India dan Nepal, negara yang menjadi impian banyak traveler untuk dikunjungi dan dijejaki. Eksotisme, kekhasan budaya dan masyarakatnya, juga ragam tempat wisata, hanya beberapa hal menarik dari Negeri Hindustani dan Negeri di Atas Awan ini. Dan penulis tak sekadar berkunjung ke belasan kota di dua negara tersebut. Ia berinteraksi, berbincang, dan kemudian mencatatnya dengan tuturan yang memikat dan penuh warna. Bila Anda bosan dengan buku-buku traveling yang sekadar mendeskripsikan tempat dan petunjuk berkunjung, Anda harus membaca buku ini.
***
"Ade tidak hanya membawa Anda berkelana ke tempat-tempat indah dan eksotis, tapi juga mengajak Anda bersilaturahim dan berbincang hangat dengan penduduknya. Great writing." –DR. Hasanudin Abdurakhman, Direktur perusahaan Jepang dan penikmat traveling
“Menelusuri desa dan kota-kota asing di India, bahkan hingga ke Pegunungan Himalaya. Menjejak jalanan yang sulit, dengan mobil tua, bus kumal, kereta ekonomi, bahkan jalan kaki; pun tanpa banyak paham bahasa lokal. Menemukan berbagai pengalaman menarik, mengharukan, dan terkadang lucu. Buku ini mencatat kehidupan dengan sangat hidup. Luar biasa!” –Dina Y. Sulaeman, penulis buku Journey to Iran
"Membaca buku ini seperti 'menonton' pentas aneka drama kehidupan yang berlangsung seru. Dituturkan secara memikat oleh seorang backpacker muslimah yang jatuh hati pada India, dan saya pun ikut larut dan jatuh hati pada keindahan interaksi mereka.” –Imazahra, Backpacker dan penulis buku Long Distance Love dan Kuliah Gratis ke Luar Negeri, Mau? #2,
“Ade is not only a traveller but a keen, sensitive, and observant woman. For her travel is as much about sights and its about understanding people, society, and culture. She has understood the Indian society very well and her stories are honest and heartwarming from the amazing and mysterious land called India. A must read for all.” –Manoj Gupta, A traveler and a trekker live in New Delhi
Ade Nastiti adalah nama pena dari Ade Siti Barokah. Sejak kecil cita-citanya sederhana, ingin berkelana dan menyentuh salju. Impian ini terpenuhi ketika ia dan keluarganya mengunjungi Snowy Mountain di Australia tahun 2000. Perjalanan itu membawa kesan mendalam hingga menyeretnya pada impian berikutnya, mengetahui lebih jauh kehidupan masyarakat di daerah pegunungan.
Sepuluh tahun kemudian, Agustus 2010, ia berkesempatan mengunjungi Ladakh, salah satu kawasan paling tinggi di dunia dan membaur dengan masyarakat setempat. Barisan pegunungan Himalaya yang bersalju menjadipemandangan setiap hari. Tak lama setelah itu, ia mendapat fellowship untuk pelatihan selama 10 minggu di India dan melakukan field tripke Nepal. Ia tidak suka menghabiskan waktu luang dengan menonton TV, maka setiap skhir pekan ia melakukan perjalanan ke berbagai kota yang kisahnya bisa Anda baca dalam buku-bukunya,
Traveling dan menulis adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan dari dirinya. Tak heranprofesi yang dijalani selulus dari UGM adalah jurnalis dan monitoring specialist pada program pemberdayaan masyarakat. Profesi ini telah membawanya mengunjungi semua provinsi di Indonesia dan puluhan negara lain. Kini ia bekerja sebagai project manager pada Partnership for Governance Reforms di Jakarta.
Saya pertama kali membaca tulisan perjalanan Ade Nastiti di Multiply. Karena pekerjaannya yang berhubungan dengan pemberdayaan masyarakat dan sebelumnya jurnalis, sudah semua provinsi di Indonesia dia jelajahi, dan tidak selalu dengan nyaman melainkan penuh petualangan, seperti ketika mesin kapal yang dia tumpangi mati dan rombongannya terombang-ambing di tengah lautan Papua yang mahaluas selama berjam-jam. Dan saya membaca tulisan-tulisannya degan kagum sekaligus, tentu saja, sedikit iri :D Teringat cara bercerita Mbak Ade yang seru, menyentuh tapi tidak berlebihan alias lebay, buku ini langsung masuk daftar wishlist saya ketika diterbitkan Lingkar Pena.
******
Buku ini dibuka dengan kisah pertemuan penulis dengan seorang swami atau orang suci, dalam gerbong kereta yang membawanya dari Kolkata ke Delhi. Sang swami yang bertelanjang kaki dan hanya memakai lilitan kain di tubuh, kemudian membuat penulis terenyak karena dengan bahasa Inggris yang sempurna, dia bertutur tentang keyakinan yang bersifat universal, bahwa Tuhan tidak hanya bisa ditemui melalui satu agama tertentu, terbukti dengan kefasihan sang swami melafalkan ayat Al-Qur'an. Dia berkata bahwa dia masih berada dalam tahap pencarian dan bukan tidak mungkin suatu hari nanti mereka akan kembali bertemu, dengan sang swami memakai jas dan dasi. Sebelum turun dari kereta, pria muda itu bertanya, "Apakah Anda juga sedang mencari?"
Melalui prolog yang menohok itu, saya kemudian mengikuti perjalanan penulis menyusuri India dan Nepal. India yang berwarna-warni, riuh dan padat, serta penuh paradoks. Beberapa kotanya membawa Anda seolah terlempar puluhan tahun ke belakang dengan kesederhanaan dan berbagai keterbatasan hidup, sementara kota-kota lain seperti Gurgaon, dijejali kemodernan yang menyolok sehingga Anda merasa seperti bukan berada di India. Sementara ada keluarga yang mesti hidup di gorong-gorong demi sekadar dapat menyambung napas, salah satu orang terkaya di India membangun rumah 27 lantai senilai 1 miliar dolar. Mungkin dalam beberapa hal, tidak terlalu berbeda dengan Indonesia...
Selain menyajikan kisah-kisah tentang berbagai destinasi seperti Sungai Gangga, Taj Mahal, Pangong Tso yang menjadi tempat syuting Three Idiots, Kuil Khajuraho atau lebih dikenal sebagai Kuil Kamasutra yang membuat penulis tersipu-sipu, buku ini juga bercerita tentang interaksi penulis dengan penduduk setempat maupun sesama traveler yang dia temui selama perjalanan. Dan seperti di semua buku traveling yang pernah saya baca, bagian 'hubungan antar-manusia' ini selalu menjadi favorit saya. Salah satunya ketika penulis mengobrol dengan Arjit, seorang penarik becak tangan di Kolkata. Sebagai manusia normal, tentu dia tidak tega melihat manusia lain mesti bekerja seberat itu, menarik becak dengan berjalan atau berlari. Tapi Arjit dengan santai menjawab, "Memangnya ada ya pekerjaan yang tidak berat?" jleb!
Saya juga ikut mikir saat penulis mendapatkan jawaban tentang kesannya mengenai orang India yang gemar bicara, rajin mendebat, selalu ingin menonjol dan tidak mau kalah: "...penduduk kami sekarang sudah lebih dari 1 miliar dan akan terus bertambah, sementara resource kami tak berubah. Sejak lahir kami sudah harus bersaing dengan sangat ketat. Kami sadar, jika kami tumbuh biasa-biasa saja, kami hanya akan meneruskan tradisi kemiskinan keluarga..." (hal. 200)
Bicara tentang India dan Nepal, negeri yang dipenuhi nuansa spiritualisme, sering kali tak bisa dipisahkan dengan cerita magis atau apalah namanya. Dan penulis beberapa kali juga merasakannya sendiri. Misalnya ketika penulis 'diramalkan' oleh Nenek Dolma yang merawatnya saat dia jatuh sakit di ketinggian Ladakh, bahwa dia akan segera kembali ke India dalam waktu dekat, dan ternyata ramalan itu terbukti. Oh ya, satu catatan tentang rentang waktu ini, saya sempat bingung saat penulis menggunakan kata dulu dan sekarang sewaktu bercerita tentang beberapa tempat. Dan setelah membaca agak jauh saya baru ngeh kalau travelogue ini disusun berdasarkan dua kali kunjungan ke India. Sekadar saran, mungkin ada baiknya penjelasan mengenai hal itu dicantumkan di bagian depan.
Salah satu cerita perbatasan yang sangat menarik adalah acara penurunan bendera di perbatasan Attari, yang dilakukan serempak di sisi India dan sisi Pakistan. Setelah tari-tarian dan yel-yel yang memuji negara masing-masing, gerbang perbatasan kemudian dibuka, dan pengunjung dari pihak India maupun Pakistan kemudian antre untuk bersalaman. Lucunya, penulis bersalaman dengan sesama turis di sisi Pakistan, yang berambut pirang dan mengenakan topi bertuliskan Toraja, Sulawesi Selatan! Keriaan ini kembali mengingatkan saya bahwa perbedaan, pemisahan, peperangan dan perselisihan di berbagai penjuru dunia sebenarnya hanya terjadi akibat tangan-tangan penguasa yang gatal ingin mengatur dunia sesuka mereka. Sementara rakyat biasa hanya menginginkan perdamaian dan kesejahteraan.
Sayang perjalanan penulis ke Pakistan tidak ikut dimasukkan dalam buku ini. Sementara perjalanan ke Nepal tidak terlalu banyak diulas, mungkin karena waktu kunjungan penulis yang singkat ke negara tersebut, dan saat itu pun Nepal sedang dilanda kabut tebal.
Buku ini ditutup dengan pesan manis bahwa sebanyak apa pun negara yang kita kunjungi, sehebat apa pun petualangan yang kita alami, tujuan terindah yang bisa kita datangi setelah jauh berkelana adalah rumah dan pelukan orang-orang terkasih.
Catatan: Satu pertanyaan saja: apa filosofi di balik istilah 'traveling beauty' yang menjadi slogan seri perjalanan terbitan Lingkar Pena? :)
Catatan lagi: Entah mengapa saat membaca buku ini, puisi Barat dan Timur karya Abdul Hadi WM terus terngiang. Maka izinkan saya menyalinnya di sini.
Barat dan Timur adalah guruku Muslim, Hindu, Kristen, Buddha Pengikut Zen dan Tao Semua adalah guruku Kupelajari dari semua orang saleh dan pemberani Rahasia cinta, rahasia bara menjadi api menyala Dan tikar sembahyang sebagai pelana menuju arasy-Nya Ya, semua adalah guruku Ibrahim, Musa, Daud, Lao Tze, Buddha, Zarathustra, Socrates, Isa Almasih Serta Muhammad Rasulullah Tapi hanya di masjid aku berkhidmat Walau jejak-Nya Kujumpai di mana-mana
Semenjak mengenal tulisan perjalanan karya Agustinus Wibowo, saya jadi lebih pemilih dalam menentukan buku tentang perjalanan, kecuali seri The Journey yang saya koleksi dari nomor 1-3. Tapi melihat buku ini tergeletak di tumpukan buku diskon Mizan dengan bandrol 15k, dengan embel-embel Nepal, saya tidak berpikir dua kali untuk membiarkannya begitu saja di tumpukan :D
Dengan sampul wajah seseorang non India, saya berpikir tulisan di dalamnya pastilah akan lebih banyak bercerita tentang Nepal dibandingkan India. Tapi ternyata saya salah. Tertipu dengan judul dan cover. Kecewa? Sedikit sih. Tapi kekecewaan saya terobati dengan gaya penulisan dan pengalaman yang menarik dari penulis yang membuat saya melupakan sejenak 'pencarian' saya terhadap kisah Nepal.
Saya baru tau kalo ternyata mbak penulis ini dulunya adalah anggota blog Multiply. Seangkatan dong, mbak... #eh... Bisa dikatakan apa yang diceritakan penulis di bukunya ini sedikit bertolak belakang dari kisah-kisah India dan Nepal dari Titik Nol-nya mas Gusweng. Jika mas Gusweng menceritakan India dengan segala kekumuhan dan kesemrawutan dari banyak aspek, termasuk rumah sakitnya, mbak Ade ini menulis tentang India lebih ke pengalamannya yang menyenangkan. Memang disinggung juga tentang berbagai paradoks yang terjadi di India. Tapi membayangkan perjalanan mbak Ade ini sepertinya poaradoks itu tidak terlalu mengganggu. Saya juga ingat membaca kisah tentang India yang ditulis oleh Gola Gong yang juga banyak menyinggung kekumuhan dan kesemrawutan India. Gola Gong bahkan sempat kecewa dengan penduduk India yang ia bayangkan searif kisah-kisah pewayangan yang ia baca waktu kanak-kanak.
Mbak Ade ini juga sangat beruntung mendapatkan perjalanan gratis yang dibiayai oleh kantor dimana ia bekerja. Tapi tentu saja bukan hanya itu faktor utama tersajinya buku ini. Rasa empati dan simpati terhadap sesama serta kecintaannya pada traveling membuat buku ini menarik. Selain beruntung, mbak Ade ini juga sangat mengagumkan dengan atributnya sebagai seorang Muslim, berjilbab pula. Penduduk Muslim di India memang tidak banyak, dan penduduk India juga tidak asing dengan agama Islam. Tapi berada di tengah mayoritas non Muslim serta tetap menjalankan ibadah dengan tepat adalah hal yang membuat saya kagum. Bayangkan, di tengah cuaca ekstrem, penulis tetap melakukan puasa. Kalau saya sih, pasti akan lebih banyak ngelesnya. Toh bisa dibayar nanti kalau saya balik ke Indonesia. Jadi bolehlah ngga puasa selama disini. Mungkin karena itu pula, rejeki perjalanan diberikan pada mbak Ade, bukan ke saya.... hahahaha... #apasih...
Meski pada awalnya saya berharap bakal banyak kisah tentang Nepal, tapi ternyata India mendapatkan porsi jauh lebih banyak. Tapi dengan begitu saya justru menganal India lebih dekat lagi. India ternyata memiliki kota yang disebut kota IT dengan teknologi canggihnya, ada pula kota dengan institusi pendidikan terbanyak, dan juga sebuah kuil yang terkenal dengan Temple of Love (khusus bagian ini saya buka Google image hahahaha...). Sebaliknya India juga memiliki tempat-tempat kumuh, namun memiliki penduduk yang ramah dan baik hati. Belum lagi bahasa-bahasa daerah yang tidak ada bedanya dengan Indonesia.
In short, saya rekomendasikan buku ini kepada siapapun penyuka traveling, terutama di daerah-daerah yang tak jarang dijangkau para turis pada umumnya. Cara penyampaian yang detil membuat pembaca serasa mengalami sendiri perjalanan. Sayangnya, typo bertaburan dimana-mana termasuk typo nama-nama yang sangat mengganggu. Tapi overall, asik kok :D
“Perkataan Swami Ananda Prakash tentang pencarian tadi kembali terngiang. Apa yang kucari? Dan Apa yang kutemukan?” [h.19]
Begitu mendengar/ membaca nama India, yang muncul di kepala saya adalah Delhi, Sungai Gangga, Taj Mahal, dan satu lagi yang tidak ketinggalan Bollywood. Saat kuliah, saya sering menjumpai mahasiswa pertukaran asal India yang mengenakan sari, untuk yang perempuan, dan kurta, bagi yang laki-laki. Terlihat sekali rasa bangga dan percaya diri terhadap bangsanya. Rasa percaya diri inilah yang sempat dipaparkan penulis dari pernyataan temannya, Pooja.
"penduduk kami sekarang sudah lebih dari 1 miliar dan akan terus bertambah, sementara resource kami tak berubah. Sejak lahir kami sudah harus bersaing dengan sangat ketat. Kami sadar, jika kami tumbuh biasa-biasa saja, kami hanya akan meneruskan tradisi kemiskinan keluarga" (hal. 200)
Maka tidak aneh jika kemudian saya bertemu dengan orang India yang begitu cerewet menanyakan ini itu. Benar-benar semangat belajar yang patut ditiru, sudah pasti dalam hal yang positif. Mengenal karakter dan psikologis penduduk inilah membuat buku ini semakin menarik untuk ditekuni.
Buku ini tidak menawarkan tips mendetail, rincian biaya, dan akomodasi saat melakukan perjalanan ke India & Nepal, seperti yang sekarang sedang marak ada di dalam buku-buku traveling. Namun, dari kisah perjalanan penulis, saya diajak untuk berempati dan mengenal kehidupan India & Nepal lewat obrolan dan canda Mbak Ade dengan masyarakat setempat. Tak hanya itu, Sepanjang membaca perjalanan penulis, saya mendapat suguhan deskripsi tempat-tempat yang dikunjunginya sekaligus pelajaran tentang banyak hal, seperti sejarah, kehidupan, budaya, tenggang rasa, dan ideologi.
“Perjalanan seperti ini selalu membuatku lebih menghargai hidup. Bagiku, tujuan perjalanan memang tidak semata melihat keindahan atau kemegahan, tapi menemukan hal-hal berbeda di luar sana dan belajar melihatnya dengan kacamata mereka.” [h.76]
Pengalaman penulis yang paling berkesan buatku adalah saat mengunjungi ke sekolah yang menjadi inspirasi film Three Idiots. Terbayang di kepala saya, sekolah alam yang benar-benar mengoptimalkan potensi alam dan anak-anak. Menciptakan daya listrik sendiri, menanam sayuran, memasak menu makanan, dan masih banyak aktivitas lain yang membuat saya sendiri ingin mampir ke sana.
Pengalaman penulis berkunjung ke rumah keluarga miskin dan membawakan bahan makanan bersama Yugo, Pooja, Shedeev dan perbincangan Arjit, sang penarik becak tangan, memperlihatkan bentuk kemiskinan akut yang juga melanda negeri India, dan menampakkan ketimpangan social yang cukup tinggi ketika dibandingkan dengan kisah penulis ketika mampir ke kota Gurgaon.
Walaupun Nepal tidak terlalu banyak dibahas, tapi eksotisme negeri di atas awan itu cukup terlihat lewat cerita dan foto-foto yang terlampir di sela-sela kisah. Tak luput dari sorotan, penulis juga menceritakan dua negeri yang sarat aura spiritual. Mulai dari bertemunya dia dengan titisan Sang Rama, mendatangi seminar antar agama, hingga kena tipu pendeta abal-abal, memperlihatkan keunikan titual, keberagaman aliran agama, sekaligus ‘sisi negatif’ yang terselip dalam aktivitas keagamaan.
Kisah yang dituturkan penulis yang terasa sangat mengalir dan terasa seperti ‘mendongeng’ ini ditutup dengan manis. Bahwa di manapun kita berada, meski sangat jauuuuuh diujung bumi, tapi keluarga selalu menjadi muara kerinduan yang menggelayuti perjalanan kita. Nice!
India. Negara kaya warna ini bukan destinasi impian saya. Namun, sekelar membaca Two Travel Tales, saya harus bernegosiasi ulang dengan diri. Saya harus ke sana!
Kebanyakan orang memandang India sebagai negeri yang eksotis. Dan, orang-orang acap ke sana untuk memburu eksotisme India. Namun, saya teringat dengan ucapan Agustinus Wibowo, penulis Selimut Debu dan Garis Batas, dalam sebuah kesempatan di Surabaya, "Apa itu eksotisme?" Dia seakan-akan mempertanyakan kembali dengan nada agak skeptis pada antusiasme orang-orang menjelajahi negeri-negeri di timur. Mengejar eksotisme?
Saya kira, Agustinus Wibowo dan Ade Nastiti memiliki semangat yang sama. Bukan eksotisme yang mereka buru dalam perjalanan mereka. Bukan pula memosisikan diri sebagai turis yang hanya datang melihat-lihat, mengabadikan lanskap, dan tak banyak interaksi dengan penduduk lokal. Saya pikir, bukan pula karena mereka penulis perjalanan lantas mewajibkan diri untuk berinteraksi dengan orang lokal demi mendapatkan cerita. Tapi, lebih jauh dari itu. Lebih jauh dari itu.
"Di balik kebersahajaannya, manusia yang hidup ribuan tahun lalu ini ternyata telah menuliskan sejarahnya. Dari gambar-gambar itu generasi berikutnya belajar tentang bagaimana mencari makan, tentang berjuang, berinteraksi dengan sesama, dan tentang bagaimana menyembah Tuhan. Jika manusia yang hidup di zaman batu saja telah berinisiatif untuk meninggalkan jejak-jejak keseharian mereka, bagaimana dengan aku yang hidup di abad ke-20 ini,... Tuhan, seketika aku merasa sangat kecil. Dari Bhimbetka aku belajar bahwa rekam jejak hidup seseorang hanya bermakna jika ditinggalkan dan diwariskan" (hal. 34-135).
Beruntung Ade Nastiti melakukan perjalanannya ini di sela-sela pelatihannya sebagai salah satu orang yang berkecimpung dalam program pemberdayaan masyarakat. Kala rekan-rekannya yang lain menghabiskan 'weekend' dengan istirahat, ia justru mengasah instingnya sebagai pejalan. India hingga Nepal ia jajaki. Namun, porsi kisah perjalanannya jauh lebih banyak tentang India. Nepal hanya singkat saja. Terasa kurang dan tidak berimbang, tentu saja.
Namun, cerita tentang India yang menghabiskan hingga dua ratus delapan puluh delapan halaman buku ini, amat menarik disimak. Mulai dari perjumpaan Ade Nastiti dengan pendeta Hindu di kereta yang menjentik alam bawah sadarnya tentang makna pencarian, dirawat dengan penuh kasih sayang oleh Nenek Dolma di gompa Buddha, merasakan takbiratul ihram di di gurun pasir dengan latar Pegunungan Himalaya bersalju, 'terlempar' di Kolkata - kota penuh ironi yang jadi latar novel City of Joy, mengunjungi situs-situs Budha, mengikuti pooja bersama kaum Sikh, mendapat kejutan demi kejutan budaya dari temannya yang asli India, 'merinding' oleh kemegahan Taj Mahal dan kisah cinta di baliknya, ziarah ke Sungai Gangga di bagian Risikesh - yang lebih bersih dan jernih tinimbang Varanasi, serta mengunjungi Gurgaon yang menjadi kota satelit dan ikon kesuksesan kaum muda India.
Hal yang membuat saya terkesan adalah penulis tidak melulu membawa saya ke tempat-tempat turistik. Saking cair perjalanannya, ia membiarkan dirinya mengikuti ritme lokal. Ikut masuk ke gurudwara, tempat ibadah kaum Sikh. Ia sempat pula merasakan jadi orang terpilih bagi Sang "Rama" di sebuah kuil Hindu, padahal orang-orang Hindu lokal justru amat berharap di posisi tersebut. Juga pengalamannya bersinggungan langsung dengan kemiskinan di salah satu sudut Delhi, ibukota negara yang menyimpan paradoks dalam kemegapolisannya. Kalau bukan karena jalinan persahabatan penulis dengan orang-orang India asli, tentu momen-momen langka itu tak akan pernah ia alami.
Riset. Itulah kekuatan buku perjalanan pertama dari seri 'traveling beauty' yang diterbitkan oleh Lingkar Pena ini. Terasa sekali ketekunan penulis dalam merekam, memotret, dan mencatat detail perjalanannya. Deskripsinya tidak sekadar hidup, namun mampu menambah asupan pengetahuan bagi pembaca. Bukan jenis buku yang butuh waktu sekali duduk membacanya, disebabkan ragam informasinya yang sarat dengan kata-kata dalam bahasa Hindi yang disematkan di sana-sini. Kelihaian penulis yang telah menelurkan dua novel, yakni Serenade Dua Cinta dan Two Lovely Hearts, ini begitu terasa dalam rangkaian kalimatnya yang sastrawi. Kadang pembaca dibawa ke beberapa tahun silam, menyapa sejarah. Namun, penulis juga tak lupa 'merangkul' pembaca, memijak masa kini.
Sebuah buku yang akan membetot perhatian dan membuat Anda ingin berjauhan sejenak dari film-film Bollywood yang penuh polesan.
Cerita mba Ade Nastiti menyusuri India dimulai dari Ladakh. Bagi yang pernah menonton 3 Idiots, pastinya akan terpesona dengan danau yang muncul di adegan terakhir film tersebut. Ya, di daerah Ladakh inilah lokasi danau tersebut berada, dengan nama Pangong Tso.
Ketika menjejakkan kakinya di Leh, ibukota Ladakh, negara bagian tersebut ternyata baru saja dilanda banjir. Meski begitu, hal ini tidak menyurutkan niat mba Ade untuk bisa sampai di Pangong Tso. Dengan bantuan seorang sopir taksi, mba Ade menyusuri jalan-jalan di kota tersebut. Sayangnya kondisi udara yang minim menyebabkan Ade Nastiti jatuh pingsan. Selama berhari-hari kemudian, Ade Nastiti terperangkap di sebuah desa terpencil di pegunungan Himalaya, dan dirawat oleh seorang nenek bernama Dolma.
Dalam kondisi tubuh yang masih sakit, mba Ade tetap merencanakan untuk pergi ke Kardhung La dan Pangong Tso, dua tempat yang memang menjadi tujuan utamanya. Sayangnya keinginannya tersebut nyaris tidak mungkin diwujudkan. Untuk bisa mengunjungi Khardung La, pengunjung diharuskan melewati banyak check point. Hal ini dikarenakan letaknya yang berbatasan dengan Cina dan Pakistan. Selain itu untuk warga non-India yang ingin berkunjung kesana diharuskan memiliki izin khusus, dan hal inilah yang tidak dimiliki Ade Nastiti.
Beruntung selama masa evakuasi, mba Ade Nastiti menjalin hubungan yang cukup baik dengan salah satu sukarelawan bernama Mr. Kurjeet Singh. Orang inilah yang kemudian membantu Ade Nastiti mewujudkan keinginannya mengunjungi Khardung La, bahkan lebih cepat ketimbang backpacker lain yang juga ingin ke sana. Selain Khardung La, mba Ade Nastiti juga berhasil menjejakkan kakinya di Pangong Tso, dan SECMOL, sekolah yang menjadi inspirasi di film 3 Idiots.
Setelah menuntaskan impiannya mengunjungi Pangong Tso, tak disangka Ade Nastiti lagi-lagi mendapat kesempatan untuk kembali ke India. Kali ini melalui sebuah program pelatihan 10 minggu di India dan Nepal.
Selama 10 minggu inilah Ade merasakan sendiri bagaimana kehidupan di India, berkenalan dengan teman-teman baru, hingga membentuk sebuah kelompok bernama Cara Ibdradhanu'a yang berarti empat pelangi. Adalah Pooja, seorang gadis asli India, yang menjadi salah satu kawan terdekat mba Ade Nastiti. Dalam buku ini, Pooja digambarkan sebagai sosok yang mewakili generasi muda India saat ini. Ia sangat percaya diri, terkesan agak sombong, show off, dan suka menjadi pusat perhatian.
Tentang hal ini, Manoj, kakak angkat mba Ade di Delhi memberikan penjelasan.
"Bayangkan saja, De, penduduk kami sekarang sudah lebih dari 1 miliar dan akan terus bertambah, sementara resource kami tak berubah. Sejak lahir kami sudah harus bersaing dengan sangat ketat. Kami sadar, jika kami tumbuh biasa-biasa saja, tidak outstanding, kami hanya akan meneruskan tradisi kemiskinan keluarga, akan memenuhi jalan-jalan kumuh di India, tinggal bertumpuk-tumpuk di bedeng jorok, berebut kamar mandi setiap pagi dan makan chappati basi. Atau jika tidak, kami akan menjadi imigran di Eropa, Singapura, atau Malaysia; menjadi spir taksi atau cleaning service. Jadi harus dimaklumi kalau kami seolah selalu bergegas, tak boleh ketinggalan sedetik pun." (hal. 200).
Selain mengikuti pelatihan, waktu 10 minggu tersebut dimanfaatkan mba Ade Nastiti untuk kembali menjelajahi sudut-sudut kota dari negerinya Shahrukh Khan ini. Menyaksikan bagaimana paradoks-nya kota Delhi, mengunjungi Amritsar, negerinya para Punjabi dimana beliau berkesempatan menyaksikan sendiri parade penurunan bendera yang dilakukan setiap hari di perbatasan India an Pakistan, tak lupa juga beliau menyusuri Sungai Gangga yang begitu terkenal itu berikut kota-kota di sekitarnya, dan terakhir, mengunjungi Gurgaon, sebuah kota yang disebut-sebut sebagai simbol kebangkitan India.
***
Membuka wawasan dan kaya warna, itulah yang bisa saya ungkapkan setelah selesai membaca buku mba Ade Nastiti yang satu ini. Bagaimana tidak? Selama ini saya hanya mengenal India dari film-film Bollywood yang sudah menemani saya sejak kelas 4 SD. Nama-nama seperti Sungai Gangga, kota Bombay (sekarang Mumbai), gadis dengan kain sari, perayaan diwali, bukanlah hal yang asing bagi saya. Namun melalui buku ini, saya baru sadar begitu banyak hal yang tidak saya ketahui tentang India.
Dalam salah satu perjalanannya misalnya, mba Ade menceritakan bagaimana ia hampir saja memasuki tempat ibadah pemeluk agama Sikh, yang sepintas sangat mirip dengan mesjid. Mba Ade juga bercerita tentang pengalamannya menunggu kereta api selama berjam-jam saat akan mengunjungi Amritsar dan tentunya kerinduan beliau akan makanan daging karena rata-rata penduduk India adalah vegetarian.
Membaca buku ini membuat saya menemukan sebenarnya dari negara India. Jauh dari kesan mewah yang selalu ditampilkan dalam film-film Bollywood, namun tetap menyisakan keindahan untuk dicintai.
Saya tidak mengerti kenapa buku ini bisa tidak tersedia di Gramedia Palembang sampai saya harus memesan secara online. Tapi, 'perjuangan' mendapatkan buku ini tak sia-sia. Buku ini adalah salah satu buku perjalanan terbaik yang saya punya.
Aah, sepertinya harus membaca ulang untuk membuat ulasan secara utuh. :)
Gaya bercerita Ade Nastiti sangat menyenangkan. Ditambah dengan pengalamannya berkomunikasi langsung dengan penduduk lokal, membuat pentualangan India dan Nepal yang ditulisnya menjadi lebih hidup.
◈Bersihkan hatimu untuk Dia yang akan hadir◈ दिल का हुजरा साफ कर, जाना के आने के लिए, ध्यान गैरों का उठा, उसके बिठाने के लिए। "Clear your heart, so that The Beloved may enter. Remove all thoughts, so that Lord can take His seat." ______★ Betapa indahnya kutipan syair puisi Tulsi Saheb yang dibacakan saat Syekh Taki hendak berangkat haji. Salah satu kutipan yang tertulis dalam buku perjalanan yang sangat mempesona ini diantara syair indah dunia lainnya yang mewajahkan kehidupan India dan Nepal. India dan Nepal adalah negara impian untuk dikunjungi. Kaya dengan budaya, seni, dan kehidupan masyarakat yang menjadi salah satu bentuk peradaban dunia. Lewat buku ini rasanya cukup membantu memberi segudang kerlip imajinasi yang membawa jiwa menginjakkan kaki di sana. I wish for it.