Ca-Bau-Kan (Hanya Sebuah Dosa) adalah kisah cinta antara perempuan Betawi dan pedagang Tionghoa dalam latar awal abad ke-20 hingga pascakemerdekaan Indonesia. Remy Sylado menggunakan narator Ny. Dijkhoff, seorang perempuan Belanda yang datang ke Indonesia untuk mencari tahu asal-usul ibunya yang ternyata adalah seorang ca-bau-kan atau perempuan penghibur bagi masyarakat Tionghoa. Dalam kompleksitas tersebut, novel ini menyatakan peran masyarakat Tionghoa peranakan dalam sejarah kemerdekaan Indonesia
Remy Sylado lahir di Makassar 12 Juli 1945. Dia salah satu sastrawan Indonesia. Nama sebenarnya adalah Yapi Panda Abdiel Tambayong (Jampi Tambajong). Ia menghabiskan masa kecil dan remaja di Solo dan Semarang. Sejak usia 18 tahun dia sudah menulis kritik, puisi, cerpen, novel, drama, kolom, esai, sajak, roman popular, juga buku-buku musikologi, dramaturgi, bahasa, dan teologi. Ia memiliki sejumlah nama samaran seperti Dova Zila, Alif Dana Munsyi, Juliana C. Panda, Jubal Anak Perang Imanuel. Dibalik kegiatannya di bidang musik, seni rupa, teater, dan film, dia juga menguasai sejumlah bahasa.
Remy Sylado memulai karir sebagai wartawan majalah Tempo (Semarang, 1965), redaktur majalah Aktuil Bandung (1970), dosen Akademi Sinematografi Bandung (1971), ketua Teater Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung. Remy terkenal karena sikap beraninya menghadapi pandangan umum melalui pertunjukan-pertunjukan drama yang dipimpinnya.
Selain menulis banyak novel, ia juga dikenal piawai melukis, dan tahu banyak akan dunia perfilman. Saat ini ia bermukim di Bandung. Remy pernah dianugerahi hadiah Sastra Khatulistiwa 2002 untuk novelnya Kerudung Merah Kirmizi.
Dalam karya fisiknya, sastrawan ini suka mengenalkan kata-kata Indonesia lama yang sudah jarang dipakai. Hal ini membuat karya sastranya unik dan istimewa, selain kualitas tulisannya yang sudah tidak diragukan lagi. Penulisan novelnya didukung dengan riset yang tidak tanggung-tanggung. Seniman ini rajin ke Perpustakaan Nasional untuk membongkar arsip tua, dan menelusuri pasar buku tua. Pengarang yang masih menulis karyanya dengan mesin ketik ini juga banyak melahirkan karya berlatar budaya di luar budayanya. Di luar kegiatan penulisan kreatif, ia juga kerap diundang berceramah teologi.
Karya yang pernah dihasilkan olehnya antara lain : Orexas, Gali Lobang Gila Lobang, Siau Ling, Kerudung Merah Kirmizi (2002). Kembang Jepun (2003), Matahari Melbourne, Sam Po Kong (2004), Rumahku di Atas Bukit, 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Bahasa Asing, dan Drama Musikalisasi Tarragon “ Born To Win “, dan lain-lain.
Remy Sylado pernah dan masih mengajar di beberapa perguruan di Bandung dan Jakarta seperti Akademi Sinematografi, Institut Teater dan Film, dan Sekolah Tinggi Teologi.
Kalau sudah nonton film Ca Bau Kan, pasti bisa bilang lebih asyik baca bukunya. bukan karena kalau di film jd ada beberapa chapter yg gak ikutan diterjemahkan dalam bahasa film, tp karena byk detil yg lebih bisa disajikan dalam versi tulisan.
Kisah cinta tentang beda etnis yg berbeda dgn setting zaman bauhela.
Sayang,sepertinya Remmy kurang mendalam dalam menyajikan kekhasan para kharakternya. Semua kebanyakan dangkal. Dalam beberapa bagian, ceritanya jg mudah ditebak. Tdk ada kisah etnik yg sekental judul buku ini.Dari dialek, istilah2 bahasa daerah/asing adalah istilah2 yg sudah biasaaaa banget utk umum. jd tanpa riset pun, rasa tdk begitu sulit.
Yg menarik mungkin, tempo hari (saat buku ini diterbitkan pertama), kisah roman beda etnis dgn setting masa lalu memang masih langka. kebanyakan kan cerita cinta orang local dgn meenir ato nona Belanda.
Ini adalah buku pertama yang aku baca dari penulis dan so far cocok dengan gaya berceritanya. Disini penulis mencoba menggambarkan perjuangan dan kebudayaan masyarakat Tionghoa peranakan dalam era kemerdekaan Indonesia.
Apakah Ca bau kan sama dengan istilah cabo/wanita penghibur bagi masyarakat Tionghoa? Pertanyaan ini dijawab saat kita mengikuti perjalanan hidup Tinung seorang gadis Betawi lugu yang harus menjadi janda di usia sangat muda. Perjuangannya mencari nafkah membuatnya jadi istri simpanan dua orang pria Tionghoa bernama sama tapi punya karakter yang sangat berbeda. Walaupun Tinung harusnya menjadi MC tapi keluguannya membuat dia jadi karakter yang sangat tidak menonjol dan cuma ada untuk kepentingan plot semata. Sedihnya karena karakternya terlalu satu dimensi dia bisa digantikan siapapun tanpa merubah isi cerita. Dia jadi penting karena sang suami sangat mencintainya, walau aku bingung tentang sisi romantik dari buku ini. Bintang cerita buku ini justru Tan Peng Lian yang ke-2. Sepak terjang beliau dalam menghadapi konflik keluarga, bisnis dan perjuangan bangsa Indonesia justru sangat heroik dan memukau. Porsi beliau juga iadi mayoritas plot buku ini.
Aku suka banget dengan gambaran kehidupan, konflik dan budaya masyarakat Tionghoa era ini. Percakapan dalam bahasa Betawi juga membuat novel ini unik. Anehnya ternyata aku lumayan bisa paham biarpun tak menguasainya haha..
Salah satunya mengupas tentang etnis Tionghoa di Indonesia. Keragaman mereka, mulai dari Tionghoa dari Bandung (Tan Peng Liang Jahat) yang punya rumah di daerah Sewan Tangerang. Tan Peng Liang baik yang berlogat Cina Semarangan. Selain itu masih ada tokoh lain, Pedagang Tionghoa yang dari garis sub-etnisnya yang kebanyakan menjadi pedagang keliling sehingga melengkapi diri dengan ilmu beladiri untuk pengamanan. Keragaman dalam penggambaran etnis Tionghoa ini yang masih jarang.
Tokoh utamanya Tinung dikisahkan secara panjang. Sejak jaman Kolonial Belanda, Pendudukan Jepang, Revolusi 45 hingga pasca-Revolusi.
Sayangnya, buku bagus ini kandas ketika coba difilmkan. Beberapa adegan bisa dibilang cukup baik, salah satunya adalah ketika mengambil daerah shooting di Magelang(?) untuk lakon "Festival Ciliwung" di era Kolonial Belanda. Namun secara keseluruhan, filmnya sendiri terlalu ambisius untuk merangkum keselurahan episode dalam buku ini. Seperti rangkuman yang tidak fokus. Belum lagi kegagalan aktor dan aktrisnya untuk menggambarkan tokohnya. Dialek semarangan yang kaku Ferry Salim dan Lola Amalia yang kurang "men-tinung-kan" diri bikin film semakin hambar.
Namun dari semua itu, satu pertanyaan muncul, "adakah Tokoh Tan Peng Liang baik yang berlogat Semarangan itu ada dalam kisah nyata?"
"Bicara soal kekuatan Tarjdo, tidak gampang kalau rakyakmu miskin. Rakyatmu harus punya makan yang cukup dulu, punya pakaian, dan yang paling penting bebas buta huruf. Ini yang membedakan manusia dengan binatang. Sebab, kalau cuma makan, binatang juga bisa makan. Lantas, kalau cuma pakaian. binatang juga punya bulu. Buku, bisa membaca, itulah yang membuktikan manusia punya kebanggaan, punya kebudayaan, punya peradaban" (91)
"Dua kemungkinan dalam satu diri, merupakan karunia atau juga bisa kutukan yang dibawanya sepanjang hayatnya. Maksudnya, dalam dirinya ada kebaikan yang menonjol tapi juga ada kejahatan yang menyolok. Ia tak kuasa memilahkan itu dengan akal, sebab akal manusia selalu terbatas, dikalahkan meski patuh kepada arah yang berdaulat-nya hati" (120)
"Namun, tiada kiranya kata pemborosan terhadap waktu bagi orang-orang yang mencari hakekat kasih. Bahwa di dalam kasih, tumbuh di saNa perdamaian dan bukan juga cuma pertikaian, melainkan berbaur keduanya dalam suatu kesepadanan yang tulen" (360)
"...bahwa dunia tempatnya berdiri tidak hanya hitam dan putih. Ada banyak warna di atasnya. Sementara warna-warna pun bisa berubah nama, bergantung pada kekuatan di luarnya yang memegang pengesahan" (363)
"Ya, hidup memang suatu rahasia tentang kebenaran-kebenaran sementara, kebenaran yang tak kekal" (382)
saya kadang-kadang ragu juga dengan bahasa "jawa/cina semarangan" yang tersaji dalam dialog-dialog di novel ini. perasaan saya gak gitu deh bahasa cina semarangan... tapi ya sudahlah, mungkin fokusnya nggak ke sana :-) tapi itu yang bikin saya nggak baca buku ini sampai selesai. juga novel-novel dari penulis yang sama. kalau esai-esai dia sih asyik dan biasanya saya baca sampai selesai.
Kalau mau dikatakan, sebenarnya aku rada telat mengenal karya-karya Remy Sylado. Sekian lama mendengar nama beliau, baru saat Malaikat Lereng Tidar (https://www.goodreads.com/review/show...) akhirnya kubenar-benar membaca, menikmati, dan jatuh cinta -sangat- pada cerita dan gaya penulisan beliau ini. Sejak saat itu, ingin membaca salah satu masterpiece, novel ini, dan baru kesampaian sekarang. Penantian cukup panjang... dapat juga amat sangat kebetulan, buku preloved yg ditawarkan lewat twitter, daaaann... ternyata sangat menyenangkan dan memuaskan. AKU. SUKA.
Kisah Cabaukan ini adalah kisah perempuan bernama Tinung. Siti Noerhaijati. Setelah ditinggal mati suami pertamanya, ia terlibat kisah pada 2 laki-laki bernama Tan Peng Liang. Punya 2 anak perempuan bernama Giok Lan dan 1 anak lelaki yg jg berinisial GL. Dan mengalami suka duka di 3 era. Ini juga kisah Tan Peng Liang, Cina Semarangan beribu Jowo, yang mendukung perjuangan kemerdekaan secara kenthir, dari bikin uang palsu, pura-pura mati sampai menyelundupkan senjata untuk para pejuang. Ini juga kisah negeri yang dulu bernama Hindia Belanda sampai jadi Indonesia. Dan tentu saja ini juga kisah Mevr. G. Dijkhoff yang jauh-jauh datang dari Belanda ke Djakarta untuk menyusuri akar keluarganya.
Kalau harus dibilang satu hal yang selalu kukagumi dari penulisan karya bapak satu ini, maka itu adalah kedetailan riset latar belakang tiap kisah yang ditulisnya. Cerita boleh romansa, tapi semua dijalin dalam untaian sejarah negri. Di novel ini terutama adalah tentang njelimetnya keadaan sosial warga cina batavia circa 1930-an. Gambaran yang dihasilkan sangat nyata, sehingga kudapat membayangkannya dengan jelas, tentang baik buruk sifat-sifat seseorang, perdebatan para cukong, perkelahian antar centeng, perayaan dan budaya yang dianut... semuanya. 👍
Katanya, ada miniseri televisi yang pernah dibuat berdasarkan novel ini. Nyari belum dapat, semoga suatu waktu dapat masuk ke database N*tflix, karena aku pengin nonton juga.
Buku ini terbit pertama kalinya tahun 1999. Jauh sebelum film drama seri "Little Nyonya" (2008) buatan negeri Singapura yg meledak populer, berkisah ttg Chinese Peranakan di Malaya tahun 1920-1960an. Buku ini kurang lebih persis timeline nya sama dgn film, juga menceritakan ttg Chinese Peranakan, tapi ini dari Semarang. Namun background kebanyakan di Jakarta.
Buku ini juga jauh sudah terbit dulu daripada buku "Pachinko" karya Min Jin Lee, author Korea. Krn saya melihat kurang lebih tokoh utama pria di buku ini, Tan Peng Liang yg dari Semarang ini punya ciri-ciri karakter yg mirip dgn Koh Hansu, yaitu licin dan tentu saja berani ala dark mafia.
Jujur saja baca novel ini saya jadi rada keder juga krn gaya penulisan author di buku ini spt banyak "menerjang" EYD. Tapi ini urusan penyuntingnya dah.
Secara keseluruhan, saya SUKA buku ini krn boleh dibilang genre BILDUNGSROMAN INDONESIA yg pertama bagi saya yg saya baca. Walaupun buku ini sebenarnya lebih diarahkan pd Tinung, si Ca Bau Kan, tapi saya gak menyangka porsi besarnya justru ke Tan Peng Liang yg dari Semarang ini. Semua sepak terjangnya bikin saya terkesima terutama keberanian dan kelihaiannya, termasuk ketahanan fisiknya. Sayangnya ending klimaksnya agak anti klimaks bagi saya. Ending juga sptnya author terburu-buru ingin eksekusi saja.
Kalian yg belum baca tentu saja heran apa itu Ca Bau Kan, kalau istilah zaman sekarang ya GUNDIK atau istri piaraan yg gak sah. Untuk zaman sebelum Perang Dunia II itu kynya gak memusingkan hal itu, malah senang krn ekonomi mereka (dan keluarganya) jadi terjamin. Aku kadang geli kadang sebel juga sama author ini, ngapain coba pakai 2 nama yg sama persis utk 2 tokoh yg berbeda.
NB: Tinung bukan tipikal heroine/wanita favorit saya. Karakternya terlalu lugu, terlalu pasrah, terlalu dependen, terlalu nurut dan gampang disetir oleh siapapun. Tipe standar wanita yang (mungkin) idaman masa jadoel itu. Tapi mungkin krn kualitas karakternya yg spt itulah yg justru mungkin bisa klop dgn Tan Peng Liang, hero serba bisa ala Ethan Hunt di film Mission Impossible.
Novel ini menceritakan tentang Tinung (Siti Nurhayati) seorang wanita muda yang sedang hamil dan ditinggal suaminya karena meninggal. Kemudian Tinung diajak oleh saudaranya yang bernama Sodah untuk bekerja di prostitusi agar keluarga mereka bisa makan. Hal ini pada masa kolonial Belanda dikenal dengan Ca-Bau-Kan. Tinung bekerja di Kali Jodo karena disanalah ada berbagai banyak imigran Tionghoa yang mencari jodoh. Meskipun sebenarnya Tinung tidak ingin bekerja dengan pekerjaan yang hina namun karena ia didesak oleh keluarganya maka ia menyanggupi dan mau melayani lelaki tiap malam. Akhirnya ia diajak Tang Pen Liang (pertama) yang berasal dari Bandung untuk tinggal bersama Tang Pen Liang dan mereka tinggal bersama meskipun mereka tidak menikah. Tinung disana mengandung namun karena tidak betah dengan lingkungan dan perilaku Tan Peng Liang yang kasar dan bengis, sehingga ia kabur. Tinung kembali ke rumahnya dan diajak oleh saudaranya untuk menyanyi dan menghibur orang-orang walaupun kondisi Tinung saat itu sedang hamil. Tinung melahirkan dan Tan Peg Liang dikabarkan sudah meninggal. Kehidupan dan perasaan Tinung berubah setelah bertemu dengan saudagar tembakau dari Semarang yang bernama sama dengan Tang Peng Liang (pertama). Tang Peng Liang sangat baik kepada Tidung karena anaknya yang masih bayi boleh ikut bersamanya. Anak dari istri pertama Tan Pen Liang tidak menyukai kehadiran Tinung karena ayahnya tidak memikirkan dan memperhatikan kondisi ibunya. Dan pada suatu saat ketika Tan Peng Liang pergi dan Tinung sendiri dirumah, anak-anak Tan Peng Liang pergi mendatang Tinung mereka mencaci-maki Tinung dan menyiksa Tinung serta mengusir Tinung. Tinung pun tidak berdaya kemudian Tinung pun pergi meninggkalkan rumah. Setelah Tan Peng Liang kembali ia marah dan mencari Tinung karena sedang mengandung. Tinung bertemu lagi dengan Tan Peng Liang, Tinung melahirkan anak perempuan dan diberi nama Giok Lan. Anak pertamanya pun diberi nama yang sama yaitu Giok Lan. Mereka hidup bahagia. Tang Peng Liang yang seorang pengusaha Tembakau memiliki musuh yang bernama Thio Boen Hiap. Kehidupan Tang Peng Liang dan Tinung sangat menderita karena terdapat konflik-konflik dari luar yang menyebabkan Tinung terpisah dari Tna Peng Liang dan akhirnya mereka dapat kembali lagi. Anaknya juga dijual dan dibawa ke negeri Belanda oleh orang yang membelinya. Sampai suatu hari Tan Peng Lian pun meninggal dunia karena diracun oleh musuhnya dulu yang tak lain adalah atasan Thio Boen Hiap yang masih menaruh dendam pada Tang Peng Liang, setelah memakan durian beracun yang dibawakan oleh Jeng Tut dalam sebuah pertemuan bisnis di rumahnya. Tinung pun meninggal setelah suaminya meninggal. Cerita ini berakhir dengan seorang perempuan tua yang datang dari Belanda bernama Nyonya Dijkhoff, dan ia adalah Giok Lan putri dari Tinung dan Tan Peng Liang. Ia pun berhasil dapat menyelesaikan masalah ayahnya dan setelah semua masalah selesai ia kembali ke Belanda. Beliau bernama asli Yapi Panda Abdiel Tambayong, naun dikenal dengan nama penanya yaitu Remi Sylado. Ia adalah sastrawan Indonesia lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juli 1945. Remy terkenal karena sikap beraninya menghadapi pandangan umum melalui pertunjukan-pertunjukan drama yang dipimpinnya. Ia juga salah satu pelopor penulisan Puisi mBeling, bersama Jeihan dan Abdul Hadi WM. Selain menulis banyak novel, ia juga dikenal piawai melukis, berdrama, dan tahu banyak akan film. Saat ini ia bermukim di Bandung. Remy pernah dianugerahi hadiah Kusala Sastra Khatulistiwa 2002 untuk novelnya Kerudung Merah Kirmizi. Remi juga dikenal sebagai seorang Munsyi, ahli di bidang bahasa. Dalam karya fiksinya, sastrawan ini suka mengenalkan kata-kata Indonesia lama yang sudah jarang dipakai. Hal ini membuat karya sastranya unik dan istimewa, selain kualitas tulisannya yang tidak diragukan lagi. Penulisan novelnya didukung dengan riset yang tidak tanggung-tanggung. Seniman ini rajin ke Perpustakaan Nasional untuk membongkar arsip tua, dan menelusuri pasar buku tua. Pengarang yang masih menulis karyanya dengan mesin ketik ini juga banyak melahirkan karya berlatar budaya di luar budayanya. Di luar kegiatan penulisan kreatif, ia juga kerap diundang berceramah teologi. Karyanya yaitu Ca Bau Kan (1999) yang berarti hanya sebuah dosa, ini banyak menceritakan budaya-budaya Tionghoa pada kurun waktu 1918 – 1951. Novel ini juga diangkat ke layar lebar oleh sutradara perempuan yang ermnama Nia Dinata. Remi Sylado berhasil membuat para pembacanya tenggelam ke dalam novelnya yang kaya akan bahasa dan budaya Tionghoa yang jarang digunakan oleh sastrawan lain dalam menulis sebuah karya. Tokoh-tokoh dalam novelnya dijelaskan secara detail dan bahasa yang digunakan seperti bahasa Tionghoa, bahas Semarang(Jawa), Jepang, Betawi, Belanda dan Thailand. Dengan adanya novel ini juga pembaca dapat mengerti dan mengetahui tentang sejarah kota Jakarta, tepatnya di daerah Kali Jodo yang sampai sekarang pun menjadi tempat yang digunakan untuk pekerjaan yang tidak halal (seperti perjudian, prostitusi dan lain-lain). Remi juga begitu teliti dan konsisten, semua nama jalan ditulis dengan nama lahirnya. Misalkan Molenvliet sebagai nama tua dari Jl. Hayam Wuruk dan Gajah Mada atau Gang Chaulan untuk Jl. Hasyim Ashari. Ejaan-ejaan kalimat dalam koran Betawi Baroe, koran tempo dulu dalam cerita, juga ditulis dengan ejaan lama. Remy sangat tekun dalam membuat novel ini karena novel Ca Bau Kna berkomposisi tigapuluhlima bab. Novel ini masuk dalam periode 2000 dengan karakteristik yang sama seperti pada periode itu, yaitu temanya menyangkut seluruh aspek kehidupan. Tema yang diangkat dalam novel ini yaitu tema percintaan, prostitusi dan perjuangan dalam kemerdekaan Indonesia. Dan adanya perluasan wawasan estetik baru atau memperluas yang telah ada. Alur dalam novel ini yaitu berbentuk narasi karena pada bagian awal anak Tinung menceritakan setelah ia ke Jakarta untuk mencari asal-usul keluarganya lalu mundur ke bagian masa lalu dimana ayah dan ibunya mempunyai kehidupan masing-masing lalu akhirnya bertemu dan melahirkannya sampai pada yang terakhir yaitu orang tuanya meninggal. Kemudian Giok Lan kembali ke Belanda setelah mengetahui cerita keluarganya. Novel yang memperlihatkan sudut pandang Beliau dengan gambaran pada masa kemerdekaan yaitu andil warga Tionghoa dalam proses menjadi Republik Indinesia yang merdeka. Hal-hal yang dapat diteladani dari novel ini yaitu Jangan lah menjadi seseorang yang hina demi uang, karena masih banyak pekerjaan yang halal untuk menghidupi keluarga, melalui kesaksiananaknya, Giok Lan, putri dari Tinung dan Tan Peng Liang, kita mendapatkan pelajaran tentang nasionalisme Tionghoa dan juga kekuatan hati Tinung dan mendapatkan cinta kasih yang tulus seta penuh dengan kebaikan dan tanpa pamrih serta melalui kisah ini juga kita dapat melihat sisi sebuah perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan.
Menutup lembar terakhir novel ini dengan agak kecewa. Karena sinopsisnya menyiratkan bahwa genre dari Ca Bau Kan adalah romance. Tapi mostly malah membahas persaingan bisnis. Ca Bau Kan (Hanya Sebuah Dosa) adalah novel lawas karya Remy Sylado yang bercerita tentang Tinung, seorang perempuan asli Betawi yang menjadi Ca Bau Kan alias wanita penghibur di kalangan orang Tionghoa di Kali Jodo pada tahun 1930an. Singkatnya Tinung dipersunting oleh Tan Peng Liang, seorang chindo Semarang. Ekspektasi saya sebelum baca buku ini adalah membayangkan betapa rumit tapi manisnya kisah cinta antar dua etnis, Betawi-China. Tapi sedikit kecewa karena novel ini didominasi oleh konflik bisnis Tan Peng Liang dan musuh-musuhnya. Sedikit kecewa juga karena saya berharap sosok Tinung yang sudah pernah menikah di usia 14 tahun, lalu didorong keluarganya sendiri untuk menjadi Ca Bau Kan, tapi seperti pasrah, tidak melawan, iya-iya aja pokoknya 🥲. Tapi tetap ada hal yang saya sukai dari novel ini yaitu banyak pengetahuan tentang budaya China yang saya tidak tahu sebelumnya. Saya kira bakal susah ngikutinnya tapi justru malah mudah dijejali pengetahuan baru. Overall novel ini sangat direkomendasikan. Hanya ekspektasi saya saja yang berlebihan, hehe.
📚 Ca Bau Kan (Hanya Sebuah Dosa) ✍️ Remy Sylado ⭐️ 8.3/10
aku baca buku ini selama sebulan 🥹 durasi terlama sih kynya untuk aku baca buku. selain font nya kecil, buku ini juga termasuk tebal, hampir 400 halaman. dan aku juga selingin baca buku lain jadi ya 🤷♀️
cabaukan dalam bahasa hokkian didefinisikan sebagai perempuan penghibur. Ny. Dijkhoff dalam buku ini mencari ayah dan ibunya. ibunya adalah seorang cabaukan.
sang ayah bernama tan peng liang, namun dalam buku ini, ada dua orang yang bernama tan peng liang. jadi, kiranya yang manakah ayah dari Ny. Dijkhoff?
cerita yang dipaparkan dalam buku ini sangatlah kompleks. mungkin ini juga yang menjadi alasan mengapa aku baru menamatkan buku ini setelah sebulan.
begitu banyak rentetan peristiwa yang terjadi dalam buku ini. berlatar tahun 1900an, buku ini mencakup penjajahan belanda dan jepang atas indonesia.
fakta menarik tentang penulis yang baru kuketahui adalah bahwa nama pena beliau, remy sylado, diambil dari nada intro lagu the beatles yang berjudul "and i love her"
A historic novel centered around the life of a Chinese-Indonesian man and his Betawi mistress set in early 20th century Batavia. His life victories and defeat intertwined with the history of Indonesian colonialism and independence.
Overall it's a very pleasant read. The writing reminds me of Hillary Mantel's Thomas Cromwell series which centers on the life of one man and his family. It is also very masterful in the use of language that is particular of that time, not only in its dialogue but also in its narration. We also get a vivid description of what Jakarta in the early 20th century is like.
Cerita yang memikat dan meyakinkan sekali. Serasa dibawa ke dunia masa sebelum perang kemerdekaan. Risetnya pasti mendalam nih! Bahasa Tionghoa dan ejaan lamanya meyakinkan sekali. Tidak sekedar tempelan.
Boekoe jang bagoes jang memboeat akoe lebih tertarik kepada sedjarah indonesia tempo doeloe. :-))
Catatan Sehabis Baca: Sudah lama sekali aku tidak merasakan nuansa membaca seperti ini. Aku jadi rindu tanah air. Dua minggu lagi aku akan menginjak kota kelahiranku... Senangnya.... (4.des.07)
yes yes yes I love this. Especially the part when Tan Peng (I forgot the name) came back and fetched the girl -I also forget the name, sorry too lazy to get the book- in the hospital (it's a hospital, I guess), after dissapearing. Uh uh uh, I love those moments. The only thing that I hate from this book is the way Tan Peng died. Keracunan? hueh.benci aku.
Remy Sylado menghadirkan sejarah yang getir melalui tubuh perempuan yang tak sempat membantah.
Saya terlambat 23 tahun mencicipi karya ini. Tapi begitu membuka halaman pertama Ca-Bau-Kan, saya langsung tahu: saya tidak akan bisa menutupnya sebelum tamat. Dua hari cukup untuk melahap 384 halamannya, namun kesannya, terutama tentang Tinung, masih tertinggal di benak hingga kini. Selesai membaca, saya menonton versi filmnya di Netflix. Sebagaimana biasa, novel selalu menyimpan lebih banyak luka, dan dalam kasus ini: lebih banyak dosa.
Saya ingat betul, usia 15, saat secara acak membaca ulasan film Ca-Bau-Kan di majalah tante saya. Kata-katanya menggoda, tapi usia saya terasa belum cukup untuk memahami kisah perempuan yang disebut “berdosa” karena menjual tubuhnya. Ironis, karena Tinung, tokoh utama novel ini, baru 14 tahun saat menikah dengan pria tua yang tak lama meninggal dan menjadikannya janda dalam keadaan hamil. Ia pun dijebloskan ke dalam dunia hitam oleh ibu dan bibinya sendiri. Siapa sebenarnya yang berdosa?
Tokoh Tinung, atau nama aslinya Siti Noehaijati, adalah gadis Betawi yang dijual ke Kali Jodo. Tubuhnya ditukar dengan angka pada lembaran rupiah. Tak lama, ia menjelma Si Chixiang, perempuan mashyur yang dicari-cari. Sejak itu, hidupnya menjadi garis takdir yang berliku: penuh dosa, percikan darah, derita, dan romansa getir. Tinung tidak pernah melawan. Dan justru karena pasrahnya itu, kisah ini lahir.
Remy Sylado menulis novel ini dengan riset kuat dan gaya narasi yang hidup. Ia menciptakan tokoh-tokoh dengan aksen dan dialog khas daerah, membuat pembaca seolah hadir dalam ruang-ruang sejarah yang nyata. Namun, kekuatan itu juga menciptakan jebakan bagi pembaca: nama-nama yang asing dan panjang membentuk kabut yang menyulitkan mengingat siapa siapa. Lebih mengejutkan lagi, Tinung yang sejak awal digadang sebagai pusat kisah, perlahan kehilangan panggung, diseret oleh dominasi karakter lelaki, terutama Tan Peng Liang dari Semarang, pencetak uang palsu dan pencuri sorotan.
Ada kekecewaan di sana. Saya ingin mendengar Tinung sendiri bertutur. Saya ingin tahu bagaimana rasanya jadi anak yang dijual, istri yang ditinggal, perempuan yang diperebutkan, ibu yang terluka, manusia yang diperlakukan seperti binatang. Tapi saya hanya diberi narasi dari luar. Saya tak bisa merasuki hatinya.
Novel ini tidak hanya berkisah tentang perempuan dan tubuh, tetapi juga tentang sejarah yang berlapis. Berlatar tahun 1930-an hingga pasca-kemerdekaan, Remy membawa pembaca melintasi zaman kolonial, pendudukan Jepang, hingga Orde Baru. Semua ini dibungkus dalam latar etnik Tionghoa yang seringkali termarginalkan dalam narasi besar sejarah Indonesia. Justru dari pinggiran itulah, kekuatan cerita muncul. Kentalnya budaya Tionghoa, lengkap dengan bahasa dan kebiasaannya, membuat novel ini terasa seperti kaleidoskop sejarah, yang lebih jujur dibanding buku pelajaran.
Di tengah kisah, ada satu kutipan yang menggugah:
"Bicara soal kekuatan, Tardjo, tidak gampang kalau rakyatmu miskin. Rakyatmu harus punya makan yang cukup dulu, punya pakaian, dan yang paling penting bebas buta huruf. Ini yang membedakan manusia dengan binatang. Sebab kalau cuma makan binatang juga makan. Lantas, kalau cuma pakaian binatang juga punya buku. Buku, bisa membaca dan bebas membaca. Itulah yang membuktikan manusia punya kebanggaan, punya kebudayaan, punya peradaban."
Kalimat itu bukan sekadar dialog. Ia seperti gugatan pada bangsa yang lupa mendidik rakyatnya sebelum memerintah. Dan seperti sarkasme pada Tinung, perempuan yang tak bisa membaca, apalagi bebas memilih.
Meski sesekali terasa bertele-tele dan terlalu padat karakter, Remy berhasil membangun semesta yang hidup. Ada Jan Max Awuy sang juru warta, R.M. Soetardjo Rahardjo sang Nasionalis, jagoan tanggung Tan Soen Bie, Saodah si nyeni, dan Jeng Tut yang eksentrik. Sayangnya, semua ini kadang terlalu singkat dan belum tergarap penuh.
Ca-Bau-Kan memang bukan kisah tentang perempuan kuat. Ini kisah tentang perempuan yang tak sempat jadi kuat. Dan justru karena itu, kisahnya menggetarkan. Remy Sylado tak sedang mengangkat pahlawan, tapi menunjukkan kepada kita: bagaimana sejarah sering kali ditulis di atas tubuh mereka yang diam.
Saya memberi 3,5 dari 5 bintang. Tapi bukan karena kisahnya kurang. Mungkin karena luka Tinung terlalu dalam untuk saya beri nilai sempurna. Sebab pada akhirnya, dosa terbesar Tinung cuma satu: ia tidak melawan.
Ca-Bau-Kan (Hanya Sebuah Dosa) Remy Sylado Kepustakaan Populer Gramedia, Cetakan Kesepuluh 2025 384 halaman, ISBN: 978-602-481-876-0
Remy Silado sangat terampil dalam mengkolaborasi kisah sejarah dan juga kisah yang sedang terjadi pada masanya. Novel ini berbeda dengan novel yang mulai berkembang dan bermunculan pada masanya dikarenakan banyak perubahan yang berani diambil oleh Remy Silado. Mempadupadankan kisah sejarah dan dijadikan sebagai salah satu peristiwa dalam novel merupakan salah satu hal belum pernah terjadi pada periodenya. Novel ini menceritakan tentang perjuangan kaumTionghoa yang kurang dilirik dan kurang mendapat perhatian dari para ahli sejarah dan sering dianggap sebagai parasite pada masanya. Dalam novel ini sudah menjelaskan siapa dan apa-apa saja kontribusi dari kaum Tionghoa selama berada di Indonesia. Pengarang sangat berbakat dalam menampilkan beberapa adegan yang memiliki unsur sejarah, meskipun banyak didalamnya tentang beberapa budaya dan juga banyak menampilkan bahsa dari Tionghoa sendiri hal itu tidak mengurangi nilai dari amanat itu sendiri. Karakter Tinung yang diangkat oleh pengarang membuat laju cerita menjadi lebih menarik, meskipun laur yang sesungguhnya adalah alur mundur tetapi pengarang pandai menyembunyikan jalannya cerita sehingga pembaca tidak akan mengetahui jika saja itu adalah alur mundur. Remy Silado memiliki kesamaan dengan Tere Liye dalam hal mengkolaborasikan kisah sejarah dengan hasil imajinasinya. Salah satu karangan Tere Liye yang berjudul Tentang Kamu merupakan novel yang juga memjelaskan sedikit kisah sejarah seperti adanya peristiwa G-30 S-PKI. Namun keduanya memiliki kepandaian masing-masing dalam hal menyisipkan beberapa peristiwa sejarah dengan hasil imajinasi mereka. Bahasa yang diangkatpun mudah dipahami, meskipun sebagian besar kata-katanya adalah bahasa Tionghoa lama. Tetapi pengarang sudah menyiapkan catatan kaki untuk mempermudah pembaca. Selain itu dalam novel ini terdapat bahasa daerah yang digunakan seperti bahasa jawa dan bahasa betawi yang khas. Pada novel ini pembaca akan disuguhkan sesuatu hal yang berbeda dari novel yang biasanya, akan banyak pengetahuan baru tentang keberadaan Tionghoa selama berada di Indonesia. Bahasa yang ringan serta alur yang tidak rumit membuat keterarikan tersendiri bagi para pembaca. Ca bau kan terbot diamas transisi dari periode 90-an menuju periode 2000-an, hal ini menyebabkan penggolongan karya sastra yang agak membingungkan. Seperti halnya ada yang termasuk dalam karya sastra di luar Balai Pustaka, dapat digolongkan sastra diluar periode tertentu karena karya sastra tersebut terbit dimasa transisi dari 2 periode. Akan tetapi karya dari Remy Silado ini masih tergolong karya sastra 90-an.
Yapi Panda Abdiel Tambayong (ER: Japi Tambajong) atau lebih dikenal dengan nama pena Remy Sylado (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juli 1945; umur 73 tahun) adalah salah satu sastrawan Indonesia. Dia sering menuliskan namanya dalam not angka, 23761. Remy juga dikenal sebagai seorang Munsyi, ahli di bidang bahasa. Dalam karya fiksinya, sastrawan ini suka mengenalkan kata-kata Indonesia lama yang sudah jarang dipakai. Hal ini membuat karya sastranya unik dan istimewa, selain kualitas tulisannya yang tidak diragukan lagi. Penulisan novelnya didukung dengan riset yang tidak tanggung-tanggung. Seniman ini rajin ke Perpustakaan Nasional untuk membongkar arsip tua, dan menelusuri pasar buku tua. Pengarang yang masih menulis karyanya dengan mesin ketik ini juga banyak melahirkan karya berlatar budaya di luar budayanya. Di luar kegiatan penulisan kreatif, ia juga kerap diundang berceramah teologi. Ca Bau Kan adalah sebuah novel yang ditulis oleh penulis Indonesia Remy Silado, diterbitkan tahun 1999. Buku ini bercerita tentang kisah cinta antara Tinung, seorang perempuan Betawi yang berprofesi sebagai seorang ca bau kan, dan Tan Peng Liang, seorang pengusaha tembakau dan candu Peranakan asal Semarang. Buku ini adalah novel kedua yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia setelah novel Saman karya Ayu Utami. Novel ini juga pernah dipublikasikan di harian Republika. Tema yang diangkat meliputi seluruh aspek kehidupan, ada tentang romannya, perselisihan konflik antara Tan Pen Liang dengan Thio Boen Hiap, adat istiadat, bisnis dan lainnya. Berbeda dengan angkatan Balai Pustaka yang masih dengan tema kawin paksa, selain itu dalam konteks bahasa sudah menggunakan bahasa Indonesia bukan lagi bahasa Melayu. Namun masih ada bahasa asing yang digunakan, mungkin karena pengambilan tema yang latar belakang novelnya tentang orang Tionghoa.
Hal paling menonjol (dan bagi saya paling mengasyikkan) dari buku ini adalah penggambaran kehidupan peranakan Tionghoa di Indonesia pada masa penjajahan Belanda, Jepang, dan pasca kemerdekaan Indonesia. Remy Sylado sangat mendetail dalam menggambarkan kebiasaan komunitas Tionghoa di zaman itu. Saya tidak bisa menilai keakuratannya, tapi paling tidak saya belajar sedikit sejarah.
Sayangnya, penokohan karakternya kurang dikembangkan. Tan Peng Liang, sebagai tokoh utama, cukup berkesan. Tapi untuk Tinung, saya sama sekali tidak mengerti kenapa sampai 4 laki-laki bisa terpincut olehnya, bahkan sampai rela mengarungi samudra (literally dalam kasus TPL) atau kehilangan nyawa (Tjia Wan Sen). Iya, dia cantik dan seronok, tapi apakah kedua kualitas itu bisa berperan banyak dalam mengarungi hidup sehari-hari dengan segala rutinitas dan kebosanannya? Kayaknya kalau saya punya partner yang ganteng tapi sepasif Tinung, nggak butuh waktu lama saya bakal bosan setengah mati. Dan iya, Tinung benar-benar sepasif itu. Saya paham bahwa di zaman cerita ini terjadi perempuan memang tidak punya banyak pilihan, apalagi perempuan pribumi, miskin, dan tidak berpendidikan seperti Tinung. Tapi setidaknya dia bisa, misalnya, menolak melepaskan Giok Lan untuk diadopsi. Kayaknya cuma dua kali si Tinung ini berhenti jadi boneka: waktu dia kabur dari Tan Peng Liang yang jahat, dan waktu dia nolak kawin sama Tjia Wan Sen.
Akhirnya saya malah jadi lebih penasaran sama tokoh-tokoh pembantu di sini, seperti Max Awuy atau Tjia Wan Sen sendiri.
Meski begitu, kelemahan novel ini secara umum bisa dikalahkan oleh plotnya. Intrik berbagai pihak betul-betul bikin tegang dan susah berhenti membaca. Oleh karena itu, saya beri buku ini 3, 5 bintang (karena GR nggak bisa ngasih setengah bintang, saya bulatkan ke bawah).
Mengambil latar masa penjajahan Belanda dan Jepang, dengan tema kehidupan warga Tionghoa di antara pribumi kala itu (1918-1951). Konfliknya jangan ditanya, seruwet rambut Babe Cabiita, tapi ditutup sempurna secara mulus dan menjelaskan semua loopholes di awal. 👍Kereeeeen.
Cerita dibuka oleh seorang wanita peranakan yang tinggal di negeri Belanda, hendak berkunjung ke Indonesia, bernama Ny.G.P.A.Dijkhoff aka Giok Lan. Yaa, dia anak dari seorang cabaukan alias perempuan yang menikah dengan Tionghoa di zaman itu. Tujuannya ke Indonesia, hendak mencari jejak keluarga kandung yang tidak pernah didengar kabarnya saat dia diadopsi keluarga Belanda.
Pencariannya mulai rumit, di saat mengetahui sejarah ibunya yang berhubungan dengan 2 orang lelaki bernama sama, Tan Peng Liang. Yang satu asal gang Tamim Bandung, punya kebun pisang di Sewan Tangerang, dan berprofesi sebagai rentenir. Satunya lagi, Tan Peng Liang asal gang Pinggir Semarang, dikenal sebagai pengusaha tembakau dan candu di Glodok. Dari mereka berdua, ibunya diketahui mempunyai 2 anak perempuan yang 2-2 nya diberi nama Giok Lan 🤣🤣. . Novel berplot maju mundur, tapi ditulis dengan sangaaaat smooth. Alur yang complicated, tapi berhasil terurai dengan cara halus dan samasekali ga membuat mumet saat dibaca. Kesalahpahaman yang berkali-kali terjadi hanya karena nama sama antara Tan Peng Liang pertama dan kedua, malah membuat kocak dan hidup cerita 🤭. Juga gemas, kenapa rasanya hidup hanya mempermainkan Tinung yang polos dan lugu. . Remy Sylado berhasil mengaduk emosi pembaca dengan kisah luar biasa. Tulisan yang juga terlihat jelas dilakukan dengan riset akurat. Ga hanya sekedar menuliskan sejarah tanpa bukti kuat. ❤️❤️❤️❤️❤️
Orang Tionghoa pada masa Hindia Belanda terbagi 2 golongan yakni kiau-seng dan hoa-kiau. Kiau-seng dimaksudkan untuk menyebut orang-orang Tionghoa bukan asli, yang oleh lamanya tinggal di Hindia Belanda, dianggap kurang beradat, dan tidak menguasai bahasa resmi Kuo-Yu kecuali bahasa lokal. Hoa-kiau adalah golongan perantauan yang merasa dirinya masih murni, yang menganggap tinggal di Hindia Belanda hanya sementara saja sekadar mencari kekayaan lalu nanti pulang kembali ke tanah leluhur, Tiongkok.
"Salahsatu hal menonjol dalam peradaban adalah kemampuan berbasabasi, kemampuan mengaburkan sifat-sifat maujud menjadi mujarad." -Hlm. 381-
Novel ini adalah buku pertama Remy Sylado yang aku baca. Banyak kata-kata Indonesia lama alias jadul yang sekarang jarang sekali dipakai. Bisa dibilang ini novel sejarah yang mengangkat isu perihal budaya-budaya Tionghoa dan suku lainnya di Indonesia pada waktu pra dan pasca kemerdekaan yakni tahun 1918 - 1951. Titik fokus cerita tentang seorang pelacur yang dibuat sedemikian rupa agar pembaca sadar dan tidak menjustifikasikan mereka sebagai perempuan tidak bermoral. Jelas pembelaan dan rangkaian cerita di novel ini membenarkannya. Penulis memuat banyak percakapan bahasa daerah antar suku dengan benar dan pasti disertai catatan kaki. Kurangnya di buku ini adalah perlakuan tokoh utama dibuat seakan tidak manusiawi dibanding pemeran lainnya. Terlepas dari itu semua, novel sejarah dengan jumlah 35 bab ini patut dibaca. Alur, konflik, dan pengemasan cerita menarik dan kaya akan detail, fakta sejarah dan kredibilitas penulis membuat yang tulisan bagus.
Jarang ada karya fiksi yang tokoh utamnaya etnis tionghoa, dan kisah yang dirajut oleh Remy Sylado ini cukup brilian menggambarkan komunitas etnis ini di masa lalu, seperti perbedaan antara kaum peranakan dan kaum singkek, dan juga kebudayaan mereka yang terpelihara dengan baik sebelum datangnya orde baru.
Tan peng liang dari Semarang adalah karakter yang berimbang dalam soal kebaikan dan keburukan, ia bisa sangat perhatian, setia dan nasionalis, sekaligus juga bisa menjadi sangat bengis pada musuh-musuhnya, ia bahkan diceritakan mengorbankan anak perempuan dari istri pertamanya pada sebuah pesugihan. Jarang-jarang juga ada karakter seperti ini di fiksi Indonesia, karena biasanya karakter di fiksi indonesia lebih banyak hitam putih, tidak berimbang sifat positif negatifnya. Tapi Tinung, karakter utama perempuan di novel ini justru merupakan kekurangan terbesar novel ini menurut saya. Tinung terlalu pasif, terlalu satu dimensi dan kurang terasa manusiawi. Tidak ada satu kepribadian apapun yang terasa dalam sosok Tinung, bahkan karakter-karakter sampingan di novel ini saja masih lebih terasa seperti manusia dibanding Tinung.
Cabaukan oleh Remy Sylado adalah buku yang mengecewakan. Pertama, judul dan sinopsisnya mengecoh. Sang cabaukan atau "cabo", Tinung, bukanlah fokus dari cerita ini. Tokoh Tinung hanya jadi perabotan saja, muncul di awal buku dan akhir buku, sekali-sekali diselipkan di sana-sini, dan hanya sebagai perempuan tak berdaya, tanpa introspeksi diri menarik, tanpa perkembangan karakter.
Awal buku ini menjanjikan, dengan fokusnya pada Tinung serta tokoh-tokoh di sekelilingnya, dan bagaimana Kalijodo menjeratnya menjadi wanita penghibur. Tetapi setelah itu, ceritanya bergeser tanpa peringatan sama sekali ke Tan Peng Liang, dan konflik antaranya, sebagai kiau seng, dengan Kong Koan. Tinung menghilang.
Mungkin awalnya novel ini lebih mengenai Tan Peng Liang dan dinamika internal Kong Koan, dinamika antara kiau seng dan Tionghoa "tulen", dan penerbit merasa ini tidak akan menjual buku, sehingga judul diubah menjadi cabaukan, yang terdengar lebih sensasional dan menarik konsumen. Terkesan Tinung dipaksakan jadi protagonis, tetapi memang keseluruhan buku ini bukan untuknya.
Kecele, seperti Tan Peng Liang yang menipu Kong Koan dengan uang palsunya. Untuk itu, satu bintang.
Sastra klasik yang menurut aku pribadi masih relevan untuk dibaca di zaman sekarang. Tentang kisah cinta antara wanita pribumi dan keturunan Tionghoa di Indonesia pada masa penjajahan kolonial hingga penjajah Jepang.
Buku ini juga sangat kental membahas isu-isu feminisme hingga dominasi budaya patriarki yang menganggap perempuan hanyalah sebagai pemuas untuk laki-laki.
Konflik yang diangkat lumayan rumit dan banyak tokoh-tokoh dengan nama Tionghoa yang mungkin akan sedikit membingungkan. Tapi rekomendasi dari aku selain membaca novel nya bisa juga menonton film nya, agar lebih terbayang setiap karakter dan nama tokoh yang ada di novel ini.
Novel ini juga mengingatkan bahwa di balik kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari kisah-kisah budaya-budaya Tionghoa yang dahulu melekat dalam sejarah Indonesia, yang aku pikir ini perlu diketahui oleh setiap orang. Terlebih tentang sejarah-sejarah yang tidak diceritakan di bangku sekolah.
"Cinta cuma satu. Kagak perlu takaran. Takaran bisa membikin cinta jadi dua. Dua bikin permusuhan. Permusuhan bikin perkelahian."
Kisah cinta beda etnis antara Tinung dan Tan Peng Liang yang masanya panjang.. Dari jaman Kolonial Belanda, pendudukan Jepang, revolusi 45, hingga pasca-revolusi. Novel roman budaya yang dikemas dengan apik. Tebal 384 halaman menjadi tak terasa karena ceritanya memikat sekali.
Menjadi unik karena penulis mengangkat etnis Tionghoa di sini. Cerita yang masih jarang dan kurang mendapat perhatian. Novel ini banyak menggunakan bahasa daerah yang khas, bahasa jawa, betawi, hingga petuah-petuah dalam bahasa cina. Favorit.
Bahasanya ringan, sederhana, alur ceritanya juga tidak rumit. Tidak ada part berulang. Novel ini jelas bisa dinikmati pembaca yang mau kenalan dengan cerita historical fiction.
Jalan ceritanya seru. A real page turner. Tapi rasanya terlalu banyak peristiwa yang terjadi secara kebetulan, juga kurang meyakinkan ketika mengisahkan petualangan karakter utamanya di laut dan darat yang begitu luas itu karena narasinya yang banyak lompat-lompat. Yang menarik dari novel ini adalah bahasa yang digunakan Remy Sylado terasa liat dengan campuran berbagai kata dan istilah pasaran dari bahasa Tiongkok, Sunda, dan Jawa dalam dialognya. Tidak heran jika Remy yang mendaulat dirinya sebagai munsyi itu dapat begitu lihai menggunakan keahliannya dalam berbahasa pada karya fiksinya. Sekarang saatnya melihat bagaimana Nia Dinata menafsirkan novel ini dalam filmnya yang belum sempat saya tonton itu.
"Sebagai separuh Tionghoa, harus saya akui, sifat-sifat ketionghoaan yang kukuh sekaligus berbelit-belit pada istiadat dan kepercayaan, mengalir nyata dalam darah saya. Sifat-sifat itu saya sadari, tak gampang putus dalam roh dan jiwa setiap Tionghoa."
Dilahirkan sebagai separuh Tionghoa, seperti agaknya Tan Peng Liang, betul-betul membuat saya berpikir dan merenung tentang jati diri sendiri selama membaca buku ini. Saya dibuat tertawa, bingung, merenung, dan menangis selagi menyelami lembar-lembarnya. Terima kasih saya kepada KPG yang mencetak ulang buku-buku Remy Sylado baru-baru ini hingga akhirnya dapat mencapai saya sebagai salah satu pembaca dan penikmat karya Remy Sylado yang baru. Buku ini akan saya simpan rapat-rapat dalam hati.
Perpaduan novel roman dan budaya yang dikemas dengan sangat apik. Awalnya saya mengira bahwa novel ini hanya mendetilkan sudut pandang Tinung saja tetapi sampai di akhir cerita, Remy Silado mendetilkan semua peran dan latar yang ada dalam kisah ini. Dinamika ceritanya jelas, saya sampai harus mengulang-ulang beberapa chapter karena ingin kembali larut dalam kedetilan ceritanya.
Novel ini memiliki tebal 406 halaman dengan 35 bab, karena ingin menghabiskannya selama satu minggu makanya mau tidak mau sehari harus membaca lima bab. Yang terjadi justru berkebalikan, dalam satu hari saya bisa membaca 7-10 bab karena kisah klasiknya yang begitu memikat.
Have watched the movie version by Nia Dinata so many times, also a fan of the soundtrack "Waktu kan menjawab" performed by Warna. In the film, Tinung was the central character but in the novel I think Tan Peng Liang is the central. It's Tan Peng Liang (TPL) and his universe. More interesting story about Sutardjo (TPL's cousin) and Max Awuy (the journalists). Also I found Tan Soe Bie character is interesting, TPL's nephew. He is a devoted man, but always in anger. He is lost. Not much told about TSB except about his father's death. All in all, the novel is rich with Indonesia's history related colonialism and oriental influences.