Membahas kematian bisa menimbulkan sebuah “Perubahan yang menyiapkan kepedihan pada jiwa manusia, yaitu kesadaran dan keyakinan bahwa mati pasti akan tiba dua musnahlah semua yang dicintai dan dinikmati dalam hidup ini.
Kesadaran itu memunculkan penolakan bahwa kita tidak ingin (cepat) mati. Sebuah penolakan yang muncul dari rasa takut dan ketidaktahuan. Bagi kaum eksistensialis, kematian adalah suatu derita dan musuh bebuyutan yang terlalu tangguh untuk dikalahkan. Prestasi akal budi manusia yang telah melahirkan peradaban iptek supercanggih tetap tidak akan pernah mampu menelusuri jejak malaikat maut.
Berbagai upaya untuk memperpanjang usia dan mengatasi penyebab kematian selalu saja jadi objek riset ilmuwan, meskipun masih dianggap sebuah utopia. Berusaha menyembuhkan penyakit itu bagus. Namun, menolak dan membenci kematian bisa jadi hanya akan menambah derita dan beban hidup.
Toeti Heraty was born in 1933. An outstanding Indonesian poet with a powerful vision she is also a philosopher an art historian and a human rights activist well known for both her opposition to the Suharto regime and for her feminism.