Jump to ratings and reviews
Rate this book

Saman #2

Larung

Rate this book
Buku ini adalah kisah lanjutan novel Saman. Di penghujung masa Orde Baru. Saman telah tinggal di New York sebagai pelarian politik. Ia bertemu lagi dengan empat sahabat yang dulu membantu ia kabur dari Indonesia—Shakuntala si pemberontak, Cok si binal, serta Yasmin dan Laila yang diam-diam mengagumi dia.

Kini mereka memiliki misi membantu tiga aktivis mahasiswa kiri melarikan diri dari kejaran rezim militer. Misi ini dibantu oleh seorang pemuda misterius dengan karakter Larung.
Akankah misi itu berhasil? Ataukah Larung justru menyeret mereka ke dalam kegelapan?

264 pages, Paperback

First published January 1, 2001

122 people are currently reading
1510 people want to read

About the author

Ayu Utami

37 books777 followers
Justina Ayu Utami atau hanya Ayu Utami (lahir di Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968) adalah aktivis jurnalis dan novelis Indonesia, ia besar di Jakarta dan menamatkan kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Ia pernah menjadi wartawan di majalah Humor, Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Tak lama setelah penutupan Tempo, Editor dan Detik pada masa Orde Baru, ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen yang memprotes pembredelan. Kini ia bekerja di jurnal kebudayaan Kalam dan di Teater Utan Kayu. Novelnya yang pertama, Saman, mendapatkan sambutan dari berbagai kritikus dan dianggap memberikan warna baru dalam sastra Indonesia.

Ayu dikenal sebagai novelis sejak novelnya Saman memenangi sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Dalam waktu tiga tahun Saman terjual 55 ribu eksemplar. Berkat Saman pula, Ayu mendapat Prince Claus Award 2000 dari Prince Claus Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di Den Haag, yang mempunyai misi mendukung dan memajukan kegiatan di bidang budaya dan pembangunan. Akhir 2001, ia meluncurkan novel Larung.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
667 (17%)
4 stars
1,283 (33%)
3 stars
1,393 (35%)
2 stars
426 (10%)
1 star
118 (3%)
Displaying 1 - 30 of 349 reviews
Profile Image for mollusskka.
250 reviews160 followers
August 6, 2016
“Seperti segala binatang dan kita hidup dengan memakan yang lain, manusia selamat dengan mengorbankan yang lain. Mengapa engkau merasa aneh?”


Larung merupakan lanjutan novel Saman, dengan fokus baru pada tokoh pria bertubuh kecil yang acuh tak acuh dan misterius bernama Larung Lanang. Seperti halnya Saman, dia dekat dengan kehidupan yang berbau magis. Dan dia ingin mencabut nyawa neneknya.

Dalam buku ini, kehidupan empat sahabat (Laila, Cok, Yasmin, Shakuntala) dan juga Saman masih menjadi bagian penting. Kali ini mereka terlibat dalam misi melarikan tiga aktivis mahasiswa kiri ke luar negeri. Kisah penutup dari buku ini seketika mengingatkanku pada sebuah tragedi yang menjadi "noda hitam" pada sejarah Indonesia. Sepertinya penulis mencoba memberikan pandangannya akan fakta tersebut.

Seperti halnya novel Saman, topik politik, feminisme, lingkungan, seks, dan supernatural masih menjadi bumbu cerita. Aku suka kisah supernatural Larung yang memiliki nenek dengan kekuatan ilmu hitam. Digambarkan neneknya adalah sosok Calon Arang, seorang wanita dengan kekuatan ilmu hitam tingkat tinggi. Sayang sih ceritanya terbilang singkat. Nggak seperti kisah supernatural Saman dengan ibunya. Ya, aku memang suka sama kisah supernatural apalagi yang khas Indonesia.

Aku merasa beruntung baca buku ini karena ada kisah tentang penyerbuan markas PDI di jalan Diponegoro. Karena aku sempat nggak mengikuti beritanya. Bisa sih baca di Internet, tapi ketemu kisah tersebut secara kebetulan di buku ini berasa spesial aja haha. Oh, dan di buku ini juga terselip soal kisah kelam G30S. Apakah benar Komunis sekejam itu? Faktakah kesadisan yang terjadi pada para Jenderal yang dibunuh di Lubang Buaya? Konon katanya hasil visum mereka tidak demikian adanya. Semua hanyalah pemalsuan sejarah. G30S hanyalah rekayasa demi menyudutkan paham komunis/sosialis. Aku jadi teringat guru sejarahku waktu kelas 3 SMA. Beliau memberikan empat versi mengenai penyebab timbulnya G30S. Padahal buku sejarah yang resmi dikeluarkan oleh sekolah/pemerintah nggak mencantumkan bagian ini. Ah, aku semakin yakin bahwa banyak sejarah yang sudah dipalsukan. Dan semuanya tentu demi kepentingan beberapa pihak.

“Tak ada pahlawan di sini. Yang ada hanya pemenang dan pecundang. Sebab siapa pun yang menang― ABRI, komunis, angkatan kelima, siapapun dengan ideologi apapun―akan melakukan kekejaman yang sama terhadap lawannya Karena kejahatan dan kebaikan datang dalam satu paket.”


Pokoknya baca buku ini dari halaman pertama sampe terakhir bener-bener menghipnotis. Tokoh Larung bikin aku jatuh cinta. Suka sama pemikirannya yang terbuka dan nggak memihak. Ada bagian yang bikin aku teringat sama Menteri Susi, soal hasil laut yang dijarah oleh Thailand. Juga tentang pasir-pasir yang banyak dijual ke Singapura. Oh, Indonesia. Betapa kaya dirimu.

P.S. Kalo nggak salah banyak iklan di novel ini, gak seperti di Saman deh. Tapi tetep jatuh cinta. Tetep gak bisa ngasih di bawah lima bintang. ^^
Profile Image for Dion Yulianto.
Author 24 books196 followers
March 30, 2020
Sebenarnya sudah dengar dwilogi Saman dan Larung sejak awal 2000an. Bukan hanya karena Saman memenangkan sayembara roman DKJ 1998, tapi lebih karena teman teman Sasindo bilang novel ini agak "saru". Info makin seru karena sastrawan sekelas GM menyebut karya karya ini sebagai sastra lendir. Jadilah saya yang saat itu bisa dibilang ga tau apa pun tentang sastra Indonesia mutakhir (bacaan masih dikuasai non-fiksi) cuma sekadar melihat dan membolak balik novel ini di perpustakaan, sekadar pengen lihat mana sih sarunya. Ga tergerak untuk membacanya. Kemudian baru di tahun 2010 saya bisa memiliki dwilogi ini dan sayang sekali baru sepuluh tahun kemudian saya berhasil menamatkan membaca Larung. Sungguh saya rugi.

Saat membaca Saman dan Larung dengan pikiran yg jauh lebih terbuka ketimbang era muda dulu *halah, kita eh saya ding ... baru bisa mengagumi novel ini sebagai sebuah karya sastra yg benar benar bagus. Juga salut atas keberanian penulis mengangkat tema yg luar biasa sensitif ini di tahun 2000an awal ketika proses reformasi baru berjalan dan sisa sisa Orba masih begitu kentara. Karya ini bisa menjadi sebuah dokumentasi ttg apa yg terjadi di penghujung masa rezim Orba sekaligus menawarkan sebuah karya Nusantara yang begitu bagus mengangkat khazanah kekayaan bangsa. Lebih dari itu, Larung masuk sbg bacaan yg menurut saya mampu meluaskan pandangan sekaligus empati tentang nilai nilai kemanusiaan yang seharusnya dijunjung lebih tinggi di atas nilai nilai politis.

Dunia memang tidak sempurna. Kita harus berjuang memperbaikinya terapi kadang juga harus berdamai dengannya. Pengalaman dan pengetahuan akan menjadikan kita arif yang tidak selalu harus sempurna sebagaimana sosok Larung.


Sekali lagi saya dibikin terpesona oleh penulis favorit ini.
Profile Image for Darnia.
769 reviews113 followers
January 6, 2016
Jujur, seharusnya part 2, tentang Yasmin, Cok, Laila dan Shakuntala pas di New York gak perlu sepanjang itu. Gw pribadi juga bukan penggemar kisah-kisah affair, seromantis apapun itu. Jadi...yah, gw sama sekali gak bisa bersimpatik pada keempat sahabat ini (walaupun karakter Shakuntala yg notabene penari yg androgini terasa cukup menarik. Mungkin perlu dibikinkan episode sendiri...mungkiiin).

Gw suka pada kisah Larung. Baik kisah Larung saat menempuh jalur antah berantah demi usaha meng-euthanasia sang nenek yg jiwanya enggan meninggalkan raga yg rusak. Sedikit mengingatkan gw pas baca Bilangan Fu. Maupun kemisteriusan Larung saat membantu Wayan Togog, Bilung dan Koba melarikan diri dari militer. Gw kaget sama endingnya. Seingat gw di novel Maya Larung cuma disebut-sebut namanya aja. Padahal gw masih pingin baca tentang kisah Larung :D *maunya...*
Profile Image for Imas Indra.
15 reviews6 followers
September 2, 2016
Diantara banyak hal yang patut dipuji dari buku ini, saya pilih kepiawaian penulisnya dalam mengekploitasi detil suasana. Ada kengerian yang membuat saya hampir tak bisa membedakan antara nyata dan khayal.

“Tapi mulutnya seperti ubur-ubur, mengembang dan mengatup dalam gelombang pelan, menyimpan racun. Lalu aku melihat, kata-kata kotor muntah dari perutnya, dari hatinya yang telah mati dijalari sirosis, seperti cairan jorok yang penuh gumpalan bekas makanan dan gelembung gas bau, menyemburi seragam bersih perawat itu sehingga ia terjengat satu ubin ke belakang, hampir terjerembab…………..Lihatlah kaki-kaki kurus gadis itu gemetar, seperti menahan kencing, seperti merasakan hawa neraka dari suhu badan perempuan tuaku yang luka dan perkasa. Lalu, ketika amarahnya dari rasa sakit yang panjang itu telah selesai, di lantai tersisa air liur yang asam dan lekat seperti ampas persetubuhan.” – halaman 11.

Profile Image for nana.
68 reviews9 followers
January 14, 2025
Buku ini adalah buku kedua, lanjutan dari buku pertamanya yang berjudul "Saman". Dalam buku ini, judulnya diambil dari salah satu karakter utama di buku ini, Larung Lanang (sama seperti bukunya yang pertama, Saman juga adalah karakter utama di dalam novel). Sama seperti buku pertamanya, buku ini juga masih mengangkat isu seputar orde baru, gender, dan spiritual−unsur feminisme di buku ini juga masih kental seperti buku pertamanya.

Pada awal novel menceritakan kisah petualangan Larung Lanang (tokoh baru, yang sebelumnya tidak muncul di buku pertama, Saman). Larung sendiri diketahui sangat ingin meng-eutanasia neneknya yang telah hidup selama beratus tahun. Neneknya sendiri diceritakan sulit mati, meskipun raganya sudah tidak berfungsi selain daripada bernapas dan berbaring di tempat tidur. Usut punya usut, ternyata ada unsur "mistis" di balik sulit matinya sang nenek. Pada akhirnya, Larung yang digambarkan sangat rasional meng-eutanasia sang nenek dengan cara mistis. Secara pribadi, aku menyukai bagian novel yang mencerita mengenai Larung dan Neneknya−dikarenakan unsur mistis yang melekat lebih terasa dibanding novel pertamanya. Ada banyak majas dan pengandaian, misalnya seperti disinggung mengenai cerita soal Calon Arang dan cerita mengenai Wayang Purwa. Selain itu Ayu Utami juga sepertinya senang memakai nama wayang pada tokohnya, seperti Shakuntala dan Wayan Togog.

Selain itu, di novel ini juga lebih menjelaskan mengenai karakter Shakuntala yang androgini dan diketahui bi-sexsual, serta Cok (Cokorda Gita Margaresa) yang binal dan berani. Dalam hal ini, kuat sekali intepretasi feminisme dan bagaimana Ayu Utami mendobrak stigma mengenai perempuan yang lemah, bodoh, tak berdaya yang digambarkan melalui tokoh-tokoh perempuan yang cerdas, gesit, tahu apa yang mereka rasakan, dan memiliki kuasa atas setiap tindakan dan pilihan yang diambil. Hal tersebut misalnya saja digambarkan melalui adegan erotis antara Yasmin Moningka dengan Saman, di mana Yasmin sebagai perempuan memiliki kekuasaan di atas ranjang, perempuan boleh memimpin, berfantasi, bahkan mampu membimbing seorang laki-laki yang selama ini selalu digambarkan superior (seklipun di dalam kehidupan ranjang).

Cerita kemudian bergulir mengenai pelarian tiga aktivis di ujung periode Orde Baru, di mana Larung dan Saman (yang sebelumnya melarikan diri ke Amerika) berusaha untuk membantu melarikan tiga aktivis muda tersebut; Koba, Wayan Togog, dan Bilung. Dalam buku ini juga disinggung beberapa peristiwa penting yang sempat terjadi saat Orde Baru, yakni peristiwa Kerusuhan Medan 1994, dan Peristiwa 27 Juli 1996 yang mana merupakan pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri−yang pada saat itu dianggap mengancam kekuasaan pemerintah.

Selain itu, di novel ini juga kita bisa melihat ironi mengenai pihak-pihak yang dibersalahkan karena menentang rezim yang korup, yang dianggap kekiri-kirian dan segala sesuatunya pasti dikaitkan dengan PKI−seperti orang-orang yang dicurigai berbau Marxisme karena mengancam pemerintahan−seperti Solidarlit dalam novelnya yang mendukung hak-hak para buruh, pada akhirnya diburu dan dianggap membahayakan. Selain itu Ayu Utami juga mengejek para elit politisi melalui tokoh Rusdyan Wardana yang dalam novelnya dianggap sebagai aparat yang korup dan tamak, yang dijuluki Kucing Bersepatu Lars.

Di buku ini sosok militer digambarkan sangat mendominasi kekuatan pada saat itu sehingga rakyat tidak mampu bicara apalagi memprotes karena jika rakyat melakukannya maka akan berakhit seperti para aktivis yang diculik, diburu, dihilangkan paksa, bahkan dibunuh tanpa jejak. Hal tersebut digambarkan saat Saman dan Larung bersama ketiga aktivis Solidarlit tertangkap, kemudian diinterogasi dengan biadab dan sengaja membunuh tanpa proses pengadilan yang layak. Larung yang ditembak dengan peluru redam jatuh dipundak Saman.

Pada akhirnya, Ayu Utami memberikan gambaran bahwa pada masa itu suara rakyat dibungkam, tak pernah ada keadilan kecuali keadilan diperjuangkan dengan sebenar dan setulus-tulusnya.

“Tak ada pahlawan di sini. Yang ada hanya pemenang dan pecundang. Sebab siapa pun yang menang― ABRI, komunis, angkatan kelima, siapapun dengan ideologi apapun―akan melakukan kekejaman yang sama terhadap lawannya Karena kejahatan dan kebaikan datang dalam satu paket.”

Sejujurnya saya lebih menyukai buku kedua ini dibanding yang pertama. Karakter Larung adalah favorit saya dan cukup membekas; karakter yang misterius dan pitar. Larung digambarkan juga sebagai sosok yang jelas, berani, dan sangat rasional. Menurut saya Larung ini berbeda dengan Saman yang menyimpan banyak keraguan, ketakutan, kehati-hatian, serta mempertanyakan banyak hal seperti keimanannya, bahkan rasa kasihnya. Berbeda dengan Larung, di satu sisi ia mempertanyakan tapi di sisi lain ia menyimpan jawaban yang jelas atas semua sikap dan perilaku yang ia lakukan.

Rasanya buku ini wajib untuk dibaca dan diberi apresiasi tinggi.
Profile Image for Weni.
113 reviews40 followers
November 12, 2008
Halaman 152 (Shakuntala bercerita ttg percakapannya dg Laila):


"Aku bikinkan kamu susu. Dengan kopi atau coklat?"
Kamu tertawa. "Kenapa kamu selalu memaksa orang minum susu?"
"Karena perempuan akan kehilangan massa tulang setelah ia menopause."
Kamu nyengir. "Masih 20 tahun lagi."
"Masih 20 tahun waktumu untuk menabung tulang."

Dan waktu itu lebih pendek jika kita tak punya lelaki sebagai sumber feromon yang bisa senantiasa kita endus. Sebab hirupan atas keringat lelaki merutinkan haid kita dan memperpanjang usia subur. Tapi aku tidak mengatakannya. Sebab minum susu lebih realistis ketimbang mendapatkan lelaki. Kita bisa membeli susu.


*Googling, mencari feromon*

Feromon adalah zat kimia yang berasal dari kelenjar endokrin dan digunakan oleh makhluk hidup untuk mengenali sesama jenis, individu lain, kelompok, dan untuk membantu proses reproduksi. Feromon, berasal dari bahasa Yunani ‘phero’ yang artinya ‘pembawa’ dan ‘mone’ ‘sensasi’.

Katanya feromon adalah senyawa pembangkit cinta.

Hmmm... jadi kewajiban minum susu bisa diganti dengan mengendus suami eh sumber feromon hahaha.
Profile Image for Hestia Istiviani.
1,034 reviews1,961 followers
June 6, 2016
Agak susah memang sekarang untuk mendapatkan lanjutan dari buku Saman ini. Setelah membaca Saman, rasanya aku langsung ingin melanjutkannya untuk mengetahui apa yang terjadi setelah pelarian tersebut. Meskipun memang, pembaca sudah tahu bahwa Saman berhasil berpindah negara dengan bantuan 4 sahabat tersebut.

Resensi Lengkapnya

Kalau mau membaca Larung, pastikan kamu sudah membaca Saman. Kalau mau mengenal konsep feminisme dari sisi Ayu Utami, sila baca Larung.
Profile Image for Ramadhatil.
17 reviews1 follower
September 18, 2022
Sebab hidup adalah pilihan semena."
"Dan dunia tidak sederhana. Dan kau begitu kecil. Dan dunia tidak sederhana. Kau begitu kecil."

Larung adalah lanjutan dari dwilogi Saman, sekaligus buku terakhir.
Dari awal membaca, kita sudah dibuat bertanya-tanya.
Siapakah Larung sebenarnya dan mengapa wataknya begitu membawa misteri?
Masih berputar pada poros 4 sahabat dan Saman.
Lebih banyak dan detail bagaimana POVnya dibabat habis satu-per-satu.
Sampai akhir cerita di buku ini, Larung tetap menjadi pertanyaan. Meskipun sepertiga dari buku ini mengisahkan tentang latar belakang Larung dan bagaimana ia mengeutanasia sang nenek.

Barangkali keacuhannya pada dunia, dalam diri Larung adalah contoh sejarah dari masa kelam dunia, satu negara. Membuatnya diam, kritis, brutal tapi juga tidak berpihak pada apapun.


Kali ini misi mereka adalah menyelundupkan 3 aktivis mahasiswa, akankah mereka berhasil? Apakah mereka akan ditangkap? Ataukah Larung yang ternyata berkhianat?

Lebih suram penyelesaiannya dari yang aku kira.
Berlatar belakang Orde Baru.
Apakah yang terjadi di tahun 1996 itu?
Bacalah dan kamu akan menemukan segala pertanyaan itu.

Narasinya cukup berat dibandingkan Saman, tapi inilah Larung.
Profile Image for Fahrul Amama.
18 reviews14 followers
October 10, 2007
Dalam novel ini Ayu Utami menyatakan perang terhadap eufimisme bahasa. Walau pada novel "Saman" sebelumnya telah terlihat kelugasannya dalam penggunaan kata-kata yang membuat sebagian orang mengeryitkan dahi. Ayu Utami menegaskan kembali dalam buku ini bahwa kata benda maupun kata kerja seharusnya terlahir dalam kondisi netral dan terbebas dari konotasi apapun. Terserah jika Taufik Ismail menganggapnya sebagai Fiksi Alat Kelamin. Yang pasti konyol juga kalo bahasa Indonesia kita harus meminjam istilah-istilah kedokteran dari bahasa latin hanya untuk menjelaskan benda-benda maupun kata kerja yang telah ada namanya, sekadar untuk menghaluskan bahasa. Kata-kata seperti penis, vagina, coitus, feses, tidaklah lebih mulia daripada padanan katanya dalam bahasa Indonesia.
Di samping itu, penuturan kisah dan peristiwa seputar reformasi Mei 1998 sebagai background setting perlu diapresiasi. Karena sejarah yang terjadi pada saat itu, pahit getirnya, layak dicatat dalam ingatan rakyat Indonesia, dalam bentuk background cerita novel sekalipun.
Profile Image for Khalisha.
47 reviews
June 10, 2025
Sudah setahun lebih dari baca buku pertamanya, yaitu "Saman".
Jadi ketika baca buku ini cukup banyak lupa dengan latar dari setiap tokoh. Tapi untungnya di buku ini tetap spill sedikit tentang kehidupan para tokoh, jadi bisa inget lagi deh!

Menurutku kisah dari empat sahabat di New York itu terlalu berlebihan dibahas yaa, karena kisah dari Larung sendiri lebih menarik buat dikulik!! Dan sama seperti "Saman", di "Larung" ini endingnya superrr gantung, sampe ngira mungkin ini ada halaman yang hilang???

Masih penasaran gimana lanjutan dari Larung, Saman, dkk. yang akhirnya ditangkap. Dan kenapa Larung bisa tau banget profil kehidupan pribadi aparat yang nangkep merekaa...

Masuk di bagian akhir, ketika profil pribadi salah satu aparat terungkap, jadi penasaran sebenarnya in real life ini cerita tentang siapaaa.....

Di buku ini, Ayu Utami tetap mengangkat isu gender dan feminisme.
Tapiii jika "Saman" menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, maka buku ini kebalikannya. Dan buku ini juga membahas beberapa tokoh yang ada di matkul teori sosial, jadi sekaligus diingetin sama skripsi~
Profile Image for novi a. puspita.
148 reviews15 followers
August 23, 2021
kebanyakan ceramah ketimbang berkisahnya.. Disebut sbg kelanjutan dr novel Saman, tp ini nggak semenarik novel pendahulunya.
Profile Image for Achmad Muchtar.
Author 7 books12 followers
November 27, 2013
Judul: Larung
Pengarang: Ayu Utami
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
ISBN: 9799023637 (ISBN13: 9789799023636)

Larung adalah novel lanjutan Saman yang memenangkan Sayembara Roman DKJ. Larung juga merupakan karya kedua dari Ayu Utami. Cerita diawali dengan pergumulan batin seorang lelaki muda berdarah Bali bernama Larung yang merasa terkungkung dalam bayang-bayang neneknya yang pesakitan. Niat membunuh seorang wanita tua yang telah berumur begitu panjang, serasa menjadi wajar karena kehidupan nenek tersebut yang terlalu langgeng untuk ukuran manusia normal.

Novel Larung, dengan khas Ayu Utami menggunakan metafora membuat cerita ini tidak jauh berbeda dengan cara Saman bertutur. Di novel ini, pembaca masih menemui empat sahabat wanita yang eksentrik, Shakuntala si pemberontak, Cok si binal, serta Yasmin dan Laila yang diam-diam mengagumi Saman dengan caranya masing-masing. Tetapi setting cerita kemudian beralih dari tanah air ke New York, tempat pelarian Saman dari kejaran politik.

Sebagai lanjutan, Novel Larung menurut saya belum mampu menandingi kehebatan Novel Saman. Beberapa kelemahan yang ada pada Larung diantaranya kekenduran plot, kata serapan bahasa Jawa yang terlalu banyak hingga sudut pandang yang membingungkan. Kekenduran plot itu karena di awal, plot sudah kuat, namun giliran cerita empat sahabat, plot menjadi kendur, lalu agak menguat pada endingnya. Seperti huruf U jika digambar grafiknya. Gaya tutur Ayu Utami amat feminis meskipun menceritakan tokoh maskulin. Kata-kata yang dipilih semakin kaya dan unik. Wawasan Ayu Utami tergambar luas lewat novel ini. Dunia para aktivis yang dominan hingga kisah perselingkuhan dan cinta rahasia. Konten seks dalam novel ini mendapat porsi sedikit, tidak seperti Saman. Yang menjadi problematika adalah jati diri Larung. Di novel ini kurang dijelaskan secara gamblang, padahal dia adalah tokoh utama. Karakternya pun kurang menonjol dibandingkan Saman. Namun, sebagai novel lanjutan, novel ini bagus. Ritme dan gaya tuturnya masih seimbang dengan Saman, hingga sebuah ending yang menyelesaikan novel ini bersama Saman sebagai sebuah roman yang utuh. (Achmad Muchtar)
Profile Image for Claudia Anastasia.
49 reviews5 followers
November 9, 2020

Selesai membaca Saman, segera membaca lanjutannya yaitu Larung.

Masih berkisar di kehidupan 4 sahabat dan Saman yang merupakan sentral dari buku pertama, hanya saja kali ini terdapat penambahan tokoh baru yang tidak lain adalah Larung sendiri.

Bagian awal buku dimulai dengan kisah Larung dan petualangannya dalam mengakhiri hidup Neneknya (iya betul sekali). Masih dipenuhi dengan suasana mistis dan spiritual seperti kisah Saman, kisah Larung muda ini cukup menarik meskipun bagi saya cukup bertele-tele di beberapa bagian sehingga harus berhenti membaca dulu.

Panjang lebarnya pengenalan karakter Larung melalui kisah dia dan neneknya ternyata tidak terlalu berpengaruh terhadap kisah selanjutnya.

Kita dibawa kembali ke kisah 4 sahabat, Laila, Cok, Shakuntala, dan Yasmin, yang berkumpul di New York untuk menyaksikan pertunjukan Shakuntala. Walaupun tentu saja, terdapat tujuan lain di antara mereka, yang sudah kita ketahui dari kisah di buku Saman. Kisah ke 4 sahabat ini sangat menarik, karena Ayu Utamin lebih berani lagi mengekspresikan ide feminisme yang diusungnya melalui percakapan dan pergolakan batin keempat perempuan muda ini. Bahasa yang digunakan termasuk lebih vulgar dan kiasan yang digunakan membuat saya cukup sering berhenti untuk memahami maksudnya.

Akhir kisah di buku Larung ditutup oleh misi penyelundupan 3 orang aktivis muda yang harus dilakukan oleh Saman dan Larung. Baru disinilah tokoh Larung dimunculkan kembali. Menurut saya ini bagian paling seru karena cukup menegangkan dan tidak lupa dipenuhi dengan percakapan pintar, terutama dilontarkan oleh Larung. Sayangnya endingnya sangat sangat sangaaat...... silahkan dibaca sendiri.

Secara keseluruhan buku Larung ini masih sama memuaskannya dengan buku Saman. Kritik dan isu yang dibawa di Saman juga masih diangkat di buku Larung ini. Di buku ini kiasan kata yang digunakan cukup berat dan penuh dengan ide-ide yang lebih berani dibandingkan Saman. Meskipun bagi saya, cukup banyak narasi yang bertele-tele yang membuat saya sempat berhenti sejenak karena bosan.

3.5/5⭐️
Profile Image for Sunarko KasmiRa.
288 reviews6 followers
August 24, 2022
Larung, merupakan buku 2 sekaligus penutup dalam Dwilogi (Saman & Larung) karya Ayu Utami. Sebagaimana seharusnya novel lanjutan, Larung-pun menjadi wadah eksplorasi penulis dari kisah Saman yang sebelumnya belum sepenuhnya rampung. Metode penulisannya pun sama persis dengan Saman (novel pertama) berbentuk seperti reportase yang secara acak berubah sudut pandang, latar tempat dan waktu. Terkadang penulis menggunakan POV orang pertama kadang juga menggunakan POV orang ketiga. Sepertinya penulis tidak mau terkungkung pada keajegan penggunaan POV dalam kepenulisan. Secara natural dan mengalir menggiring cerita menuju akhir yang diinginkan penulis.

Judul Larung sendiri sempat membuat sy bertanya: "Jika ini cerita (novel) lanjutan, kenapa muncul karakter baru, dan dijadikan judul pula?" Beberapa alternatif jawabannya yaitu:
1. Pada novel pertama, sekalipun berjudul Saman, namun ada beberapa bagian yang cukup intens membahas karakter pendukung lainnya. Sepertinya, penulis ingin menyamakan teknis kepenulisan.
2. Cerita tentang Larung cukup menyita halaman awal, meskipun cerita tersebut belum ada korelasinya dengan Saman.
3. Meskipun ditengah cerita tokoh Larung hanya di mention beberapa kali, tetapi dalam beberapa kali tersebut Larung digambarkan seorang dengan kharisma yang luar biasa.

Untuk isi cerita sendiri, jujur saja sy lebih menikmati buku yang kedua ini (terbukti dari rating yg sy berikan). Alasan utamanya bukan karena buku ke-2 lebih bagus, kedua buku tersebut sama-sama bagus. Tetapi lebih karena sudah cukup bisa memahami karakteristik gaya kepenulisan sehingga dengan mudah mengikuti alur cerita.
Profile Image for Dedul Faithful.
Author 7 books23 followers
January 25, 2015
Sengaja membedakan satu bintang dari buku sebelumnya yang memang tidak terlalu bertele-tele seperti isi di buku ini.
Secara garis besar memang Larung begitu padat dengann aroma gerakan bawah tanah para aktivis yang by the way saya juga gak terlalu paham maksud dan tujuan mereka apa, semuanya abstrak dan dijelaskan sangat implisit oleh Ayu Utami.
Saya bosan saja pada delapan puluh empat halaman yang menjelma solilokui tentang perjuangan Larung untuk meng-euthanasia neneknya, jujur saja kalau hal itu tidak berdampak apa-apa di perjuangan Larung bersama Saman di bab-bab selanjutnya, buat apa diceritakan dengan sangat panjang layaknya novella? Huh, jadi gemas sendiri.
Meskipun begitu, bagusnya buku ini adalah akhirnya karakter-karakter perempuan di buku Saman akhirnya di dijelaskan latar belakangnya di buku yang tebalnya hampir tiga ratus halaman ini. Tetapi, tetap saja rasanya saya kecewa berat pada akhir buku ini, seperti semuanya sia-sia begitu saja perjuangan Saman dari buku pertama, pun gerilya Larung yang mati-matian bersama teman-temannya, semuanya menjelma layaknya abu, sia-sia. Apa kabar karakter-karakter lainnya jika mereka tahu para tokoh yang memegang benang merah jalan cerita harus terabstarksi begitu saja? Akh, sudahlah … intinya saya menikmati kok buku ini. Good job!
Profile Image for dunianyawira.
30 reviews1 follower
December 23, 2009
setelah membaca 2 bukunya ayu utami, saman dan larung...hmm..menurutku memang ayu punya gaya bahasa yang khas
saman dan larung sama2 khas dan menarik tapi saya bisa lebih menikmati larung daripada saman mungkin karena waktu membaca saman masih dalam proses penyesuaian tapi kalo mambaca larung tanpa saman jg rasanya pasti kurang mantap...

banyak saya liat,pembaca yang menilai cara ayu membahasakan seks sebagai nilai minus dalam buku2nya padahal menurutku justru itu kekuatan ayu dimana ia tidak pernah memandang seks sebagai sesuatu yang tabu atau tidak etis, coba saja baca lagi bukunya aku kira kita bisa melihat estetika dan filosofi seks disini.. hal tabu itu hanya karena kita dari kecil sudah didoktrin untuk berpikir seperti itu

dan jangan salah,kehebatan buku ini bukan pada caranya memcampurkan seks, mistis dan drama kehidupan tapi bagi saya justru ayu bisa sangat luas mencapai pelajaran spirituil kehidupan dalam bahasa yang lugas dan tegas...

kesimpulannya : termasuk buku yang layak disantap mata kepala dan mata hati kita masing masing....
Profile Image for Ristiyani Wijayanti.
76 reviews5 followers
June 27, 2021
Novel kedua dari dwilogi saman. Dalam buku ini menceritakan kisah seorang pemuda misterius bernama Larung.
Saman dan Larung, juga empat sekawan (Laila, Yasmin, Shakuntala, Cok) memiliki struggle hidup mereka masing-masing yang dikisahkan secara tipis (mengingat bukunya yang tidak begitu tebal) namun mampu membuat saya menikmati setiap alur peristiwa yang terjadi. Ayu Utami dengan berani menyelipkan kritikan-kritikan terhadap rezim saat itu secara tersirat namun berani. Isu-isu sosial dan politik diangkat dan diolah dalam bentuk kisah yang penuh gelora.
Profile Image for Hib.
45 reviews6 followers
October 10, 2023
Sebab, Nak, kanak-kanak adalah sebuah keberadaan yang berdiri sendiri, terpisah dari kedewasaan. Ia bukan sekadar bagian dari proses menjadi matang, sebab apakah kematangan itu jika bukan proses menjadi mati? Kanak-kanak adalah dunia mandiri, dengan bahasanya sendiri. Ia bukan persiapan menuju sebuah puncak sebab puncak itu tak ada. Masa adalah jutaan kepisahan, bukan kelanggengan. Karena itu, biarkan menjadi indah sebelum ia berubah. Tapi kau tak mengerti


Kelak, waktu kau menjadi tua kau akan tahu arti kekosongan dari segala nilai ataupun harapan. Kau akan tahu rasanya hampa, yaitu keadaan di mana tak ada bahasa untuk mengerti. Itu tidak membuatmu bahagia. Juga tak membuatmu sedih. Tidak membuatmu apa-apa. Tapi, Nak, ketika kau masih mengenal bahasa, maka bernyanyilah. Bernyanyi dengan kata-kata.


Pada malam-malam begini ia ingin sekali berdoa. Tapi ia tak bisa lagi. Ia kehilangan kemampuan, barangkali imajinasi, untuk berbicara dengan Tuhan. Ia menatap ke langit, melampaui titik-titik bintang yang paling kecil, namun ia tak lagi bisa membayangkan yang agung di suatu sana. la tutup matanya, masuk dalam dirinya, namun ia tak lagi bisa merasakan misteri yang dulu ada di sana. Dulu di sini. Pada hatinya ada luka. Bukan sebesar tuhan yang pergi, melainkan sebesar Upi.
Profile Image for Andita.
308 reviews3 followers
August 9, 2025
Setelah mengawali membaca 'Saman' pada Agustus 2020, pada Agustus 2025 aku berhasil membaca cerita lanjutan yaitu 'Larung', setelah hamper 5 tahun berlalu.

Mengambil sisa-sisa memori dari otakku tentang cerita 'Saman', membaca Kembali review terakhir yang aku tulis tentang 'Saman' di akun goodreads membuatku yakin untuk melanjutkan cerita ini.

'Larung' adalah cerita lanjutan yang sebenernya cukup menarik. Namun, cerita tentang Larung (sebagai tokoh) dalam buku ini tidak cukup banyak. Padahal, di awal buku, kisah Larung sudah sangat menarik.

Buku ini masih sangat vulgar dan erotis Ketika menceritakan kisah empat sahabat perempuan tentang perserongan mereka dan bagaimana topik selangkangan masih jadi topik panas pembahasan. Rasanya, bagian ini terlalu panjang dan membuatku cukup capek mengikuti kisah mereka.

Kisah Saman diakhir cerita bagiku cukup menggantung (karena memang minimnya deskripsi penulis). 

Pada akhirnya untuk sebuah dwilogi buku ini tidak memberikan closure yang memuaskan bagiku.
Profile Image for Abi Ghifari.
108 reviews6 followers
February 29, 2016
Dwilogi “Saman & Larung” barangkali merupakan salah satu sumbangan terpenting di ranah sastra Indonesia pada masa detik-detik menjelang Reformasi, yang ditandai dengan mundurnya Presiden Jenderal Soeharto dan runtuhnya pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun berkuasa di bumi pertiwi. Latar belakang sepasang novel ini pun tak jauh seputar itu, kegiatan para aktivis yang melakukan pergerakan di berbagai bidang untuk membela masyarakat kalangan bawah dalam menentang ketidakadilan. Pergerakan bawah tanah yang “tidak resmi” ini tentu saja dilarang pemerintah dengan alasan “mengganggu stabilitas nasional”, jargon yang saat itu giat-giatnya didengungkan Orde Baru.

Penulis dwilogi ini adalah Ayu Utami, seorang jurnalis yang merasakan betul represi pemerintahan Orde Baru akan kemerdekaan informasi, kebebasan berpendapat, dan keterbukaan jurnalistik. Pengalamannya saat merasakan pengekangan jurnalistik (salah satunya adalah pembredelan majalah ‘Tempo’) hingga akhirnya ia turut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang giat menyuarakan kebebasan pers dan keterbukaan informasi. Idealismenya itu menyebabkannya tak dapat lagi bekerja di media massa manapun di Indonesia akibat pengaruh kekuasaan Orde Baru. Namun hal itu tak menyurutkan langkahnya untuk menyuarakan kebenaran lewat sastra, yang sangat sesuai dengan spirit para jurnalis independen saat itu “saat pers dibungkam, sastra harus bicara“. Hingga akhirnya novel ‘Saman’ (terbit tahun 1998, hanya sepuluh hari sebelum Presiden Soeharto mengundurkan diri) dan lanjutannya, ‘Larung’ (terbit tahun 2001) lahir demi menyuarakan gagasan tersebut. Novel ‘Saman’ bahkan menjadi pemenang Sayembara Roman yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1998 dan telah diterjemahkan ke delapan bahasa asing, yang juga membuktikan kualitas sastranya yang mumpuni.

‘Saman’ – Menguak Kebobrokan Orde Baru

Novel yang diterbitkan di penghujung akhir pemerintahan Orde Baru ini memang seakan menentang segala represi dan pembungkaman aksi jurnalistik oleh pemerintah saat itu. ‘Saman’ mengisahkan sepak terjang seorang pastor muda Katholik yang kemudian beralih menjadi aktivis sosial di suatu lembaga swadaya masyarakat yang menentang segala bentuk ketidakadilan terhadap rakyat. Titik balik tajam yang dialami pemuda yang kemudian mengganti namanya menjadi Saman -sebuah nama yang tidak konvensional sehingga terasa sebagai lambang perlawanan- itu diakibatkan keprihatinannya akan seorang perempuan gila yang dipasung keluarganya dan juga kekejian oknum aparat militer yang menyiksanya karena ia dituduh sebagai pemberontak subversif beraliran kiri, tuduhan yang bisa berujung kematian pada masa itu. Begitu terasa kritik sang penulis terhadap keadaan masyarakat dan negara pada saat itu yang penuh intrik dan kecurigaan, yang begitu mudah menghakimi dan mengambinghitamkan pihak lain, yang represif cenderung totaliter.

Novel ini juga terasa semakin kontroversial karena menampilkan spiritualisme dan seksualitas yang begitu kentara, terutama mengenai kisah empat perempuan yang bersahabat sejak kecil yang juga saling mengenal Saman, yaitu Shakuntala, Cok, Yasmin, dan Laila. Melalui penulisan seksualitas yang tanpa tedeng aling-aling tersebut, penulis seakan hendak mendobrak sensor berlebihan dan represi kebebasan individu yang dilakukan pemerintah saat itu. Bahkan dari gaya penulisan pun, novel ini terasa begitu berbeda. Teknik komposisi yang menggabungkan narasi orang pertama dan ketiga saling mengisi silih berganti, begitupun dengan bentuk surat dan catatan harian. Fragmen-fragmen tersebut saling tumpang tindih hingga akhirnya membentuk suatu kolase karya yang utuh.

Dunia Gelap Larung

Kisah Saman dan empat sekawan Shakuntala, Cok, Yasmin, dan Laila berlanjut ke sekuel dwilogi ini, ‘Larung’. Dalam pelariannya dari kejaran aparat Orde Baru, Saman dipertemukan dengan Larung, seorang pemuda berkarakter gelap yang memiliki latar belakang yang kental akan aroma mistis dan spiritualisme. Latar belakang itu pula yang membentuk karakter Larung di kemudian hari. Sebagai anggota pergerakan bawah tanah dalam menentang Orde Baru, ia adalah aktivis dingin yang efisien, taktis, sistematis, bergerak cepat, dan penuh perhitungan yang membuatnya sangat ‘licin’ dan sulit dicari aparat. Pelariannya bersama Saman justru terbongkar akibat tiga aktivis muda yang ikut bersama mereka, yang sama sekali tidak mengindahkan instruksi Larung untuk tidak berkomunikasi dengan pihak luar, termasuk keluarganya sendiri.

‘Larung’ terasa lebih dinamis dibanding ‘Saman’, dan secara pribadi saya lebih menyukai karakter Larung yang dingin dan gelap dibanding Saman. Teknik komposisi masih digunakan dalam novel ini seperti pendahulunya. Hanya saja semakin terlihat bahwa kisah empat sekawan Shakuntala, Cok, Yasmin, dan Laila hanyalah pelengkap semata, tanpa ada benang merah berarti dan tidak begitu mempengaruhi inti dan jalan cerita.

Dwilogi ‘Saman & Larung’ yang menjadi salah satu pelopor karya sastra era Reformasi ini merupakan salah satu karya penting yang lahir dari tangan penulis wanita. Karya yang telah meraih penghargaan dan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa asing ini seakan menjadi bukti bahwa Ayu Utami telah menancapkan dirinya sebagai salah satu sastrawati yang perlu diapresiasi. Ayu Utami juga dengan sendirinya menjadi antitesa ‘sastra wangi’, yang menurut Goenawan Mohamad merupakan cemoohan segelintir pegiat sastra terhadap karya yang ditulis sejumlah pengarang wanita yang kerapkali menonjolkan sisi seksualisme dan feminisme yang berlebihan.

Karya Ayu Utami ini tidak hanya bukti antitesa terhadap tuduhan itu, namun bahkan merupakan karya sastra terpenting di masa Reformasi.
Profile Image for Wiselovehope.
4 reviews1 follower
May 19, 2022
Lanjutan dari Saman. Sama mengasyikkan, sama luar biasa penuturannya. Walau sedikit lebih menyedihkan dan membuat kita berpikir, tetapi aku suka menikmati baca ulang karya-karya hebat Ayu Utami.
Profile Image for Hasinah.
33 reviews3 followers
November 8, 2024
Sakit hati bacanya, sama heran kenapa kehidupan 4 perempuan dan 2 laki-laki di buku ini diceritakan sangat berbeda 180 derajat?
Profile Image for Uma Munandar.
63 reviews4 followers
May 11, 2025
Apa yang membuat orang bertahan sebagai manusia yang dikalahkan?—ia seperti bertanya kepada diri sendiri. Kasih. Kawan. Yasmin. Idealisme. Kesombongan. Yasmin. Dendam. Barangkali hewan peliharaan.

Larung adalah novel Ayu Utami yang melanjutkan dari novel Saman, menceritakan tentang sesosok Larung Lanang, rekan keempat tokoh utama di Saman, Yasmin, Shakuntala, Cok, dan Laila yang jugalah seorang aktivis. Lalu bagaimana nasib keempat tokoh kesayangan kita dan Saman ketika dihadapi Larung yang berbeda dari mereka? Apakah Larung akan membawa malapetaka atau membantu mereka?

Seperti novel Saman yang menggunakan alur maju-mundur antara masa lalu Saman dan modern day setting di New York dan kisah percintaan keempat tokoh kesayangan kita maupun Saman sendiri, larung ditulis dengan metode yang sama, dan sekarang ditambah dengan Larung. Meski metode penceritaannya kurang lebih sama, I noticed that orang senang membanding-bandingkan Saman dengan Larung. Poin pertama, menurutku keduanya sama-sama baik. Aku sepertinya tidak akan pernah bisa membenci hasil karya Ayu Utami, bias yang sama dengan aku yang sepertinya tidak akan pernah bisa menikmati karya Eka Kurniawan atau Tere Liye, tapi memang menurutku dari segi koherensi, alur maju-mundur yang digunakan di Larung jauh lebih rapi daripada di Saman.

Mungkin memang juga ada efek bahwa Saman adalah tulisan Ayu Utami yang pertama kali. Larung lumayan lebih teratur, dan aku yang sedang membaca Bilangan Fu saat ini, sangat bisa mengatakan bahwa tulisan Ayu Utami jauh membaik di serialnya yang kedua itu. Memang menulis dan keterampilannya membutuhkan suatu proses dan selalu improve dengan memperbanyak “jam tayang”. Yang membuat aku naik darah sedikit adalah pengulas dan pembaca yang mengatakan bahwa Saman lebih menarik daripada Larung karena menggambarkan Orde Baru lebih baik. Oke, acceptable logic, tapi menurutku kalau mau membaca soal Orde Baru buka saja buku sejarah. Jangan buat orang emosi. Gak usah baca novel.

Larung terasa begitu personal bagiku. Menurutku, dalam kondisi yang lebih baik, bahkan, Saman dan Larung bisa dijadikan satu novel yang berdiri sendiri, karena Saman yang terasa distant dan berjarak dari pembaca bisa menjadi prolog untuk Larung yang terasa tidak lengkap. Belum betul-betul kita semua kenal dengan Cok yang pemberani dan Tala dan raksasanya, ataupun Laila dan Sihar, apalagi Yasmin dan Saman, sudah berakhir itu novel. Aftermath pengenalan yang kita semua baca di Saman tidak lain dan tidak bukan akan kita temukan di Larung, bagaimana akhirnya nasib Laila, apakah Cok dan Yasmin yang membantu kaburnya Saman, Tala dan karirnya di New York.

Mungkin bisa dijadikan suatu ide untuk reprint yang selanjutnya, ya, KPG.

Tentang militer dan kepolisian yang banyak dikomentari pun Ayu Utami jauh lebih berani dibandingkan dengan saat menulis Saman. Mulai dari komentar offhanded Yasmin tentang puss in boots dan perut buncitnya, atau Larung yang dengan berani mengejek mereka-mereka yang menjalankan penculikan terhadap aktivis. Dari segi storytelling pun Ayu Utami menceritakan proses penangkapan dan cara seseorang bisa dilacak, meski hanya dari pager yang belum dibuang sekalipun.

Regardless, aku sama sekali tidak menemukan suatu hal yang bisa aku komentari untuk Larung. Lagi dan lagi, novel ini terasa lebih personal dan mentah bagiku, ketimbang Saman yang seolah main aman (tetapi perlu diingat tahun dan tanggal terbitnya kedua novel ini juga). Tidak hanya dari segi politik dan komentar terhadap rezim saja, tetapi juga dari segi monolog tokoh. . Kekhawatiran Saman terhadap Larung hingga menghalusinasikan alamat surel Larung, atau komentar Larung tentang Simbah dan Ibunya.

Seperti di novel Saman, walaupun tokoh-tokoh yang mengikat kedua novel dan kedua tokoh adalah keempat perempuan yang kita semua tunggu-tunggu keberlanjutan kisahnya, mereka terasa seperti tokoh sampingan lagi. Mungkin inilah satu-satunya hal yang perlu aku kritik mengenai dwilogi Ayu Utami yang satu ini. Mungkin memang Ayu Utami ingin mengisahkan mengenai rezim dan fokus kesana, dan jika memang romansa ada di novel-novel ini, maka sebagai intermezzo atau “iklan” saja, tetapi keempat perempuan inilah yang sesungguhnya ingin aku gali lagi masa lalunya, terutama Cok dan Laila yang terasa sedikit tertinggal.

Saat menulis ulasan untuk Saman, salah satu hal yang aku komentari adalah ketidakmampuanku untuk terlalu berhubungan dengan budaya Katolik, atau kesulitanku untuk memahami masa Orde Baru karena memang dari diriku sendiri yang belum terlalu banyak terpapar terhadap sejarahnya. Larung, on the contrary rasanya jauh lebih mudah kupahami. Mungkin ini yang dirasakan pembaca yang beragama Katolik saat membaca Saman dan ada referensi tentang agama mereka yang disebut dalam novel itu, sama dengan mahasiswa kedokteran atau bidang kesehatan lainnya saat membaca Larung.

Terutama di bagian awal, Larung yang masih muda dan memiliki semangat tinggi berkelana untuk mencari ilmu. Dia masih sangat sering menghubungkan ilmunya yang ia dapat dan pengalamannya dengan ilmu kedokterannya. Tubuh, kawan, hanyalah mekanisme. Kita mengiranya sebagai rasa sakit padahal itu hanyalah tanda bahaya. Kita mengiranya sebagai nafsu dan cinta padahal gairah hanyalah isyarat kematian, seperti kerlip baterai yang habis minta diganti. Perasaan, kawanku, hanyalah tanda-tanda dari seperangkat alat dari sengkarut mekanisme bernama hidup. Betapa bodohnya kita. Kutipan ini adalah salah satu favoritku dari novel ini.

Kemudian beberapa jenis obat-obatan maupun istilah medis ia sebutkan begitu saja di beberapa halaman awal, seperti haloperidol yang tidak dilanjutkan dengan penjelasan mengenai obat apa haloperidol itu dan digunakan untuk menyembuhkan apa. Sebagai mahasiswa yang sudah mempelajari ilmi psikiatri selama satu semester lamanya, aku cukup bangga bahwa aku memahami referensi itu di novel ini.

Feminisme menurutku menjadi poin yang masih diangkat oleh Ayu Utami, terutama dalam kutipan Lalu kupikir-pikir, kenapa aku harus menderita untuk menjaga selaput daraku sementara pacarku mendapat kenikmatan? Enak di dia nggak enak di gue. Akhirnya kupikir bodo amat, ah, udah tanggung. Aku pun melakukannya, sanggama. Namun, yang paling kusuka dari segi feminisme dan kesastrawaningan (definitely not even a word) Ayu Utami di novel ini adalah ia tidak dibuat-buat, apalagi dipaksakan seperti yang kurasakan saat membaca Saman. Mungkin ada hubungan dengan koherensi yang juga sempat kukomentari sebelumnya, dimana kisah Saman dan keempat perempuan di novel Saman terasa kurang menyambung. Namun karena terasa sangat mengalir di novel Larung, maka terasa natural juga topik feminisme di novel ini.

Untuk novel yang terbit di awal tahun 2000-an, aku lagi-lagi dibuat cukup terkejut dengan penokohan yang dilakukan oleh Ayu Utami. 2001 tidak bisa disamakan dengan 2025 yang sudah masuk ke zaman globalisasi, dan Ayu Utami sudah menuliskan tidak hanya salah seorang tokoh LGBT (bisekual, to be specific) yang diselipkan secara natural ke dalam dwilogi ini, tetapi juga seorang perempuan yang lebih suka mengambil peran yang lebih dominan dalam hubungannya sengan seorang lelaki, bahkan menggambarkan bagaimana thought process dibalik kedua tokoh ini. Mungkin membacanya di tahun 2025 membuatku menormalisasikan hal itu juga, but I have never been picky about erotica or sexuality, dan menurutku tokoh biseksual ini seharusnya lebih banyak dikenal lagi. Dia bisa menjadi representasi yang sungguh baik untuk pemuda biseksual lain di negara kita yang masih memperjuangkan hak-haknya.

Mungkin laki-laki tidak terlalu suka dengan dwilogi ini (walaupun kedua tokoh, Saman dan Larung, yang namanya dijadikan judul kedua buku dalam dwilogi ini adalah laki-laki), terutama karena seperti halnya aku tidak menyukai Eka Kurniawan yang menulis tentang wanita seolah ia memahami wanita, Ayu Utami melakukan sebaliknya—menuliskan tentang monolog laki-laki seolah ia memahaminya pula. Tokoh-tokoh laki-laki dalam bukunya juga acap kali diletakkan pada posisi yang tidak menguntungkan atau “kurang maskulin”, dan bisa kubayangkan di negeri yang patriarkis ini (katanya Yasmin), bisa membuat laki-laki meraung marah-marah. And for that reason alone sudah cukup untuk membuat aku membaca lebih banyak karya Ayu Utami.

Dari segi teknis penulisan, satu hal lagi yang membuatku kecewa, adalah lagi-lagi, novel ini tidak tertutup rapi akhirnya, melainkan dibuat menggantung, dare I say jauh lebih menggantung daripada Saman. Masih ada satu buku lagi yang akan menutup dwilogi ini, yaitu Mayayang rencananya akan aku baca setelah menyelesaikan serial Bilangan Fu sebagai penutup dari koleksi Ayu Utami-ku, yang aku harap akan minimal memberikanku jawaban tentang kelanjutan kejadian di akhir Larung. Walau begitu, akhiran yang cukup mengagetkan tidak membuatku membenci keseluruhan novel, penulis, maupun serialnya.

Dalam novel kedua dalam serial Saman, Larung, Ayu Utami laki-lagi membuktikan kepiawaiannya dalam menceritakan kejadian-kejadian penting politik di tahun 1990-an, menyeimbangkannya dengan romansa, serta serpihan-serpihan spiritualisme yang masih dekat dengan kehidupan orang Indonesia. Bahasa puitis yang digunakan oleh Ayu Utami juga menghasut pembacanya untuk terus melanjutkan, lagi dan lagi terpikat untuk membaca hingga akhir. Secara keseluruhan, Ayu Utami juga menunjukkan kebolehannya dalam menulis novel, serta perkembangannya setelah novelnya yang pertama, Saman, menjanjikan lebih banyak karya sastra wangi untuk dinikmati para pembacanya.

Luar biasa, sahutku, saya baru tahu Indonesia punya presiden. Saya bahkan baru tahu bahwa Indonesia adalah negara.
30 reviews1 follower
November 5, 2019
Larung merupakan karya dari Ayu Utami yang sekaligus pendobrak periode milenial, pada periode ini sastrawan sudah bebas dalam mengaspirasikan pendapat yang dia inginkan. Banyak karya yang mulai bermunculan dengan berbagai tema yang berbeda, serta memiliki inovasi yang sangat luar biasa dari tema tersebut. Seperti pada novel Larung, yang memiliki unsur mistis berbeda dengan novel pada angkatan yang sebelumnya yang kebanyakan mengambil tema dari kebudayaan yang ada serta mengambil keadaan sosial sebagai ide ceritanya. Pada angkatan lama juga menggunakan tema dari satu sastrawan sebagai tolak ukur serta menggunakan sesuatu hal yang sedang naik daun sebagai acuan dalam membuat karya.
Pada periode 2000 an ini tema yang diangkat sangat bervariasi karena memiliki tema dari segala aspek kehidupan. Bebas mengaspirasikan kehendak dan juga bebas dalam mengembangkan ide yang dimilikinya. Adanya perluasan estetik baru atau perluasan yang telah ada maksudnya adalah perluasan sistem yang ada dalam menyampaikan ide yang dimiliki. Pembaharuan banyak terjadi pada model karya sastra yang terbit ditahun 2000an. Pembaruan yang dimaksud adalah pembaharuan terhadap model sastra lisan yang mengembalikan realitas fiktif pada realitas dongeng.
Genre yang diambil pada periode ini tidak tentu, karena banyak sekali genre yang diambil. Setiap sastrawan memiliki genre yang berbeda-beda sehingga menjadikan pembaca sulit menentukan genre yang dipakai dalam periode tersebut. Akan tetapi, bentuk dari karya sastra pada periode ini memiliki ciri khas tersendiri yaitu banyak bentuknya, seperti cerpen, puisi, novel, drama, film, dan sandiwara.
Pada novel larung memiliki ciri khas terhadap tema yang diambil, masih belum banyak yang mengambil tema mistis yang mengaitkan sesuatu dengan hal yang berbau ghaib. Tetapi Ayu Utami memiliki ciri khas tersendiri untuk tampil berbeda dengan yang lain. Dia menampilkan tema mistis agar dilirik oleh pambaca, memang sesuai dengan keadaan ekonomi pada masa ini yang menjadikan sastrawan menjadikan menulis sebagai lahan mencari uang mencari keuntungan. Karya sastra menjadi bahan konsumsi masyarakat umum ketika memasuki era 2000an. Berbeda dengan pada masa 30-an atau 45-an yang merupakan tahun kritik sastra serta tahun inovasi sastra mulai berkembang.
Begitupun pada tahun yang diatas 2000an ini yang menggunakan karya sastra sebagai salah satu wadah dalam menyampaikan pemberontakan ataupun sebagao tempat curahan hati berbagai sastrawan untuk berbagi keluh kesah. Pad atahun 2000 an juga memiliki satu ciri khas yaitu menggunakan bahasa Indonesia yang gaul, sehingga mudah dipahami oleh masyarakat. Itulah sebabnya sastrawan menjadikan hal itu sebagai lading dalam mencari uang.
Profile Image for Raka Rahmadani.
6 reviews
November 1, 2025
Jujur, menurutku Larung terasa lebih seperti spin-off daripada lanjutan Saman. Karakter-karakter dari buku pertama tidak dikuliti benar-benar kisahnya, malah muncul jalur cerita baru yang berbeda fokus. Aku merasa pula, kalau ending buku Saman ini terasa selesai, namun di buku Larung terasa menggantung. Jadi kayaknya novel ini entah harus dipadu jadi satu buku besar, atau dipisahkan total sebagai kisah baru dalam dunia yang sama. Dwilogi ini aku bandingkan dengan buku Murakami, IQ84, yang mana sangat-sangat jauh perbedaannya. Dari segi pembangunan dunia dan pendalaman karakter, saya rasa buku IQ84 memang tidak cocok untuk dibuat perbandingan.

Buku ini diawali dan diakhiri oleh cerita Larung kemudian diisi dengan potongan-potongan cerita sampingan untuk mempertebal buku. Kurasa tidak ada tambahan informasi yang menarik selain kehidupan serta pribadi Larung yang benar-benar misterius. Dia diperkenalkan dengan watak yang ganjil, serasa seperti orang yang tahu segalanya. Bayangannya di kepalaku mirip penggemar anime fanatik yang tiba-tiba tertawa pelan sambil membetulkan posisi kacamata setelah mengucapkan sesuatu yang dianggap cerdik — tokoh yang tampak sering menyeringai dan menyimpan rahasia.

Seperti pada saat ia berkata bahwa ia akan membunuh neneknya ketika diajak ngobrol dengan tukang becak. Kalau aku jadi tukang becaknya, pasti aku lapor polisi. Dan lagi, ketika dia dengan nekatnya meminjam motor tukang ojek yang waktu itu tidak mau mengantarkannya ke tujuannya karena hujan deras selama dua jam hanya dengan jaminan KTP. Kalau aku jadi tukang ojeknya, aku tidak bakal mau untuk memberikan motorku. Kemisteriusan Larung ini ternyata punya sisi magisnya juga, ia mampu menimbulkan keyakinan pada orang-orang yang baru bertemu dengannya. Ada aura yang membuat tindakannya tampak meyakinkan dan bukan sekadar bualan, seolah ia memang selalu tahu apa yang ia lakukan. Karena itulah, meski perilakunya ganjil, orang-orang tetap percaya padanya meski baru sekali bertemu. Tapi mengaku bahwa ia akan membunuh neneknya adalah perilaku yang cukup sembrono.

Budaya mistis Jawa masih dikulik lagi, dan kali ini lebih dalam karena memperkenalkan ilmu hitam juga. Larung tidak benar-benar membunuh neneknya, lebih tepatnya membantu neneknya untuk mati. DIkarenakan ilmu yang dimilikinya, ia tidak bisa mati. "Ibu seharusnya sudah mati beberapa tahun lalu." kata ibu Larung ketika menceritakan kecelakaan yang menimpa rombongan neneknya, dan hanya neneknya yang selamat tanpa luka segorespun. Larung dengan sabar dan teliti menyelidiki siapakah "guru" dari nenek, yang memberikan ilmu pada neneknya. Hebatnya, ia mampu melacak keberadaan guru itu hanya melalui sebuah foto album. Di belakang foto album itu ada alamat sesorang. Ia mendatangi orang itu, kemudian orang tersebut memberikan alamat lain. Lalu ia pergi ke alamat yang diberikan orang tersebut begitu seterusnya sampai ke alamat tujuannya. Dan semakin ia mendekati sasarannya, semakin mereka memilik fitur tubuh yang menandakan bahwa dia diguna-guna atau jadi akibat dari perbuatan ilmu hitam — dijadikan tumbal.

Cok akhirnya mendapat sudut pandangnya sendiri di buku ini. Di Saman, ia hanya muncul sebagai bagian dari cerita orang lain—tanpa ruang bicara, tanpa perspektif pribadi. Itu membuatnya terasa seperti tokoh yang berada di pinggir lingkaran persahabatan Laila, Yasmin, dan Shakuntala. Tapi, sudut pandang Cok ini tidak untuk memperdalam karakter tetapi untuk memperkenalkan Larung, bagaimana dia bisa terhubung dengan Saman.

Seperti pendahulunya, Larung tetap mengulik hal-hal tabu. Namun kali ini terasa lebih berani—lebih vulgar dan eksplisit menurutku. Diantara yang aku ingat adalah soal fetish masa kecil dan juga kecendurungan hubungan seksual sesama jenis. Aku mau membahas yang kedua. Aku amat sangat tidak menduga bahwa Shakuntala akan menjadi seorang yang biseksual. Di buku pertamanya, Shakun pernah diceritakan bisa mengubah suaranya menjadi lelaki. Dan kata Laila pula, ia adalah seorang yang androgini. Lalu pada buku kedua ini, penjelasan tentang dirinya semakin liar dan kemudian perlahan kita diperlihatkan bagaimana kedekatannya dengan Laila bergerak ke arah hubungan yang romantis, bahkan seksual.

Langsung loncat pada ending buku ini yang amat aku sayangkan. Mengapa Ayu Utami bisa mengakhiri buku Saman dengan tenang, dan tidak bisa melakukan yang serupa pada Larung? Harusnya dwilogi ini dilanjutkan menjadi tri. Pertebal bukunya, dan mungkin aku akan mendapat sesuatu yang memuaskan. Yang paling mencolok bagiku adalah betapa banyaknya pengetahuan Larung soal pemerintah. Tidak ada sekalipun Larung mempunyai kepedulian terhadap pemerintah ketika diceritakan di awal. Dan ketika Larung diceritakan oleh Cok, ia adalah aktivis yang kerjanya rapi dan peduli pada tata kelola keuangan, tidak seperti aktivis lain yang sembrono hanya memikirkan keidealisan pikiran mereka. Dan tiba-tiba saja, ketika ia tertangkap, ia mampu mengenali orang yang menyiksanya. Dan cara pengetahuan dia tidak main-main. "Saya mengenali komandan anda, luka dua potong di telinga, perlu dua puluh jahitan untuk menyambungkannya kembali." Lalu kemudian memuntahkan gumpalan fakta yang saking sulitnya diterima, ia ditembak ditempat. Harusnya setelah kejadian itu, berikanlah flashback. Biar kita tahu siapa itu Larung. Tapi justru misteri itu dibiarkan menggantung. Dan mungkin di situlah keindahannya—kita dipaksa membangun teori kita sendiri tentang Larung yang selalu terasa satu langkah di depan, tapi tak pernah benar-benar kita kenal.

Buku Larung ini walaupun banyak kurangnya juga banyak mengajarkan hal-hal yang menarik untuk dijadikan bahan diskusi. Dan berikut aku sampaikan beberapa kutipan menarik dari buku Larung. 1) Menjadi tua adalah menjadi mata, dan hanya mata, melihat tanpa berada. 2) Kau bukan apa-apa selain sok bersimpati dengan segala makhluk. Perasaan lembutmu dibikin-bikin. 3) Mereka orang komunis, kau dengar bisik di ruangan. Mereka orang sosialis. Mereka orang nasionalis. Tidak, kataku, mereka orang lapar. 4) Laki-laki tidur bergantian dengan banyak cewek akan dicap jagoan. Arjuna. Tapi perempuan yang tidur bergantian dengan banyak lelaki akan dibilang piala bergilir. Pelacur. Apapun yang kita lakukan, kita selalu dianggap obyek. 5) Penyakit para aktivis ada dua. Pertama, meremehkan duit. Seolah mentang-mentang untuk demokrasi mereka tak perlu mempertanggungjawabkan dana. Kedua, ego mereka biasanya segede-gede anjing. 6) 'Berhenti nangis! Berhenti nangis! Berhenti ...' maka kamu akan berhenti menangis, Nak. Kalau kamu berseru pada dirimu, ' Berani! Berani! Berani! Berani!...' kamu akan berani. 7) Sebagian perusahaan itu rupanya tidak memberi donasi karena prihatin terhadap demokrasi di negara berkembang, melainkan karena ada fasilitas keringanan pajak bagi yang menyumbang badan filantropi 8) Ayah-ibunya kerap menyindir kaum brahmana yang tak lebih bijaksana daripada sudra. "Tapi hanya mereka yang mendapat karcis untuk menjadi pedanda." 9) Jika sebuah rezim memalsukan sejarah secara kecil, maka ia memalsukan sejarah secara besar pula.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Alvi Tita Wijaya.
35 reviews
December 3, 2019
Novel ini menceritakan mengenai pemuda yang bernama Larung Lanang. Larung memiliki nenek yang sudah sangat tua bernama Anjani. Di balik tubuh tuanya Anjani memiliki kekuatan yang sangat besar dengan bisa melihat aura seseorang yang ada di sekitarnya. Nenek Anjani terlihat sudah sangat tua hingga orang yang ada di sekitarnya merasa kasian melihatnya. Namun Larung memiliki keinginan yang ekstrem yaitu membunuh neneknya sendiri. Setelah pergi mencari otang untuk membentunya membunuh Nenek Anjani, akhirnya ia pergi ke kota Tulungagung untuk menemui Ibu Suprihatin yang merupakan seorang dukun dan sahabat Nenek Anjani. Setelah bertemu dengan ibu Suprihatin, Larung kaget karena yang ia temui memiliki umur yang sama dengan neneknya. Saat itu Larung diajak oleh Ibu Suprihatin untuk pergi ke sebuah gua untuk melakukan ritual. Dalam perjalanan itu, Ibu Suprihatin juga ditemani oleh pembantunya yang bernama Muluk.
Akhirnya mereka melakukan ritual dan menunggu untuk mendapatkan buah cupu. Setelah menunggu begitu lama akhirnya mereka mendapat enam buah cupu yang digunakan untuk membunuh neneknya. Akhirnya Larung kembali ke rumahnya dan disambut oleh ibunya lalu ia bergegas menaruh cupu tadi di kamar neneknya. Namun hal tersebut selalu gagal dengan berbagai cara. Beberapa hari kemudian Larung masih berusaha meletakkan cupu yang ia punya namun gagal kembali karena nenek Anjani terbangun dan menceritakan asal usul dari Larung yang sebenarnya bukan cucu kandung dari nenek Anjani. Larung merupakan anak dari orang tua yang gila. Meskipun telah diceritakan seperti itu, Larung tetap ingin membunuh neneknya dengan cara apapun. Kali ini ia membelah tubuh neneknya dan hal tersebut membuat nyawa neneknya tidak dapat tertolong.
Lalu pada 1996, Cok dan Yasmin berencana untuk ke New York. Cok ingin membantu Laila agar bertemu dengan Sihar dan menonton pementasan Shakuntala. Cok, Yasmin, Tala, dan juga Laila adalah sahabat. Lalu pada 1 Juni Laila begitu menanti kedatngan Sihar di apartmen Shakuntala. Disana akhirnya mereka berkumpul dan Laila menceritakan apa yang dirasakannya. Lalu mereka merencanakan pertemuan Laila dengan Sihar.
Beberapa hari kemudian pertemuan antara Laila dan Sihar dilaksanakan. Namun pertemuan tersebut terasa sangat menyakitkan karena Sihar menggandeng seorang perempuan cantik yang merupakan istrinya.
New York, 25 Juli 1996. Saman yang sedang disibukkan dengan email-email yang datang padanya. Ada email dari Yasmin, email dari Larung. Email-email tersebut mengisahkan tentang keadaan di Indonesia pada saat itu. Ia begitu kaget dengan keadaan yang ada di Indonesia. Ia merasa tertinggal, tapi juga mengeluh karena suasana di Indonesia yang semakin represif. Ia pun mulai memeriksa surat-surat. Suatu malam ia bermimpi aneh, bermimpi tentang kejadian yang kurang mengenakan pada Yasmin. Yasmin berada di mulut Komodo, sepasang tungkai Yasmin tersisa, lemas, sedikit kotor oleh darah, menyembul dari moncong seekor komodo besar. Dan Saman pun akhirnya mengerti bahwa monster yang memakan kekasihnya itu adalah Larung@komodo.
New York, 5 Agustus 1996. Hari kesepuluh setelah penyerbuan. Saman mendapatkan surat lagi dari Yasmin. Yasmin berucap bahwa dirinya dan yang lainnya telah menyembunyikan tiga aktivis yang sedang diburu militer. Mereka dituduh mendalangi kerusuhan pada 27 Juli, bersama PRD. Mereka dijerat pasal Subversi. Padahal mereka adalah anggota Solidarlit (Solidaritas pada Wong Alit). Mereka yang memperjuangkan buruh dan pembantu rumah tangga bernama Wayan Togog, Bilung dan Koba. Yasmin simpati kepada mereka, oleh karena itu ia bersama dengan yang lainnya memutuskan untuk melarikan diri ke luar Indonesia secepatnya. Yasmin dan yang lainnya sudah merancang perjalanan dan membutuhkan satu orang yang sudah berada di luar negeri, yaitu Saman yang barangkali bersedia. Perjalanan di dalam negeri akan dikerjakan oleh Larung.
Selat Phillip, 12 Agustus 1996. Saman dan Anson sedang menjalankan misi itu. Misi untuk melarikan anggota Solidarlit ke luar Indonesia. Perjalanan tersebut melewati daerah perairan. Hingga akhirnya mereka sampai di Pulau Mapur, Indonesia pada pukul 5:10. Saman merasa senang ketika ia sampai di tanah Indonesia setelah sekitar dua tahun ia meninggalkan Indonesia.
Kijang, 12 Agustus 1996. Larung, Wayan Togog, Bilung dan juga Koba sudah berada di sebuah kapal di pelabuhan Pelni dan akan menuju ke pulau Bintan. Dalam perjalanan tersebut, suasana tidak mengenakkan terjadi pada Wayan Togog. Ia selalu diserang dengan perkataan yang santai oleh Larung Ketika ia membantah atau tidak satu argumen dengan Larung. Ia tidak yakin terhadap Larung. Wayan Togog mencurigai bahwa Larung adalah seorang intel. Ia mengecek tas dan barang-barang yang dibawa oleh Larung. Akhirnya mereka sampai di Pulau Bintan dan memutuskan untuk menginap. Wayan Togog masih penasaran dengan Larung dan menceritakan hal itu kepada Bilung dan juga Koba. Sampai akhirnya Koba pun hendak tidur satu kamar dengan Larung demi menyelidiki Larung. Di kamar, Koba menanyakan barang-barang yang dibawa oleh Larung yang akhirnya dijawab.
Koba beranggapan bahwa Larung bukanlah intel dan menceritakan semua kepada teman-temannya. Lalu giliran Bilung yang mencoba mencari tahu. Ia membuntuti Larung saat mencoba menjual barang-barangnya, ia menyamar menjadi pedagang. Setelah mereka bertiga berkumpul lagi, Wayan Togog berniat untuk membunuh Larung, karena baginya dia akan membahayakan pelariannya bersama teman-temannya. Namun yang lainnya masih penasaran, akan identitas Larung
Saman pun akhirnya sampai di Kijang, dan kemudian bertemu dengan Larung. Setelah itu mereka berbincang. Lalu pada saat itu juga terdapat dua orang yang bertubuh tegap turun di Wisma Saleh dan kemungkinan akan menangkap ketiga anggota Solidarlit. Kejadian itu diketahui oleh Larung dan juga Saman. Akhirnya mereka pun berpisah. Larung berusaha melarikan Wayan Togog, Bilung dan juga Koba sedangkan Saman berusaha untuk menahan orang yang bertubuh tegap tersebut agar mengulur waktumya.
Akhirnya Larung dan ketiga anggota Solidarlit itu berhasil meloloskan diri dan segera menemui Saman dan juga Anson. Setelah semua berkumpul mereka pergi dengan menggunakan pongpong. Sayangnya ketika di tengah perjalanan ada sebuah kapal yang menangkap mereka. Mereka dikumpulkan dengan tahanan yang lain yang mereka tangkap. Mata mereka kemudian ditutup kemudian disiksa. Setelah itu datanglah sekelompok orang yang membuat mereka berenam berpisah. Wayan Togog, Koba dan juga Bilung berada dalam satu perahu sedangkan Larung, Saman dan juga Anson dalam perahu yang lain. Di perahu kecil tersebut, Larung mati tertembak. Lalu Saman mendengar sebuah tubuh jatuh di dekat sisinya. Kemudian Saman mendengar kedap letupan sekali lagi. Ia ingin pamit pada Yasmin, setelah itu ia menyusul Larung.
Profile Image for Ikrima Nathisa.
7 reviews8 followers
August 24, 2018
(Saya menulis untuk 2 buku sekaligus. Saman & Larung)

Sejujurnya saya bingung untuk mengekspresikan 2 buku ini. Rumit? Iya dan tidak. Bahasa dan kiasan di beberapa bagian membuat saya tersendat dalam membaca. Terutama di bagian awal buku Larung. Saya harus membaca ulang untuk menangkap maksud kalimat. Tapi mungkin otak saya sudah lelah, karena seringkali saya tetap tidak paham maksud penulis. Sesungguhnya saya ingin berhenti di tengah jalan, tapi sosok Larung ini sangat menarik untuk dibaca. Saya tidak akan lupa sensasi yang saya dapat ketika membaca saat Larung mencoba untuk meng-eutanasia neneknya.

Tidak semua kalimat-kalimat di buku ini membuat saya pusing. Di bagian lain, cerita dituturkan dengan enak, tidak membuat kening berkerut.

Saya tidak bisa mengatakan mana yang lebih saya suka di antara buku Saman dan Larung. Saya lebih suka penuturan kisah hidup Saman, tapi saya lebih suka cerita yang ada di Larung. Saya lebih suka membaca kisah hidup Saman, tapi saya justru lebih tertarik pada sosok Larung. Pasti menarik jika ada buku yang hanya membahas Larung.

Mungkin karena saya bukan penggemar kisah perselingkuhan, saya jadi tidak terlalu terikat dengan Laila dan kawang-kawannya, walaupun mereka adalah benang merah antara Saman dan Larung.

Satu hal pasti yang saya suka dari 2 buku ini, kaya tema. Politik, misteri, sosial, supernatural, feminisme, seks, filsafat, psikologi, membuat saya semangat menghabiskan buku ini. Karena walaupun banyak bagian yang harus saya baca berulang-ulang, banyaknya issu yang diangkat membuat saya betah membaca.

Buku ini juga memperbanyak bendahara kata saya. Membaca buku ini saya merasa kerdil sekali dalam urusan bahasa Indonesia. Saya harus bolak-balik membuka KBBI dan google. TT.TT
Profile Image for amanda s..
3,115 reviews95 followers
April 18, 2013
Well, bukan buku favorit saya, yang pasti. Ayu Utami terkenal dengan karya sastranya dan saya bukan penggemar sastra. Buku ini bagus, tapi berulang kali ada saat di mana saya berpikir, "what's that suppose to mean?"

Lalu aku mendengar, orang-orang menyebut ibumu gerwani. Ibumu memakai beha hitam dengan lambang bintang merah di satu pucuknya, palu arit di pucuk yang lain, kata mereka. Ia mengumpulkan perempuan-perempuan dan mengajar tari telanjang, dan mengirim wanita-wanita untuk merayu para prajurit dengan pinggul mereka agar percaya pada komunisme, bukan pada segala tuhan. Sembari bernyanyi genjer-genjer. Tetapi aku tahu ibumu dan istri Nyoman Pintar kerap berada di bangsal dan mengajari sesama istri tentara membikin ketupat dan janur dari daun niur. Mereka semua pendatang. Dan daun genjer hanyalah sayuran yang membuat tinjamu lengket panjang.

Larung adalah buku lanjutan dari Saman. Sebenarnya Saman dan Larung adalah sebuah novel satu kesatuan dengan judul Laila Tak Mampir di New York, tapi kenyataannya dalam proses pengerjaan sub plot berkembang di luar rencana. Hingga akhirnya diputuskan bahwa Saman dan Larung adalah dwilogi yang berdiri sendiri.

Saya adalah orang awam dalam kisah sastra. Seringnya pergantian sudut pandang dalam buku Larung ini sering membuat saya mengerutkan dahi. Dan jujur saja, saya tidak bisa menangkap apa maksud dari cerita ini. Jadi.. Yeah.
Profile Image for tuesdayat7am.
27 reviews1 follower
April 6, 2021
Larung yang begitu misterius dan gelap. Hampir-hampir saya menyerah di bab pertama, ketika Larung dengan sangat enteng ingin membunuh neneknya sendiri. Kemudian, ia yang lantas berpetualang, menemukan masa lalu berikut cara ampuh untuk membunuh Simbah, Adnjani. Namun, karena rasa penasaran saya terhadap petualangan Shakuntala, Cok, Yasmin, Laila, serta Saman, saya memberanikan diri untuk tetap melanjutkan novel pertama dalam dwilogi ini, Saman.
Penyuguhan kelanjutan perjuangan Saman dengan LBH-nya, dengan Orde Baru, PKI, pencarian identitas, seksualitas, bahkan ketuhanan dan hal-hal mistik di novel ini teramat sayang untuk hanya dilewatkan. Penulis yang dengan lugas, jujur, dan juga licik karena berhasil mengolah cerita dengan begitu apik, tanpa ‘tedeng aling-aling’ ini seolah menguarkan aroma khas tersendiri. Semenjak membaca Saman yang saya tunda bertahun-tahun dengan alasan ‘iman saya masih cetek’ maka dengan ini, saya mendeklarasikan diri menjadikan Ayu Utami sebagai salah satu penulis favorit saya.

Ada kengerian yang disajikan di sini, tentang ilmu hitam, sejarah pekat Indonesia, dan roman antar tokoh-tokohnya yang memang begitu ‘licik’ untuk tidak dirunut penceritaannya. Tentang bagaimana adegan demi adegan akan selalu dapat memikat siapapun yang membaca. Dan, bahwa akhir dari sebuah cerita tidak melulu bahagia seperti yang disajikan dalam beberapa naskah roman. Larung berbeda, seperti pendahulunya, Saman.
Displaying 1 - 30 of 349 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.