You and your students are invited to join the detective, Solomon Hunter, in his hunt for knowledge and a killer. Ettore Gnocchi, the famed postmodern theorist, has been murdered at his own dinner party. Which of his guests could have poisoned, stabbed, and shot him? Was it Shoshana TelAviv, the wife he may have betrayed? Slavomir Propp, the Russian linguist who accused Gnocchi of stealing his ideas? Alain Fess, who may be sleeping with Shoshana? To find out which of these people killed Gnocchi, the detective Solomon Hunter must first explore postmodernism itself. What is it? Who are Baudrillard, Foucault, and Habermas, and what do they think? Why does any of this matter, anyway? Teach your students postmodern theory with this fun and enlightening text.
Daha önce Arthur Asa Berger'den Durkheim Öldü! isimli romanı da okumuştum, Bir Postmodernist İçin Postmortem de önceki kitabıyla paralel bir çalışma. Postmodern teoriyi polisiye roman formatında keyifli bir özetle okura anlatmayı amaçlıyor. Bu tarz kitapların sevmeyeni çok olabilir, yüzeyselliği ve kurgudaki boşluklar-basitlikler eleştirilebilir ama üniversitede giriş seviyesindeki derslerde faydalı ve keyifli olabileceğini düşünüyorum. Yoğun bir roman-kurgu dışı eser okumak istemediğim bir zamanda benim için hoş bir soluklanma oldu.
Ettore Gnocchi mati dalam sebuah jamuan makan malam di rumahnya sendiri. Profesor posmodernisme Universitas Berkeley itu ditembak di jidatnya, ditikam pisau di punggungnya, ditusuk panah di pipinya, dan diracun lewat minumannya. Keempat modus pembunuhan itu berlangsung serentak dan sekejap, tepatnya ketika lampu ruangan mati akibat gangguan listrik. Ada enam orang yang lain di meja makan, dan begitu lampu kembali menyala mereka semua kaget melihat sang tuan rumah telah mati dengan cara mengenaskan.
Di meja makan ada istri Gnocchi, ada mahasisiwi bimbingannya, ada seorang linguis dari Rusia, ada seorang filsuf muda dari Prancis, ada seorang novelis dari Inggris, dan ada seorang feminis asal Jepang. Mereka di sana untuk membantu persiapan acara seminar Gnocchi dan semuanya terhubung oleh satu minat yang sama, apa lagi kalau bukan: Posmodernisme. Pembunuhnya pastilah salah satu dari keenam orang itu. Atau malah, pelakunya bisa jadi lebih dari satu orang.
Lalu seorang detektif datang dan mencoba memecahkan kasus aneh ini. Kalau ini adalah novel detektif seperti pada umumnya, tentunya pembaca akan diajak menelusuri penyingkapan demi penyingkapan yang menegangkan menuju ke pelaku berikut motifnya. Tapi berhubung ini adalah novel yang oleh penulisnya sendiri disebut sebagai “novel misteri akademis” maka hal-hal klisé tidak akan terjadi. Sebaliknya, di sini pembaca akan disuguhi teori demi teori, opini demi opini, perspektif demi perspektif tentang posmodernisme; entah itu yang terpengaruh oleh gagasan Lyotard, Baudrillard, Habermas, atau pemikir posmo lainnya yang seabrek itu.
Interogasi yang dilakukan si detektif kepada setiap tersangka ujung-ujungnya memang selalu membahas tentang apa itu posmodernisme. Si detektif tidak merasa keberatan karena dia mengakui butuh paham dulu tentang posmodernisme demi menguak motif terselubung yang mungkin dimiliki si pelaku. Saya sebagai pembaca juga tidak merasa keberatan karena ternyata rasanya asyik loh menjejali kepala dengan serba-serbi posmo (baik yang akademis maupun yang omong kosong). Pada satu titik, saya bahkan sudah tak peduli lagi dengan pembunuhan yang terjadi.
Bumbu cerita utama dan yang paling unik adalah bahwa setiap tokoh punya keeksentrikan masing-masing yang sangat terpengaruh oleh posmodernisme—yang konsepnya juga didefinisikan secara subjektif. Pokoknya, tidak ada satu tokoh yang sepakat memaknai ide posmodernisme yang sama dengan tokoh lainnya.
Contohnya, ia yang percaya kalau posmodernisme itu meniadakan batas antara keadaan sadar dan mimpi, memperlakukan mimpi buruknya sebagai realitas yang tak terpisahkan dari kesadaran itu sendiri. Ia yang percaya kalau posmodernisme mendobrak batas-batas kebudayaan atau kebangsaan, bisa bebas memilih variasi seks berdasarkan stereotip nasional mana yang dimaui (sambil meminum Moet Chandon dan mendengar Edith Piaf untuk gaya Prancis, atau dimulai dengan khutbah singkat tentang Taurat dan memasang musik Schlomo Carlebach untuk gaya Yahudi). Ia yang percaya kalau posmodernisme adalah suatu kebutuhan akan kebaruan dan narasi, bisa menuangkan visi artistiknya dengan membuat film eksperimental nan absurd demi meraih “15 menit ketenaran” di atas panggung.
Sudah pasti nama-nama seperti Foucault, Thomas Pynchon, Laurie Anderson, David Lynch, Saussure, dan sebangsanya, disebut-sebut dan bersliweran sebagai sosok referensi. Pun demikian dengan istilah-istilah macam metanarasi, hiperrealitas, eklektisisme, komodifikasi, dan sebangsanya, yang sangat efektif jadi agen promosi Google. Semuanya secara acak menempati bab-bab dan jalin-menjalin dalam ikatan teks yang tidak terasa seperti menguliahi walaupun padat oleh teori, dan tidak terasa mendramatisir walaupun ini adalah─bagaimanapun juga─sebuah novel.
Saya belum pernah membaca buku-buku Arthur Asa Berger sebelumnya. Di bagian profil disebutkan bahwa konon beliau sudah menekuni kajian budaya pop saat budaya pop belum diminati kalangan ilmu sosial. Dan memang, seperti yang tersaji dalam novel ini, posmodernisme tidak bisa lepas dari budaya pop sebagai salah satu medium pengaplikasiannya baik itu dalam bentuk musik, film, sastra, atau tayangan iklan televisi sekalipun. Tidak ada lagi yang membeda-bedakan antara filsafat dan showbiz, antara budaya tinggi dan budaya massa, bahkan antara galeri seni dan mall.
Semakin dibaca lagi, saya kemudian merasa kalau Arthur Asa Berger ini adalah profesor serius yang suka iseng. Karena kalau dipikir-pikir, jadinya kocak juga ada satu kasus pembunuhan yang diselidiki lewat jalur ngalor-ngidul posmodernisme seperti ini. Ditambah lagi dengan "keabsurdan" para tokohnya yang seperti tidak punya hal lain untuk dijabarkan sebagai alibi kepada detektif selain gagasan dan “iman” mereka terkait posmodernisme. Saya yakin beliau sengaja ingin membuat pembacanya tergelak sambil mengernyitkan dahi─tepat di persimpangan antara pencerahan dan kekonyolan─dan begitu itu terjadi beliau pun tertawa lepas di belakang layar.
Yang pasti, ini novel detektif yang sangat menarik, unik, dan asyik, dengan kesimpulan kasus pembunuhan yang posmo abis.
Lalu, apakah dengan membaca novel ini saya jadi lebih paham tentang posmodernisme? Sepertinya nggak juga. Tapi sepertinya saya jadi punya alasan kuat bahwa berbeda paham tentang posmodernisme itu adalah hal yang lumrah dan bahkan mesti terjadi, karena mendefinisikan posmodernisme itu rasanya nggak posmo banget deh.
Pembacaan buku ini bermula dari keisengan sekaligus rasa penasaran saya terhadap buku-buku terbitan awal Marjin Kiri. Sebagai orang yang tidak pernah secara spesifik mempelajari posmodernisme sebagai sebuah mazhab atau aliran dalam filsafat, studi, maupun pemikiran; rasanya menarik untuk mengetahui barang satu-dua definisi mengenai posmodernisme itu sendiri. Dan asiknya, Arthur Asa Berger si penulis novel ini merangkumkannya dalam bentuk sajian cerita defektif yang alih-alih seru dan menegangkan, justru membuat pembacanya berpikir dan mencerna. Maka tidak heran jika berbagai macam kutipan dari Jean Baudrillard, Michel Foucault, sampai Jurgen Habermas menghiasi bagian-bagian dalam novel ini.
Novel ini dalam penilaian saya adalah sebagai wujud dari kecanggihan berpikir Arthur itu sendiri, yang dengan caranya yang sekilas nampak main-main dan tidak serius-serius amat, justru malah mengantarkan pembacanya bagi sebuah pengertian-pengertian yang menarik dan menyentil, dengan cara penyajian yang menyenangkan. Setidaknya itulah kesan yang saya dapatkan, sebagai orang yang tidak pernah dengan khusus belajar apa itu posmodernisme, yang ternyata ruwet dan juga -sebagaimana umumnya sebuah pemikiran, belum menemui definisinya yang rigid maupun disepakati dengan pasti.
Bir cinayet öyküsünü merkeze alarak postmodernizmin, günümüz düşünürlerinin eserlerine atıflarla, kurgu mektuplarla dünyayı ve yaşamı anlamanın bir yolu olarak nasıl kullandıklarını anlatan okunması kolay bir felsefe kitabı diyebilirim. Dünyayı yorumlama biçimlerinin herhangi bir sınırı olmadığına ilişkin (F. Nietzsche) görüşler modernist felsefe içinde de yer bulmuş olmasına karşılık, hayat ve tarihe dair birleşmiş ve basit görüşlere, kitapta çok vurgu yapılan "meta anlatılara" karşı çıkmak daha çok postmodernizmin işlevi olmuştur. Merhum profesör Gnocchi'nin düzenlediği konferansa çağırdığı kare as'a (J. F. Lyotard, J. Baudrilliard, J. Habermas ve F. Jameson) yazdığı birbirinden ilginç, eğlenceli mektuplar bir yandan da okuru hızlı bir postmodernizm kursundan geçiriyor.
Postmodernizm, ikinci dünya savaşı sonrasının kültürel durgunluklarına karşı bir tür ethos olarak ortaya çıktığı için, “postmodern” terimini bir dizi şekil, sembol ve formdan ziyade bir eleştirel kültür biçimi olarak yeniden düşünmenin imkanını sunan kitapta, cinayetin çözümlenmesi sırasında, zeki dedektif Hunter'ın desteğiyle, Ettore Gnocchi'nin vurulmadan önce ve "şeylerden önce" öldüğünün teslim edilmesi, profesörün bütün akademik yaşamını adadığı postmodernist düşünceyi son bir kez de ölümüyle kutsamasına yardım ediyor.
Her bölümün başına alıntıladığı eserlerle, ilgilenen ve daha konunun henüz başında olan okurlara nitelikli bir postmodernizm külliyatını da sırasıyla vererek çok şık bir iş yapmış yazar Arthur A. Berger. Yormadan, düşündürerek, merakla okunan bir metin. Tavsiye edilir.
Kasus pembunuhan dan genre-genre cerita detektif yang biasanya memiliki ending yang mengejutkan dan bisa terjelaskan oleh clue bisa berubah menjadi sangat "tak terduga" jika menggunakan pendekatan postmodern.
metode pengungkapan para detektif biasanya rasional dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah untuk menunjukkan pelaku serta motif. Namun, pembunuhan dengan gaya postmodern sama sekali tidak memiliki motif juga sekaligus (terlalu) banyak motif. Begitu pula si pelaku, ia bisa saja menjadi si penjahat atau malah tidak punya motif sama sekali.
di buku ini, postmodern mendobrak semua cara berpikir modern yang menginginkan sebuah akhir yang jelas. Namun, postmodern juga memberi kita kepuasaan saat kita bingung dan merasa berputar-putar dengan semua motif.
saat jenuh dengan genre yang biasa kamu baca, coba saja baca yang ini ^^
Satu dua kali mendengar istilah Posmo (Post-Modernisme) tanpa mengetahui artinya. Alhasil buku ini memberikan sebuah pengertian mendasar beserta terapan-terapan paham tersebut di berbagai bidang, politik, budaya, bahasa, gaya hidup, dsb. Dilukiskan dengan latar depan sebuah drama pembunuhan yang posmo sekalee, kita diperkenalkan dengan pemikiran-pemikiran post modernist dan bagaimana ternyata semua itu sebenarnya telah hadir dan mengada di setiap sisi kehidupan kita saat ini.
Kalo mau tahu ttg postmodernisme, buku ini wajib dibaca... Buku ini pengenalan tentang postmodernisme, jadi masih sederhana dan tidak terlalu berat, walopun agak sedikit ekstrim isinya, hah...
Postmortem for a Postmodernist is Arthur Asa Berger's first novel, a mystery that finds San Francisco detective Solomon Hunter investigating the death of Ettore Gnocchi, "the father of American postmodernism" and a professor at UC Berkeley.
The death is an unusual one. Gnocchi was having dinner at his home with a number of postmodernist philosophers as a prelude to a international conference he was organizing on the subject. The fellow diners included his wife Shoshana TelAviv, French postmodernist Alain Fess, Russian linguist Slavomir Propp, Gnocchi's research assistant Myra Prail, postmodernist novelist Basil Constant and Japanese postmodernist and film maker Myako Fuji.
Gnocchi's death is unusual because all were present when it happened. There was a momentary power failure and the lights went out. A minute later they came back on and Gnocchi was bent over the table, a bullet hole in his forehead, a knife in his back, a poisoned dart in his cheek, and a spilled glass of wine which had been poisoned.
Hunter has his assistant, Sergeant Talcott Weems collect evidence while he sets about interviewing the suspects. Hunter decides that he needs to understand postmodernism to unravel the murder mystery. Each chapter is headed by a quote from a real postmodernist.
During the interviews, Hunter learns more and more about each dinner guest and about postmodernism. After the interviews are concluded, he finds a series of letters from Gnocchi to four real postmodernists inviting them to attend as a presenter at his conference. These also reveal more information about postmodernism and about Gnocchi who seems to be rather duplicitous.
Finally he and Weems view a videotape of Gnocchi's last lecture before he died. A few introspective chapters about the attendees reveals yet more information about their personalities, but not the identity of the killer.
Finally in Agatha Christie style, Hunter assembles the suspects and reveals his conclusions.
As a detective novel, this is an odd duck. It is more a non-fiction introduction to postmodernism than a detective story. And it does not do postmodernism any favours, revealing it as a philosophy tending towards nihilism. While Hunter is somewhat open-minded on the subject, Weems is a good foil as the spokesman for common sense. When Gnocchi on tape questions the validity of language by asking his students, "Are men bald because they have no hair...or does the fact that we have no hair mean we're bald?" Weems reacts.
"What kind of nonsense is this?" he says. "Is this what parents pay thousands of dollars in tuition for?"
Interestingly, hair is also an obsession for Fuji whose film Solipsism has her as the only actress mumbling over and over again, "My hair, my hair...my hair is my life, my life is my hair." Performance art seems to be big in the postmodern pantheon as Laurie Anderson's bizarre O Superman is shown to Gnocchi's class on the tape.
I may do a longer review some time on my blog in which I'll discuss the ideas of postmodernism as presented in the book. There are political overtones with postmodernism's interest in Marxism, but this book looks mainly at consumer culture and what postmodernists call narrative and meta-narrative, code words for traditionalism, which they reject out of hand. They are very interested in popular culture as opposed to high art.
If you're looking for a good thriller, this novel will put you to sleep. It is not edge of your chair stuff. But if you're interested in learning more about postmodernism with a few laughs thrown in, you may find this amusing. I certainly did. The cast of characters are an interesting one, each with their own foibles. They also seem to be involved in a sexual stew - with suggestions of affairs left, right and center though nothing explicit is mentioned except for Myra Prail's discussion of her and her lover's eccentric sex life, which is more funny than erotic.
In any event, read this at your own risk. Read it as an introductory philosophy text, not as a novel. It offers a wide selection of quotes and some interesting discussion.
Ünlü postmodern kuramcı Ettore Gnocchi, evinde verdiği bir akşam yemeği esnasında öldürülür. Konuklarından hangisi onu zehirlemiş, bıçaklamış veya vurmuş olabilir? Kendisi gibi akademisyen olan eşi Shoshana TelAviv mi? Rus dilbilimci Slavomir Propp mu? Tezini Gnocchi'nin danışmanlığında yazmış genç filozof Alain Fess mi? Gnocchi'nin güzeller güzeli ve akıllı öğrencisi Myra Prail mi? Fazla masum görünen İngiliz romancı Basil Constant mı yoksa? Ya da Gnocchi'nin eski öğrencisi şimdilerde film işleriyle uğraşan Miyako Fuji mi?
Gnocchi'yi hangisinin öldürdüğünü bulmak için Dedektif Solomon Hunter'ın öncelikle postmodernizmi keşfetmesi gerekiyor. Postmodernizm nedir? Baudrillard, Foucault, Habermas kimdir ve bu insanlar neler düşünmüştür?
Pek sıradan olmayan bir polisiye hikaye arıyorsanız kesinlikle tavsiye ediyorum. Üniversite yıllarımda postmodernizme dair çok şey anlatıldı. Fakat her defasında bu kuramla ilgili kafamda soru işaretleri beliriyordu. Sürekli olarak anlaşılması zor, muğlak bir soyut düşünce üzerine kafa patlatıyorduk sanki.. Arthur Asa Berger'in "Bir postmodernist için postmortem" kitabı içinden çıkılmaz bu kuramı bize bir cinayet olayıyla anlatıyor. Çünkü cinayeti çözmeniz için 'kuramı" bilmek zorunda kalıyorsunuz.
Ben okurken çok keyif aldım. İnanılmaz eğlendim. Postmodernizmi anlamak açısından da giriş niteliğinde bir kitap.Hikayeler aracılığıyla teorik bir bilgi nasıl anlatılır? Bunun en güzel örneklerinden biri...
Inspector Hunter investigates a subculture mystery. Professor Gnocchi gathers a group of postmodern pundits for a conference. The lights went out! And when they come on, he has been murdered... by four different methods. Can postmodernism answer the question of who the perpetrator is? Indeed, can postmodernism answer any question? When you are finished, will you know more about postmodernism, or even less?
Postmodernitas itu tidak optimis tidak pula pesimistis. Postmodernitas adalah permainan dengan sisa-sisa dari apa yang telah dihancurkan sendiri, itu sebabnya mengapa kita mengalami ‘post / pasca’. Jean Baudrillard dalam Nihilism (38-39)
Membaca judul novel karya Arthur Asa Berger ini serasa melihat pertokoan modern yang sedang runtuh, bagai mana tidak, judul novelnya adalah Terbunuhnya Seorang Profesor Postmodern. Novel itu saya dapatkan tidak sengaja ketika saya sedang mencarikan majalah islami pesanan bapak, judul novel itu begitu mencolok dalam tumpukan novel-novel pop. Saya pun memutuskan untuk segera membeli dan membawa pulang novel itu.
Saya yang hanya sedikit-sedikit tahu mengenai postmodern ini sangat penasaran dengan isi novel itu, dalam perjalanan pulang saya membayangkan pemikiran-pemikiran Barthes, Baudrillard dan juga Foucault, karena saya pertama kali mengenal postmodern dari buku-buku mereka. Tenyata dugaan saya benar, setelah membacanya ada beberapa pemikiran-pemikiran tiga orang itu dalam novel Terbunuhnya Seorang Profesor Postmodern.
Novel itu menceritakan terbunuhnya profesor Ettore Gnocchi yang tidak wajar dengan empat penyebab yang berbeda, lubang kecil bekas peluru ada di keningnya, gagang pisau perak tertancap di punggungnya, anak panah kayu menancap di pipinya dan segelas anggur dengan bau belerang. Tapi senyuman tercipta diwajah Gnocchi.
Gnocchi ditemukan terdungkur di meja dengan empat skenario pembunuhan sekaligus itu ketika dia sedang melakukan jamuan makan malam dengan para kawannya yang juga menulis tentang postmodernisme, antara lain; Shoshana TelAviv, istrinya sendiri yang juga seorang profesor filsafat, Slavomir Propp, seorang linguis Rusia, Alain Fess, cendekiawan asal Prancis, Myra Prail, mahasiswa yang dibimbing oleh Gnocchi, Basil Constant, novelis postmodern asal Inggris dan Miyako Fuji, mantan mahasiswa Gnocchi.
Semua orang yang ada di rumah itu pun kaget dan menelfon Solomon Hunter seorang detektif dari kepolisian. Solomon Hunter adalah tokoh utama dalam novel ini, karena dialah yang selalu muncul dalam semua bab cerita dalam novel ini. Selain itu Hunter jugalah yang menyelidiki kasus pembunuhan Gnocchi lewat pemikiran pemikiran postmodern sampai akhir cerita novel.
“Hunter melihat sekeliling kamar meja Gnocchi. Ruang tersebut dipenuhi buku-buku tentang postmodernisme, sastra, seni, musik dan filsafat. Di atas meja Gnocchi terdapat tumpukan buku karya para penulis yang belum pernah di dengan oleh Hunter sebelumnya. Hunter melirik ke beberapa diantaranya: Simulation karya Jean Baudrillard, Order of Things dari Michel Fou cault, The Postmodern Condition dari Jean-Francois Lyotard, The Prison-House of Language karya Fredic Jameson, The New Conservatism dari Jurgen Habermas.” (Berger, 2006: 20) Hunter yang belum pernah mengenal istilah postmodern pun diwajibkan untuk mempelajarinya, karena semua orang yang ada di tempat kejadian ketika Gnocchi dibunuh adalah orang-orang yang erat dengan postmodern. Hunter sebagai tokoh utama dalam novel ini hampir di seluruh bab novel ini muncul, karena novel ini dibagi perbab yang isinya adalah introgasi terhadap para saksi ketika Gnocchi terbunuh.
Yang diwancara pertama oleh Hunter adalah Shoshana TelAviv isti Gnocchi sekaligus seorang profesor filsafat. Shoshana mengaku berada di dapur ketika lampu mati sebentar dan ketika menyala Gnocchi sudah tersungkur di meja, tapi tak hanya itu yang diungkapkan oleh Shoshana. Pembicaraan Shoshana dan Hunter pun mengarah ke teori postmodernisme, dan hunter pun mengambil sebuah pengertian dari Shosana mengenai postmodern
“… postmodernisme merujuk pada apa yang bisa disebut sebagai sebuah kondisi atau teori, sekumpulan keyakinan dan nilai serta sikap yang meskipun tidak kita sadari telah membentuk kesadaran dan masyarakat kita.” (Berger, 2006: 25)
Dan selanjutnya semua yang berada di tempat Gnocchi terbunuh pun di introgasi oleh Hunter. Tapi sayangnya dalam novel ini pembunuh Gnocchi tidak ditemukan, dan di lain pihak Hunter mengganggap bahwa Gnocchi lebih dahulu meninggal sebelum semua skenario pembunuhan itu dilakukan. Karena Hunter tahu Gnocchi mempunyai penyakit yang memvonisnya tidak dapat hidup lama lagi setelah meluhat video perkuliahan Gnocchi yang Hunter temukan di ruang kerja Gnocchi.
Novel yang diterbitkan oleh Marjin Kiri ini mengingatkan saya akan Dunia Sophie-nya Jostein Gaarder. Pengarang ingin menjelaskan apa itu posmodernisme dengan cara memasukkan unsur fiksi kedalamnya. Penuturannya pun sederhana, tidak njelimet.
Di awal setiap bab, terdapat kutipan pemikir-pemikir posmodernis untuk menambah bobot kebenaran yang meyakinkan. Meskipun saya sendiri tidak membacanya. Sebab saya kesulitan memahami makna posmodernisme melalui kutipan-kutipan tersebut. Saya justru mendapatkan sedikit pemahaman tentang posmodernisme melalui penjelasan masing-masing tokoh cerita ini.
Jadi kalau Anda ingin mengetahui--paling tidak--garis besar posmodernisme, buku ini bisa menjadi acuan.
kalau mau berkenalan dengan postmodernisme, buku ini bisa jadi alternatif. tapi, mungkin kalau yang baru-baru kenal (seperti saya) tidak bisa sekali baca, hahaha....
idenya bolehlah. berawal dari terbunuhnya seorang professor yang ahli dalam bidang Postmodernisme di saat jamuan makan malamnya, seorang inspektur yang menyelediki kasus ini harus memahami teori-teori postmodernisme dari beebrapa tokoh, seperti: Baudrillard, Foucault, Lyotard, dan Habermas, untuk bisa memecahkan kasus ini.
kenapa harus begitu?karena kematian sang professor tidak wajar: lubang peluru menganga di keningnya, pisau kue menyembul di punggungnya, dan asap racun tercium dari minumannya. jelas ini sebuah tanda!
Memahami keruwetan konstruksi budaya posmodern melalui analogi investigasi kasus pembunuhan. Menurut saya agak memaksa, tapi lumayan. Apalagi si penulis meninggalkan jejak penelusuran yang sebenarnya merupakan ajakan langsung kepada para pembaca untuk mendalami lebih jauh karya-karya posmodernis seperti Lyotard, Baudrillard, Habermas, dan Jameson.
Mengutip kalimat pada bagian akhir buku ini, pembunuhan Profesor Ettore, adalah pembunuhan yang sangat posmo. Hal itu karena pembunuhan dilakukan terhadap suatu objek yang sesungguhnya telah mati.
rhe ingat buku ini pemberian seseorang, cuma rhe ga ingat siapa yang ngasih jadi siapapun yang ngasih buku ini, makasih ya....
satu yang bisa dibilang tentang kisah ini, mengutip komen hunter: posmo abis
jika ada buku pengantar filsafat atau posmodern, maka kisah ini ditulis sebagai "semacam" pengantar postmodern versi mudah diterima. menampilkan permukaan posmo sambil menggali perlahan beberapa ide. buat yang belum tau posmodern, boleh ni buat tau=tau dikit :)
Inget Posmo, ingetnya cuma Andy Warhol. Eh, taunya belajar filsafat posmo. Idenya sih boleh juga..
Suatu kisah pembunuhan yang diinvestigasi oleh seorang Inspektur polisi dengan memahami filsafat posmo. Kasus tersebut dianggap posmo asli oleh sang inspektur. Halah... apa semua yang menyimpang dari sesuatu yang biasa dianggap posmo?
A helpful primer on postmodernism poorly disguised as a mystery novel (it is not a comic book, though it was in the comic book section). I'm left with more questions than answers - is postmodernism a logical continuation of modernism or is it a break from modernism? Does simulation in American culture reflect postmodern values or is it an artifact of consumerism? Etc.
Buat saya yang buta sama sekali tentang Post-Modernisme, saya puas setelah membaca buku ini. Terutama karena buku ini selain membuka pengetahuan saya, buku ini juga membuat saya jadi sadar bahwa saya juga ditelan oleh paradigma post-mo ini. Lebih lanjut, buku ini bikin saya terdorong untuk membaca karya-karya postmo yang lain seperti Foucault, Lyotard, Jameson dan Baudrillard...
I liked this book, for what it was, which was a text book attempting to be fun. I enjoyed reading up on post-modernism, further clarifying a word that is, by it's very nature, extremely unclear. Anyway, decently easy read for such a complex topic.
Sebagai pembaca manga, antara lain manga detektif, dibandingkan seri Detektif Conan, buku ini lebih mirip serial Q.E.D., yang sering mengulas berbagai ilmu pengetahuan dulu sebelum menemukan Quod Erat Demonstrandum-nya.
Lovely introduction to postmodernist idea by virtue of a crime story. The book could work in introductory classes to philosophy and related subjects - I refer to the English edition of the book 'Postmortem for a Postmodernist'