Tiga sahabat. Satu pertanyaan. What if in the person that you love, you find a best friend instead of a lover?
K e a r a
Were both just people who worry about the breaths we take, not how we breathe. How can we be so different and feel so much alike, Rul? Dan malam ini, tiga tahun setelah malam yang membuatku jatuh cinta, my dear, dan aku di sini terbaring menatap bintang-bintang di langit pekat Singapura ini, aku masih cinta, Rul. Dan kamu mungkin tidak akan pernah tahu. Three years of my wasted life loving you.
R u l y
Yang tidak gue ceritakan ke Keara adalah bahwa sampai sekarang gue merasa mungkin satu-satunya momen yang bisa mengalahkan senangnya dan leganya gue subuh itu adalah kalau suatu hari nanti gue masuk ke ruangan rumah sakit seperti ini dan Denise sedang menggendong bayi kami yang baru dia lahirkan. Yang tidak gue ceritakan ke Keara adalah rasa hangat yang terasa di dada gue waktu suster membangunkan gue subuh itu dan berkata, "Pak, istrinya sudah sadar," dan bahwa gue bahkan tidak sedikit pun berniat mengoreksi pernyataan itu. Mimpi aja terus, Rul.
H a r r i s
Senang definisi gue: elo tertawa lepas. Senang definisi elo? Mungkin gue nggak akan pernah tahu. Karena setiap gue mencoba melakukan hal-hal manis yang gue lakukan dengan perempuan-perempuan lain yang sepanjang sejarah tidak pernah gagal membuat mereka klepek-klepek, ucapan yang harus gue dengar hanya, "Harris darling, udah deh, nggak usah sok manis. Go back being the chauvinistic jerk that I love." Thats probably as close as I can get to hearing that she loves me.
Kisah kosmopolis ini sesungguhnya mengangkat tema klasik: cinta saling-silang yang menanti titik temu. Dalam bukunya kali ini, dengan berani Ika Natassa "memerankan" setiap tokoh dan bercerita dari sudut pandang mereka masing-masing, membuat dinamika yang menarik, tajam, cerdas, sekaligus humoris sepanjang cerita. Untuk penggemar chicklit atau buku-buku bertema metropop, karya Ika Natassa ini tidak sepantasnya dilewatkan. -- Dewi Lestari, penulis
Love this novel! Dengan banyak karakter dan cerita yang disuguhkan, Ika memberikan cerita yang jujur, apa adanya, dan membumi. Novel ini berbeda dengan novel-novel sebelumnya tanpa kehilangan signature sang penulis. If only every book I read was this good. -- Ninit Yunita, penulis
Sebagai pembaca sok pinter, berkali-kali saya berusaha menebak alur novel ini. Berkali-kali juga saya cengar-cengir karena twist yang muncul tak terduga mementahkan tebakan itu dan tanpa disadari saya sudah hanyut dalam cerita ini. Ikut frustrasi bersama Harris. Ikut sedih bareng Keara. Ikut jatuh cinta dengan Ruly. Novel ini wajib dibaca kalau kamu sudah bosan dibuai novel bertema sejenis dengan cerita yang too good to be true. Novel ini akan bikin kamu terharu, bahagia, sedih, sebal, dan akhirnya tersadar: cinta dan realita itu... ya kayak gini. -- Jenny Jusuf penulis, blogger
Ika Natassa is one of my favorite writers dan Antologi Rasa benar-benar mengobati kerinduan untuk membaca tulisan Ika. Bahasanya witty, alur cerita mengalir lancar dan plot serta pilihan kata yang selalu bikin jleb after jleb after jleb in my heart. Kena banget! Love is a universal topic and Ika Natassa with her Antologi Rasa has bring it to the next level! --Ollie, penulis, pemilik NulisBuku.com
Antologi Rasa mengobati rasa kangen saya pada lembaran kisah makhluk urban khas Ika yang ceplas ceplos dan menggigit. Bersiaplah untuk terombang-ambing di dalamnya karena rasa (di hati) tidak pernah berbohong. -- Sitta Karina, novelis dan kontributor lepas
Antologi Rasa is a no-barrier urban novel. Ika Natassa menghadirkan karakter-karakter metropolis yang dibalik kesuksesan karir dan finansialnya mengalami krisis emosional yang dramatis tapi tidak cengeng. Kerapuhan internal pribadi-pribadi kosmopolitan berhasil dilukiskan dengan detil dan seksama. Novel ini penting dibaca oleh pria dan wanita karir agar saling mengerti. Referensi pop culture serta lokasi cerita yang kuat membuat Antologi Rasa jadi kaya, meriah, dan menyenangkan. A page turner indeed! -- Ve Handojo, penulis skenario
Brilliant! Membaca novel ini membuat saya teringat masa-masa single dulu, karena alur ceritanya yang terasa begitu dekat dengan realitas sehari-hari. Ika berhasil membuat saya tidak bisa berhenti membaca novel ini sebelum tamat. -- Amalia Malik Purtanto, sahabat dan first reader
IKA NATASSA is an Indonesian author who is also a banker at the largest bank in Indonesia and the founder of LitBox, the first literary startup of its kind in the country, which combines the concept of mystery box and onine promotions for writers.
She loves writing since since was a little kid and finished writing her first novel in English at the age of 19. She is best known for writing a series of popular novels focusing on the lives of young bankers in Indonesia. Her debut novel A Very Yuppy Wedding is published in 2007, and she has released six books since: Divortiare (2008), Underground (2010), Antologi Rasa (2011), Twivortiare (2012), dan Twivortiare 2 (2014), and Critical Eleven (2015). A Very Yuppy Wedding is the Editor's Choice of Cosmopolitan Indonesia magazine in 2008, and she was also nominated in the Talented Young Writer category in the prestigious Khatulistiwa Literary Award in the same year. She loves to experiment with writing methods, Twivortiare and Twivortiare 2 are the two novels she wrote entirely on Twitter. Antologi Rasa and Twivortiare are currently being adapted into feature films by two of the most prominent production houses in Indonesia.
Natassa is also one of the finalists of Fun Fearless Female of Cosmopolitan Indonesia magazine. In 2008, she was awarded with The Best Change Agent at her company for her active role in corporate culture implementation in the bank, and in 2010 she was awarded for 2010 Best Employee Award. Her success in maintaining a career at the bank whilst pursuing writing as her other passion led to her being awarded awarded as the Women Icon by The Marketeers in 2010.
Out of the love of books, in 2013 she founded LitBox, a brand new concept she's in introducing to readers in Indonesia. It's the first literary startup company of its kind, aiming to provide readers with recommended books, to help writers get their writings read by people, and to help publishers introduce new talents to the market. On July 2014, she commenced a social movement campaign to promote the joy of reading called Reading is Sexy, so far supported by Indonesian and regional public figures such as Acha Septriasa, Jason Godfrey, Hamish Daud Wyllie, Karina Salim, Ernest Prakasa, Mouly Surya, and many more.
Twitter and Instagram: @ikanatassa LinkedIn: Ika Natassa Personal website: www.ikanatassa.com
Kenapa saya malas baca teenlit, chicklit, atau metropop karya penulis Indonesia? Jawabannya adalah karena saya merasa tidak bisa menghubungkan apa yang mereka alami dengan apa yang saya alami dalam kehidupan saya. Tokoh-tokoh dalam banyak novel semacam itu biasanya adalah orang-orang super kaya, dengan kehidupan hedonisme tingkat tinggi, yang tidak bisa dibayangkan oleh rakyat jelata seperti saya.
Orang-orang seperti ini hobinya pipis di Singapur, kalau saya bilang. Mereka biasa mengeluarkan uang jutaan, seperti lagi ngasih uang receh ke tukang parkir. Nggak pakai mikir. Gajinya delapan digit, tapi suka menghina-hina diri sebagai kacung yang menderita luar biasa di bawah tekanan atasannya. Maaf, saya memang nggak paham pekerjaan mereka seperti apa, tapi saya sama sekali tidak bisa bersimpati. Kalau memang merasa jadi kacung, ya sudah keluar saja. Uang puluhan juta yang kalian terima itu setara dengan gaji saya selama hampir 10 bulanan. Kalian bisa dengan mudahnya keluar dan membuka usaha baru. Bersyukurlah.
Belum lagi orang-orang di novel ini biasanya lupa cara ngomong pakai bahasa Indonesia. Ngomong sama teman sendiri hampir selalu pakai bahasa Inggris. Yah, saya sebagai orang yang paham bahasa asing, terkadang juga suka ngomong pakai bahasa jepang sama temen-temen saya yang satu frekuensi. Tapi nggak setiap saat. Dan biasanya ngomong pakai bahasa itu adalah semacam kode, ketika kami tidak ingin pembicaraan itu diketahui orang lain. Cuma, ketika bahasa asing itu begitu berlebihan intensitasnya, dan dibawa masuk ke dalam novel Indonesia, yang semua tokohnya orang Indonesia, maaf, saya tidak suka. Bagi saya, bahasa menunjukkan kepribadian dan juga kebanggaan terhadap negara kita, sebuah elemen penting yang menyatukan bangsa.
Yak, semua hal di atas adalah penyebab yang membuat saya tidak menyukai novel "Antologi Rasa" karya Ika Natassa. Ini adalah novel pertama Ika yang saya baca, dan saya tidak suka dengan ceritanya.
Saya tidak suka dengan tokoh-tokohnya, khususnya si cewek itu, siapa namanya? Ah, Keara. Dia itu hedon luar biasa, maklum lulusan luar negeri (yang kayaknya kuliahnya dibiayain sendiri) makanya kelakuannya begitu. Buat saya, tokoh yang ini sangat tidak menyenangkan. Di luar sikap hedon, kehidupan pergaulan bebas, dsb. yang dia anut, saya juga tidak suka dengan sikap dia kepada sahabatnya, si Harris, setelah mereka nggak sengaja bobok bareng waktu di Singapur berdua. Padahal... kesalahan di hari itu adalah salah mereka berdua! Bahkan! Kalau mau dirunut lagi, jelas-jelas itu salahnya Key, karena dia duluan yang nyosor si Harris pas lagi mabok karena galau mikirin cowok laen. Eh, besokannya dia ngamuk-ngamuk sama sahabatnya itu. Dia nggak mau nerima maaf (apalagi minta maaf), nganggep si Harris brengsek dan memanfaatkan persahabatan mereka, lalu hubungan mereka putus. Cih.
Heran sama si Key ini. Lo bisa tidur sama banyak cowok dengan mudahnya, padahal abis itu juga putus sama mereka. Dan ngeliat kehidupan dia yang kayak gitu, nggak heran lagi deh kalo dia pernah melakukan "one night stand"--berdiri semalaman. Lha terus, ketika lo melakukannya dengan sahabat lo sendiri, kenapa lo nggak bisa maafin, hah? Padahal lo udah dewasa, bisa-bisanya nyalahin orang lain atas kesalahan yang dilakukan diri sendiri! *ceritanya esmosi*
Oh iya, si Key ini jatuh cinta sama Ruly, cowok sederhana (tapi gajinya sama-sama puluhan juta) yang agak alim (karena Key pernah liat dia sholat Shubuh di apartemennya, setelah dia nganterin Key yang abis mabok-mabokan sama Harris), tapi ternyata ke belakangnya juga brengsek. Ha!
Opposite attraction? Yeah, maybe. Atau mungkin Key hanya terobsesi, karena dia belum pernah melihat cowok semacam Ruly takluk pada pesonanya.
Satu-satunya tokoh yang bikin saya simpati adalah Harris. Kasian, perasaan tulusnya ke Key dibalas air tuba. Pengorbanan Harris selama ini, beliin sarapan tiap pagi, nemenin Key kalo lagi mutung, jadi tempat sampahnya Key, hingga bantuin Key buat putus sama pacar-pacar brengseknya, buyar hanya dalam semalam. Ironisnya, itu nggak sepenuhnya kesalahan dia. Pukpuk Harris...
Setelah halaman berapa ratusan, saya merasa luar biasa bosan, dan skip sebagian besar ceritanya. Terutama ketika bagian Key dan Ruly. Bagian Harris masih lumayan dibaca. Endingnya? EWH. Mungkin mau membuat kesan misterius atau pesan bahwa kehidupan itu memang absurd seperti itu, tapi hhhmmm.... hhhhmmm..... HHHHHMMMMMMMMMMM!!!
Ah, sudahlah. Sebelum saya misuh-misuh lebih panjang, dan digetokin penggemarnya buku ini (yang kayaknya banyak, karena ratingnya bagus di GR), lebih baik saya sudahi saja review kali ini. Entahlah, sepertinya saya tidak mau lagi membaca karya Ika, apalagi kalau temanya masih seperti ini. Sekian.
*Ditulis di tengah malam (2.03), ketika terserang insomnia mendadak*
Ika Natassa Antologi Rasa Gramedia Pustaka Utama 344 pages 1.5
Homophobic, pretentious, and pompous, Antologi Rasa renders the worst qualities you've often encountered in Ika Natassa's books.
The whole situation with most of Ika Natassa's books--Antologi Rasa specifically--is like Potemkin village. Its gorgeous book cover is designed to deceive the readers to believe that its content is worth more to read than it really is. But, this is just one part of façade. Antologi Rasa is built upon intricate layer and layer of frontages: the book cover; the plethora of trivia about The Rolling Stones' concert, H.G. Wells' Time Machine, F1 statistics; Keara's audacity, loudness, and her bad girl persona that even puts the old Awkarin (the new Awkarin, on the other hand, rocks) to a shame; the masculine points of view of Harris, Ruly, and Panji that are merely some dick measuring contest; pages and pages abundant with expensive and luxurious brand. These frontages, like it or not, are there to hide something, are there to hide the insecurity and fragility of the author that's subtly apparent there. But, more on that later.
I used to think that books, including fiction ones, should be educational to their readers and that's why trivia is good, the more the merrier. More trivia means more educational. And that's why you will still find some trite and unimportant trivia--that's why it's called trivia--in my early draft that I wrote when I was in junior high (like what's the capital city of St. Kitts Nevis?). Boy, I was wrong. As I got older (and by older, I mean as I was in high school), I realized that spewing out your knowledge just to make you look intelligent is not cool. And breaking news? No one cares about your trivia. In fact, people don't like it, unless they cram for Who Wants to be a Millionaire or Jeopardy. I always wonder if Natassa's books still work without random facts or pretentious Latin phrases. Well, the answer is surprisingly yes. It will be better, probably.
But, I also wonder if this is just her way to cover something. When you really, really read Antologi Rasa--and if you can stand it in the first place, of course--you can sense how fragile and vulnerable Keara, our main character, is. Since she is the only main female character who resonates with the author the most (both are successful banker), this thing keeps haunting my mind: is this what the author actually feeling? Is Keara's hostility written to hide the author's vulnerability? Or do I just over-psychoanalyze this? Will I get blocked after this? But, in my humble opinion, I think without those facts and super well-to-do character, Antologi Rasa will be just another forgettable chicklit. After all, plot-wise, there's nothing special about the book.
Antologi Rasa still follows the same character and language template. Can you believe that this is her third book that features female main character who works at a bank? I can, because I believe that this is easier to write something close to your actual occupation. This also explains why all the characters are rich and financially successful, which has become Natassa's legacy in her upcoming works. But, I can also see why this book is popular: it sells dream that only few of us can actually afford. Well, scratch that: only few of Jakarta people can actually afford.
A few days back, Twitter feed was filled with story about privileged people who casually say that their hard-working attitude is the only recipe to their success, that it's not hard to earn money and you are wrong if you earn it the hard way. This tweet sent the public to an outcry, but this experience opens people's mind about privilege. Privileged is probably the adjective that suits the main characters of Antologi Rasa: Keara, Ruly, and Harris. They all can afford education abroad and even with their carefreeness, they still can land a prestigious job at a multinational company.
Their perfection does not end there. Keara is the example of Mary Sue trope that you, beginner writers, should avoid at all cost. She's goddess, her measurement is 36-24-36, she's beautiful, she's rich, she's party animal, and she's allergic to cheap food (as if her narration is not cringey and pompous enough). I think her only weakness is just that she's prone to seasickness. But the most annoying thing about Keara is how desperate Natassa to paint her as this perfect human being. Her personality is inconsistent: at one page, she can complain about the shitty city (hey, it rhymes) that she's stuck in, at other page, she suddenly became this compassionate woman. The change of her character is really vomit inducing. But this is just the beginning. Harris' and Ruly's (and Panji's) point of view are unbearable, to put it simply. It's as if they tried to compete to see who can be a bigger dick, further confirming my theory that they both actually have small dick, despite Natassa's effort to convince me otherwise. These guys try so hard to be masculine, that it makes their transphobic and homophobic stance obvious. Keara always pictures Ruly as a nice, great, religious man, but his point of view seems to contradict her belief.
In a way, I see Antologi Rasa as Natassa's way to fulfill her wildest dream. Heck, this is written to fulfill everyone's wildest dream. Who doesn't want to be loved by three handsome, muscular, rich men? Although the story is not real, this book that doesn't even pass the Bechdel test (clearly a step-back in this equality era) confirms my theory that privileged people also cry (in their Manolo Blahnik shoes) and deserve to be loved (under the roof of their expensive condominium in Pakubowono).
Denise: Aku bahagia dengan persahabatan kita, Ruly, Keara, Harris! Ruly: Aku akan selalu memimpikanmu untuk menjadi istriku, Denise. Keara: Gue musti apa untuk mendapatkan cinta lo, Ruly? Harris: Gue akan ngelakuin apa aja buat lo, Keara, asal lo jadi milik gue.
Wahhhh, selain menunggu terbitnya lagi novel fiksi karya Alberthiene Endah, menunggu tulisan paling anyar dari Ika Natassa adalah penantian terpanjangku sebagai penikmat lini metropop. Sejak tergila-gila pada A Very Yuppy Wedding (AVYW) dan terpikat ketika membaca Divortiare, aku selalu berharap penulis yang adalah bankir ini dapat menerbitkan novel fiksinya secara reguler. Tiap bulan, maybe? #ngarep.
Dan, penantian panjang itu berakhir dengan terbitnya novel metropop terbaru Ika bertajuk Antologi Rasa (AR). Ketika kali pertama tahu tentang buku ini dari newsletter yang dikirim Gramedia by email, kupikir bentuknya adalah kumpulan cerita (terkait judulnya yang menggunakan kata antologi). Sudah ketar-ketir aja, secara aku agak kurang bisa menikmati kumcer, recently. Thank GOD, it’s a novel!
AR mengalir dalam irama khas Ika Natassa. Gaya menulisnya yang telah menyihirku sejak AVYW masih terasa di AR ini. Sinis, sarkastis, terkadang hiperbolis, dan tak jarang komikal-kocak (terutama dialog-dialog vulgar menjurus mesumnya, hehehe), membuatku enggan untuk meletakkan buku ini sebelum benar-benar tuntas terbaca. Oke, nggak langsung habis dalam hitungan jam, namun selesai dalam sehari masih terbilang cukup cepat buatku. Ugh, adiktif bener lah tulisan si mbak satu ini. Buatku, paling tidak.
Soal ceritanya sih, bukan barang baru. Novel ini “hanya” me-repackage kisah cinta bersegi biasa dalam kemasan baru. Yang bikin beda, tentu saja sentuhan khas Ika dan bumbu penyedap racikannya yang bikin segar konflik-konfliknya. Ini “cuma” cerita 4 orang sahabat yang terjebak dalam hubungan persahabatan yang dipenuhi letupan-letupan asmara rahasia di antara mereka. Tambahkan setting kota besar, barang bermerek, dan event mewah ber-budget nggak masuk akal, maka novel ini memang stereotipe metropop kebanyakan. Bagi yang nggak suka lini metropop, ornamen inilah yang membuat kebanyakan dari mereka mencibir. Penting gitu, ngebahas branded things? Hahaha, gue sih fun-fun aja. Secara nggak bakal juga kebeli tuh barang-barang. Nyante aja, man!
Oke, untuk segmen tertentu, novel ini akan dengan mudah disukai. Pertama, pembacanya harus menguasai bahasa Inggris minimal secara pasif, karena cukup banyak kisahnya yang ditulis dalam bahasa bule itu. Kedua, pembacanya harus open-minded. Jangan kayak gue yang kolot gini. Baca bagian di mana para tokohnya minum alkohol kayak minum aer saja aku sudah nggak tahan pengen ngehujat. So, anggap saja lah ini memang realitas bunga-bunga sosialita Jakarta. Jangan lagi merasa aneh jika di sebagian kisah yang lain, seseorang ML sesering ia ganti celana dalam tanpa ikatan pernikahan, free sex. Sudah jelas, novel ini bakal masuk kategori “amoral” jika membacanya sembari mengingat aplikasi keagamaan. Jadi, bacalah dengan pikiran terbuka dan yah...sekadar membaca, just for fun, jus for laugh (jadi inget Tukul). Ketiga, ya soal background tokoh-tokohnya yang sudah so f*cking perfect, tajir pula. Sinetron banget, kan? Siap-siap merasa hina deh bagi peminder sejati (like me, huhuhu). Nggak ada deh tuh tokoh hidung pesek, gigi tonggos, atau melarat yang bakal beruntung dapat porsi di novel ini. Namun, khusus untuk yang ketiga ini, aku sih udah nggak gitu-gitu peduli. Oleh sebabnya, seseorang pernah bilang, “kasian pembacanya donk kalo di cerita aja masih harus baca tokoh jelek dan kere, secara di dunia nyata sudah miserable,” maksudnya hidup di dunia sudah susah, ya biar saja lah pengarang memanjakan pembacanya dengan yang indah-indah, dengan fantasi kelas tinggi. And, I must agree with that.
Tak seperti AVYW yang tak kulewatkan satu tanda baca pun, pada AR ada beberapa part yang aku lompati karena hanya berupa pengulangan dari statement masing-masing tokohnya. Ada Ruly yang dari satu bab ke bab lain terus saja bermimpi hidup berdampingan dengan Denise. Atau Harris yang terus menerus memuja Keara. Entah ini kategori bagus atau jelek, aku melewati part itu gegara geregetan pengen tau gimana ending-nya sebenarnya. Dan, about the ending? Aku suka bab terakhir, meskipun jalan menuju bab terakhir, yang melibatkan proses “8 month later” itu, duhh, kok ya kayak gitu ya. Nggak rela banget, perjuangan sebegitu dramatisnya, diakhiri hanya dengan begitu? #huhuhu
Gaya mendongeng Ika yang maju-mundur perlu mendapat kecermatan tersendiri, agar plotnya tetap logis dan kronologis. Awalnya aku ingin secara khusus peduli pada pergantian waktu yang di-manage oleh si pengarang. Namun, akhirnya kuabaikan saja soal perhitungan waktu itu. Bodo amat deh, nikmati aja lah jalan ceritanya. Soal lain yang aku suka dari Ika adalah kepiawaiannya untuk menguraikan hal-hal umum keseharian sebelum membawanya ke kehidupan para tokohnya. Analogi-analoginya juga masuk banget.
Yang lucu adalah sehabis aku menyelesaikan Waiting for You-nya Susane Colasanti yang John Mayer banget, lha kok...novel ini juga nggak kalah John Mayer-nya. Widihh, ada apa sih dengan John Mayer ini. Sekeren itu kah male soloist satu ini? Apa aku perlu menghayati lagu-lagu John Mayer (atau malah belajar gitar kayak doi) biar ada cewek yang klepek-klepek? #eh malah curcol. Huff!
My favorit line, yang bisa aku pakai kalau lagi suntuk di kantor dan terkadang pengen loncat dari lantai 20 gedung kantorku: “Bodoh banget memang gue ya lama-lama, nonstop mengeluh tentang kantor ini, tapi tetap aja kerja di sini sepenuh hati. Yeah, sepenuh hati my ass.”
Sedangkan sedikit rasa penasaran pada: 1. Berapa kemungkinan dua orang yang berbeda memiliki fantasi pada satu tokoh yang sama? Keara yang paranoid ketemu Hannibal Lecter di kereta dan Harris yang berfantasi menjadi santapan Hannibal Lecter (hlm: 323). No biggie lah ya, hanya saja, jelas terlihat bahwa si pengarang masih terlibat di sini, bukan si tokoh yang bercerita, padahal PoV yang digunakan orang pertama. 2. Just a silly question, di pesawat (penerbangan internasional) masih boleh gitu ya nyalain BB? (hlm: 226)
Yang bikin kesel, pada awalnya, adalah para tokohnya yang pemuja kebebasan ini, kok ya masih terjebak pada ketakutan untuk menghancurkan persahabatan jika dua orang yang bersahabat terlibat dalam hubungan cinta? Apa susahnya sih ngomong, I love you? #halah gue aja nggak berani kok bilang itu ke inceran gue. #eaaa Tapi, ya, ini juga stereotipe novel metropop, ya? ML oke, tapi ngaku cinta aja cemen. So, let it be. Hahaha.
UNTUNG ya, baca buku ini hasil minjem. UNTUNG juga bagi yang punya buku, karena aku masih cukup waras (setelah semua yang aku baca) dan nggak ngebakar bukunya.
Jadi ya, karakter Keara ini, impossible banget. Nggak paham aku. Dia masihlah karakter yang sama dari buku-buku lain Ika Natassa. Cantik, HOT nya saingan sama Megan Fox, pinter, berprofesi bankir dengan gaji super gede yang bisa muasin ego wanita manapun untuk berbelanja barang branded (tapi masih aja ngeluh merasa diperbudak! Ya namanya juga kerja untuk orang, bu! Kalau nggak mau ngerasa kayak budak ya jadi pengusaha sana!). Okelah, wanita cantik beduit dan hedon itu banyak ya, ada di mana-mana, aku tiap hari ketemu sama orang kayak gitu. So, apa yang bikin aku nyinyirin dia? 1. Dia mabuk, Harris mabuk. Dia yang nyosor ke Harris, tapi dia ngediamin Harris, marah membabi buta, nggak mau denger penjelasan apapun. KALAU dia naik ke ranjang sama Harris dalam keadaan perawan, marahnya dia itu bisa dimaklumi. Dia ini perawan juga bukan, pacarannya juga gaya grepe-grepe oke, eh ngambek dalihnya Harris udah menghancurkan persahabatan mereka karena tidur bareng?! 2. Perut orang kaya, alergi makanan murah. Gayanya bitchy setengah mampus pas ditawarin makanan murah. Tapi baik banget mau nolongin nenek-nenek, beliin minum dan ngeborong dagangannya. Maksa banget gitu kesannya ya bagian yang itu. Malah nggak bisa diterima. Alias rasanya kayak pencitraan aja, apalagi dia baiknya pas lagi sama Ruly. Engggggg..... Jujur aja cara penulisnya ngebandingin ini makanan murahan dan satunya makanan berkelas juga nyakitin ya. Seakan makanan murah itu dosa. 3. Operasi menaklukan Rully untuk ngasih pelajaran ke dia itu sama sekali nggak bisa dicerna sama pikiran juga. Naksir Rully, mau nguber-nguber ya monggo. Rully juga single, meskipun mencintai Denise. Tapi keputusan untuk menjerat Rully hanya gara-gara merasa Rully udah men-stereotype kan dia, itu keliru. Jangan salahkan seseorang menganggap dirimu sperti itu, karena itulah yang kamu tunjukkan ke dia. 4. Di part terakhir itu, astaga!! Setelah apa yang dia lakuin ke Harris, pas putus dari Rully, dia nyariin Harris juga? Nangis dipelukan Harris, abis itu ke S'pore berdua Harris lagi? Segitunya ya memanfaatkan perasaan orang lain. Paling enggak harusnya malu lah ya.
Gak paham deh.
Awalnya aku suka sama karakter Harris. Lucu juga betapa narsis dia. Lama-lama dia ini sama nggak bangetnya sama Keara. Karakter Ruly aja yang masuk kategori bisa dimaafkan.
Trivianya, alamak... Ini setengah tulisannya cuma berisi trivia. Apakah ceritanya nggak bisa berjalan kalau nggak ada trivia di sana-sini?
Endingnya terburu-buru dan open ending? Hahahahahah, pengen ngejambak Keara rasanya. Nggantung banget. Gimana Nasib gebetan terakhir si Harris? Gimana persahabatan mereka? Udahan gitu aja atau gimana? Nasib Ruly gimana? Masih ngarepin Denise kah? Apakah Denise baik-baik aja sama suaminya atau masih terjerat lingkaran setan yang sama?
Buku ini sama sekali nggak bisa dinikmati. Satu-satunya yang bisa disyukuri cuma, bukan aku yang buang-buang duit untuk sesuatu yang nggak bikin bahagia.
24/10/2020 Deleted the "Keara mabuk" part because i learnt better and thus that does not mirror my current view. But other than that, the rest are still the same i guess. Not that i would want to reread this book, because why would i do that 😭😔 ___________________________________________
wasted my money for the wrong stuffs really angers me :( I really should not expect anything when reading a book.
lets start from the basic: writing style
"ditulis dalam 3 sudut pandang"? Where? All I see is one person forcing the 'branch'. Keara, Harris, sama Ruly (sighhhhh) keliatan sama aja di mata saya. Bedanya mungkin Keara lebih liar, Harris fokusnya ke Keara doang, dan Ruly yang mencoba sopan. Tapi tetep aja, dibalik tulisan 3 sudut pandang itu yang saya bisa liat cuma satu orang: authornya. Padahal ini buku Ika Natassa pertama saya, tapi rasaya saya sudah bisa baca kepribadian si author thanks to her 11:12 characters.
Now, I shall start on... *inhale* *exhale*... Keara.
Jujur, baru kali ini saya liat manusia/karakter se self-centered Keara. Like... pas di SG, dia tuh udah kayak permaisuri dengan Harris sebagai babunya tau ngga. "Lo daripada ga produktif mending beliin gue minuman deh, haus nih!" perasaan beliin ga beliin Harris bakal tetep ga produktif... ehem ok. Nyuruh Harris nemenin dia motret seharian tanpa sekalipun mikir Harris gimana nasibnya kalo ditinggal motret. Nyuruh Harris nemenin dia belanja. Bete sepanjang waktu tapi instead of explaining the shit to Harris malah just leaving him in question marks. Jadi sebenernya Harris itu sahabatmu atau babumu? *nangis*
Sok tersakiti padahal juga biasa aja, all people went through her shits like everyday and she just HAD TO make herself the most miserable girl in the universe. The actual fuck?
And thENNNNNNN Harris just had to describe her as 'unpredictable'. Gw asli sumpah bingung bagian mananya yang unpredictable. Manja iya. Ke-childish-annya, mungkin? Ah bodo. I would cringe so hard if any male find Keara endearing at all... Oh maybe maybe her foul-mouth--
Ya lets move on to Harris.
Man i just.
He's plain stupid no matter how much i pity him for Keara. Why? Because sejauh yang kubaca (probs like, 1/3 ato 2/5 buku), yang dia pikir penting itu cuma 2; Kejantanannya dan Keara. Well there's F1 but yeah, gw liat itu just for the sake of giving the characters a random hobby so they wont 'die'.
'Gw adalah laki paling jantan seantero Jakarta, kalo mau cek coba aja tanya sama cewek-cewek yang ada di contacts gw' dari line ini gw udah cringe banget. Demiapa ada cowok yang harus promosiin dirinya sebagai jantan di muka umum padahal dari fisik aja udah bakal ketauan kalo dia >cowok dan >jantan (as in laki2)??? Gw jadi punya teori si Harris ini sebenernya dulunya lenjeh dan dikatain banci, makanya harus banget nyari perhatian dunia buat mengakui dirinya sebagai 'cowo jantan', but lets drop it here just because LOL
Terus bagian mereka stargazing. wtf. Disini gw udah mulai jijik mampus sama Harris. Stargazing itu biasa anjir, lo gausah sok ngorbanin kejantanan lo demi Keara kalo kegiatannya cuma stargazing. Jijik banget udah disini sama Harris. Serius. He (plus Keara as well) might have a serious narcissism issues like, really.
Now, my favourite part; Ruly.
TBH, I KEPT READING FOR THE SAKE OF RULY. I'M HOPING FOR SOMEONE WHO CAN PURIFY ALL THE FOUL-MOUTHED CHARACTERS I'VE SEEN SO FAR BECAUSE BOTH KEARA AND HARRIS DESCRIBED HIM AS 'ALIM'.
it had to be scattered again.
He's plain same as Keara and Harris. Demiapa. I dropped this book instantly when i see him saying things like 'kacung' or sth. Dude no. Why. Author why. Katanya alim, kok foul-mouthed begini. Iya kalo foul-mouthednya fuck ato shit ato damn, masih bisa digolongkan sebagai reaksi karena kaget/panik/masih keliatan normal aja kalo dipake ga sesering itu karena toh Ruly juga manusia.
Tapi mengapa author, mengapa.
The moment i read his POV, the world 'alim' left him immidiately. I was really, totally hoping that he'd be the most different, but he isnt. He's plain the same. Mananya yang 3 sudut pandang *huffs angrily*.
Last is Dinda because i dont see the necessity to even mention Panji; he'd plain asshole.
Dinda ini tipe mob buat nge-enchance karakter utama. Dalam hal ini its Keara, and i really hate this kind of character because theyre so disposable. And that means the author dont treasure her character much and idk i hate that too.
"Lo kenapa sih kok pushy banget?" "Habis, ini pertamakalinya lo naksir seseorang selama 3 bulan tanpa ngelakuin apa-apa ke orang itu!!!" penting? gak kan? gw juga ga peduli banget.
Oh, baru kali ini gw nemu tokoh mob se-pushy Dinda dan se-gak penting Dinda. Beneran, she's super annoying and lebay and likes to stick her nose to everywhere when it comes to Keara. Gw bahkan jadi setengah berharap kalo Dinda lesbi buat Keara.
And guess what, their friendship is a bullshit as well. Why? Karena tiap ketemuan 80% topiknya pasti Keara. Katanya sahabat. Annoying kan??? Dan bodohnya yang bikin percakapan itu bertopik Keara most of the time tuh si Dindanya sendiri. Lucu kan??? Bye.
Karakter dangkal banget. Main permukaan aja. Titel sahabat juga. Which angers me. Sahabat macem apa yang galau aja ga cerita-cerita? Lebih tepat kalo disebut temen main daripada sahabat.
If this book ever teach you anything, it would be one: Sahabatan sama cowok bisa dirasakan, kalo dia sahabat rasa babu berarti tandanya si cowo ada rasa sama kamu.
One star for the random world facts being thrown in front of our faces. Mungkin niatnya biar kita macem amazed 'wow mereka pinter ya inget begituan' tapi begitu gw baca kalo Keara ga ngeh bedanya Psikolog sama Psikiater i stopped thinking so. Orang pinter mana yang melewatkan teknologi google dari smartphone mereka untuk cari informasi? gdi bye guys i'm out.
Dan lagi, i swear its the last; KENAPA BUKU INI ADA DI BAGIAN SASTRA. SUMPAH YANG BENER AJA INI BUKU TEMPATNYA GA DISANA. ASLI 50% ALASAN KENAPA GW BELI BUKU INI ADALAH KARENA BUKU INI TEMPATNYA DI BAGIAN SASTRA, DAN KEBETULAN JUGA GW HABIS NEMU BUKU SASTRA BUAT KULIAH. THE ACTUAL FFFFFFFFFFFFFFFFFFFFFFFFFFFFFFFFFF.
Saya memulai membaca Antologi Rasa dengan dengusan.
Ya gimana enggak, belum juga kelar 100 kata pertama (kayaknya) penulisnya udah merepet soal rekor world tour-nya Guns N Roses, sinopsis singkat film The Time Machine, dan trivia-trivia sejarah lainnya yang namedrop berbagai tokoh penting dunia mulai dari Marco Polo, Napoleon Bonaparte, sampai Forrest Gump (semuanya di satu halaman. Kalo ga percaya, cek halaman 14 Antologi Rasa cetakan baru. FYI ceritanya baru mulai di halaman 13). Sebuah strategi yang akan dinilai fans buku ini sebagai bukti betapa penulisnya sangat berwawasan luas dan betulan niat dalam melakukan risetnya, dan bukti bahwa tokoh utama dalam buku ini punya photographic memory bukan cuma bualan si penulis belaka.
Ini buku Ika Natassa pertama saya. Jujur saya punya ekspektasi tinggi mengingat banyaknya review positif berseliweran di luar sana tentang Critical Eleven, yang kata orang "relatable banget ceritanya", "bikin baper", dll, dst. Jadi saya memutuskan untuk membeli buku Ika Natassa pertama yang saya lihat di toko buku, dan Antologi Rasa inilah akhirnya yang jadi 'gerbang' saya menuju dunia ciptaan Ika Natassa.
Dan nggak sampai selesai baca buku ini, saya sudah menyesal.
Ok, I'll tell you why . Berikut adalah profil karakter-karakter di buku ini:
----- 1. Keara Ini pemeran utamanya. Perempuan yang cantik banget, seksi banget, pinter banget, sukses banget karirnya, tajir melintir, digila-gilai semua laki-laki meskipun sifatnya nggak ada bagus-bagusnya. Singkat cerita, dia adalah karakter perempuan yang paling maha-sempurna dan sekaligus paling nggak relatable yang pernah saya temukan di dalam novel. Meskipun terang-terangan punya sifat arogan, bitchy, manipulatif, menyebut orang-orang yang suka belanja di Tanah Abang itu 'rakyat jelata', nggak bisa makan makanan murah, nggak level jalan kaki atau naik busway, dan super narcissistic (berkali-kali mengingatkan pembaca betapa hot dan desirable-nya dia), Keara tetap sukses membuat para playboy di buku ini insyaf bertekuk lutut dan menyembah dia siang-malam, sampai-sampai salah satu dari playboy tersebut udah lewat 200 halaman pun yang dipikirin masiiih aja Keara. Congratulations, Mba Ika, you have successfully created a Mary Sue!
2. Harris Ceritanya sahabat Keara yang playboy, yang tentunya memendam cinta yang nggak kesampaian kepada Keara, untuk alasan yang tidak pernah dijelaskan secara masuk akal oleh Penulis. Pokoknya Harris ini simply tergila-gila sama Keara, titik. Laki-laki yang cakep banget, pinter banget, lulusan luar negeri, sukses karirnya, digila-gilai banyak perempuan, tapi rela disuruh-suruh dan dijadiin 'keset kaki' sama 'cinta'nya sendiri. Tiap kali saya baca POV-nya karakter ini, entah kenapa saya selalu membaca dengan nada bicara kebencong-bencongan. Why? Karena memang se-bencong itu karakternya! Ngakunya laki-laki jantan tapi yang dibahas nggak jauh-jauh dari Keara, kegalauan tak berujung karena Keara, kangen sama Keara, sedih ditinggal Keara, kepikiran Keara terus, Keara this, Keara that. Ok he's in love, I get the point. Tapi nggak ada juga kali laki-laki normal yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menyembah satu perempuan. Mbak Ika kayaknya sudah bertekad membuat karakter Harris sebagai sekedar pendukung atas kesempurnaan si karakter utama. Hasilnya si Harris ini aneh banget dan bikin saya bertanya-tanya, jangan-jangan dia korban santet dari dukunnya Keara.
3. Ruly Laki-laki yang dicintai Keara, for another reason yang tidak dijelaskan dengan masuk akal. Keara jatuh cinta pada Ruly karena Ruly alim? Kayaknya sebagai pembaca saya kurang nangkep si Ruly ini alimnya dimana, kecuali di satu part dimana dia sholat Subuh. Dari gaya Mbak Ika menjabarkan sifat si Ruly ini, saya nangkepnya dia malah tukang ngeluh, bermulut kotor, dan judgemental. Meskipun berkali-kali diceritakan bahwa Ruly itu cintanya sama Denise, sahabatnya Keara, tapi pada perkembangannya dia hanyalah another korban kesempurnaan Keara (yang mungkin butuh bantuan psikiater karena kepribadiannya tidak konsisten; selama di Jakarta dia adalah mega-bitch, tapi di Bali mendadak jadi perempuan penuh kasih sayang yang rela membantu nenek-nenek penjual keripik). Another stupid guy yang tunduk sama pesonanya si karakter utama sampai rela nyetirin, bawain tas, dan berburu Antimo demi Keara. Oh God please stop, I'm having headache.
4. Denise Saya nggak sekuat itu baca novel ini sampai bisa tahu lebih dalam karakter Denise persisnya seperti apa. Yang jelas dia (katanya) sahabat Keara, yang punya sifat baik hati, dicintai Ruly, dan most likely salah memilih sahabat.
5. Dinda Another sahabat Keara yang sama sempurnanya dan sama menyebalkannya dengan Keara. Dunia si Dinda ini berputar dengan Keara sebagai porosnya, alias tiap kali dia muncul yang dia bahas selalu tentang hidupnya Keara. Ini ceritanya sahabatan atau terobsesi sih?
6. Panji Another playboy, another karakter yang tunduk sama pesonanya Keara, yang keberadaannya sekedar jadi pendukung atas kesempurnaan karakter utama. -----
Jadiii kesimpulannya, nggak usah pusing-pusing membahas plot cerita karena dari segi karakternya saja novel ini sudah sangat one-dimensional. Cerita novel ini muter-muter disitu saja, tidak ada konflik yang berarti yang membuat saya baper atau terhanyut, tidak ada perkembangan karakter, dan bahkan setelah beratus-ratus halaman saya baca, saya masih merasa seperti berjalan di treadmill--nggak maju-maju. 'Rasa' yang dibahas juga itu-itu saja, dengan POV yang 70% Keara. Memang, sulit untuk membangun plot yang berarti kalau penulisnya lebih fokus dalam mengulang-ulang kesempurnaan si karakter utama dan mendeskripsikan gaya hidupnya yang penuh hedonisme. Sayangnya sesempurna apapun karakter Keara dideskripsikan di novel ini, pada akhirnya Keara bukan jenis loveable bitch yang saya bisa bersimpati dan mendukung perjalanan cintanya. Yang ada saya malah ingin si Keara ini mendadak ketabrak truk ayam atau apa gitu, soalnya ganggu banget!
Saya tidak habis pikir kenapa Penulis, yang sudah menulis banyak buku, masih terjebak dalam penokohan semacam ini. Saya nggak sanggup baca novel ini sampai habis, dan kemungkinan besar Antologi Rasa ini akan menjadi karya Ika Natassa pertama dan terakhir yang saya beli. Maaf Mbak Ika, but I'm simply not a fan.
Ketika tahu Antologi Rasa bakal segera diterbitkan, I was super excited. Why? Coz I'm a big fan of Ika Natassa. Suka banget dengan gaya menulisnya yang beda dari para penulis Indonesia lainnya. Jadi gak salah kan kalau aku begitu merindukan tulisannya? (sebenarnya aku lebih merindukan Beno sih mwahahaha. Beno itu karakter di Divortiare , salah satu buku yang ditulisnya slain Underground dan A Very Yuppy Wedding . Who doesn't love Beno,by the way?
*eh ini kok jadi ngomongin Beno yah*
Back to Antologi Rasa. Disetiap buku, pasti selalu ada karakter yang kita sukai. Nah kalau di Antology Rasa, cowok yang namanya Harris bener-bener membuatku jatuh cinta ke jurang paling dalam #superlebay. (yah,tapi gak bisa mengimbangi cinta gw ke Beno *Beno lagi Beno lagi hmpfh)
Jadi ceritanya, AR ini diceritakan berdasarkan pemikiran tiga orang tokoh. Harris, Keara dan Ruly. Di awal sangat enjoy membaca percakapan antara dua sahabat ini, Harris dan Keara. Si Harris yang diam-diam mencintai Keara (well, she doesn't know anything about his feeling because all she knows is Ruly,Ruly, and Ruly).
Suka banget baca setiap bab nya Harris. Kekonyolan dia, kecintaan dia ke Keara dan masih banyak hal lain yang buat aku super suka ma dia. Selalu ngakak pas dia bilang dalam hati,"Keara gue" , "cinta gue" lol. I love this guy. why? Karena dia tulus cinta ma Keara. Dari awal, dia tahu kalau laki-laki beruntung yang Keara cintai itu bukan dia. Tapi Ruly. Tapi toh he always there for her, walau sebenarnya dia niat banget pengen jeburin si Ruly ke laut biar dimakan hiu dan seribu macam kejahatan lain demi untuk mendapatkan hati K seorang. (if only R never existed, she might had fallen for him, he thought)
He doesn't mind walau cuma dijadiin tong sampah sama K. Dia juga rela ngapain aja asal bisa berada didekat K. Well, agak tolol memang. Tapi phulezzz,dimana lagi nyari cowok yang 24/7 mikirin cewek yang itu-itu doank?? Bahkan dicuekin selama setahun lebih pun dia masih gak bisa lupain K malah makin cinta ke K.
Keara, what should I say about her? Agak kecewa sebenarnya. I love a generous woman like her, yang gak ragu-ragu buat menyisihkan uang sakunya buat diberikan ke orang yang lebih membutuhkan. Cuma ada beberapa hal yang membuatku kecewa. Seperti dia yang gak mau memaafkan Harris karna kesalahan mereka berdua, atau dia yang memanfaatkan Panji sebagai pelarian semata (karna diotak dia hanya ada Ruly tapi tidak sebaliknya).
"Udah deh,apa salahnya coba gue main-main dengan Panji sementara gue berusaha meghapus ruly dari pikiran gue?" <= pas baca ini, mau gak mau jadi ngejudge dia, kenapa harus mainin perasaan orang? Gimana kalau lo yang ada di posisi Panji, rela lo dimainin orang dan dijadiin pelarian doank?,kata hatiku.
Aku tidak peduli asalkan dia selalu ada kapanpun aku mau. Oh Gosh!! kok bisa seegois itu si??? Don't you know how that feels to Panji?
Sahabat baiknya,Dinda pun bisa ngomong gini,"Keara, in all fairness, you fucked him when he was drunk too,right? dan dia cuma menjawab,"Ya,tapi kan gak bisa gitu juga,Din.
Just because he is a man yang disebut Keara sebagai PK aka Penjahat Kelamin doesn't mean dia slalu ngambil kesempatan dalam kesempitan sama semua cewek kan, apalagi K sahabatnya. She should know this better than anyone.
Karakter yang paling menyedihkan selain si Harris , ya si Panji ini.
Lain Harris, lain pula Ruly. Mungkin Harris bakal bilang si Ruly itu lucky jerk karna uda bisa dapetin hati K dan gak sadar pula. Karna dia terlalu buta oleh Denise, sahabatnya dari sma yang juga sahabat K dan Harris. Denise uda nikah, tapi pernikahannya tidak semulus kelihatannya, suaminya selingkuh, tapi Denise, si wanita yang super lapang dada memaafkan suaminya. Well, jadilah ada tiga orang yang diam-diam mencintai tapi gak berani mengungkapkan. Akhirnya semua terjebak dengan perasaan mereka masing-masing dan harus menderita karenanya.
Ada beberapa persamaan antara Keara dan Ika yang langsung kusadari begitu membacanya, seperti : 1.Ika dan Keara yang sama-sama tergila-gila pada John Mayer. 2.Sama-sama jatuh cinta pada seni fotography. 3.Dan pastinya sama-sama banker sejati. lol
Overall,gw suka.Dan paling suka partnya si Harris. mwahaha.
Saya memang ndeso, jadi, joke2 yang bertaburan di novel ini, buat saya nggak hanya terasa rough, tapi juga tak jarang melukai 'halah', dan dari clue2nya, spt.nya saya cukup familiar dgn yg ia sebut sbg the shitting place, kalau dugaan saya ternyata benar, makin lengkaplah rasa terluka saya 'koq mendadak lebay gini ya :-)'
Ini dibeli atas rekomendasi teman di Gudrids ini. Gampang dibaca utk malam mingguan, gak usah mikir, gak usah ngomel-ngomel krn salah ketik dll. Ceritanya: biasa aja, sayangnya mencoba membuat pembaca berpikir seperti laki-laki dari sudut pandang penulis yg adalah perempuan, hasilnya ya: parah, hampir gak ada bedanya laki dan perempuan. Pria dari Mars dan Wanita dari Venus. Laki di sini artinya nonton F1, main futsal, dengerin John Coltrane, ototnya six pack. Perempuan? Belanja & John Mayer. katanya mereka pernah terdampar di suatu bank utk waktu lama, tapi masak Harris nggak tahu kyk apa aktifitas kerja Keara, mikirnya Ke cuma naik pangkat ec tampang cantik rupawan bukan isi otak yg brilian.
hampir menyerah di tengah jalan, tapi akhirnya dilanjutkan juga sampai selesai. setidaknya sekarang aku bisa (dan berhak) bilang "aku udah pernah baca bukunya Ika Natassa"
...dan gak suka.
baca buku ini berasa baca chicklit terjemahan, padahal kupikir (ah baiklah, mari salahkan ekspektasiku saja) membaca buku ini akan memperkaya referensiku soal tulisan2 karya penulis Indonesia. ternyata karakter2nya begitu 'luar negeri'-nya dan begitu arogannya sehingga gak satupun menarik simpatiku. makanya aku mendukung Keara sama Harris karena alasan yg sama kenapa aku mendukung Dewi Persik balikan sama Saipul Jamil: because they deserve each other. dialog2 di buku inipun absurd, semacam "gue harus motret malam ini, kalo gak gue bisa gila" untuk menggambarkan kesukaan Keara akan fotografi padahal ya sebenernya gak perlu juga pake proklamasi. trus lawan bicaranya kagum, menganggap Keara ini gadis yg penuh kejutan..
errr, ah, sudahlah.
karakter cowoknya pun gitu. ganteng2 (iya, masak cewek secantik Keara cowoknya cuma satu? pasti banyak lah), tajir, dikit2 omongannya luar negeri (sekolah di luar negeri lah, liburan di luar negeri lah, dsb dsb), badboy tapi demi Keara jadi insaf, manly tapi sensitif. alah susaaah banget deh untuk gak nge-judge selama baca buku ini, terutama ya karena itu tadi: aku terlanjur punya ekspektasi sih...
Hookay.... this book is really confusing, and not because it used three POV. Naturally, i always love Ika's books, and I enjoyed it through-fully, but with this one, i cheated.
I read only the beginning, until page 48, then i stopped, and read it again on page 292. Why? Because reading this book was really like peeping into somebody else's mind. Too many things inside it, crowded with words, memories, rambling things, and thousands of references. I can not focus.
And too many italic words that made the journey reading this book a bumpy one, like you can't read it smoothly, for you'd always found pebble stones every here and there. And not too mention too many English phrases or jokes or, like I said, references. The language is really, really, REALLY gado-gado.
And there're also some parts in this book that make word 'pretentious' dancing in my head.
But after all those things, i can not say that i didn't like this book. Even after i cheated, i still like it, i still adore Harris, i still think Keara is one stupid bitch, and Ruli is a miserable bastard.
And if Ika write anymore book, i surely still going to buy it.
Kalau ingin tahu makanan yang harga satu suap setengah juta. Kalau ingin tahu lebih banyak merek baju, tas, sepatu, dan tetek bengeknya yang harganya bisa bikin pejabat korupsi demi membahagiakan istrinya (ups), buku ini bisa jadi panduan pembaca ;)
Dan satu kesimpulan saya didasarkan pada pengertian bahwa sastra adalah cermin masyarakatnya (ingat pertanyaan guru Bahasa Indonesia waktu SMP yang hanya jawaban saya yang paling tepat) maka beginilah "mungkin" sebagian masyarakat Indonesia "modern" itu.
I’m not sure why I picked up this book. It���s not even in my TBR list and clearly not my cup of tea.. I was being purely impulsive..
Antologi Rasa adalah novel metropop Indo yang sebenarnya bukan tipe bacaan yang kusuka. Mungkin karena terlalu sering dengar pujian tentang buku ini dari teman yang adalah penggemar metropop aku jadi penasaran walau sebenarnya sudah tahu kemungkinan besar aku tidak akan suka. So to be clear, satu bintang dari aku bukan berarti bukunya sejelek itu, ya.. hanya penilaian subjektifku yang memang dasarnya tidak suka genre ini.
Buku ini mengisahkan mostly tentang Keara yang jatuh cinta pada rekan kerjanya, Ruli yang cintanya hanya pada sahabat mereka, Denisse yang sebenarnya sudah menikah. Sedangkan Harris, sahabat Keara, yang dari awal tergila-gila pada Keara tidak pernah digubrisnya. Maka terjadilah cinta segi banyak yang rumit.
Hal utama yang membuat aku memberi satu bintang saja untuk buku ini sama persis dengan alasan aku kurang suka genre metropop. Penggambaran kehidupan orang-orang ekonomi tingkat atas yang glamor, full of parties, pergaulan bebas, and somehow lack of purpose. Belum lagi karakter-karakternya yang cenderung self-centered dan plot yang terkesan selalu berkutat di hal yang sama.
Di buku ini, aku tidak bisa menikmati plot ceritanya. Mostly buku ini isinya Cuma kumpulan pikiran galau para karakternya yang btw, pembawaan di pov-pov nya sama saja dari tata bahasa sampai pola pikir. Aku juga kurang suka karakter Keara yang sayangnya paling banyak keluar. Menurutku Keara nyaris seperti punya kepribadian ganda antara yang suka menghamburkan uang, party punya ‘CFA (Cheap Food Alergy)’, tidak mau jika harus jalan kaki/panas2an di jalan. Pokoknya tipikal wanita kelas atas yang sombong tapi ada juga Keara yang terkesan sangat passionate, baik hati, kalem dan suka menolong. Dia rela menderita dengan menyimpan perasaannya pada Ruli saat tahu Ruli cintanya pada Denisse. Ia marah pada Harris karena Harris mencintainya, menuduh Harris merusak persahabatan mereka. Tapi ia juga dengan sadar dan sengaja mempermainkan perasaan Panji yang ia rayu habis-habisan hanya untuk menghibur diri. Semua ini membuat POV Keara dan perasaan-perasaan terlukanya tidak membuatku simpati tapi malah terkesan sok suci. And that ending!!!! Of all the bad endings I’ve ever encountered…. -_-"
Well, I feel bad for giving this book only 1 star. It’s kind of unfair, I know.. but I just really can’t give more. I’m sorry. This book is just not for me.
Well, kelebihan cerita ini adalah diksinya yang membuat cerita ini terasa personal, seolah kita mengenal dekat tokoh-tokoh yang ada. Sarkasme dan quote yang disertakan cukup bagus, dan saya menyukainya. Cerita ini juga mengajarkan kita bahwa it’s not always good to stereotyping everyone. Prejudice lead us to a complicated and unnescessary missunderstanding.
Namun saya ilfil karena Ika menghabiskan beratus-ratus halaman untuk memberi pesan yang sama. “Oh, I’m stuck in this unrequited love.” “Oh, I know I should get out from this misery but I can’t. I just can’t.” “Oh, don’t ask me why I do this why I do that ‘cause I’m f*cking screwed up.” And I’m like, “What, seriously?”
Keempat tokohnya sudah bekerja di perusahaan internasional, bagaimana mungkin mereka tidak peka pada perasaan satu sama lain? Minimal ada satu, atau dua yang bisa membaca situasi, dong. Dan dua womanizer takluk pada tokoh utama? Too much coincidence, don’t you think?
Saya juga bingung saat membaca sebuah halaman di novel ini yang setengahnya berisi daftar lagu yang dinyanyikan John Mayer di konser Manila. I know how much the main character love John Mayer, but if I want to download top songs of John Mayer, I can Google it, darling. You don’t have to write the whole lists. At first I was so interested of John Mayer because the main character praises his songs, but then Ika keep repeating about it all over again. Cut it out, will ya? Have I mention about the ending? It’s the worst.
I can’t sympathize the characters. Instead, I pity them. In a negative way. I’m annoyed by their stupidity. It’s boring. And the only reason I read this story until the end is because I hate stopping in the middle of something, not because this book is worth to read.
Well, Ika’s fans might hate me for this. I’m sorry if my words hurt anybody, and yes, there’s a quote saying ‘If you have nothing nice to say, don’t say anything.’ But if you truly know me, you know that my intention is not to mock the writer. Just because I dislike the story doesn’t mean I dislike the author, too. I simply trying to be honest.
Aku suka premis yang dibuat penulis. Empat orang bersahabat yang menghadapi lingkaran setan saling mencintai dalam diam. Harris cinta Keara, Keara cinta Ruly, Ruly cinta Denise, Denise udah punya suami. Jujur baca ini aku greget sumpah. Gila yaa... Konflik sederhana tapi kalau udah masalah hati rumitnya bisa bikin keki sampai ubun-ubun. Gaya menulisnya asik, lugas, tapi kadang ada peralihan waktu yang tiba-tiba buat aku bingung (mungkin ini aku aja yang kurang detail bacanya). Yang aku suka masing-masing tokoh mendapatkan porsi yang pas, aku #teamharris pakai titik. Endingnya cukup memuaskan walau aku masih berharap ada kelanjutannya, hahaha... But overall, aku tetap suka.
Cara nyeritainnya asik bgt.. Keren! Tapi isinya itu loooh, ga ada konflik berarti yg harus diangkat ke novel. Selalu deh novelnya mba ika, isinya ttg org gaul yg berduit dan wara-wiri ke luar negri (bukan tokoh utamanya doang,tp seluruh kenalannya) :D konfliknya selalu "bingung dgn perasaan sendiri, naksirnya ma yg itu, tp si ini yg superperfect naksir gue jg, gue jd bingung nentuin pilihan"
Krn konfliknya ga berarti gt (ga pernah ada masalah dgn keuangan,pekerjaan yg sukses dan mulus,teman2 yg asik dan gaul), isi buku mba ika biasanya diisi dgn hal2 random ttg memori masa lalu si tokoh atau referensi ttg film,buku,dan makanan yg mempertebal isi buku. Jdnya setiap baca buku mba ika gue mikirnya ini pasti pemikiran2 pribadi si penulis yg dituangkan ke novel, bukan pemikiran si tokoh. Ini pasti makanan2 kesukaan penulis nih. Ini pasti penyanyi kesukaan penulis nih :p
Segitu aja review dr saya. Saran saya buat mba ika, klo nulis lg jgn membahas hal ringan dan org kaya yg ga ada masalah mulu.. Yg ada pembaca ga merasa simpatik ma tokoh utama (terutama heroin),malah pengen nendang! Hahahaha
Udah lama nggak pengen ngelempar buku. Tapi ini emang ngeselin banget sih. Mulai dari Keara yang menurut gw berusaha keras banget jadi bitchy (or is she really a bitch). Harris yang egonya ngalahin megaloman, dan Ruly yang unbelievably dense. And how the story end made me want to throw this book. Not to the point I would burn it, no. But still. Its upsetting how they ended.
Telat baca sih gue, tapi yaaa ternyata gue sangat kecewa dengan novel ini.
Tulisan Ika yang gue baca pertama kali itu Critical Eleven baru setelah itu The Architecture of Love. Gue suka-suka aja sama dua novel itu, ya mungkin sukanya karena gue pengen punya cowok anak teknik hehehe.
Okay, jujur gue cukup kecewa dan menyesal udah membeli dan membaca Antologi Rasa. Halaman pertama aja isinya trivia semua! Emang harus gitu ada trivia-trivia banyak banget? Sampai gue bingung ini sebetulnya gue baca novel atau RPUL sih? Bahkan guru bimbel gue pas masih SMA yang ngajar pelajaran Sejarah dan suka ngasih tau banyak fakta aja gak se sok pintar ini kalau lagi ngajar.
Keara tuh membosankan dan kelakuannya membuat gue "hah apaan banget sih?" Gue juga punya beberapa temen yang orang kaya banget tapi kelakuan gak ada yang kayak Keara! Apa sih salahnya makan makanan murah di pinggir jalan? Apa sih salahnya belanja di Tanah Abang? Emangnya ngelakuin dua hal ini membuat lo jadi RAKYAT JELATA? Asal tau aja, Tanah Abang juga ada kok baju-baju bagus yang harganya ratusan ribu. Temen gue yang orang kaya banget aja malah pernah bilang ke gue,"Pengen deh beli baju di Tanah Abang, Mangga Dua, Pasar Senen...gamau jadi budak kapitalis lagi gue beli-beli baju di F21, Zara, dll." terus ada beberapa kalimat yang membuat si Keara tuh bodoh banget kayak, "Aku nggak bisa bedain Psikolog dan Psikiater" hellooo, lulusan Stern GPA 3.5 sebodoh itu??? Really??? Intinya, orang yang udah kaya dari kecil nggak bakalan kayak Keara. Buat gue, si stupid ini malah kayak OKB banget, lebih parah malah. Buat part yang dia nolongin nenek-nenek jual kripik itu juga maksaaaaaaa woy maksa.
Gue kasian sama si Harris. Katanya dianggep sahabat tapi hampir tiap dialog Keara ke Harris kayak seakan-akan Harris tuh pembantunya bukan sahabat baik dan Harris mau-mau aja, sinting! Part yang bikin gue kesel adalah pas Keara marah-marah ke Harris karena udah tega nidurin dia. Lah kan dua-duanya sama-sama mabok, gimana sih seakan-akan dia tuh gak boleh salah dan bahkan dia sendiri yang minta buat dicium. Lagipula, K udah sering tidur bareng cowok, gak masuk akal aja buat hal yang ini dia malah marah-marah gaje ke Harris. Kecuali dia dicekokin buat minum sampe mabok sama Harris terus Harris nidurin dia, wajar dia marah karena itu pemerkosaan. Gue ngebelain Harris di novel ini tapi setiap bagian POV-nya dia duh gue muak banget! Isinya cuma nyembah-nyembah si Keara yang sempurnanya itu sama ngoceh betapa gantengnya dia dan gak ada cewek yang bisa menolak dia, tapi nggak ada bukti cuma omongan-omongan dia aja lagi chat sama si A si B si C. Cowok yang ganteng beneran tapi mengumbar kegantengannya malah bikin cewek jijik kali.
Let's move to Ruly. Dia baikkk dan satu-satunya yang inget Tuhan kali nih di novel ini. Gue menghabiskan novel ini sebetulnya lebih karena Ruly meskipun gue kasian sama Harris dan lumayan terhibur sama beberapa kalimatnya. Cuma yang bikin gue bingung, hidup udah high class tapi masih aja bikin istilah "cungpret=kacung kampret" norak banget! Untuk Denise, dia juga baik banget tapi jarang banget munculnya padahal katanya Denise temen lamanya Ruly dan sahabat Keara tapi munculnya jarang banget sahabat sebelah mananya coba? Terus gue heran si Keara masih berani klaim kalau Denise ini sahabatnya dia. Masa sahabat sendiri dibilang kayak chicken nugget sedangkan dia adalah foie gras. Berasa eksklusif, sist? Terus dia nyuruh Denise buatin dia Indomie. Iya, nyuruh, bukan minta tolong. Indomie aja pake dibuatin? Really? You are 30, Keara. Kalah sama anak SMP.
Heran gue, semua yang Keara bilang sahabatnya malah diperlakukan kayak pembantu nyuruh dia bikinin ini lah, beliin ini lah, bawain ini lah. Entah kenapa gue tuh emang gak suka liat cowok bawain belanjaan ceweknya. Kecuali dibagi dua bawanya eh ini nggak. Lo punya tangan dua kan? Masih bisa dipake? Bawa sendiri lah!
Dari semua tokoh utama perempuan di novel Ika, yang paling tidak menginspirasi gue ya si Keara ini dan dari semua novel Ika novel ini paling buruk ceritanya buat gue. Kata kasar sana-sini dan kebanyakan trivia di SETIAP halaman.
Ekspetasi saya cukup tinggi karena ini pengarang terkenal yang bukunya sampai dicetak ulang, tapi mmhh..maybe not my cup of tea.
-Otak agak capek harus berubah2 switch dari English - Indo , gonta-ganti every other sentence, ini mah novel dwibahasa
-Terlalu bling2 dengan semua merek bertaburan, menu, cafe, lagu, semua tumplek blek dan gak semuanya saya tahu, sehingga jadi gak meresap. Maybe memang ini gaya deskriptif yg baru, yg saya perlu adaptasikan diri. Cocoknya nih novel jadi film pasti banyak yg berlomba2 jadi sponsor krn banyak product placement-nya.
-Ini dari segi pandang beda2, tapi kok mirip2 dialognya, marah2nya, candaannya, rasanya agak sayang, udah susah2 dipisah2, tapi jadi seragam gitu, seharusnya kalau ada candaan/aksen/gesture yg khas milik hanya satu org saja, tentunya lebih mencolok bedanya. Mis, Dinda dan Keara itu ngomongnya sama banget, oke deh..mereka temen lama mungkin sama, tapi sama si Harris juga, candaanya, kok sama juga…Ruly yg kesannya cool dan polos, kok, sama juga jalan pikirannya ternyata, gaya ngomongnya
-Selagi baca buku, saya google dan baru tahu penulis ini banker sukses, sayang beribu sayang, cerita seluk beluk perbank-an tidak muncul sama sekali di sini, malah digambarkan boring, rapat membosankan, lembur mati2an, ah…gak mungkin penulis bertahan lama di situ kalau gak menarik, c'mon, share the beauty with us Ini jadi agak berkesan sinetron-ish karena cuma fokus di cinta aja, cinta , cinta, cinta, cinta, setiap episode cinta cinta
-judul2 latin-nya, kesannya agak terlalu berat, njomplang dengan isi yang isinya cuma cinta, pakai Latin gitu kesannya mau menjurus ke filosofi atau sains gitu, dan kenapa pakai Latin ya? Apa hubungannya dengan isi?
Namun begitu ada 2 hal yg saya suka
- Akhirnya yang riil, agak nyess juga, jadinya..eh..jadinya awal dan akhir sama aja gitu? Setelah berapa ratus halaman, gak ada perubahan nasib terhadap tokoh2nya sama sekali? But, that's reality.
-Gaya penuturannya luwes, nyambung terus, jadi saya menyelesaikannya dengan cepat
-Ilustrasi, saya kagum sama penulis yg bisa menelurkan dua karya dari 2 bidang berbeda yang layak dijual
2 untuk isi + 1 ilustrasi = 3 stars
Di luar review, agak merasa shock dengan pergaulan Jakarta, emang gini ya? Udah se metropolis ini sehingga tidur dengan lawan jenis sebelum nikah udah biasa banget? Apa saya udah ketuaan?
Membaca buku ini bikin aku kembali mengevaluasi (hadeh bahasanya) segala yang ada dan yang aku lihat di hidupku. Salah satunya urusan perasaan.
Aku pernah menulis satu kalimat ini di twitter, agak-agak ngenes emang, tapi juga kadang jadi bahan buat menertawakan diri sendiri: I'm expert at loving someone who doesn't love me back. Entah ya, Keara jadi terasa sangat relate sama aku karena aku juga sering bertanya-tanya, of all men in this world, kenapa deh aku harus menyayangi (or at some point, mencintai), laki-laki yang nggak punya perasaan sama kayak aku? This is me laughing at myself again. Soalnya kejadian kayak gini nggak cuma sekali dan aku kadang jadi mempertanyakan value diri sendiri. Karena kebanyakan yang nggak sayang sama aku bilangnya I'm just too good for them.
YA KALAU AKU EMANG TOO GOOD HARUSNYA KAN U BANGGA DISAYANG SAMA AKU GIMANA SIH MALIIIH WKWK
BUT AGAIN, THIS IS WATER.
Manusia seringkali menjadikan dirinya sebagai titik sentral sehingga fokus dan sudut pandangnya cenderung lebih sempit dan cuma satu arah. Look at Keara and her struggling to get over with her feeling. Semua hal di sekitar hidupnya jadi terasa sangat salah. Even Harris yang sayang sama dia pun jadi brengsek (ya emang sih Harris brengsek *lol I'm sorry, Ris) tapi you know what I mean) karena yang bisa Keara lihat hanya dirinya yang begitu menyedihkan karena unrequited love. Tapi speaking of unrequited love ini emang agak bahaya ya buat self-esteem seseorang *lol* apalagi kalau orang itu merasa "gue layak mendapatkan ini" terus ternyata nggak dapet..................
*lalu teringat lagi betapa menyedihkannya perasaan "aku kurang apa sih sampai dia nggak bisa sayang sama aku padahal dia sering ketawa karena aku", lol*
AND DO I HAVE TO SAY AGAIN THAT THIS IS WATER?
MORE THAN THAT, THIS IS LIFE.
We fall in love, we fall out love. Sometimes we ask are we good enough, sometimes we stand tall and proud of ourselves. This is life and we're human. People may not love us back, but never forget: we can always love ourselves.
Bagian-bagian awal buku saya merasa buku ini nunclep jleb langsung ke hati. Rasanya saya mau tepuk bahu setiap tokoh dalam buku ini sambil bilang, "I feel you, bro." Ya bagaimana enggak, setiap tokoh utama dalam buku ini suka sama sahabatnya sendiri, yang ternyata suka sama orang lain. Sesuai tagline, "Tiga sahabat. Satu pertanyaan. What if in the person that you love, you find a best friend instead of a lover?" (BRO CURHAT INI BRO) hahahah
Tapi kemudian paruh terakhir dari buku ini rasanya kurang menggigit, jadi di paruh pertama pembaca dibuat terbawa perasaan ketiga tokoh utama (kebetulan Ika Natassa menggunakan 3 POV dari 3 tokoh utamanya), tapi sampai di klimaks, gak dapat feel-nya gitu. Ya terus kalau si Keara sama Ruly, ya terus apa? Terus itu si Harris apa kabar? Feel yang saya dapet di awal malah gak berasa. Saya dapat kesan bahwa penulisnya buru-buru dalam bikin penutup cerita. Beda pace, yang jadinya malah gak ngegigit.
Terus saya juga agak keganggu sama bahasanya yang campur-campur indonesia-inggris. Preferensi pribadi sih, males aja. hahaha. Agak gak sedap dipandang gitu.
Tapi saya tetep suka sama buku ini. Beberapa bahkan bisa saya jadiin quotes favorit kayaknya. hehehe
Baca Antologi Rasa untuk kedua kalinya karena sebentar lagi filmnya mau rilis. Rating turun dari 4 bintang ke 3 bintang, tapi bukan berarti saya tidak suka. Hanya saja, setelah dibaca kedua kali. Buku ini tidak se page turner atau tidak se istimewa waktu saya membaca pertama kali sekitar 4-5 tahun lalu.
Terlalu banyak detail di buku ini, yang membuat komposisi feels karakternya kurang. Memang, detail tersebut sangat informatif dalam beberapa sisi. Tema friendzone yang diusung dalam buku ini cukup unik, tapi bikin muak. Dari awal sampai akhir, masing-masing karakter tidak ada yang mengungkapkan dengan sungguh-sungguh apa yang dirasain.
Ending bukunya sangat terburu-buru dan dull. Tapi saya tetap menunggu filmnya rilis.
Ini adalah novel kedua karya Ika Natassa yang kubaca setelah "Critical Eleven", yang dulu pun kubeli dan baca karena penasaran dengan kehebohan PO-nya yang mencetak rekor best seller, sold out dalam hitungan menit. Untuk penulis Indonesia, ini adalah sebuah prestasi luar biasa.
Ternyata "Critical Eleven" benar-benar membuatku kecewa. Tapi itu cerita lain dan sudah pula kuulas alasannya.
Sekian tahun berlalu dan aku pun mulai membaca novel ini yang sebetulnya dibeli barengan "Critical Eleven", karena "Antologi Rasa" siap dirilis pas momen Valentine's Day. Lebih karena ingin tahu, penasaran, dan percaya bahwa aku harus memberi kesempatan kedua.
Ternyata kali ini pun bukan pengalaman membaca yang menyenangkan dan sesuai harapan. Ada banyak paragraf dan halaman yang kulewatkan dengan skimming karena ... sejujurnya memberikan efek seolah-olah sedang menonton sinetron dimana karakter-karakternya menarasikan pergulatan batin mereka dengan begitu ... amat ... panjang ... dan ... bertele-tele ...
Setelah mengeluarkan uang sekian ratus ribu Rupiah untuk membeli "Critical Eleven" dan "Antologi Rasa", rasanya inilah akhir dari keingintahuan dan minatku pada semesta Ika. Barangkali memang buku-bukunya ditulis bukan buat pembaca seperti aku.
Taburan bintang satu dan dua yang diikuti kritik pedas membuat saya jiper sekaligus penasaran dengan novel ini. Seburuk apa sih sampai bikin banyak readers misuh-misuh gitu? Beberapa hal yang keluhkan oleh pembaca diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Bahasanya yang campur campur antara indo dan inggris. Tokoh dalam novel ini adalah orang orang dari kalangan atas yang bekerja dan tinggal di Jakarta selatan, dan memang begitulah cara orang jetset di jaksel berkomunikasi.
2. gaya hidup wah dan hedon dengan taburan barang-barang branded di sana sini Setahu saya, mbak ika adalah seorang banker yang sudah memiliki jabatan tinggi. Saya bisa memaklumi jika mbak ika menulis sebuah novel dengan cerita semacam itu. Yang menurut saya, cara hidup para tokohnya terinspirasi dari kehidupan dia sendiri dan juga kehidupan orang-orang yang ada dalam cyrcle pergaulannya. Kalau orang seperti mbak ika disuruh menulis novel dengan tokoh seorang gadis yang menderita karena kemiskinan malah akan failed jatuhnya. Brand-Brand high end yang dia sebutkan dalam novel semata untuk menegaskan bahwa para tokohnya memang orang-orang dari kalangan atas.
Mbak ika begitu pandai membawakan cerita, cara bertuturnya begitu renyah, luwes yang membuatku tak segan untuk memberikan bintang lima untuk point ini. Sayangnya, hanya itu satu-satunya alasanku untuk mau membalik halaman demi halaman karena ada lebih banyak hal yang membuatku mengerutkan dahi.
Tokoh-tokoh dalam novel ini digambarkan sebagai manusia yang sempurna. Fisik yang rupawan, otak yang cemerlang, jabatan tinggi, gaji besar, teman pergaulan yang asyik, nongkrong di tempat high class, sekali makan habis ratusan ribu, jalan-jalan minimal ke bali, hidup hedon macam mereka punya peternakan duit dll.
Dan yang paling annoying dari hal itu adalah karakter para tokohnya.
Keara Sebagai banker dengan penghasilan yang tinggi, aku masih bisa terima lah kalau dia digambarkan sebagai cewek dengan gaya hidup hedon dan bebas. Tapi yang membuat aku pengen nabokin pere yang satu ini, adalah cara dia memandang rendah rakyat jelata dan apapun yang berhubungan dengan itu, misalnya makanan murah, tanah abang bahkan busway sebagai sesuatu yang najis dan patut untuk dihindari. Amit-amit deh ini orang. Ingat ya mbak, diatas langit masih ada langit, diatas lu masih ada nyonya-nyonya sosialita yang bisa dengan mudah menghaburkan uang ratusan yang tinggal mereka minta dari suami atau ayah mereka mereka. Lu yang gajinya paling Cuma puluhan juta (itupun harus bekerja dengan pressure yang tinggi) gayanya udah songong mampus. Diketawain lu sama sendal jepitnya nia ramadhani. Entar kalo lu mati keadaan lu juga nggak ada bedanya dengan orang yang semasa hidupnya Cuma jadi buruh tani.
Harris Laki-laki baj****n yang dengan bangganya menyebut dirinya sebagai penjahat kelamin yang sudah tidur dengan banyak wanita. Tapi merelakan dirinya untuk menjadi budak dari Keara, sahabatnya yang dia cintai diam-diam. Tiap hari beliin Keara sarapan, bawain tas belanjaan Keara, selalu datang pas Keara manggil, bahkan ketika Keara telpon di jam dua pagi sekalipun. Dipikirannya Cuma ada Keara, Keara dan Keara, seolah cewek itu sudah meracuni setiap sel di dalam otaknya.
Panji Gebetannya Keara yang sama-sama PK seperti Harris. Tapi setidaknya Panji ini masih lebih waras ketimbang Harris yang kerjaanya Nyembah Keara.
Untuk tokoh-tokoh yang lain menurut ku masih manusiawi, termasuk si Ruly.
*I'm done fucking men, darl! I want to marry this one..*
Salah satu kalimat favorit gue di antologi rasa. Who doesn't want to marry Rully? He's perfect!
Tapi di akhir novel, kita kembali disadarkan bahwa gak semua laki-laki perfect atau laki-laki yang menjadi bulan-bulanan hasrat kita selama bertahun-tahun adalah laki-laki yang paling oke sebagai pasangan hidup kita..
Aku suka baca buku2nya Ika Natassa, tapi yang ini gatau kenapa kurang greget, mau dibawa kemana sebenarnya. Semua tokohnya ga berubah, msh tetap menyukai sahabatnya sendiri.