Jump to ratings and reviews
Rate this book

Gajah Mada #1

Gajah Mada

Rate this book
Damai yang senantiasa menyelimuti tiba-tiba koyak. Lepas pelukan mimpi tidak mungkin dituntaskan karena genderang perang membangunkan isi kehidupan Majapahit. Pada sebuah fajar yang masih beku, para Rakrian Dharmaputra Winehsuka menebar tembang duka. Ra Kuti menaburkan aroma pembantaian, pemerkosaan, dan penjarahan. Kemegahan bumi Wilwatika seketika porak-poranda. Akan tetapi, tetes darah, keringat, dan air mata Gajahmada serta pasukan Bhayangkara akhirnya mampu mengembalikan kehormatan dan mempersembahkan kejayaan yang bakal terus dikenang oleh sejarah.

***

Gajah Mada telah mendapat informasi penting tentang akan adanya makar. Telik sandi tak dikenal terus menyalurkan beberapa keterangan penting dengan menggunakan kata sendi hingga Gajah Mada dan pasukan Bhayangkaranya yang hanya berjumlah tak lebih dari dua puluh orang, berhasil menyelamatkan Raja yang terus diburu. Gajah Mada harus menyelamatkan Jayanegara hingga ke Bedander (Bojonegoro).

Gajah Mada dan pasukan Bhayangkara selanjutnya menyerang balik dan berhasil mengjungkalkan Ra Kuti dari dhampar yang bukan haknya.

582 pages, Paperback

First published January 1, 2004

154 people are currently reading
2488 people want to read

About the author

Langit Kresna Hariadi

31 books151 followers
Langit Kresna Hariadi (lahir di Banyuwangi, Jawa Timur, 24 Februari 1959; umur 54 tahun) adalah seorang penulis roman Indonesia. Mantan penyiar radio ini dikenal masyarakat luas dengan cerita roman Gadjah Mada yang menceritakan kisah dari Patih Gajah Mada dari kerajaan Majapahit.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
617 (40%)
4 stars
510 (33%)
3 stars
285 (18%)
2 stars
77 (4%)
1 star
52 (3%)
Displaying 1 - 30 of 186 reviews
Profile Image for an.
764 reviews22 followers
July 22, 2010
untunglah rhe bukan seperti salah satu teman (yang kita tau siapa). sebenar na tidak banyak kesalahan tulis yang terdapat pada naskah ini. hanya... tetap saja perlu menjaga tangan untuk tetap diam, untuk tidak melempar, membuang, apalagi menyobek buku barang pinjaman milik penghuni radal. kenapa ini buku bisa membuat rhe ingin menggigit-gigit na?

1. gaya bahasa
ntah gaya bahasa mana yang diacu oleh penulis, tapi tampak sangat tidak konsisten. menulis bahasa indonesia dengan pola jawa, atau menulis jawa dengan pola indonesia? frase-frase seperti: hanya sejak setelah..., segenap para prajurit..., dalam pada itu..., seakan tidak efektif sebagai kata ganti. terlebih lagi penggunakan 'dalam pada itu' dapat ditemui di hampir semua bag, tak jarang digunakan sebagai awal kalimat sebuah bab (2 bab sekali). bahasa yang terlalu populer untuk masa itu dan terlalu kuno untuk masa sekarang. seperti itulah.

2. pengulangan
penggunaan kata ganti selama kisah ini sangat menjengkelkan. diulang-ulang dan panjang. memang mana muda jayanegara itu kalagemen. tapi tidak perlukan kerap menyebutkan jayanegara dengan: jayanegara yang semada mudanya bernama kalagemen. arh! bener-bener pengen teriak. ditambah lagi untuk mengungkapkan kesekasalan ra kuti cukuplah penulis menggambarkan dengan makian, namun penulis juga memberikan gambaran seperti ini: andai ada orang yang bersedia dipukul na pasti ra kuti sudah memukul na. sayang tidak ada yang mau dipukul. sukur, tau rasa! bahkan ada 1 paragraf yang semua kalimat na menyebutkan salah satu tokoh, apakah tidak bisa diganti dengan 'dia'? atau mungkin tanpa perlu disebut tokoh itu karena pembaca cukup tau bahwa paragraf tersebut sedang membahas orang itu.
dari penemuan-penemuan ini, seakan penulis bukan menulis novel melainkan skripsi, tesis or karya ilmiah lain. mengapa? karena terkesan tulisan ini memiliki inti yang sempit tapi mencoba di perluas or diperbanyak oleh penulis na. seperti dalam skripsi, pembahasan harus lebih banyak dibanding tinjauan pustaka. maka sedikit cerita yang dia punya dikembangkan sebanyak-banyak na untuk memperbanyak jumlah halaman. tanpa peduli dengan cara apa memperbanyak na, termasuk mengulang-ulang keterangan yang ada. tidak menarik!

3. rasionalitas
tidak terlalu banyak klaim untuk bagian ini, tapi tetap mengganggu. seperti penyebutan 'tuhan' saat konsep dewa dewi masih merupakan ajaran dominan dalam masyarakat. candaan tentang kepala-kelapa, itu permainan kata bahasa indonesia, bukan bahasa jaman majapahit. pada bab terakhir, 7 tahun kemudian di bilik baginda, penulis masih membahas muntahan ra kuti yang telah dibersihkan. jelas aja telah dibersihkan, memang na berapa lama waktu untuk membersihkan muntahan, kurangkan waktu 7 tahun itu? ditambah lagi, mengapa tribuanatunggadewi dan rajadewi masih ditemani calon suami na? apa mereka belum menikah juga 7 tahun kemudian?

4. cerita
ntahlah apa yang aneh dicerita ini. melihat deskripsi jayanegara selama pelarian, wajar jika ra kuti melakukan makar karena memang jayanegara tanpak sebagai raja yang tidak mandiri, manja, kurang bijaksana, pantas saja jika penguasa seperti itu ingin digulingkan. namun cara ra kuti terlalu kejam dan egois untuk mewujudkan keinginan na. dan gadah mada terlalu sempurna dan hebat dalam kisah ini. oklah kalau judul buku ini memang diambil dari nama na. tapi tidak berarti tokoh utama itu tanpa cela kan? tentu na dia juga manusia, tak mungkin sesempurna itu. lagi pula, ini perlawanan dalam politik, namun strategi yang ada tidak menampakan demikian, keputusan-keputusan yang diambil hanya berdasarkan keputusan fisik, adu hantam, kurang ada na permainan strategi, permainan otak. yang ada sekedar permainan pedang dan warastra. membunuh atau dibunuh. jadi na sama aja bukan antara pemberontak dan kelompok yang ingin mengembalikan kekuasaan. bahkan ketika cerita sudah mulai mendapatkan jiwa na, penulis memutus na dengan kemonotonan yang sama. menghilangkan na begitu saja untuk tidak nongol kembali tu jiwa cerita.

5. ending
mengingat cerita ini terdiri dari 5 buku (info na), maka sangat mengecewakan kisah ini harus berakhir demikian. berakhir tanpa teriakan ingin tahu... mana cerita lanjutan na. hanya.. ow, sudah selesai ya. dan sudah.. tutup buku. tuntas. pufh...

terlebih dari semua point yang ada, 1 bintang karena walaupun banyak sekali kejanggalan dan ganjalan sampai keinginan ngegigit n jedot-jedotin ke kepala, rhe berhasil menyelesaikan na dan meripiu 'sedikit' dengan gaya membosankan penulis na.

-39-
Profile Image for Wirotomo Nofamilyname.
380 reviews51 followers
October 26, 2008
Sebenarnya pengarang buku ini berhasil menciptakan karya yang berhasil menarik orang awam yang biasanya tidak tertarik pada topik sejarah. Ia berhasil mengikuti jejak pengarang yang sangat dikaguminya yaitu SH Mintardja. Ia berhasil menyusun cerita sejarah yang membuat kita, sang pembaca, tidak dapat meletakkan buku dan terus membaca, dengan ceritanya yang mengalir lancar dan menegangkan.

Tapi berbeda dgn SH Mintardja yang mengarang tokoh utama yang fiksi dengan didampingi tokoh sejarah yang sebenarnya di latar belakang. Langit Kresna Hariadi lebih ambisius dengan menjadikan Gajah Mada, salah satu tokoh sejarah paling ngetop di Indonesia, menjadi tokoh utama ceritanya. Sehingga dia terjebak terlalu mengagung-agungkan Gajah Mada menjadi tokoh yg begitu cerdas, bijaksana, sakti, "licin" dan semua yang serba hebat. Seperti bukan manusia saja (Di dalam kenyataan sebenarnya kita tidak akan pernah lupa peran Gadjah Mada yang "licik" dalam Perang Bubat).

Disamping itu cerita berkembang menjadi hanya sekadar "cerita silat" yang menceritakan pengejaran dan pertarungan ke pengejaran dan pertarungan berikutnya. Dan Bhayangkara digambarkan begitu saktinya, namun kemudian kita malah jadi bertanya jika sedemikian saktinya mengapa pada awalnya mereka kalah dan terpaksa mundur dari ibukota?

Disamping itu saya terganggu dengan ketidakakuratan sejarah disana-sini di sepanjang novel. Misal:

Sebenarnya Ra Tanca membunuh Jayanagara, 9 tahun setelah pemberontakan Ra Kuti (di novel, Ra Tanca langsung membunuh Jayanagara setelah Jayanegara kembali ke ibukota). Pada saat meninggal Ra Tanca sudah beristri (bukan Rajadewi), pada novel Ra Tanca masih membujang dan jatuh cinta pada Rajadewi.

Jayanagara tidaklah sebaik yang digambarkan dalam novel, pada kitab Pararaton disebutkan Jayanagara tidak mengijinkan pemuda manapun mendekati kedua adiknya yang cantik yaitu Tribhuwana dan Rajadewi, dan hendak menikahinya sendiri. Inilah pemicu Ra Tanca membunuh Jayanagara. Terdapat kemungkinan Gajah Mada telah memberi "blessing" kepada Ra Tanca untuk melakukan hal ini dengan mengundangnya ke istana untuk mengobati Jayanagara. Tapi kemudian untuk menghilangkan jejak, Ra Tanca segera dibunuhnya (bagaimanapun Ra Tanca adalah mantan pemberontak yang tidak disukai Gajah Mada).

Saya tidak tahu apakah keakuratan sejarah membaik pada novel ke-2 hingga ke-5. Tapi yang jelas saya sudah memutuskan tidak akan membaca lanjutan novel ini karena masalah kecenderungan novel sejarah ini hanya menjadi sekadar cerita silat saja. Bagi anda para penggemar novel sejarah dengan bumbu cerita silat mengapa anda tidak membaca Senopati Pamungkas? Novel ini lebih lancar, seru dan tidak berpretensi sebagai kitab sumber pengetahuan sejarah. :-)
Profile Image for Irwan.
Author 9 books122 followers
April 20, 2008
Awalnya berharap menemukan cerita epik penuh adegan perkelahian seru seperti Mushashi atau Senopati Pamungkas. Yang kudapat agak berbeda. Cerita sejarah yang cukup memukau. Nama-nama yang kupelajari di sekolah dulu muncul sebagai tokoh-tokoh yang hidup dan saling berinteraksi dalam setting yang hidup pula. Pergelutan dalam tubuh pasukan Bhayangkara ketika mencari pengkhianat diantara mereka membuatku tidak bisa berhenti membaca buku ini sampai menemukan jawabannya.

Adegan perkelahian yang memukau tidak kudapatkan. Gaya penulisan dibagian-bagian awal cukup mengganggu. Penulis mengambil sudut pandang pencerita (narator) yang serba tahu, yang bebas loncat-loncat dari benak-benak tokohnya maupun sebagai pengamat eksternal. Satu lagi, penulis mengulang berkali-kali suatu kalimat yang nyaris sama yang mengesankan sedikit kekakuan dalam menulis. Contohnya kalimat "Jika ada orang yang dengan suka rela mau ditendang tubuhnya maka dengan senang hati Ra Kuti akan menghajarnya". Ketika membaca kalimat ini di halaman 437, saya sadar bahwa saya sudah membaca kalimat dan ekspresi ini lebih dari tiga kali sepanjang cerita untuk menggambarkan kegusaran Ra Kuti.

Saya menghargai buku ini sebagai usaha yang bagus untuk menghidupkan kecintaan pada sejarah bangsa Indonesia, tanpa harus dieksploitasi menjadi sekedar latar belakang sebuah cerita silat.
5 reviews1 follower
September 23, 2013
I decided to read this book because it was recommended by a member of my family. The category in the bingo board is "a book that teaches you about another time in history. I think this book interesting because it is about the history of my country, war, and a bit of magic. This book was about the most popular story legend in Indonesia, the Bubat war.

My favourite character is Gajah Mada. He was the best commander of the Majapahit kingdom. He command the Bhayangkara soldiers, they are the best soldier in the kingdom. This book tell us about Majapahit before the kingdom fell. Gajah Mada tell the king to attack sunda kingdom and conquer all south east asia. But the king fall in love with the princess of sunda kingdom and command Gajah Mada to not attack sunda kingdom. I like Gajah Mada because his smart strategy of war.

My favourite quote of this book is when the princess decided to die because the sunda kingdom and his family was attacked. " you can't hurt my family and take me as your bride, I rather die with my family instead". Gajah Mada decide to do an attack rather than listening to the king. and because of that Gajah Mada was banished from the kingdom. But the legend said that the sunda king and his 4 assistant didn't die in that war, but they transform into a tiger and never found.

What i learn about this book is, no matter how smart we are, how great we are, if we work for someone we have to obey them.
Profile Image for Fredrik Nael.
Author 2 books45 followers
January 17, 2011
Memasukkan buku ini ke rak "read" sebenarnya kurang tepat, karena jujur, saya enggak selesai baca buku ini. :(

Menurutku, buku ini termasuk salah satu karya yang overrated banget (pada masa-masa awal penerbitan).
Novel ini sangat kental nuansa lokalnya, bermakna historis, budaya asli banget, riset referensi yang dahsyat... so what?

Pada hakikatnya novel adalah sesuatu yang (paling tidak) menghibur dari segi ceritanya, bukan? Karena ya itulah inti dari novel. Yang membedakannya dari buku teks atau non-fiksi. Ceritanya.

Tapi membaca novel ini... hyaaah... hanya sampai halaman seratus sekian saja, saya sudah nyerah. Padahal 50-100 halaman pertama adalah bagian terpenting dari sebuah novel lho.
Terserah mau ending-nya se-mahakarya apa, itu enggak akan banyak gunanya kan kalau pembaca sudah merasa jenuh duluan dan memutuskan untuk berhenti membaca di tengah jalan?

Pak LKH kelihatan sekali usahanya dalam menjadikan novel ini se-"kaya" mungkin. Saya benar-benar salut.
Covernya juga luar biasa ciamik dan termasuk salah satu sampul fiksi lokal yang unik dan tak tertandingi.

Tapi ceritanya... astaga... sangat menjemukan. Dimasak dengan gaya putar-putar ditambah bumbu bertele-tele.
Belum lagi karakternya; tidak ada satu pun yang membuat saya tertarik atau berempati terhadap masalah mereka.
Maaf deh.

Enggak ada niat untuk mencoba baca lagi.
Sama sekali.
Profile Image for Wulandari Arifin.
17 reviews2 followers
December 9, 2013
Mengharapkan tambahan referensi "pelajaran tentang kebijakan hidup" dari fiksi sejarah bukan hal yang neko-neko, tapi kalau ternyata bs larut dalam cerita keren, alur yg tidak memiliki jeda antiklimaks, bahkan jg selipan humor cerdas.

waaah sy sungguh menikmati setiap detail cerita, di tengah kesibukan menyimak upaya Gajah Mada dalam mempertahankan Wilwaktikta sy juga dibuat (nyaris) mati penasaran tentang siapa penghianat telik sandi yang ada di Bhayangkara selain Panji Saprang, belum lagi dibuai oleh teka-teki siapa sebenarnya Bagaskara Manjer Kawuryan, sampai menjelang halaman 490 penulis menggiring kita untuk memilah&memecahkan teka-teki tersebut, awalnya sy terkecoh sampai ada titik terang seolah kitalah pelakon.

tak ada gading yang tak retak, beberapa kalimat pengulangan boleh dianggap sebagai kekurangan, tapi itu bukan hal yang mengganggu, sungguh.
Penasaran baca sekuel ke 2...lanjuut :)
Profile Image for Ahmad.
18 reviews17 followers
March 19, 2010
Buku ini adalah fiksi, jadi harus dipandang sebagai hasil karya fiksi. Dan menurut saya wajar2 saja jika terdapat ketidak akuratan dg sejarah aslinya ( jg tanya saya sy ga ngerti sejarah :P ).
Ceritanya biasa-biasa saja. Cenderung bertele-tele malah, dan banyak sekali paragraf-2/fakta yg diulang-ulang ... terkadang bikin jengah. Namun, karena ceritanya sederhana ( standar folklore jawa ), dan mengingatkan cara bertutur mbah saya waktu ndongeng dulu.. maka jadilah buku 576halaman ini kelar dalam 2 hari :P
Kalau anda penggemar novel Konspirasi, atau intrik2 Aristrokrasi ini bukan novel untuk anda. Kalo anda berharap belajar sejarah dari novel ini, sebaiknya urung. Tapi kalo mau baca-2 cerita yg ringan untuk sekedar refreshing.. novel ini boleh anda baca :D
Profile Image for Tetuko Nuringtyas.
23 reviews1 follower
July 10, 2007
gak mau komentar, karena komentar saya makin lama makin sinis, penulisnya dikejar deadline kontrak dan terlalu banyak alasan about virus dll... seorang penulis yang mumpuni namun tidak bisa mempertahankan kualitas penulisan.... tapi lumayan buat teman tidur.
6 reviews1 follower
Read
November 11, 2019
I The I The I’m The I’m The The I’m The I’m I’m I’m I The I’m The I’m The I I I’m The I The The I The I’m The The I’m The I The I’m I The I’m The I’m The I The I I’m I I’m The I The I’m I I’m I I’m The I’m The I’m The I I I’m I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I I’m I’m I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The
I The I The I’m The I’m The The I’m The I’m I’m I’m I The I’m The I’m The I I I’m The I The The I The I’m The The I’m The I The I’m I The I’m The I’m The I The I I’m I I’m The I The I’m I I’m I I’m The I’m The I’m The I I I’m I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I I’m I’m I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The
I The I The I’m The I’m The The I’m The I’m I’m I’m I The I’m The I’m The I I I’m The I The The I The I’m The The I’m The I The I’m I The I’m The I’m The I The I I’m I I’m The I The I’m I I’m I I’m The I’m The I’m The I I I’m I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I I’m I’m I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The The The I’m The I I’m I’m I’m The I’m The I’m I I’m The I The The The The The I I The I The The I The I’m I I’m I’m The I’m I I’m The I The I’m I’m The I’m The I’m The I’m I I’m The I’m I The I’m I I I’m The I’m The I’m The I’m The I The I’m I I’m I’m The I’m The I The I’m The I’m I I I’m The I’m I’m The I’m I I I’m I I I I I I I’m I’m I’m The The
Profile Image for Febi.
13 reviews2 followers
May 16, 2008
Buku ini sedang menyita perhatian saya saat ini, sebuah novel fiksi dengan latar belakang sejarah yang bercerita tentang kehebatan Gajahmada sebagai orang yang berjasa mengantar Majapahit ke puncak kejayaannya. Buku setebal 582 halaman ini di tulis oleh Langit Kresna Hariadi seorang pengamat sejarah dan mantan wartawan harian umum Abri yang berasal dari Solo. Kisah Gajahmada ini di buat dalam 5 seri yaitu Gajah Mada, (Gajahmada) Bergelut dalam kemelut takhta dan angkara, (Gajahmada) Hamukti Palapa, (Gajahmada) perang bubut dan (Gajahmada) Madakaripura hamukti moksa. Sekarang saya sedang lanjut membaca buku ke dua.

Epos ini berlatar belakang tahun 1319, ketika itu majapahit adalah kerajaan megah yang bertakhta di tanah Jawa di bawah pemerintahan Sri Jayanegara. Gajahmada adalah seorang bekel (pemimpin) Pasukan Bhayangkara, Pasukan Bhayangkara adalah pasukan khusus pengawal raja, kalau sekarang mungkin bisa disamakan dengan Paspampres.

Di buku pertama ini, Langit Kresna Hariadi bercerita tentang Kehebatan Gajahmada dalam menghadapi pemberontakan yang di lakukan oleh Rakrian Kuti, seorang temenggung majapahit yang baru di beri gelar anugrah Rakrian Winehsuka (orang-orang yang sangat tinggi pengabdian dan kesetiaannya kepada raja) oleh Jayanegara. Karena godaan yang besar akan kekuasaan untuk menjadi orang nomor satu di Majapahit membuat Ra Kuti memprovokasi temenggung yang lain untuk membuat makar terhadap raja Jayanegara.

Rencana sudah di susun dengan sempurna, dengan keyakinan penuh oleh kelompok Ra Kuti bahwa raja Jayanegara dapat di lumpuh kan dengan sangat mudah, akan tetapi dengan kehebatan ilmu mata-mata yang di miliki oleh Pasukan Bhayangkara, akhirnya Gajamada dapet mencium adanya perbuatan makar tersebut, sehingga Raja dapat di selamat kan walau harus merelakan jabatannya di rebut oleh Ra Kuti. Melalui sebuah lorong rahasia yang berada di dalam kamar tidur raja, Pasukan Bhayangakara dapat meloloskan raja dari kejaran pasukan Ra Kuti.

Dan di mulai lah petualangan Gajahmada, bagaimana sepak terjang sang ksatria Gajah Mada dalam menyelamatkan Majapahit dari kehancuran ? jurus-jurus maut nya bersama Pasukan Bhayangkara untuk menyelamatkan Raja, kekecewaan besar karena adanya penghianatan dalam Pasukan Bhayangkara, ide-ide cerdas Gajahmada dalam memimpin serangan gerilia menghadapi pasukan Ra Kuti, intrik-intrik politik dalam merebut kembali kekuasaan semua di ramu dalam sebuah cerita yang seru dan menegangkan. Apakah Gajahmada berhasil memenangkan peperangn ini ???? silahkan membaca buku nya.

Sebagai Karya sastra, novel ini mempunyai keakuratan informasi sejarah, dan layaknya seorang J.K.Rowling, Langit Kresna Hariadi sanggup menghidupkan tokoh-tokoh dalam novel sehingga memberi keasyikan imajinasi kepada pembaca, kita seolah di ajak langsung dalam jalinan cerita, ikut mencari jawaban akan teka-teki yang tersaji.

Menurut hasil Browsing, Gajahmada lahir pada tahun 1300 di lereng pegunungan Kawi - Arjuna, daerah yang kini dikenal sebagai kota Malang (Jawa Timur). Sejak kecil, Gajahmada sudah menunjukkan kepribadian yang baik, kuat dan tangkas. Kecerdasannya telah menarik hati seorang patih Majapahit yang kemudian mengangkatnya menjadi anak didiknya, Gajah Mada terus menanjak karirnya hingga menjadi Kepala (bekel) Bhayangkara (pasukan khusus pengawal raja).

Majapahit adalah suatu kerajaan yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M dan berpusat di pulau Jawa bagian timur. Kerajaan ini pernah menguasai sebagian besar pulau Jawa, Madura, Bali, dan banyak wilayah lain di Nusantara. Majapahit dapat dikatakan sebagai kerajaan terbesar di antara kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara dan termasuk yang terakhir sebelum berkembang kerajaan-kerajaan bercorak Islam di Nusantara.

Buat penyuka novel yang berbau sejarah, buku ini patut di Baca.
Profile Image for Faizah Finur F.
102 reviews26 followers
December 28, 2019
This is going to be a bit bias, since I've been wanting to read this series for a long time ago.

Truth be told, saya kaget ketika membaca buku ini. Kebetulan saya membaca Perang Paregrek lebih dulu, sehingga bisa memiliki perbandingan terhadap gaya kepenulisan Pak LKH. Vibe tulisannya tetap sama, tapi memang lebih berantakan dibandingkan Perang Paregrek. Misalnya soal penjelasan nama Jayanegara yang juga dikenal dengan nama Kalagemet, kerap kali diulang-ulang. Juga ke-tidak-konsistenan karakter Jayanegara yang sedikit mengganggu saya. Satu ketika Jayanegara digambarkan sebagai raja yang benar-benar raja, minta dihormati, minta ditandu ketika melakukan perjalanan, dll. Di waktu lain, beliau digambarkan layaknya rakyat biasa yang bisa bercanda, tidak masalah berjalan kaki, berenang di gorong-gorong, dan lain sebagainya. Tidak masalah ketika gambaran kedua dimaksudkan sebagai hasil yang didapat dari perjalanan beliau, tapi yang terjadi seringkali 2 gambaran itu tertukar di tengah-tengah. Fakta sejarahnya juga salah, harusnya Jayanegara diungsikan ke Bedander, ini malah ke Kudadu. Juga selang waktu pemberontakan Kuti dan kematian Jayanegara yang seharusnya 9 tahun, jadi tampak dekat sekali.

Sebagai orang yang suka membaca fiksi sejarah, saya seringkali menganggap cukilan-cukilan sejarah yang ditulis dalam sebuah buku adalah benar. Makanya ketika menemukan yang salah, saya jadi agak terganggu. Hahaha. Though despite everything, saya salut penulis mau meralat dan mengakui kesalahannya di buku yang kedua (YES I'M ON THIS SERIES MARATHON) serta mencantumkan footnote tentang istilah-istilah juga sumber sejarah di buku selanjutnya. Saya juga merasa, sebagai buku yang diterbitkan lebih dulu, buku ini tentu memiliki banyak kekurangan dibandingkan buku-buku setelahnya (paling tidak, Perang Paregrek tidak separah ini dalam ingatan saya).

Well, a good read, nonetheless!!!
Profile Image for Nun.
48 reviews6 followers
December 21, 2008
aq ga lewatkan yang satu ini karena aq suka sejarah, tapi huhuhu... karakter tokoh2nya kurang dieksplorasi. jadi tidak jauh bisa dibedakan dialog yang terjadi antara tokoh A, B, atau C. semuanya hampir sama.
ada beberapa yang tidak sinkron di sana. ngga sinkron dengan sejarah juga tidak sinkron penceritaan. misalnya, di bab awal dikatakan bahwa jayanegara tidak bisa berenang, dihalaman belakangnya dikatakan bahwa jayanegara pandai sekali berenang, lhah mana yg betul?

terus bahasa, bahasanya monoton. 'dalam pada itu' ntah berapa kali muncul di sana, penjelasan-penjelasan yg tidak penting juga banyak terdapat di sana sini. misal penjelsan ttg jayanegara, bhayangkara dll yang diulang terus menerus.

satu yang aq salut, yaitu penceritaan tentang pasukan Bhayangkara. sepak terjang pasukan gabungan paspampres dan kopassus ini diceritakan sangat apik sampai-sampai aq kira pasukan Bhayangkara ini betul-betul ada di jaman itu.
Profile Image for Dinar Widyasmara.
121 reviews6 followers
October 12, 2019
Jika banyak yang protes karena ini malah jadi kayak buku persilatan, mirip drama Saur Sepuh di radio dulu. Saya sih ga masalah, soalnya saya suka dua hal itu.

Apa sih yang bisa diharapkan dari sejarah selain pembelajaran hidup? Karena sejarah bisa berbeda sudut pandang berdasarkan siapa,apa, dan dari mana sumbernya. Sejarah itu harus banyak baca.

Saya sih suka segala macam konflik di buku ini, buku ini membuat saya penasaran dengan sejarah Gajah Mada. Karena saya sadar, ini fiksi-sejarah. Yang mana fakta yang mana fiksi, garis pembedanya bisa sangat bias.

Gajah Mada dan Bhayangkara yang rasanya terlalu 'luar bisa', too good to be true memang. Tapi tenang di buku-buku selanjutnya keliatan kok jeleknya tuh Gajah Mada.

Susahnya mengangkat sejarah terkenal memang itu, banyak yang tahu kisahnya. Jadi kalau ada yang melenceng sedikit saja pasti banyak yang protes, ditambahin buumbunya terkadang bisa salah.
Profile Image for Vanda Kemala.
233 reviews68 followers
April 24, 2018
Buku pertama dari pentalogi Gajah Mada, dimulai lewat pemberontakan Ra Kuti yang (menurut istilah penulis) sedang keracukan klerak.

Cara mengumpulkan kekuatan lewat satuan prajurit, intrik pribadi, penggulingan kekuasaan, mengungsikan raja Jayanegara, loyalitas, juga teka-teki dari sosok dengan sandi "Bagaskara Manjer Kawuryan".

Sebagai pembuka, buku ini apik juga bikin semangat buat baca seri berikutnya. Way to go!
Profile Image for Bukik Setiawan.
Author 7 books36 followers
August 4, 2013
Jangan berharap lebih selain membaca sejarah seringan membaca cerita silat
Profile Image for Ardani Subagio.
Author 2 books41 followers
June 1, 2010
Satu lagi buku yang saya tutup sebelum sampai pada halaman akhirnya. Padahal awalnya saya sempat punya harapan tinggi untuk buku ini.

Ketika pertama kali membaca kisahnya, saya merasa buku ini sangat hebat, dan menyegarkan. Hebat karena pak LKH mampu membawa nuansa Jawa kuno dalam buku ini. Bab pertama yang berisi nama2 Raja dan silsilahnya berikut dengan nama gelar mereka memberikan dasar yang baik bagi pembaca untuk tau sekilas tentang kerajaan Majapahit dan kerajaan2 lainnya yang nantinya akan disinggung dalam buku ini. Begitupun dengan pemilihan kata yang digunakan pak LKH.

Pemilihan kata inilah yang bagi saya memberikan rasa "menyegarkan" selama membaca seperempat awal buku ini. Mungkin ini karena saya juga lebih terbiasa membaca buku2 terjemahan, sehingga pemilihan kata seperti "dikemuli" dan bukan "diselimuti" terasa baru walaupun memiliki arti yang sama.

Dan adegan perangnya, bagi saya yang hebat bukan perangnya, tapi bagaimana pak LKH memberi "iming-iming" bahwa akan terjadi perang. Mulai dari kedatangan kabut tebal yang diyakini membawa pertanda buruk, pembawa pesan misterius yang keluar dari dalam kabut, dan aksi Gajahmada yang mesti pontang-panting kesana kemari mencari kebenaran tentang gosip perang yang akan datang. Sungguh, dalam masa ini saya ingin memberi buku ini empat bintang.

Dan perang pun dimulai, dan penilaian saya akan buku ini perlahan-lahan mulai menurun.

Bukan berarti adegan perangnya jelek. Saya cukup suka dengan adegan perang di adegan awal buku ini. Saya cuman merasa adegan perangnya terlalu panjang, dan ada terlalu banyak karakter yang terlibat. Bukan cuma Gajahmada dan para pemimpin pasukan, tapi juga anak buah Gajahmada sendiri, Patih yang menjadi atasannya, musuh yang bersembunyi, dan juga beberapa anak buah mereka.

Mungkin saya sudah beberapa kali mengatakan ini di review buku2 lain terdahulu, tapi saya sering bingung membedakan karakter kalau mereka muncul dalam rentang waktu berdekatan dan sama sekali tidak ada pembeda yang jelas diantara mereka. Selain Gajahmada sendiri, yang menjadi tokoh sentral, satu2nya yang menancap kuat di kepala saya adalah salah satu Rakrian yang ahli pengobatan (lupa namanya). Selebihnya seolah hanya menjadi karakter "numpang lewat". Sekedar ada untuk menjelaskan adegan yang tidak mungkin diketahui Gajahmada.

Berhubungan dengan karakter, yang menjadi masalah bagi saya adalah nama mereka. Bukannya saya mau protes nama mereka yang kerasa "jadul banget" (karena toh, settingnya emang di jaman dulu), tapi semua karakter di buku ini disebut dengan nama lengkap terus menerus. Ya, SEMUANYA. Entah apakah itu tokoh penting atau hanya karakter yang numpang lewat itu tadi.

Saya ga ngerti, apa karakter2 itu ga punya nama panggilan yang lebih pendek? Apalagi antar prajurit Bhayangkara yang semestinya sudah saling akrab. Sehingga saya sering merasa aneh ketika pembicaraan antara prajurit Bhayangkara terasa begitu formal. Jauh dari nuansa pembicaraan antar sahabat dekat yang berlatih dan bertempur bersama.

Masih tentang karakter adalah sifat mereka yang terlalu hitam putih. Oke, saya memang tidak membaca buku ini sampai selesai jadi saya tidak tahu kalau salah satu dari karakter itu ada yang berubah atau tidak. Tapi sejauh yang saya baca, karakter2 di sisi antagonis dikesankan terlalu jahat dan berambisi (kecuali si rakrian dokter yang kayanya dibikin ga boleh jahat karena wajahnya yang ganteng); sementara karakter2 protagonis selalu baik dan "putih". Tambahkan atribut "terlalu kuat dan cerdas sampai2 dia jadi prajurit tanpa tanding, dan tanpa banding" dalam diri Gajahmada selaku tokoh utama dan bertambahlah ketidaksukaan saya pada karakter dalam buku ini.

Review belum selesai. Selain tentang karakter, satu yang membuat saya memutuskan untuk tidak melanjutkan membaca buku ini adalah cara pak LKH menceritakan perpindahan adegan satu ke adegan lain. Pak LKH suka sekali "menceritakan kembali" adegan2 yang baru saja dialami oleh para tokohnya. Apa maksudnya?

Bayangkan Anda membaca potongan adegan si Gajahmada dikejar2 oleh lawannya. Gajahmada dan pasukan Bhayangkaranya melarikan diri diatas kuda, sudah maju lebih dulu beberapa ratus meter sebelum pihak musuhnya mengejar. Lalu, dengan ilmu panah dan bela diri lainnya, Gajahmada dan anak buahnya berhasil menumbangkan beberapa pasukan pengejar itu sehingga mereka mau tidak mau harus menahan rasa malu dan berbalik kembali ke pimpinan mereka sambil membawa berita mereka baru saja dikalahkan.

Pada paragraf berikutnya, pak LKH menceritakan kembali adegan itu. Dengan cara yang lebih ringkas dan singkat, tapi intinya tetap sama. Gajahmada yang melarikan diri baru saja menghajar habis musuhnya sehingga mereka harus berlari tunggang langgang kembali ke Tuan mereka.

Pertanyaannya, buat apa ngasih tau pembaca lagi soal Gajahmada mengalahkan musuhnya ini? Toh, pembaca sudah melihat sendiri aksi Gajahmada berikut anak buahnya secara langsung sehingga saya merasa tidak ada gunanya penceritaan kembali seperti ini. Bahkan terasa membuang2 halaman. Entah berapa kali saya berpikir buku ini akan menjadi jauh lebih tipis seandainya Pak LKH tidak menggunakan cara bercerita yang seperti ini.

Dan ada juga paragraf yang tidak nyambung antara apa yang diceritakan sebelumnya dengan adegan dialog berikutnya. Contohnya pada bab 32. Sekitar sepuluh (atau lebih) paragraf awal di bab ini menceritakan after effect perang pemberontakan yang terjadi di bagian awal buku. Dari tatanan negara yang kacau, pasar yang hancur berantakan, sampai anak2 gadis yang luluh lantak diperkosa. Bahkan kalimat akhir dari paragraf kesekian itu berbunyi seperti ini:

"Gadis itu mencoba mengakhiri hidupnya dengan membenamkan sebuah cundrik ke perutnya. Kedua orangtuanya terpaksa harus menjaga gadis itu supaya tidak kehilangan akal."

Tapi dengan sangat anehnya adegan dialog yang terjadi tepat di bawah paragraf itu berbunyi:

"Aku sudah tidak kuat lagi," Sri Jayanegara yang berjalan terseok-seok itu akhirnya tidak tahan lagi.

Padahal dari belasan paragraf sebelumnya di satu bab itu nama Jayanegara sama sekali ga disebut-sebut.

Prabu Jayanegara minta disembah
Buuu, ga nyambung ah!

Dan entah kenapa pak LKH suka sekali mengulang-ulang kondisi Majapahit yang hancur berantakan setelah terjadi perang. Bukan cuma diulangi terus menerus dalam satu bab, tapi pada bab berikutnya diceritakan lagi dan pada bab berikutnya diceritakan lagi kalau Majapahit kacau setelah perang. Plis deh, pak LKH, kita udah tahu Majapahit kacau balau setelah perang semalam suntuk itu. Jangan diulang-ulang terus dong. Pembaca ga bego kok.

Pembaca ga bego.

Ah, itu satu lagi kesan yang kudapat dari membaca buku ini setengah jalan. Saya merasa kalau pak LKH menempatkan pembaca buku ini seolah-olah lebih bodoh dari Beliau. Karena itu adegan yang baru saja mereka lihat perlu diulangi sekali lagi. Karena itu mereka perlu dijelasin berulang-ulang kalau Majapahit itu kacau balau setelah perang. Dan karena itu pula, Beliau harus menjelaskan kalau nama kecil Jayanegara itu Kalagemet, sampai sekitar lima atau enam kali dari titik dimana saya memutuskan berhenti membaca. Dengan cara yang sama pula, selama enam kali menyebutkan kalau Jayanegara sewaktu kecil bernama Kalagemet. Seolah-olah pembaca ga bakal paham kalau cuma dikasih tahu sekali sehingga Beliau perlu menjelaskannya lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi. In the most boring way possible.

Yes, this book is boring.

Tapi terima kasih, Pak LKH. Paling tidak sejarah tentang Majapahit yang pernah saya dapat sewaktu SD sedikit diingatkan kembali melalui buku ini. Walaupun caranya masih kurang lebih sama dengan buku sejarah yang saya baca tiga belas tahun lalu itu.
Profile Image for Edward.
45 reviews
September 25, 2024
Awal membaca buku ini terlihat membosankan karena isi prolog yang disajikan pada bab 1. Begitu masuk ke bab selanjutnya, rasa bosan itu mulai menghilang dan cerita dalam buku ini semakin seru untuk dibaca. Dari sisi penulisan dalam buku, banyak kata "dalam pada itu" muncul pada beberapa bab. Aku tak mengerti mengapa penulis menggunakan gaya bahasa itu. Diriku kadang bingung maksudnya seperti apa karena gaya bahasa tersebut tidak lazim digunakan.

Selain itu, buku ini mampu memperluas pemahaman kita mengenai apa yang terjadi pada kerajaan Wilwatikta di masa lampau khususnya pada masa pemerintahan raja Jayanegara. Buku ini berfokus pada beberapa peristiwa:
- Makar yang dilakukan oleh para Dharmaputra Winehsuka dibawah pimpinan Ra Kuti.
- Penyelamatan Jayanegara oleh seorang pimpinan Bhayangkara yaitu Bekel Gajah Mada beserta pasukannya.
- Pertarungan antara pasukan Bhayangkara dan Dharmaputra Winehsuka.
- Strategi Gajah Mada dalam menumpas pemberontakan Ra Kuti.

Yang lebih menarik lagi dalam cerita ini adalah adanya beberapa pengkhianat di dalam pasukan Bhayangkara yang membuat Bekel Gajah Mada kewalahan menyelamatkan Jayanegara. Pembaca pun sampai dibuat penasaran siapa sosok pengkhianat itu. Ada juga sosok Bagaskara Manjer Kawuryan yang tidak terungkap sejak awal, tetapi sesekali menyampaikan informasi penting kepada Gajah Mada. Sosok tersebut bahkan terungkap di bagian akhir cerita yang membuat pembaca terbelalak.
Profile Image for Ainn.
4 reviews
October 16, 2022
Kerennnn
Dari dulu selalu pengen baca sejarah tentang kerajaan di Indonesia, dan nemu buku iniii
Awalnya kaget karna halamannya banyak banget tapi ga kerasa 5 hari kelarrr (emang tenggat pinjamannya 5 hari sih wkwk)
Dari buku ini kita bisa tau kaya gimana Gajah Mada itu, se pinter apa dia dalam ngadepin masalah, belum lagi otaknya yang cerdik bikin musuh ketar-ketir
Ada banyak tokoh yang baru aku tau setelah baca dan ternyata mereka punya peranan yang cukup penting dalam sejarah tapi jarang diketahui, kaya pasukan Bhayangkara, Arya Tadah, dll
Ada sedikit kisah cinta pelik nan menarik
Ada juga hal-hal yang bikin speechless and goosebumps at the same time
Diajak ikut mikir juga pas nyari siapa pengkhianatnya, juga dibawa emosi sama kelakuan² biadab para penjarah tanpa hati
Sukaa sama penulisan yang diselingin Bahasa Jawa pada masa itu, meski aga kaget ada kata bang**t, go*lok, dll di jaman itu (ga tau sih itu emang bener atau sengaja dutambahin biar lebih relate)
Pokoknya keren sihhhh, lanjut ke buku series lain? Ofc!!! Tapi keknya butuh jeda, pusing juga dipikir🤡
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Qhoirun Nisa.
18 reviews
November 9, 2021
Wooooowww sebuah karya sejarah yang sangat hebat, sejarah yang dari duku selalu saya ulang ulang dan kadang terasa membosankan menjadi sebuah novel yang seru dan di kemas dengan baik oleh penulis. Awalnya saya menyangka takutn akan merasa bosan pada novel ini karena saya sudah tau garis besar isi cerita, tapi ternyata saya menjadai terbawa dan terhanyut dengan cerita itu. Pengambaran suasanan Pada Zaman Majapahitnya sangat detail dan membuat terasa seperti menonton film tidak mau berhenti sebelum selesai. Pengambaran tokoh tokohnya juga sangat unik, pasukan Bhayangkara yang sebelumnnya terasa biasa di buku sejarah terasa sangat hidup. Narasinya juga sangat bagus kadang sampai terasa perasaan setiap tokohnya. Aku sangat menyukai tokoh para bhayangkara ada Gagak Bongol, Lembang Laut Roun Samudra dan lainnya. Dan juga Ra Tanca aku sangat menyukainya tapi sayang akhirnya sangat huhuhu menyedihkan.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Monica.
12 reviews
February 28, 2022
Series ini bercerita tentang Gajah Mada dari masa pemerintahan Jayanegara sampai beliau moksa. Pembaca akan diajak ke masa lampau untuk melihat bagaimana Sang Mahapatih dapat menyatukan Nusantara. Banyak banget pengetahuan akan sejarah yang tertuang dalam series ini
Dan baru kali ini juga aku ketagihan baca sejarah. Biasanya sama sekali nggak berminat 🤭
.
Gajah Mada series ini terdiri dari 5 buku. Penulis series ini bernama bapak Langit Kresna Hariadi. Beliau menggunakan bahasa yang sangat mudah dimengerti dan membuat orang ingin terus membaca series ini.
Series ini sangat menarik untuk diikuti karena mengajak kita untuk lebih memahami sejarah kerajaan terbesar Nusantara zaman dahulu dengan gaya bercerita yang apik dan rapi. Mungkin inilah yang kita sebut belajar tapi tanpa terasa seperti belajar. Kalau aja waktu sekolah udah baca series ini, dijamin nilai sejarah bakal bagus 😆
3 reviews
August 17, 2018
Bagian awal novel terasa cukup membosankan, terutama bagian world building nya. Selain itu, banyaknya kalimat yg diulang ulang seperti kabut tebal, majapahit hancur, gila!, dan lain lain membuat novel ini banyak membuang kalimat kalimat ga penting.
Adegan Gajah Mada dan Gagak Bongol sedikit membingungkan dan tidak konsisten. Di bagian awal disebutkan bahwa banya Gajah Mada yang tau di mana tempat persembunyian Jayanegara. Sedangkan di baguan berikutnya disebutkan bahwa yg mengetahui persembunyian Jayanegara hanya Gajah Mada dan Gagak Bongol (?????).

Secara keseluruhan, novel ini cukup intriguing, terutama ketika bagian mwmbongkar telik sandi Ra Kuti di tubuh Bhayangkara.
Profile Image for Arini Serda.
12 reviews
May 2, 2023
suka banget dengan penuturan cerita dalam balutan sejarah, kalau waktu SD belajar semenyenangkan ini pasti kita akan tumbuh dengan ingatan yang baik dan bangga dengan indonesia. buku awal dari rangkaian cerita majapahit dimana muncul nama yang sama besarnya dengan kerajaan tersebut, yaitu gajahmada. plot twist didalam cerita ini ciamik, walaupun banyak nama tokoh yang tersaji tapi tetap berada pada tracknya masing-masing. ketika kamu mulai membaca halaman pertama maka akan sulit untuk menyudahi sebelum menyelesaikan halam terakhir.
Profile Image for Rudy Setiyana.
1 review
November 7, 2018
untuk saya yang baru senang baca, buku ini cukup bagus untuk pemula seperti saya yang juga penyuka buku-buku/novel-novel dunia persilatan. gaya bahasa yang sederhana di tabah pula dengan megangkat kisah sejarah tanah jawa (yang sebaagian hanya sebuah dongeng atau cerita dan sebagain lagi benar spt itu sejarah tanah jawa).

tapi tetap buku ini tetap bagus untuk di baca dan di koleksi.
Profile Image for Arutala.
505 reviews1 follower
July 30, 2022
Maksud hati ingin membaca tentang sejarah tokoh pemersatu nusantara yang terkenal dengan sumpah palapa berikut intriknya, namun apa daya yang didapat hanya penceritaan yang sederhana dan membuat bosan.
Ceritanya menarik tapi alur dan pov nya kurang tertata rapi. Apalagi pace pergantian cerita atau adegan rada terlalu lama dan diulang-ulang.
Profile Image for Just Fy.
7 reviews
August 2, 2024
"Aku tak mungkin menggapai mimpiku. Jika demikian, untuk apa aku hidup?" Ucap Ra Tanca yang mengaduk obat sambil memejamkan mata dengan menerobos kenangan ke sebuah waktu yang menjadi masa lalu.

I feel you Ra Tanca.
Profile Image for saniscara.
1 review
Read
September 15, 2025
idk its really great or just 7 y.o me amaze with it (yup aku baca ini waktu kelas 2 sd) (salahkan perpustakaan sekolah yang menyediakan buku dengan rating 21+) so yeah kapan kapan mau reread (sekarang beneran udah 21+)
Displaying 1 - 30 of 186 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.