibangun dengan ciamik oleh penulis.
Hanna Rambe membawa pembaca melintasi dua jaman (mungkin bahkan tiga!). Jaman Mirah muda, saat Indonesia masih dalam cengkeraman penjajah Belanda dan masa Indonesia sudah merdeka, namun sisa perang sebelumnya masih belum bisa diperbaiki --jaman Wendy. Di sini,pembaca diajak melihat kekejaman masa perang, dimana manusia tidak dianggap sebagai manusia, diperlakukan layaknya barang yg bisa diperjual belikan (meski Hanna Rambe menjelaskan bahwa perbudakan di Banda tidak sesadis bayangan kebanyakan orang, tanpa hukuman fisik dan lainnya), dijadikan bulan-bulanan majikan dan tidak diijinkan memiliki pemikiran serta keinginan sendiri. Mirah, yang sejak kecil merasakan kehidupan sebagai sahaya, sangat mendambakan kebebasan.
Dengan baik hati pula, Hanna Rambe menceritakan sedikit tentang peristiwa sebelum Wendy dihadirkan ke dunia, sehingga buku mungil ini terasa makin padat berisi (makanya nyelesaiinnya juga lamaan). Meskipun tokoh-tokohnya fiktif, gw rasa peristiwa perbudakan dan mungkin apa yg dialami Mirah adalah kenyataan. Generasi seperti gw,mau gak mau "hanya bisa" bersimpati dan berterima kasih, bahwa mungkin Indonesia sekarang takkan ada bila kisah tersebut tak ada. Mungkin memang bukan kisah yg indah,namun kisah burukpun memberikan warna tersendiri dalam sebuah perjalanan sejarah.
** spoiler alert ** Menjelang ending harap-harap cemas. Akankah akhirnya bahagia, cucu bertemu dengan neneknya. Tapi harapan akan hal itu lemah sekali. Ending dibiarkan menggantung. Padahal di akhir-akhir ada suatu harapan, ketika Mirah & Wendie menemukan perhiasan termasuk liontin yang berisi rambut Lili ketika masih berumur lima tahun. Hu hu, kenapa cuma dikasih ke pak Camat sih. Kirain... kirain. Wkwk ya iya seh, terlalu sinetron klo akhirnya trus tau-tau Wendie minta tes DNA :D. Tapi napa itu musti dimasukkan di akhir-akhir cerita sih, kan ga berfaedah jadinya. Siapa orang yang naruh situ? Maksudnya apa? Kenapa baru saat itu ditemukan? Dan kenapa yang menemukan adalah Wendie? Kalau Wendie cukup berjiwa Timur, baiklah, aku spesifikkan lagi, cukup berjiwa Jawa, jiwa Semarang! Mungkin Wendie akan menganggap itu sebuah pertanda. Nyatanya Wendie cenderung tak berpikir lebih panjang terhadap penemuan perhiasan itu -_-.