Riwayat hidup Masa mudanya dihabiskan di Surakarta. Pada masa ini ia sudah menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah. Kesukaannya menulis ini berkembang saat ia menempuh kuliah di bidang bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sejak tahun 1974 ia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, namun kini telah pensiun. Ia pernah menjadi dekan di sana dan juga menjadi guru besar. Pada masa tersebut ia juga menjadi redaktur pada majalah "Horison", "Basis", dan "Kalam".
Sapardi Djoko Damono banyak menerima penghargaan. Pada tahun 1986 SDD mendapatkan anugerah SEA Write Award. Ia juga penerima penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003. Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan Lontar.
Karya-karya Sajak-sajak SDD, begitu ia sering dijuluki, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Sampai sekarang telah ada delapan kumpulan puisinya yang diterbitkan. Ia tidak saja menulis puisi, tetapi juga menerjemahkan berbagai karya asing, menulis esei, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola.
Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti Aku Ingin (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari. Kepopuleran puisi-puisi ini sebagian disebabkan musikalisasi terhadapnya. Yang terkenal terutama adalah oleh Reda Gaudiamo dan Tatyana (tergabung dalam duet "Dua Ibu"). Ananda Sukarlan pada tahun 2007 juga melakukan interpretasi atas beberapa karya SDD.
Berikut adalah karya-karya SDD (berupa kumpulan puisi), serta beberapa esei.
Kumpulan Puisi/Prosa
* "Duka-Mu Abadi", Bandung (1969) * "Lelaki Tua dan Laut" (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway) * "Mata Pisau" (1974) * "Sepilihan Sajak George Seferis" (1975; terjemahan karya George Seferis) * "Puisi Klasik Cina" (1976; terjemahan) * "Lirik Klasik Parsi" (1977; terjemahan) * "Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak" (1982, Pustaka Jaya) * "Perahu Kertas" (1983) * "Sihir Hujan" (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia) * "Water Color Poems" (1986; translated by J.H. McGlynn) * "Suddenly the night: the poetry of Sapardi Djoko Damono" (1988; translated by J.H. McGlynn) * "Afrika yang Resah (1988; terjemahan) * "Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia" (1991; antologi sajak Australia, dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David Broks) * "Hujan Bulan Juni" (1994) * "Black Magic Rain" (translated by Harry G Aveling) * "Arloji" (1998) * "Ayat-ayat Api" (2000) * "Pengarang Telah Mati" (2001; kumpulan cerpen) * "Mata Jendela" (2002) * "Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro?" (2002) * "Membunuh Orang Gila" (2003; kumpulan cerpen) * "Nona Koelit Koetjing :Antologi cerita pendek Indonesia periode awal (1870an - 1910an)" (2005; salah seorang penyusun) * "Mantra Orang Jawa" (2005; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)
Musikalisasi Puisi
Musikalisasi puisi karya SDD sebetulnya bukan karyanya sendiri, tetapi ia terlibat di dalamnya.
* Album "Hujan Bulan Juni" (1990) dari duet Reda dan Ari Malibu. * Album "Hujan Dalam Komposisi" (1996) dari duet Reda dan Ari. * Album "Gadis Kecil" dari duet Dua Ibu * Album "Becoming Dew" (2007) dari duet Reda dan Ari Malibu * satu lagu dari "Soundtrack Cinta dalam Sepotong Roti", berjudul Aku Ingin, diambil dari sajaknya dengan judul sama, digarap bersama Dwiki Dharmawan dan AGS Arya Dwipayana, dibawakan oleh Ratna Octaviani.
Ananda Sukarlan pada Tahun Baru 2008 juga mengadakan konser kantata "Ars Amatoria" yang berisi interpretasinya atas puisi-puisi SDD.
Buku
* "Sastra Lisan Indonesia" (1983), ditulis bersama Subagio Sastrowardoyo dan A. Kasim Achmad. Seri Bunga Rampai Sastra ASEAN.
Selain duka-Mu abadi dan Hujan Bulan Juni, Ayat-ayat Api adalah buku kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono yang paling kusuka. Boleh jadi ini satu-satunya buku puisi Sapardi yang khusus mendedah komentar sosial, seperti peristiwa bakar-binakar tragedi Mei 1998 yang terjadi di Jakarta dan kota-kota lain menjelang Sang Jendral lengser keprabon.
Kata "ayat" -- yang akrab dalam kitab suci agama Islam dan Kristen itu -- bukan lagi sekadar berarti "kalimat". Ayat sudah menjadi tanda. Ayat-ayat api pun menjadi tanda-tanda kehidupan (bdk. Bakdi Soemanto, 2006). Seperti bunyi puisi Sapardi ini: "Api adalah lambang kehidupan, itu sebabnya kita luluhlantak/ dalam kobarannya (p.133)." Itulah ayat-ayat Sapardi, mengusung ambiguitas dan ironi tak terampuni.
Buku antologi ini terdiri dari tiga bab: Ayat-ayat Nol, Ayat-ayat Arloji, dan Ayat-ayat Api - sebagai tema sentralnya.
Ayat-ayat Nol berbicara tentang keberadan manusia dari nol, dan kembali menjadi seorang anak kecil, seperti nada puisi "Catatan Masa Kecil" berikut:
"Ia tak sempat bertanya kenapa dua kali dua hasilnya sama dengan dua tambah dua sedangkan satu kali satu lebih kecil dari satu tambah satu dan tiga kali tiga lebih besar dari tiga tambah tiga. Sejak semula ia sayang pada angka nol. Dan setiap kali menghitung dua tambah tiga kali empat kurang dua ia selalu teringat waktu terjaga malam-malam ketika ibunya sakit keras dan ayahnya tidak ada di rumah dan di halaman terdengar langkah-langkah bakiak almarhumah neneknya dan ia ingin kencing tetapi takut ke kamar kecil yang dekat sumur itu dan lalu kencing saja di kasur.
"Sungguh, sejak semula ia hanya mempercayai angka nol." (1984)
Puisi-cerita yang sangat cair di atas mengembalikan kenangan pada masa kecil yang polos dan jujur itu, masa-masa ngompol itu. Tak ada memang yang lebih nikmat dari "kencing saja di kasur" itu. Perilaku si anak kecil yang "menjadi Nol" itu seolah hendak mengatakan: hidup ini seperti hitungan yang memiliki ketidakpastian (kebetulan) dalam kepastianya. Tentu, situasi ini membingungkan, bagi orang dewasa sekalipun. Tak heran kalau dia hanya percaya angka "nol", pada hati nuraninya.
Ayat-ayat Arloji berbicara tentang waktu yang terlupa, amat kuat terlihat dalam "Dongeng Marsinah" (1993-1996) yang terkenal itu. "Marsinah buruh pabrik arloji,/ mengurus presisi:/ merakit jarum, sekrup, dan roda gigi…" tulis sapardi di pada bagian /1/ membuka puisi ini. "Marsinah itu arloji sejati,/ tak lelah berdetak memintal kefanaan/ yang abadi:/ "kami ini tak banyak kehendak,/ sekedar hidup layak,/ sebutir nasi (p.27)."
Puisi satu ini memang begitu sadis dan ironis. Pada bagian /3/ dan /4/ berbunyi: "Di hari baik bulan baik," Marsinah dijemput, lalu kemudian disiksa. Bahkan di hari baik dan bulan baik itu, "Marsinah diseret/ dan dicampakkan --/ sempurna, sendiri (p.29-30)." Duh.
Bukan karena saya selalu memakai arloji maka saya menyukai bab ayat-ayat arloji ini. Puisi protes sosial Dongeng Marsinah begitu lekat di hati. Bahkan saya anggap sebagai puisi terbaik sapardi dalam buku kumpulan ini. Patutlah pula kita mengenang Marsinah, buruh pabrik arloji itu. "Marsinah itu arloji sejati/ melingkar di pergelangan/ tangan kita ini (p.32)," tulis Sapardi, menutup kisah tentang ketidakadilan, kekejaman, dan keserakahan manusia.
Ayat-Ayat Api merupakan salah satu judul puisi Sapardi dalam buku ini, dan diangkat menjadi judul buku. Mungkin para pembaca lain heran, mengapa Sapardi mengangkat "api" menjadi tema sentral buku ini. Padahal mungkin lebih dari 35.7% puisi-puisi Sapardi, sejak awal, senantiasa menyinggung tentang hujan, tulis Bakdi. Boleh jadi, keheranan itu menjadi daya tarik tersendiri dalam buku ini.
Buku Ayat-ayat Api berhasil menghadirkan puisi-puisi imajis profesor tua ini tentang merahnya api pada tragedi Mei yang masih meninggalkan trauma panjang bagi kita, khususnya bagi Etnis Cina atau Tionghoa. Peristiwa berdarah ini menjadi salah satu sejarah terkelam republik ini. Di mana lorong-lorong kota menjelma tarian naga meliuk merah diiringi pekik anak dara yang belum lulus esde, tulis Hanna Fransisca dalam Konde Penyair Han.
Rupanya peristiwa itu bukan sekadar lakon Anoman obong dalam dongengan Ramayana, namun benar-benar terjadi di negeri ini. Kisah pewayangan ini sangat kuat digambarkan romo Sindhunata dalam novel terkenalnya, Anak Bajang Menggiring Angin.
Alkisah, Anoman, si kerah putih itu, diutus oleh Prabu Ramajaya untuk melihat keadaan Dewi Sinta yang ditawan Rahwana di negeri Alengka. Setelah berhasil menjenguk Sinta, Anoman tertangkap. Tumpukan kayu disediakan di alun-alun Alengka. Anoman hendak dibakar di sana. Namun begitu api menyala, Anoman melepaskan diri. Kera sakti itu lalu terbang, dan membakar semua rumah di Alengka.
Juga pada tahun 1997, mungkin masih lekat dalam ingatan kita akan lagu Anoman Obong yang digubah oleh Ranto Edi Gudel, dan menjadi hit terlaris saat itu -- melebihi lagu pop lain. Boleh jadi lagu ini sebagai isyarat akan datangnya tragedi besar. Menyata pula 'ramalan' dalam lagu ini setahun kemudian, yakni pada Mei kelabu 1998. Kota Jakarta, Solo, Surakarta dan kota-kota lain benar-benar menjadi lautan api, seperti Alengka yang kobong; terlihat dalam lirik Anoman Obong berikut:
Anoman, si kethek putih/ sowan taman, Sinta diajak mulih/ konangan Indrajit lan putih/ ning Anoman ora wedi getih.// Ela… ladalah Ngalengka diobong/ Togo Bilung padha pating ndomblang/ omah gedhe padha dadi areng/ Dasamuka kari gereng-gereng... (Anoman, si kera putih/ datang ke taman, mengajak Sinta pulang/ Ketahuan Indrajit dan patihnya/ namun Anoman tiada takut akan darah./ Ela… ladalah Alengka dibakar/ Togog Bilung jadi linglung/ rumah-rumah besar jadi arang/ Dasamuka tinggal marah geram).
Namun penyair selalu saja punya cara tersendiri mengintensifkan pengalamannya tentang satu peristiwa atau satu fenomen. Sapardi sangat kontras dengan cara Rendra berpuisi untuk menyampaikan protes sosial. Misalnya dalam Blues untuk Bonnie, Rendra menuliskan satu sajak: "Bersatulah Pelacur-Pelacur Jakarta". Melihat judul ini saja sudah membawa semangat yang getir, pemberontakan bernada putus-asa. Sedangkan pada Sapardi, dalam komentar sosialnya, dia masih tetap membawa keteduhan, ketenangan bengawaninya, menyentuh wilayah kedalaman pengalaman manusia.
Bisa-bisanya profesor Sapardi ini menulis puisi tanpa menyertakan emosi. Tidak menjadi budak amarah akan ungkapan kebrengsekan dan kerusuhan zaman. Seperti biasa, dia sangat paham betul dengan kekuatan kata. Terlihat dari pada bagian /1/. "mei, bulan kita itu, belum ditinggalkan penghujan," tulis Sapardi membuka puisi Ayat-ayat Api (p.115-145), menggigilkan tubuh kita dengan bermain-main di medan perlambangan dan ironi.
Saat belum ditinggal musim penghujan itu pula, seperti tergambar pada bagian/2/: "seorang anak laki-laki/ menoleh ke kiri ke kanan/ lalu cepat-cepat menyelinap/ dalam kerumunan itu/ dan tidak kembali." Si anak masuk ke dalam kerumunan yang sedang menjarah toko yang terbakar (atau sengaja dibakar), dan tak pernah kembali karena terpijak atau mati terpanggang. Sementara itu, "tiga orang lelaki separo baya/ bergegas menyusulnya/ dan tidak kembali." Semua terbakar saat mencoba ikut menjarah teve, radio, kulkas dll. Lebih mengerikan lagi, "lima enam tujuh perempuan/ meledak bersama dalam api/ dan, tentu saja,/ tidak kembali."
Pada sore hari, seperti terlukis pada bagian /10/, "ia berubah juga/ menjadi abu sepenuhnya," dan menjadi berita koran-koran pagi (bagian /12/); ia menjadi tokoh khayali "digeser ke sana/ ke mari di halaman koran, di layar televisi,/ dan sulapan bunyi-bunyian di radio." Padahal ia sudah menjadi abu, tak berhak mondar-mandir lagi, sebab "ini bukan lakon Anoman Obong," sambung Sapardi pada bagian /13/.
Korban-korban tragedi Mei jatuh bergelimpangan, hingga tak ada tempat untuk mengubur (/15/). Karena itu, "mungkin satu-satunya basa-basi yang tersisa/ adalah menguburmu sementara dalam ingatan kami. (p.145)." Sungguh malang nasib mereka. Biarlah kita tetap mengubur mereka dalam kenangan, dalam ingatan tentang peristiwa itu: menjadi sesuatu yang abadi.
Kekhasan sapardi dengan kata-kata sihir, menjelma, gaib, tak terlihat mewarnai baris-baris puisi dalam buku ini. Justru Sapardi kerap menghadirkan kata sulapan, yang berarti tipuan. Dan kita sama-sama tahu siapa Tukang Sulap itu. Kata sulapan itu pun menjadi, meminjam istalah A. Teeuw, pasemon: sindiran sangat halus, bagai lebah tanpa sengat.
Meski tak seheboh Ayat-ayat-Cinta (yang konon katanya nyaris terkenal itu), buku Ayat-ayat Api ini akan meninggalkan kesan yang mendalam bagi pembacanya. Selain itu, setidaknya bagi saya, ayat-ayat api ini telah menjelma ayat-ayat yang menyadarkan: ayat-ayat yang mengajak kita melawan lupa.***
Siapa yang tidak terkesima dengan puisi "Sajak-Sajak Kecil Tentang Cinta" milik Sapardi. Ada di halaman 59 buku ini.
Hanya, yang dekat dengan hidup saya nggak cukup banyak, jadi ya pemahamannya terbatas. Memahami puisi, bagi saya, berlapis lebih sulit daripada berusaha memahami cerpen atau novel.
Sudah lama tidak menikmati sajak-sajak Sapardi, akhirnya hari ini di #SabtuPuisi aku bisa menyempatkan waktu membaca Ayat-Ayat Api. Kumpulan sajak ini memuat tiga bab yang masing-masing berjudul Ayat Nol, Ayat Arloji, dan Ayat Api. Dari ketiga pembagian bab tersebut, Ayat Arloji memuat lebih banyak sajak dari dua bab lainnya.
Sesuai judulnya, bab Ayat Api masuk dalam susunan bab terakhir. Namun, bab 2 (Ayat Arloji) yang paling aku favoritkan di sini karena Sapardi langsung menyuguhkan sajak tentang Marsinah di bagian pembuka; mengena! Tak kusangka ada elemen sejarah yang dibawa oleh Sapardi, membuat sosok Marsinah makin tak lekang oleh waktu atas kelantangannya menyuarakan gagasan kala itu. Selebihnya, sajak-sajak dalam buku ini banyak menyinggung soal kehidupan sehari-hari.
Jujur, sejak dulu sajak atau puisi Sapardi agak sulit kupahami walau bahasanya sederhana sekalipun. Jarang ada yang mengena buatku (tak seperti saat aku membaca puisi Joko Pinurbo), tapi sekalinya ada ... boom! Magis sekali. Overall, buku ini wajib masuk daftar bacaanmu, khususnya untuk kamu yang mencintai sajak dan sejarah Indonesia.
Pada akhirnya halaman terakhir bukanlah akhir dari pertemuan saya dengan buku ini. Seperti buku SDD sebelumnya, kerap saya sering kali bolak balik membaca puisinya, lagi dan lagi. Bukan hanya karena saya suka dengan puisi-puisi beliau, tapi juga - tentu saja, saya termasuk kategori orang yang harus membaca sebuah puisi berulang kali untuk memahaminya. (mungkin itu sebabnya pada satu titik saya frustrasi juga nulis puisi...walau sekadar puisi curhat heheh).
Kumpulan puisi ini terdiri dari 3 bagian. Ayat-ayat Nol, Ayat-ayat Arloji, dan Ayat-ayat Api. Kalau ditanya suruh mereview buku ini dengan selengkap2nya saya pasti bingung. Kenapa? menyampaikan analisis sendiri itu ternyata susah. Tapi kalau ditanya mana yang paling saya suka dari puisi2nya dalam buku ini? saya mau kok ngetikin di sini satu2 :D.
Oiya, saya menyempatkan baca thread baca banget GRI buku ini. Terpesona dengan percakapan antara SDD dengan Hasan Aspahani.
HASAN: Imajinasi dan sesuatu di masa lalu? Kenangan? Masa kecil? SAPARDI: Sumbernya apa saja tapi andalan saya imajinasi. Ada buku baru tentang saya di Grasindo. Coba baca.
HASAN: Saya pasti akan beli dan baca. Eh, sering merasa kecolongan atau cemburu pada puisi penyair lain? SAPARDI: Tidak pernah.
HASAN: Saya suka dengan apa yang Anda yakini dengan permainan makna. Makna tidak jadi beban. Tidak jadi amanat yang harus diburu oleh pembaca. Begitukah? SAPARDI: Anda benar.
HASAN: Kalau Anda diberi kuasa yang hebat untuk puisi, apa yang pertama Anda buat? SAPARDI: Berbuat baik pada sesama lewat puisi.
#pesanmoralhariini#
Catatan Masa Kecil, 4
Ia tak pernah sempat bertanya kenapa dua kali dua hasilnya sama dengan dua tambah dua sedangkan satu kali satu lebih kecil dari satu tambah satu dan tiga kali tiga lebih besar dari tiga tambah tiga. Sejak semula ia sayang pada angka nol.
Dan setiap kali ia menghitung dua tambah tiga kali empat kurang dua ia selalu teringat waktu terjaga malam-malam. Ketika ibunya sakit keras dan ayahnya tidak ada di rumah dan di halaman terdengar langkah-langkah bakiak almarhum neneknya. Dan ia ingin kencing tetapi takut ke kamar kecil yang dekat sumur itu dan lalu kencing saja di kasur. Sungguh, sejak semula ia hanya mempercayai angka nol. (5)
Garis
menyayat garis-garis hitam atas warna keemasan; di musim apa Kita mesti berpisah tanpa membungkukkan selamat jalan?
sewaktu cahaya tertoreh ruang hening oleh bisik pisau; Dikau-kah debu, bianglala itu, kabut diriku?
dan garis-garis tajam (berulang kembali, berulang ditolakkan) atas latar keemasan pertanda aku pun hamil. Kau-tinggalkan (11)
Pagi
ketika angin pagi tiba kita seketika tak ada di mana saja. Di mana saja bayang-bayang gema cinta kita yang semalam sibuk menerka-nerka
di antara meja, kursi, dan jendela? Kamar berkabut setiap saat kita berada, jam-jam terdiam sampai kita gaib begitu saja. Ketika angin
pagi tiba tak terdengar “Di mana kita?” — masing-masing mulai kembali berkelana cinta yang menyusur jejak Cinta yang pada kita tak habis-habisnya menerka (13)
Sehabis Percakapan
sehabis percakapan pendek warna-warna menyisih ke putih; tamasya yang di luar sia-sia menunggu (15)
/5/ “Saya ini Marsinah, buruh pabrik arloji. Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir ke dunia lagi; jangan saya dikirim ke neraka itu lagi.”
(Malaikat tak suka banyak berkata, ia sudah paham maksudnya.)
apa sebaiknya menggelinding saja bagai bola sodok, bagai roda pedati?”
(Malaikat tak suka banyak berkata, ia biarkan gerbang terbuka.)
“Saya ini Marsinah, saya tak mengenal wanita berotot, yang mengepalkan tangan, yang tampangnya garang di poster-poster itu; saya tidak pernah jadi perhatian dalam upacara, dan tidak tahu harga sebuah lencana.”
(Malaikat tak suka banyak berkata, tapi lihat, ia seperti terluka.) (31)
Ibu
Ibu masih tinggal di kampung itu, ia sudah tua. Ia adalah perempuan yang menjadi korban mimpi-mimpi ayahku. Ayah sudah meninggal, ia dikuburkan di sebuah makam tua di kampung itu juga, beberapa langkah saja dari rrumah kami. Dulu Ibu sering pergi sendirian ke makam, menyapu sampah dan, kadang-kadang, menebarkan beberapa kuntum bunga. “Ayahmu bukan pemimpi,” katanya yakin meskipun tidak berapi-api, “ia tahu benar apa yang terjadi.” Kini di makam itu sudah berdiri sebuah sekolah, Ayah digusur ke sebuah makam agak jauh di sebelah utara kota. Kalau aku kebetulan pulang, Ibu suka mengingatkanku untuk menengok makam ayah, mengirim doa. Ibu sudah tua, tentu lebih mudah mengirim doa dari rumah saja. “Ayahmu dulu sangat sayang padamu, meskipun kau mungkin tak pernah mempercayai segala yang dikatakannya.” Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, sambil menengok ke luar jendela pesawat udara, sering kubayangkan Ibu berada di antara mega-mega. Aku berpikir, Ibu sebenarnya lebih pantas tinggal di sana, di antara bidadari-bidadari kecil yang dengan ringan terbang dari mega ke mega — dan tidak mondar-mandir dari dapur ke tempat tidur, memberi makan dan menyusui anak-anaknya. “Sungguh, dulu ayahmu sangat sayang padamu,” kata Ibu selalu, “meskipun sering dikatakannya bahwa ia tak pernah bisa memahami igauan-igauanmu.” (43)
Pertanyaan Kerikil Yang Goblok
“Kenapa aku berada di sini?” tanya kerikil yang goblok itu. Ia baru saja dilontarkan dari ketapel seorang anak lelaki, merontokkan beberapa lembar daun mangga, menyerempet ujung ekor balam yang terperanjat, dan sejenak membuat lengkungan yang indah di udara, lalu jatuh di jalan raya tepat ketika ada truk lewat di sana. Kini ia terjepit di sela-sela kembang ban dan malah bertanya kenapa; ada saatnya nanti, entah kapan dan di mana, ia dicungkil oleh si kenek sambil berkata, “Mengganggu saja!”
/11/ di akhir isian panjang itu tertera pertanyaan “apa yang masih terisa dari tubuhmu”
isi saja “tak ada” tapi, o ya, mungkin kenangan yang tentunya juga sia-sia bertahan
*sekian, pastinya lain kali saya baca lagi buku ini*
“Saya ini Marsinah, buruh pabrik arloji. Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir ke dunia lagi; jangan saya dikirim ke neraka itu lagi.”
(Malaikat tak suka banyak berkata, ia sudah paham maksudnya.)
“Sengsara betul hidup di sana jika suka berpikir, jika suka memasak kata; apa sebaiknya menggelinding saja bagai bola sodok, bagai roda pedati?”
(Malaikat tak suka banyak berkata, ia biarkan gerbang terbuka.)
“Saya ini Marsinah, saya tak mengenal wanita berotot, yang mengepalkan tangan, yang tampangnya garang di poster-poster itu; saya tidak pernah jadi perhatian dalam upacara, dan tidak tahu harga sebuah lencana.”
(Malaikat tak suka banyak berkata, tapi lihat, ia seperti terluka.)
Perkara bagus atau tidak, tentu saja puisi Bapak selalu bagus bagi saya, terutama. Membaca puisi dan memahaminya tidak bisa hanya sekali baca, saya pasti akan baca berulang hingga menemukan maknanya. Tetapi, ada juga puisi Bapak yang tak memerlukan usaha keras untuk mencari maknanya, terkadang tulisan diciptakan memang hanya untuk dinikmati, kan?
Buku 'ayat-ayat api' ini terdiri dari 3 bagian; ayat nol, ayat arloji, ayat api.
Puisi yang paling kusuka adalah; Catatan Masa Kecil,4, Garis, Pagi, dan paling favorite, yang masih membuat merinding adalah puisi dengan judul Dongeng Marsinah.
Akan ku kutip sedikit puisi tentang Dongeng Marsinah. Sebab aku tidak mau merinding sendirian.
Dongeng Marsinah
/3/
Di hari baik bulan baik, Marsinah dijemput di rumah tumpangan untuk suatu perhelatan. Ia diantar ke rumah Siapa, ia disekap di ruang pengap, ia diikat ke kursi; mereka kira waktu bisa disumpal agar lengkingan detiknya tidak kedengaran lagi.
Ia tidak diberi air, ia tidak diberi nasi; detik pun gerah berloncatan ke sana ke mari. Dalam perhelatan itu, kepalanya ditetak, selangkangannya diacak-acak, dan tubuhnya dibirulebamkan dengan besi batangan.
Detik pun tergeletak, Marsinah pun abadi.
/6/
Marsinah itu arloji sejati, melingkar di pegerlangan tangan kita ini; dirabanya denyut nadi kita, dan diingatkannya agar belajar memahami hakikat presisi.
Kita tatap wajahnya setiap pergi dan pulang kerja, kita rasakan detak-detiknya di setiap getaran kata.
Marsinah itu arloji sejati, melingkar di pergelangan tangan kita ini.
masih ditemai sajak-sajak sapardi di liburan nyepi. beberapa sajak dalam buku ini berbeda dengan kebanyakan sajak sapardi yang lebih lembut. dalam buku ini ada sajak-sajak perlawanan sapardi, saya jadi ingat novel trilogi soekram yang berkisah seorang dosen yang menyaksikan kerusuhan 98. dan di buku puisi ini, hal itu terpuisikan dalam beberapa judul. sajak paling menakutkan adalah perihal marsinah. Dongeng Marsinah
tapi sajak yang lucu catatan masa kecil 4 sajak yang bikin haru berjudul ibu sajak yang romantis berjudul sajak-sajak kecil tentang cinta
Kumpulan sajak dalam buku ini bisa dibilang cukup tematik. Ada yang membahas soal sosial, HAM, sufisme, fase pendewasaan, dan lain-lain. Buku tipis berjumlah delapan puluhan halaman ini cocok jadi teman duduk dalam perjalanan singkat. Dari gaya bahasanya tak banyak bermain metamofora. Lebih apa adanya. Namun, tetap menarik dan perlu untuk diresapi bersama.
setiap ada kesempatan membaca puisi di panggung. saya selalu menyempatkan membaca 'dongeng marsinah' yang ada dalam kumpulan puisi ini.
puisi dongeng marsinah bikin merinding. membuat saya selalu merasa gagal menjadi manusia. karena membiarkan seorang marsinah sendiri. ah, saya jadi ingin membaca 'dongeng marsinah' untuk kalian semua. supaya kalian semua ikut merasa gagal menjadi manusia.
gieb.
DONGENG MARSINAH
/1/ Marsinah buruh pabrik arloji, mengurus presisi: merakit jarum, sekrup, dan roda gigi; waktu memang tak pernah kompromi, ia sangat cermat dan pasti.
Marsinah itu arloji sejati, tak lelah berdetak memintal kefanaan yang abadi: “kami ini tak banyak kehendak, sekedar hidup layak, sebutir nasi.”
/2/ Marsinah, kita tahu, tak bersenjata, ia hanya suka merebus kata sampai mendidih, lalu meluap ke mana-mana. “Ia suka berpikir,” kata Siapa, “itu sangat berbahaya.”
Marsinah tak ingin menyulut api, ia hanya memutar jarum arloji agar sesuai dengan matahari. “Ia tahu hakikat waktu,” kata Siapa, “dan harus dikembalikan ke asalnya, debu.”
/3/ Di hari baik bulan baik, Marsinah dijemput di rumah tumpangan untuk suatu perhelatan. Ia diantar ke rumah Siapa, ia disekap di ruang pengap, ia diikat ke kursi; mereka kira waktu bisa disumpal agar lenkingan detiknya tidak kedengaran lagi.
Ia tidak diberi air, ia tidak diberi nasi; detik pun gerah berloncatan ke sana ke mari.
Dalam perhelatan itu, kepalanya ditetak, selangkangnya diacak-acak, dan tubuhnya dibirulebamkan dengan besi batangan.
Detik pun tergeletak Marsinah pun abadi.
/4/ Di hari baik bulan baik, tangis tak pantas. Angin dan debu jalan, klakson dan asap knalpot, mengiringkan jenazahnya ke Nganjuk. Semak-semak yang tak terurus dan tak pernah ambil peduli, meregang waktu bersaksi:
Marsinah diseret dan dicampakkan — sempurna, sendiri.
Pangeran, apakah sebenarnya inti kekejaman? Apakah sebenarnya sumber keserakahan? Apakah sebenarnya azas kekuasaan? Dan apakah ebenarnya hakikat kemanusiaan, Pangeran?
Apakah ini? Apakah itu? Duh Gusti, apakah pula makna pertanyaan?
/5/ “Saya ini Marsinah, buruh pabrik arloji. Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir ke dunia lagi; jangan saya dikirim ke neraka itu lagi.”
(Malaikat tak suka banyak berkata, ia sudah paham maksudnya.)
apa sebaiknya menggelinding saja bagai bola sodok, bagai roda pedati?”
(Malaikat tak suka banyak berkata, ia biarkan gerbang terbuka.)
“Saya ini Marsinah, saya tak mengenal wanita berotot, yang mengepalkan tangan, yang tampangnya garang di poster-poster itu; saya tidak pernah jadi perhatian dalam upacara, dan tidak tahu harga sebuah lencana.”
(Malaikat tak suka banyak berkata, tapi lihat, ia seperti terluka.)
/6/ Marsinah itu arloji sejati, melingkar di pergelangan tangan kita ini; dirabanya denyut nadi kita, dan diingatkannya agar belajar memahami hakikat presisi.
Kita tatap wajahnya setiap hari pergi dan pulang kerja, kita rasakan detak-detiknya di setiap getaran kata.
Marsinah itu arloji sejati, melingkar di pergelangan tangan kita ini.
Nama Sapardi Djoko Damono saya kenali melalui seorang teman, pengkagum karya-karya seberang. Abaikan 'promosi'nya terhadap sinetron-sinetron kegemarannya, saya harus berterima kasih saat beliau membawa perkenalan terhadap 'Aku ingin' dan 'Hatiku Selembar Daun'- puisi pak Sapardi.
Justeru bila terserempak nama Sapardi ketika melewati rak di perpustakaan negara, buku ini terus dicapai. Peluang untuk berkenalan lebih lanjut dengan puisi pak Sapardi. Untuk 3 minggu lepas 'Ayat-ayat Api' adalah buku tetap bagi 'momen peribadi teh halia di kala petang' saya.
Melihatkan kulit buku dan judul buku ini Ayat-ayat Api saya membayangkan akan berdepan dengan emosi yang membara. Tetapi tidak.
Pak Sapardi menggeletek saya dengan 'Sebelum Fajar', 'Pertanyaan Kerikil yang Goblok' dan sajak depan 'ayat Nol'. Terikut muhasabah dengan 'Pada suatu Maghrib', terikut ber'astaghfirullah' pada sajak akhir 'ayat api'.
Ayat-ayat api adalah buku puisi paling menghiburkan dan terunik yang pernah saya baca!
Ini buku puisi SDD yang bersinggungan dengan politik. Konteksnya adalah kerusuhan Mei 1998 menjelang Soeharto jatuh. Juga ada puisi "Dongeng Marsinah" yang apik tenan.
jujur saja, saya selalu kebingungan untuk mengulas buku-buku puisi Eyang. seperti semuanya sudah jelas dan cukup, ketika kau membacanya. maka berikut kutuliskan saja beberapa puisi di Ayat-Ayat Api ini:
(sunyi yang lebat)
sunyi yang lebat: ujung-ujung jari sunyi yang lebat: bola mata dan gendang telinga sunyi yang lebat: lidah dan lubang hidung sunyi yang dikenal sebagai hutan: pohon-pohon roboh, margasatwa membusuk di tepi sungai kering, para pemburu mencari jejak pancaindra. . .
(salamku matahari)
salamku matahari! Yang membagi-bagikan warna di laut, di padang-padang yang dilupakan ketika layar perahu mengigau tentang bunga ilalang panjang
(dongeng marsinah /6/)
Marsinah itu arloji sejati, melingkar di pergelangan tangan kita ini; dirababya denyut nadi kita, dan diingatkannya agar belajar memahami hakikat presisi.
Kita tatap wajahnya setiap pergi dan pulang kerja, kita rasakan detak-detiknya di setiap getaran kata.
Marsinah itu arloji sejati, melingkar di pergelangan tangan kita ini
ps. salah satu puisi Eyang paling populer. tentang Marsinah, buruk pabrik jam di Sidoarjo, Jawa Timur yang diculik dan dibunuh setelah melakukan demonstrasi kenaikan upah gaji.
(adam dan hawa)
biru langit menjadi sangat dalam awan menjelma burung berkas-berkas cahaya sibuk jalin-menjalin tanpa pola angin tersesat di antara sulur pohon di hutan ketika Adam tiba-tiba saja melepaskan diri dari pelukan perempuan itu dan susah payah berdiri, berkata "kau ternyata bukan perawan lagi lalu Siapa gerangan yang telah lebih dahulu menidurimu?"
(pada suatu magrib)
susah benar menyebrang jalan di Jakarta ini; hari hampir magrib, hujan membuat segalanya tak tertib. dan dalam usia yang hampir enam puluh ini, astagfirullah! rasanya di mana-mana ajal mengintip
(ia tak pernah)
ia tak pernah berjanji kepada pohon untuk menerjemahkan burung menjadi api
ia tak pernah berjanji kepada burung untuk menyihir api menjadi pohon
ia tak pernah berjanji kepada api untuk mengembalikan pohon kepada burung
Sebagai seorang pembaca awam, saya memutuskan untuk menjelajahi Ayat-Ayat Api karya Sapardi Djoko Damono. Awalnya, saya tidak terlalu tahu banyak tentang puisi, tetapi saya ingin mencoba memahami apa yang membuat buku ini begitu terkenal.
Salah satu hal pertama yang saya perhatikan adalah kesederhanaan bahasa yang digunakan. Puisi-puisi di dalamnya tidak rumit dan mudah dipahami. Sapardi seolah-olah berbicara langsung kepada kita, membuat pengalaman membaca terasa lebih dekat dan intim. Saya merasa bisa merasakan emosi yang dia sampaikan tanpa harus berpikir terlalu keras.
Tema yang diangkat, seperti cinta dan kehilangan, sangat relatable. Banyak puisi yang menggambarkan pengalaman sehari-hari yang mungkin pernah kita alami. Misalnya, puisi tentang menunggu seseorang atau merindukan masa lalu membuat saya merenung. Saya jadi merasa bahwa meskipun saya bukan seorang penyair, saya bisa memahami apa yang dirasakan oleh penulis.
Sapardi juga sangat mahir dalam menggunakan imajinasi. Saya sering terjebak dalam gambaran indah yang dia ciptakan, seperti bunga, cahaya, dan suasana. Imajinasi ini membantu saya membayangkan apa yang dia rasakan dan membuat saya merasa lebih terhubung dengan puisi-puisinya.
Beberapa puisi juga menyentuh isu-isu sosial yang penting, seperti perjuangan kaum buruh dalam "Dongeng Marsinah". Ini membuka mata saya tentang realitas yang dialami banyak orang, dan saya menghargai bahwa puisi bisa menjadi medium untuk menyampaikan pesan-pesan yang lebih besar.
Secara keseluruhan, "Ayat-Ayat Api" adalah buku yang sangat menarik untuk dibaca, bahkan untuk seseorang yang tidak terlalu memahami puisi. Karya ini berhasil mengajak saya untuk merenungkan banyak hal, dan membuat saya merasa bahwa saya bukan satu-satunya yang mengalami perasaan-perasaan tersebut. Saya pasti akan merekomendasikan buku ini kepada teman-teman saya yang ingin merasakan keindahan dan kedalaman puisi tanpa merasa tertekan dengan bahasa yang sulit.
Aku mencintainya sebab ia mati ketika ikut rame-rame hari itu. Aku tak mengenalnya, hanya dari koran, tidak begitu jelas memang, kenapanya atau bagaimananya (bukankah semuanya demikian juga?) tetapi rasanya cukup alasan untuk mencintainya. Ia bukan mahasiswaku. Dalam kelas mungkin saja ia suka ngantuk, atau selalu tampak sibuk mencatat, atau diam saja kalau ditanya, atau sudah terlanjur bodoh sebab ikut saja setiap ucapan gurunya. Atau malah terlalu suka membaca sehingga semua guru jadi asing baginya. Dan tiba-tiba saja, begitu saja, hari itu ia mati; begitu berita yang ada di koran pagi ini– entah kenapa aku mencintainya karena itu. Aneh, koran ternyata bisa juga membuat hubungan antara yang hidup dan yang mati, yang tak saling mengenal. Siapa namanya, mungkin disebut di koran, tapi aku tak ingat lagi, dan mungkin juga tak perlu peduli. Ia telah mati hari itu–dan ada saja yang jadi ribut. Di negeri orang mati, mungkin ia sempat merasa was-was akan nasib kita yang telah meributkan mahasiswa mati.
---
Pada kumpulan puisi ini, aku membaca sisi lain pemaknaan Eyang Sapardi tentang fenomena-fenomena kehidupan dan kemanusiaan, terutama perihal kritik-kritik sosial semasa Orde Baru yang sepertinya menjadi tema umum pada buku ini. Tetap dengan gaya Eyang Sapardi yang begitu bersahaja: diksi-diksi yang indah dan penuh falsafi, mengajak ke dalam sebuah perenungan. Tidak perlu terburu-buru memetakan makna, tetapi lebih khidmad untuk mengikuti alam emosi dan pikiran puisi dengan diam, meresapi dan menginsafi apa-apa yang baik untuk dicermati.
Ini adalah buku kumpulan sajak karya Sapardi Djoko Damono pertama yang aku baca, namun sajak-sajaknya terasa jauh karena tingkat pemahamanku belum mumpuni untuk bisa mengerti dan benar-benar menikmati apa yang berusaha disampaikan lewat sajak-sajak indah di buku ini.
Meski begitu, beberapa judul sangat aku nikmati. Seperti Dongeng Marsinah yang membuat merinding dan pilu, sajak berjudul Ibu yang membuat haru, Ayat-Ayat Api /9/, dan Ayat-Ayat Kyoto.
Dongeng Marsinah
/3/
Di hari baik bulan baik, Marsinah dijemput di rumah tumpangan untuk suatu perhelatan. Ia diantar ke rumah Siapa, ia disekap di ruang pengap, ia diikat ke kursi; mereka kira waktu bisa disumpal agar lengkingan detiknya tidak kedengaran lagi.
Ia tidak diberi air, ia tidak diberi nasi; detik pun gerah berloncatan ke sana ke mari. Dalam perhelatan itu, kepalanya ditetak, selangkangannya diacak-acak, dan tubuhnya dibirulebamkan dengan besi batangan.
Detik pun tergeletak, Marsinah pun abadi.
Ayat Api /9/
api adalah lambang kehidupan itu sebabnya ia tak bisa menjadi fosil
api adalah lambang kehidupan itu sebabnya kita luluh-lantak dalam kobarannya
Sering, saya nggak ngerti kalo baca sajak-sajak Pak Sapardi. Emang dasar orang awam kali ya. Tapi sajak-sajak di sini cukup sederhana, realistis dan gampang dipahami. Atau ... Gampang dipahami pakai persepsi sendiri. Yang paling saya suka Dongeng Marsinah dan Tentang Mahasiswa yang Mati.
Sempet de ja vu dengar nama Marsinah. Gugling guling, ternyata buruh pabrik orloji yang itu toohh. Yang itu. Carilah sendiri.
Tentang Mahasiswa yang Mati. Kurang romantis apa coba? Baca koran bisa bikin mencintai padahal nggak tau nama. Bunyinya gini:
"Aku mencintainya sebab ia mati ketika ikut rame-rame hari itu. Aku tak mengenalnya, hanya dari koran, tidak begitu jelas memang, kenapa atau bagaimananya (bukankah semuanya demikian juga?) tetapi rasanya cukup alasan mencintainya."
Sebagai orang awam yang membaca sakadar menikmati dan syukur-syukur bisa sambil belajar, saya nggak pernah bosan baca sajak-sajak Pak Sapardi. Terlepas masih banyak yang belum saya pahami.
Setelah merampungkan buku ini, boleh saya berkata: ah, negeriku, betapa hati ini pilu.
/11/ di akhir isian panjang itu tertera pertanyaan "apa yang masih tersisa dari tubuhmu"
isi saja "tak ada" tapi, o ya, mungkin kenangan yang tentu juga sia-sia bertahan
Sekedar info, Ini pertama kalinya saya menamatkan sebuah kumpulan sajak. Sebuah rekor dan pencapaian spesial buat saya pribadi🤭, jadi harap maklum apabila review saya kali ini lebih ringkas dan tidak lengkap😁
Kumpulan sajak ini terdiri dari tiga bab: 1. Ayat-ayat nol, kumpulan sajak-sajak pendek yang bertemakan kehidupan manusia yang diluputi ketidakpastian; 2. Ayat-ayat arloji, kumpulan sajak tentang waktu-yang kadang terabaikan-yang beberapa sajaknya cukup panjang, dan bab ini bagi saya menjadi pemikat. Terutama sajak "Dongeng Marsinah," yang diangkat dari sejarah kelam Indonesia. Kalian tahu Marsinah kan??? 3. Ayat-ayat api, sebuah sajak khusus khusus dan diangkat menjadi judul buku ini.
Membaca buku ini seperti menelan pil pahit kehidupan. Ah, jadi pengen baca buku beliau yang lainnya🌹(Al Fatihah untuk sang Penulis 😇)
Eyang Sapardi memanglah seorang perangkai puisi kehidupan. Momen-momen pelik dirangkainya dalam satu dua bait sederhana namun bisa menghujam langsung ke titik rasa terdalam pembacanya. Dalam Kumpulan Sajak Ayat-Ayat Api, ada 3 bab yang terdiri atas Ayat Nol, Ayat Arloji, dan Ayat Api. Di dalam ketiga babnya banyak kritik sosial seputar pemerintahan orde baru, di antaranya yang akan sangat menarik perhatian adalah Ayat Arloji yang menyajikan kisah Marsinah dalam sajak. Namun dari keseluruhan sajak, ada dua sajak yang sangat menarik perhatian saya untuk dikaji, Layang-Layang dan Pertanyaan Kerikil Yang Goblok. Mungkin karena kedua sajak itu seperti refleksi dari kehidupan saya sendiri. Full review bisa dilihat di http://estisisme.wordpress.com
Hebatnya puisi dan sajak itu terkadang kata-kata disusun sepadat, sependek dan sedramatis itu sampai kita sebagai pembaca tidak bisa sepenuhnya mengerti yang ingin disampaikan oleh sang penulis. Lucunya, di ketidakmengertian itu, kata-kata tersebut masih tetap menyatakan sesuatu di benak kita. Tidak bisa dijelaskan ulang dengan kata-kata apa yang dimengerti dari tulisan tersebut, tapi kita cukup merasakan bagaimana ukiran kata tersebut menyentuh batin kita. I don’t know about you, but that is how I read Pak Damono’s work. Kuberi 3/5 bintang ⭐️ bukan berarti aku tidak suka. Hanya pemahamanku belum sampai untuk mengerti jelas apa yang ia maksud. Bukan berarti jelek, malah menurutku tulisannya sangat indah. Inspirasiku untuk terus menulis sajak dan puisi yang kias namun berarti.
Betul kata Mbak Ajjah, bukan karena puisi-puisi ini yang tak bagus, tapi memang butuh perenungan dan penghayatan. Akan lebih asyik jika puisi-puisi di buku dibacanya pelan-pelan, sambil diresapi, dan diendapkan dalam pikiran, sesekali didiskusikan bersama karena siapa tahu yang satu menangkap yang tidak bisa ditangkap yang lainnya. Sementara itu, Hukum Kekekalan Timbunan terus berlaku.
PADA SUATU MAGRIB
Susah benar menyeberang jalan di jakarta ini hari hampir magrib, hujan membuat segalanya tak tertib Dan dalam usia yang hampir enam puluh ini, astagfirulah! rasanya dimana-mana ajal mengintip
Sapardi dengan tulisannya yang berciri khas tentu saja sangat terasa dalam buku ini. Uniknya, dalam buku puisi Ayat-ayat Api ini bukan hanya terasa lembut karena majas-majas yang selalu beliau pakai, tetapi juga terasa suara perlawanan atas kondisi sosial pada zamannya. Terlepas dapat memahami puisinya, atau hanya sekadar menikmati setiap kata-kata yang dirangkainya, secara pribadi puisi Beliau selalu berhasil.
Ada beberapa puisi yang aku suka dalam tulisan ini, di antaranya "Dongeng Marsinah" ; "Yang Paling Menakjubkan" ; "Ayat-ayat Kyoto" ; "Pertanyaan Krikil Yang Goblok" ; dan "Sajak-sajak Kecil Tentang Cinta".
Kumpulan sajak ini terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama berisi sejumlah sajak — yang sudah diubah di sana-sini, yang pernah dimuat dalam Sihir Hujan, Kuala Lumpur, 1984. Bagian kedua adalah sejumlah sajak yang pernah terbit terbatas dalam rangka pembacaan puisi di Pusat Kebudayaan Jepang, 1998. Bagian ketiga adalah sejumlah sajak yang ditulis tahun 1998-1999, belum pernah terbit sebagai buku.
Saya sampaikan terima kasih kepada Pustaka Firdaus yang bersedia menerbitkan buku ini dengan pertimbangan, antara lain, bahwa tahun ini saya — alhamdulilah — sudah berumur 60 tahun.
Sapardi Djoko Damono
********
Sunyi Yang Lebat
sunyi yang lebat: ujung-ujung jari sunyi yang lebat: bola mata dan gendang telinga sunyi yang lebat: lidah dan lubang hidung sunyi yang dikenal sebagai hutan: pohon-pohon yang roboh,
margasatwa membusuk di tepi sungai kering, para pemburu mencari jejak pancaindra...
Pada Suatu Magrib
Susah benar menyeberang jalan di Jakarta ini; hari hampir magrib, hujan membuat segalanya tak tertib. Dan dalam usia yang hampir enam puluh ini, astagfirulah! rasanya di mana-mana ajal mengintip
Tentu. Kau Boleh
Tentu. Kau boleh saja masuk, masih ada ruang di sela-sela butir-butir darahku. Tak hanya ketika rumahku sepi, angin hanya menyentuh gorden, laba-laba menganyam jaring, terdengar tetes air keran yang tak ditutup rapat; dan di jalan sama sekali tak ada orang atau kendaraan lewat. Tapi juga ketika turun hujan, air tempias lewat lubang angin, selokan ribut dan meluap ke pekarangan, genting bocor dan aku capek menggulung kasur dan mengepel lantai. Tentu. Kau boleh mengalir di sela-sela butir darahku, keluar masuk dinding-dinding jantungku, menyapa setiap sel tubuhku. Tetapi jangan sekali-kali pura-pura bertanya kapan boleh pergi atau seenaknya melupakan percintaan ini. Sampai huruf terakhir sajak ini, Kau-lah yang harus bertanggung jawab atas air mataku.
Dalam Setiap Diri Kita
Dalam setiap diri kita, berjaga-jaga segerombolan serigala. Di ujung kampung, lewat pengeras suara, para kyai menanyai setiap selokan, setiap lubang di tengah jalan, dan setiap tikungan; para pendeta menghardik setiap pagar, setiap pintu yang terbuka, dan setiap pekarangan. Gamelan jadi langka. Di keramaian kota kita mencari burung-burung yang diusir dari perbukitan dan suka bertengger sepanjang kabel listrik, yang mendadak lenyap begitu saja sejak sering terdengar suara senapan angin orang-orang berseragam itu. Entah kena sawan apa, rombongan sulap itu membakar kota sebagai permainannya.
DONGENG MARSINAH
/1/ Marsinah buruh pabrik arloji, mengurus presisi: merakit jarum, sekrup, dan roda gigi; waktu memang tak pernah kompromi, ia sangat cermat dan pasti.
Marsinah itu arloji sejati, tak lelah berdetak memintal kefanaan yang abadi: “kami ini tak banyak kehendak, sekedar hidup layak, sebutir nasi.”
/2/ Marsinah, kita tahu, tak bersenjata, ia hanya suka merebus kata sampai mendidih, lalu meluap ke mana-mana. “Ia suka berpikir,” kata Siapa, “itu sangat berbahaya.”
Marsinah tak ingin menyulut api, ia hanya memutar jarum arloji agar sesuai dengan matahari. “Ia tahu hakikat waktu,” kata Siapa, “dan harus dikembalikan ke asalnya, debu.”
/3/ Di hari baik bulan baik, Marsinah dijemput di rumah tumpangan untuk suatu perhelatan. Ia diantar ke rumah Siapa, ia disekap di ruang pengap, ia diikat ke kursi; mereka kira waktu bisa disumpal agar lenkingan detiknya tidak kedengaran lagi.
Ia tidak diberi air, ia tidak diberi nasi; detik pun gerah berloncatan ke sana ke mari.
Dalam perhelatan itu, kepalanya ditetak, selangkangnya diacak-acak, dan tubuhnya dibirulebamkan dengan besi batangan.
Detik pun tergeletak Marsinah pun abadi.
/4/ Di hari baik bulan baik, tangis tak pantas. Angin dan debu jalan, klakson dan asap knalpot, mengiringkan jenazahnya ke Nganjuk. Semak-semak yang tak terurus dan tak pernah ambil peduli, meregang waktu bersaksi:
Marsinah diseret dan dicampakkan — sempurna, sendiri.
Pangeran, apakah sebenarnya inti kekejaman? Apakah sebenarnya sumber keserakahan? Apakah sebenarnya azas kekuasaan? Dan apakah ebenarnya hakikat kemanusiaan, Pangeran?
Apakah ini? Apakah itu? Duh Gusti, apakah pula makna pertanyaan?
/5/ “Saya ini Marsinah, buruh pabrik arloji. Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir ke dunia lagi; jangan saya dikirim ke neraka itu lagi.”
(Malaikat tak suka banyak berkata, ia sudah paham maksudnya.)
apa sebaiknya menggelinding saja bagai bola sodok, bagai roda pedati?”
(Malaikat tak suka banyak berkata, ia biarkan gerbang terbuka.)
“Saya ini Marsinah, saya tak mengenal wanita berotot, yang mengepalkan tangan, yang tampangnya garang di poster-poster itu; saya tidak pernah jadi perhatian dalam upacara, dan tidak tahu harga sebuah lencana.”
(Malaikat tak suka banyak berkata, tapi lihat, ia seperti terluka.)
/6/ Marsinah itu arloji sejati, melingkar di pergelangan tangan kita ini; dirabanya denyut nadi kita, dan diingatkannya agar belajar memahami hakikat presisi.
Kita tatap wajahnya setiap hari pergi dan pulang kerja, kita rasakan detak-detiknya di setiap getaran kata.
Marsinah itu arloji sejati, melingkar di pergelangan tangan kita ini.
(1993-1996)
Ayat yang mengandung banyak kemuraman, kemarahan, kesediahan "Api adalah lambang kehidupan, itu sebabnya kita luluhlantak/ dalam kobarannya (p.133)
the famous dongeng marsinah is in this anthology if you're looking for the og version. sapardi rarely does protest poems, but this one, despite its lyrical style, is often read somewhat incrongupusly in declamation style at anti-government protests such as kamisan all over indonesia. kamisan, held every thursday across the street from the presidential palace in jakarta is our version of mothers of plaza de mayo. only the last chapter of three in this book (trans: "verses of fire") deals with the anti-chinese may 1998 riot in jakarta, but still that's one chapter we never saw coming from sapardi, our go-to lyric poet maestro more famous for his sentimental love poems like hujan bulan juni and aku ingin
menurutku banyak sajak bagus di dalam buku ini. rata-rata isinya tentang kritik sosial, yang masih sangat relevan sampai saat ini. coba saja baca 'dongeng marsinah', 'pada suatu magrib', 'sonet: kau bertanya apa', dan beberapa sajak lain yang tidak kalah menarik.
khusus tiga sajak yg kusebut di atas adalah puisi-puisi favoritku dalam buku ini. karena puisi-puisi tersebut menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia saat ini.
Dengan mudahnya akses terhadap koleksi iPusnas, salah satu tantangan baca pribadi saya tahun ini adalah membaca satu buku puisi sebulan. Saya akan usahakan 12 buku puisi dari 12 penyair berbeda akan saya selesaikan tahun ini.
Puisi favorit banyak teman di buku ini tampaknya Dongeng Marsinah. Buat saya ada dua, Sajak-sajak Kecil tentang Cinta, dan Ada Pohon yang Bernapas.
I haven’t read much Indonesian poetry, but this collection was a wonderful start to my exploration. The poet doesn’t attempt to glorify the mundane, but his language imbues a sense of urgency in the mundane, redirecting our attention to what he deems are important in life. At times chilling and haunting, and in others casting a pang of longing, this is a great collection to sit in a quiet corner and ruminate over.