"Kesabaran adalah mawar yang merambat, lumut yang tak takluk karena salju."
Buku sajak tentang Don Quixote, yang dapat sambutan baik dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris serta Jerman, kini diterbitkan kembali dengan beberapa sajak baru. Goenawan Mohamad, yang juga perupa, membuat gambar-gambar Don Quixote, salah satunya jadi gambar kulit muka untuk buku ini. Ia juga menulis teks untuk wayang golek Den Kisot yang akan dipentaskan bersama peluncuran terjemahan novel-novel Cervantes itu dalam bahasa Indonesia.
Goenawan menulis puisi (terakhir Tigris), karya lakon (terakhir Amangkurat, dipentaskan di Jakarta dan Kuala Lumpur), novel (Surti dan Tiga Sawunggaling), dan sampai hari ini menulis tiap pekan Catatan Pinggir di Majalah Tempo, esai-esai pemikiran yang di tahun 2017 dikumpulkan sampai 12 jilid. Orfeus, sebuah sajaknya ditafsirkan dalam koreografi oleh Melati Suryodarmo, di mana Goenawan berlaku sebagai sutradara.
Ia seorang jurnalis dan sastrawan yang kritis dan berwawasan luas. Tanpa lelah, ia memperjuangkan kebebasan berbicara dan berpikir melalui berbagai tulisan dan organisasi yang didirikan-nya. Tulisannya banyak mengangkat tema HAM, agama, demokrasi, korupsi, dan sebagainya. Seminggu sekali menulis kolom “Catatan Pinggir” di Majalah Tempo.
Pendiri dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah Berita Tempo kelahiran Karangasem Batang, Pekalongan, Jawa Tengah, 29 Juli 1941, ini pada masa mudanya lebih dikenal sebagai seorang penyair. Ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan 1964 yang mengakibatkannya dilarang menulis di berbagai media umum.
Ia juga pernah menjadi Nieman fellow di Universitas Harvard dan menerima penghargaan Louis Lyons Award untuk kategori Consience in Journalism dari Nieman Foundation, 1997. Secara teratur, selain menulis kolom Catatan Pinggir, ia juga menulis kolom untuk harian Mainichi Shimbun (Tokyo).
Ia menulis sejak berusia 17 tahun, dan dua tahun kemudian menerjemahkan puisi penyair wanita Amerika, Emily Dickinson. Sejak di kelas VI SD, ia mengaku menyenangi acara puisi siaran RRI. Kemudian, kakaknya yang dokter (Kartono Mohamad, mantan Ketua Umum PB IDI) ketika itu berlangganan majalah Kisah, asuhan H.B. Jassin. “Mbakyu saya juga ada yang menulis, entah di harian apa, di zaman Jepang,” tutur Goenawan.
Pada 1971, Goenawan bersama rekan-rekannya mendirikan Majalah Mingguan Tempo, sebuah majalah yang mengusung karakter jurnalisme majalah Time. Di sana ia banyak menulis kolom tentang agenda-agenda politik di Indonesia. Jiwa kritisnya membawanya untuk mengkritik rezim Soeharto yang pada waktu itu menekan pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Tempo dianggap sebagai oposisi yang merugikan kepentingan pemerintah sehingga dihentikan penerbitannya pada 1994.
Goenawan Mohamad kemudian mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), asosiasi jurnalis independen pertama di Indonesia. Ia juga turut mendirikan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang bekerja mendokumentasikan kekerasan terhadap dunia pers Indonesia. ISAI juga memberikan pelatihan bagi para jurnalis tentang bagaimana membuat surat kabar yang profesional dan berbobot. Goenawan juga melakukan reorientasi terhadap majalah mingguan D&R, dari tabloid menjadi majalah politik.
Ketika Majalah Tempo kembali terbit setelah Pak Harto diturunkan pada 1998, berbagai perubahan dilakukan seperti perubahan jumlah halaman namun tetap mempertahankan mutunya. Tidak lama kemudian, Tempo memperluas usahanya dengan menerbitkan surat kabar harian bernama Koran Tempo.
Setelah terbit beberapa tahun, Koran Tempo menuai masalah. Pertengahan bulan Mei 2004, Pengadilan Negeri Jakarta Timur menghukum Goenawan Mohamad dan Koran Tempo untuk meminta maaf kepada Tomy Winata, (17/5/2004). Pernyataan Goenawan yang dimuat Koran Tempo pada 12-13 Maret 2003 dinilai telah melakukan pencemaran nama baik bos Arta Graha itu.
Goenawan yang biasa dipanggil Goen, mempelajari psikologi di Universitas Indonesia, mempelajari ilmu politik di Belgia dan menjadi Nieman Fellow di Harvard University, Amerika Serikat. Goenawan menikah dengan Widarti Djajadisastra dan memiliki dua anak.
Selama kurang lebih 30 tahun menekuni dunia pers, Goenawan menghasilkan berbagai karya yang sudah diterbitkan di antaranya kumpulan puisi dalam Parikesit (1969) dan Interlude (1971), yang diterjemahkan ke bahasa Belanda, Inggris, Jepang, dan Prancis. Sebagian eseinya terhimpun dalam Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, dan Kita (1980), dan Catatan Pinggir (1982).
Hingga kini, Goenawan Mohamad banyak menghadiri konferensi baik sebagai pembicara, narasumber maupun peserta. Salah satunya, ia mengikuti konferensi yang diadakan di Gedung Putih pada 2001 dimana Bill Clinton dan Madeleine Albright menjadi tuan rumah.
Ia mungkin lelah. Ia semakin tahu cinta yang tak pernah jelas telah ditahbiskan jadi mimpi, dan mimpi telah ditahbiskan jadi dosa, dan ia takut, atau mungkin malu, untuk kembali ke kastil itu.
(dalam puisi "Di Kastil Terakhir")
Setelah Membaca Petualangan Don Quixote versi sangat ringkas terbitan Immortal Publishing, saya tidak habiskan waktu untuk segera membaca kumpulan sajak ini. Terlepas dari huruf-huruf yang seakan bingung berkali-kali pada nama Don Quixote atau Don Quijote dan Dulcinea atau Dulcenia, juga kegagapan penulisan quotes (jika memang dimaksudkan begitu) yang dicatut dari bagian kecil beberapa puisi, saya mencintai bagaimana cara Goenawan Mohamad memercayai Don Quixote, cintanya kepada Dulcinea, dan kesetiaan Sancho Panza padanya.
Jumlah puisi yang sedikit awalnya membuat saya bertanya apakah mereka mampu merepresentasikan kisah fenomenal ini. Tidak, tentu saja saya salah. Tragisnya Don Quixote dan segala kepercayaan yang ia tunggangi mampu tampil dengan angkuh sekaligus lunglai pada akhirnya dalam kepala saya.
Catatan: saya membaca dua kali, sebab tidak ingin benar-benar berhenti.
Buku ini berkaitan banget sama buku Don Quixote, ya? Saya masih memberikan bintang 4 karena belum begitu tahu cerita aslinya. Jadi, walaupun bagus banget, entah kenapa ini belum nendang sampai saya akhirnya tahu.
Tidurlah, Sancho dengan dengkur yang terduga. Kosmos telah melepasmu. Tidurlah dengan mimpi tanpa arah, dengan lelap dalam sihir orang-orang tak berdaya. Tidurlah dengan ambisi yang mati. Kesabaran adalah mawar yangmerambat, lumut yang tak takluk karena salju. Tidurlah untuk malam yang tak terulang lagi.
Kumpulan sajak yang indah sebagai bacaan sebelum lelap ke dalam alam mimpi tanpa arah.
Siapa Don Quixote? Kena cari tahu Miguel de Cervantes dan tahulah bagaimana watak Don ini dituliskan. Begitulah karyawan, mampu menulis sajak dan apresiasi melalui apa-apa sahaja yang memberi erti pada pengamatannya.
Kumpulan sajak ini mengambil sisi-sisi/babak-babak Don Quixote. Tidak mampu mentafsir lebih-lebih kerana tidak membaca/menonton Don Quixote tapi apa-apa sahaja yang jatuh dalam pemikiran Goenawan, pastinya akan melahirkan sesuatu yang menarik.
Terpesona dengan sajak ini:
Justru
Justru karena tenung, telah diselamatkan kita dari jemu zaitun dan warna tua pohon-pohon encina. Memang masih ada sore yang hanya itu dan dusun yang tak berubah. Tapi ternyata hari biada berkelindan dengan mimpi dan kau dan aku lahir kembali, tercengang dalam cinta yang fiktif, percaya pada harap yang tak bersungguh-sungguh. Justru karena tenung aku tak akan membebaskanmu.
setelah saya menonton Don Quixote dalam film (The True Don Quixote: 2019), akhirnya memutuskan utk membeli buku sajak beliau ini. berisikan kurang lebih 23 sajak beliau yang bernas. dan tentu saja dengan kesunyian yg selalu hadir pada sajak-sajaknya. ada kincir angin, rocinante, padri dusun, sancho panza, dulcinea, dll. --tentu saja bagus. - Cinta terbaik seharusnya diperpendek pada pagi, oleh daun yang ditemukan matahari.
Oksigen pertama, akan menyelamatkan kita dari pengharapan tengah malam.
Nasib adalah persentuhan Losmen sebelum fajar. (Di sebuah Losmen: h.49)
Very good! Karena kesabaran adalah mawar yang merambat, lumut yang tak takluk karena salju. Puisi-puisinya indah. Tak begitu panjang. Paling suka puisi ini: Tidurlah, Sancho.
Tidurlah, Sancho, dengan dengkur yang sederhana. Kosmos telah melupakanmu. Tidurlah dengan mimpi yang tanpa arah, dengan lelap dalam sihir orang-orang yang tak berdaya. Tidurlah dengan ambisi yang mati. Kesabaran adalah mawar yang merambat, lumut yang tak takluk karena salju. Tidurlah untuk malam yang tak terulang lagi.
Tentu saja, puisi-puisi GM kali ini adalah gambaran akan Don Quixote. Melalui puisi, ia mengisahkan kembali dengan cara yang berbeda. Buku ini bisa dibaca sebelum dan setelah membaca karya Cervantes
Ia menangis untuk lelaki di atas kuda kurus yang akhirnya sampai pada teluk di mana fantasi adalah hijau hujan yang hilang ujung di laut asing
Ia menangis dan lelaki itu mendengarnya.
“Aku Don Quixote de La Mancha majenun yang mencarimu.”
Tubuhnya agak tinggi, tapi rapuh dan tua sebenarnya. Ia berdiri kaku. Cinta tampak telah menyihirnya jadi ksatria dengan luka di lambung. Tapi ia menanti perempuan itu melambai dalam interval grimis sebelum jalan ditutup dan mereka mengirim polisi, tanda waktu, kematian.