Kalau bagimu merindukanku adalah hal yang berat, harusnya kau mencoba bagaimana caraku merindukanmu. Kau adalah matahari yang menghangatkan pagiku, dan bulan yang menerangi selama tidur malamku. Tak bosan aku merapalmu dalam doa-doaku, berusaha mengetuk hati Tuhan supaya berbaik hati mengirimkanmu untukku.
Tak perlulah kamu tahu berapa banyak air mata yang membasahi bantal saat khayalku terbawa dalam kenangan tentangmu. Dan, aku pun tak ingin kamu ikut sedih ketika tahu betapa dinginnya hari-hari tanpa senyummu....
Jadi, beri tahu aku, kapan kau akan kembali?Atau, haruskah aku lagi-lagi mengganggu Tuhan sampai Dia mengabulkan permintaanku?
Sejujurnya, kalau dibandingkan dengan Forgiven, saya lebih suka dengan novel Morra yang pertama. Tapi, tetap saja bukunya yang kedua tidak kehilangan ciri khas sang penulis yang sulit saya jelaskan tapi memang sangat istimewa.
Buku ini bukan hanya bercerita tentang Langit dan Biru, tapi juga orang-orang di sekitar mereka. Ini adalah hal paling menarik sekaligus kritik terbesar saya mengenai buku ini. Cerita mengenai Rein, Rara, Wolf, Faris, Jasmine, Attar, Aziz, Zie dan belasan orang lainnya di buku ini cukup membuat bingung, karena pembaca terjun langsung ke dalam tengah-tengah kehidupan mereka tanpa banyak perkenalan basa-basi. I appreciate that, but it's a little confusing at times. Sulit untuk menyukai dan langsung peduli pada karakter-karakter baru di luar Langit dan Biru, karena saya tidak mengetahui apa-apa mengenai mereka dan cukup merasa lelah ditarik ke berbagai sudut pandang untuk membaca cerita yang sama sekali baru. Oh, tapi bacalah sampai akhir and you'll see that it's worth it. Ada benang merah yang ditarik dari semuanya.. dan alangkah cerdas serta indah saat menemukannya di akhir cerita.
Oh ya, saya merasa karakter Layla alias Biru ini sangat dekat dengan Morra. Maksudnya, the character almost describes her perfectly, in my opinion :-)
A quick, enjoyable read in one sitting. Ada beberapa adegan yang sangat menyentuh dan membuat saya terharu. A solid 3.5 stars and nothing less.
Gue biasanya suka tulisan-tulisan penulis. Tapi kok di Believe ini agak gimana ya... Premisnya appealing banget lho, soal seseorang yang kepingin ngumpulin empat puluh amin. Kutipan-kutipannya juga juara.
Tapi kayaknya ini satu-satunya tulisan Morra Quatro yang bener-bener bukan selera gue aja. Yah, menunggu novel yang lebih cetar daripada What If deh... :-)
Satu pesan sebelum baca buku ini: Cari tempat yang sepi. You’ve to be alone. Karena membaca buku ini membutuhkan konsentrasi yang tinggi :D
Setelah baca Forgiven kemarin, saya dibuat jatuh cinta & benci sama William Hakim pada saat yang bersamaan. Saya kemudian jatuh hati sama Morra Quatro. Si penulis, mbak Morra ini, pinter sekali memainkan emosi pembaca melalui karakter tokoh-tokoh yang dia ciptakan. Begitupun dengan tokoh Layla & Langit di novel Believe ini.
Well, dibanding Forgiven yang sangat remarkable kemarin, memang Believe ini agak beda. Diksi dan rangkaian katanya juga sulit dipahami jika dibaca di keramaian. Tapi tetap yah, karakter tokoh utamanya yang ‘unik’. Hehehe
Pokoknya, mbak Morra ini cerdas deh. She’s loveable in her way.
Langit yang diceritakan mantan santri PM Gontor, jatuh cinta & berpacaran sama Layla yang notabene-nya sama sekali bukan santri, tidak berjilbab & otomatis tidak masuk checklist calon istri ideal menurut Bunda-nya yang menginginkan Langit menikah dengan perempuan lulusan PM Gontor atau lulusan Universitas Al Azhar.
Layla yang pernah dikecewakan laki-laki dan membuat dia terpuruk kemudian menjadi rapuh, menjadikan Papa-nya begitu protektif terhadap dirinya sekaligus sangat selektif memilihkan laki-laki bagi Layla. Bahkan berniat menjodohkan Layla dengan asistennya. Nah, benturan kepentingan inilah yang menjadi benang merah dalam novel ini. Restu orang tua masing-masing pihak.
Bukan, mereka bukannya tidak direstui. Ini baru ASUMSI mereka. Asumsi Langit & Layla. Mereka bahkan belum mengenalkan pasangan masing-masing kepada orang tua masing-masing. Masalah menjadi semakin pelik saat mereka harus menempuh LDR karena si Langit mesti ke Kairo melanjutkan kuliah di Al Azhar University menunaikan permintaan Bunda-nya sama seperti kakak-kakaknya.
To be honest, saya suka novel ini. Saya suka bagaimana Langit memperjuangkan Layla & bagaimana Layla meyakini kalau Langit-lah the one yang dia impikan.
Masalah yang diangkat memang masih seputar cinta yang (mungkin) terkendala restu orang tua, namun diramu menjadi sesuatu yang beda di tangan mbak Morra. Karena penokohan Langit & Layla yang digambarkan bedasarkan sudut pandang masing-masing melalui cerita yang mereka urai dari pihak Layla & Langit saat mereka harus menempuh LDR.
Logically, kalo mau dipikir-pikir, Langit itu kuliah di Al Azhar sehari-harinya bergaul dengan perempuan-perempuan berjilbab. Perempuan-perempuan salehah (menurut Bunda-nya). Tapi kok bisa yah dia jatuh cinta sama perempuan biasa seperti Layla yang tanpa jilbab? Begitu juga dengan kakak tertuanya, si Wolf (Rasya) itu, yang mantan santri & berpacaran sama Rara (tanpa jilbab juga). Mereka berjodoh malahan.
Memang.. Tuhan terkadang menjadikan kenyataan itu jauh berbeda dari prediksi-prediksi manusia.
Ada beberapa quote yang menjadikan novel ini semakin catchy: • Tuhan mengabulkan doa just when He feels like it. Ada doa-doa yang pasti terkabul, seperti doa para mujahid atau doa orang yang teraniaya. Tapi untuk sebuah doa, satu amin saja sudah cukup, kalau Dia menghendaki. (page 5) • Pada saat kamu jatuh cinta, jatuh cintalah. Karena, mungkin setelah itu, kamu tidak akan jatuh cinta sedalam itu lagi. (page 94) • It’s gonna be fine in the end. If it’s not fine, it’s not the. end. (page 26) • Because the true answer is what speaks inside of you (page 138) • Tuhan sering memberikan jalan dari arah yang tidak kita duga. (page 17)
Pernah merasa jatuh cinta? Pasti rasanya kaya iklan permen itu, apa namanya?Hmm yang punya tagline berjuta rasanya. Lalu pernahkah saat jatuh cinta, kamu dipisahkan oleh jarak? Gimana rasanya? Pasti berat ya kalau harus setia? Atau kamu tipe lainnya, yang selalu setia meski jarak memisahkan?
Tema itu yang diangkat penulis di buku ’Believe’ ini.Tentang Langit yang harus melanjutkan kuliah di Kairo dan harus meninggalkan Layla, kekasihnya di Indonesia. Biru, begitu biasa Langit emanggil gadis itu adalah seorang gadis yang energik, luar biasa setia dan luar biasa pencinta, kalau boleh saya simpulkan. Jarak membuat keduanya harus berusaha benar-benar percaya bahwa kelak hubungan mereka akan lenggang sampe ke jenjang pernikahan, mungkin sampai menjadi aki-aki nini-nini, bahagia. Tapi mampukah bermodalkan ’believe’ cinta mereka dapat awet?
Sebenarnya ada yang saya harapkan lebih ketika menyimak rating buku ini di goodreads. Okelah nggak besar-besar amat, tapi pasti ada ’something’ yang bisa membuat mereka mau memberikan empat atau tiga bintang. Tetapi ternyata saya kecewa. (cieeh..)
Datar. Itu kesan saya terhadap percintaan Langit dan Biru (dan entah kenapa penulis memilih nama ini, mungkin biar romantis ya?). Okelah mereka berpisah, terus gimana? Bukannya menceritakan kisah mereka, drama percintaan mereka, cinta segitiga atau kalau perlu segiempat kek, lha kok masing masing tokoh utama malah bercerita tentang kisah cinta orang lain?
Saya masih berbaik sangka, bahwa dalam cerita cerita yang diceritakan oleh Langit dan Biru, masing-masing memiliki kekuatan ’believe’ yang jadi judul buku ini. Seperti Egit dan Zie, Wolf dan Rara, Attar dan Rein atau Jendra dan Jasmine, tapi sesungguhnya bagi saya porsi ’believe’ itu pun sedikit. Kebanyakan bercerita tentang pilihan, tentang bagaimana memilih waktu yang tepat, memilih orang yang tepat, dan doa yang tepat untuk kemudian diaminkan dalam bentuk sebuah kepercayaan.
Ada lagi yang lebih parah, tadinya diceritain lewat dua sosok yang bergantian, Langit dan Biru, tapi ternyata di bagian akhir ada kisah cinta Rara yang juga dimasukkan di buku ini. Kesannya dipaksakan, kenapa satu kasus ini tidak diceritakan dari sudut pandang sama dengan cerita cinta lainnya?
Dan endingnya membuat saya menepuk dahi saya sendiri waktu membaca. What? Buku 200an halaman endingnya gini doank? Okelah saya memang tidak bisa menulis novel atau cerpen yang baik, tapi saya sebagai pembaca membutuhkan cerita yang lebih klimaks, yang bikin gregetan waktu dibaca atau yang bikin air mata mengalir tersedu sedu karena kisah cintanya nggak sesuai tebakan saya.
Yang saya suka dari buku ini adalah beberapa kalimat indah yang muncul di beberapa bagian buku, salah satunya :
”Berarti Tuhan kaya. Tidak Pelit. Kita Cuma perlu berusaha.”, Hal. 44
Ya, semoga penulisnya kelak akan menghadirkan satu novel lagi dengan kisah cinta yang lebih baik dan lebih ’dapet’ feelnya daripada ini. :)
Si laki-laki bernama Langit, berasal dari keluarga yang kental nilai agamanya. Si perempuan bernama Layla --- sering dipanggil Biru oleh kekasihnya, karena langit berwarna biru --- adalah anak dari profesor Statistika. Walaupun Langit bercita-cita menjadi sutradara, tapi keluarganya mengirimnya ke Kairo untuk belajar Islam. Maka, Langit dan Biru pun terpisah jarak. Mereka menilik orang-orang di sekeliling mereka, memetik inti sari kehidupan, dan belajar tentang arti cinta yang sebenarnya.
Karena itu, di novel ini, banyak tokoh lain yang dibahas. Sudut pandangnya pun berganti-ganti, hingga saya suka tidak sadar sebenarnya ini adalah kisah tentang Langit dan Biru. Di sisi lain, cerita tentang tokoh-tokoh lain ini bisa membaur menjadi satu kesatuan yang utuh. Tidak mudah untuk membentuk banyak karakter sekaligus dalam satu cerita, tapi Morra berhasil melakukannya.
Tapi, saya tidak bisa menikmatinya. Saya merasa saya seperti membaca sekumpulan cerita pendek. Di antara 'cerita pendek' itu, tentu saja ada yang menjadi favorit saya, seperti bab 'Bunda (Langit)'. Bab itu adalah bab yang dengan sangat jujur menceritakan tentang hubungan ibu-anak, dan perasaan ibu terhadap calon menantu. Tapi di kebanyakan bab lain, saya merasa saya sedang membaca sesuatu yang tidak relevan dengan ekspektasi saya... yaitu cerita utama Langit dan Biru.
Mungkin ini subjektif, tapi ada faktor yang sangat besar yang membuat saya tidak bisa larut ke dalam cerita. Saya menebak Morra mungkin ingin membuat perbedaan jika dibandingkan dengan Forgiven, hingga membuat sebuah kisah yang easier to relate to. Tapi saya malah bingung, karena banyak sekali kosa kata di Believe yang baru pertama kali saya dengar, seperti istigasah, Hadis, Masisir, muqoror....
Padahal saya merasa keasingan ini seharusnya bisa menjadi daya tarik, karena saya pun ingin belajar lebih banyak, dan tahu lebih dalam, tentang kehidupan orang-orang yang menyelami agama sebagai edukasi.
Kisah cinta selalu bisa menjadi inspirasi entah apa pun bentuk karyanya. Dan tak akan lekang oleh waktu. Morra meramu kembali kekuatan magisnya, menciptakan sebuah karya indah yang sarat dengan pesan dan perasaan.
Tapi aku merindukan William.
Di setiap lembar entah saat Biru atau Langit yang berkisah, aku terus mencari sosok William Hakim. Saat Biru atau Langit menyebutkan nama, aku berharap menemukan sosok William di sana, walau hanya sekilas. Tapi William tidak ada di mana pun.
Tidak salah rasanya jika berkata bagi seorang penulis, karya pertama akan menjadi tolak ukur entah karya-karya berikutnya bisa lebih buruk atau jauh lebih baik. Believe dalam hal ini sama seru dan menariknya dengan Forgiven bahkan bab Biru dan Papa mampu membuatku terharu karena aku ini perempuan yang sangat dekat dengan bapaknya.
Tapi tetap saja bagiku ada yang hilang.
Karakter dengan kepribadian yang kuat, sekuat William Hakim yang mampu membuatku kagum sekaligus membencinya di saat yang sama, tidak ada. Sempat bertanya juga pada diri sendiri, jika saja Langit diberikan porsi yang lebih banyak sebagai karakter utama apakah dia akan sekeren William?
Morra, aku akan terus menunggu karya-karyamu berikutnya. Dan akan terus mencari sosok yang lebih keren dari William di dalam diri semua karakter yang kau bentuk :D
seperti membaca kumpulan cerpen yang dinarasikan sang dua tokoh utama, tanpa melupakan chemistry antara mereka sendiri. i love it. tentang orang-orang yg begitu percaya dengan cinta. saya jadi penasaran terus tiap sampe di akhir bab, kisah siapa dan tentang apa lagi setelah ini?
saya nggak masalah dengan dua pemeran utama yang mendongeng bukan tentang diri mereka sendiri, karena sebenarnya Langit dan Layla hanya sedang bercerita pada satu sama lain. both are telling stories of those around them, or simply of their lives--in the hope of getting to know each other better, at least thats what i suppose. and those stories are beautiful, or I must also say beautifully written.
karakter2nya terasa nyata buat saya. mereka semua memang numpang lewat, tapi berhasil ngasih sesuatu ke saya, whatever it is. mungkin juga karena rangkaian katanya yg indah dan sangat khas Ms. Quatro itulah saya jadi nggak bosen dan menutup mata dari semua kekurangannya. dan saya suka bagian2 mengumpulkan 40 amin itu, juga dongeng tentang Waktu dan Cinta di epilog. jadi nggak sabar sama novel selanjutnya. :')
"Karena memang seperti itu saat kita jatuh cinta pada seseorang. Memang untuk itu cinta dihadirkan di atas dunia. Kepada manusia--siapa pun itu--agar hal-hal terkecil dalam hidup tetap terasa indah dan kita terus bersyukur. Sekecil apa pun itu." - Hal. 104
Terkadang, ada buku yang ditulis dengan indahnya yang membuat kita merasakan kata-kata yang tertulis itu di dalam hati, bukan sekadar mengucapkannya.
Believe adalah salah satunya.
Morra Quatro berhasil menulis buku dengan kata-kata yang indah tanpa membuat plot di buku ini terasa klise dan menye-menye.
Sudah lama saya mengagumi beliau akan kemampuannya, akan tulisan-tulisannya. Di bukunya, di blog, maupun tulisan beliau yang kurang-lebih mencapai 140 karakter.
"Kalau..., kalau doa kepada Tuhan itu diamini dengan tulus oleh empat puluh orang saja, insyaAllah akan diijabahkan kan? Karena itu orang mengadakan istigasah, kan.. berdoa bersama-sama? "Semakin banyak amin untuk sebuah doa, semakin besar kemungkinan doa itu terkabul, kan...? "Tuhan mengabulkan doa just when He feels like it, Biru, you know what i mean. Ada doa-doa yang pasti terkabul, memang, seperti doa para mujahid atau doa orang yang teraniaya. Empat puluh memang angka yang istimewa... Tapi, kamu tahu, untuk sebuah doa satu amin aja cukup kalau Dia menghendaki..." "Aku akan mengumpulkan amin dari empat puluh orang."
"Forty amens from forty people," kataku. "I don't know it's gonna work or not. But i'm gonna do it. That's all i'm wishing for my life now."
Ceritapun dimulai, proses mengumpulkan amin.
Sejak baca Forgiven, saya mulai tertarik dengan tulisan Morra. Tulisannya beda, contohnya di buku ini, temanya sudah sangat biasa, cinta jarak jauh atau bahasa bekennya LDR. Bedanya adalah Morra menyuguhkannya dari cerita-cerita para pemeran pembantunya, menunjukkan kisah cinta yang dialami setiap orang, bittersweet.
"Kairo itu jauhnya nyaris setengah linkar planet ini. tapi, aku bisa merentangkan hatiku lebih jauh dari setengah lingkar planet ini untukmu, Biru."
Demi membahagiakan ibunya, Langit mengikuti tradisi yang sudah berjalan di keluarganya, mendapatkan gelar master dari Al-Azhar, seperti semua laki-laki di rumahnya. Langir terbang ke Kairo meninggalkan Biru (yang sebenarnya bernama Layla Ashqa). Sudut pandang yang diambil adalah dari kedua tokoh utama, dengan alur maju mundur, mengurai dari awal mereka bertemu sampai dengan adanya jarak diantara mereka.
Langit bercerita melalui masa kecilnya, melalui sahabat sampai saudara-saudaranya. Mulai dari Aji, teman seperjuangannya dimana Langit merasakan kecempuruan, sebelum keberangkatannya Aji diantar oleh pacarnya dan dia menghibur agar sang pacar tidak bersedih akan kepergiannya. Langit menunggu Biru yang tak kunjung datang.
"Gue bakal gantung aja Waktu di atas pohon. Biar dia berlalu sebagaimana mestinya. Melewati musim, melewati kehidupan. Biar gue jalani semua rintangan demi ketemu puteri. Biar dia nungguin gue di sana. Kalo udah saatnya pisah, biar tiba saatnya tiba. Biar semua itu terjadi untuk menguji cinta kami. Toh, gue bakal tetap cinta dia, kok."
Langit bercerita tentang Aziz, sahabat kecilnya yang sangat menyukai bola dimana ketika dia bercita-cita sebagai pemain sepak bola, impiannya terkabul. Dari cerita tersebut Langit ingin menunjukkan kalau dia mempercayai mimpi sebagai prerogatif setiap orang yang mereka dapatkan sejak lahir. Seperti jodoh, seperti cinta. Biru bercerita tentang Faris, teman SMA-nya. Faris termasuk anak yang populer di sekolah, yang selalu dibayang-bayangi oleh kakaknya, semua orang selalu membanding-bandingkan mereka. Biru nyaris begitu dekat dengan cinta yang tulus dengan jiwa yang kuat. Dia tidak ingin kehilangan untuk yang kedua kalinya. Langit bercerita tentang Jendra atau Jedi, sewaktu kuliah di Kairo dia menjalani hubungan jarak jauh dengan Zahra, tapi dia tidak tahan ketika musim dingin harus sendirian, tidak ada yang tahu tentang hubungan Jendra dan Jasmine. Langit bercerita tentang Zie dan Egit, sahabatnya sewaktu kuliah yang saling mencintai yang sayangnya karena cita-cita hubungan mereka menjadi tidak utuh lagi.
Butuh keberanian untuk memperjuangkan apa yang kita percayai.
Di dunia ini, ada orang-orang yang sangat tidak verbal. yang sangat tidak pandai mengungkapkan pikiran atau perasaan mereka dengan kata-kata. Aku tidak pandai.
Langit bercerita tentang Attar, yang mencintai Rein, seorang gadis yang selalu menunggu kabar pacarnya.
Jarak adalah sesuatu yang powerful. Mereka bilang, bila ada sesuatu yang tidak bisa dikalahkan oleh cinta, maka itu adalah jarak.
Biru bercerita tentang Julian dan papanya. Di mana dia ingin bisa mengambil keputusan sendiri, baik kisah cintanya juga impiannya. Langit bercerita tentang Wolf dan Rara, bagaimana kisah cinta mereka, bagaimana se'nakalnya' Wolf tetap selalu menuruti perintah ibunya. Oh ya, Rara juga turut menjadi PoV dibuku ini, menceritakan kisah masa lalunya sebelum dia menikah dengan Wolf. Dan ada Medina juga yang membantu mengungkapkan perasaan Bunda.
"Hanya waktu sajalah yang tahu, berapa nilai sesungguhnya dari Cinta itu."
Bingung dengan banyaknya tokoh? Sebenarnya tidak juga, ceritanya mengalir dan mudah dicerna walau tidak dijelaskan dengan rinci, malah membuat buku ini lebih berwarna. Ditambah kalimat-kalimat Morra benar-benar indah dan romantis, sehingga banyak quote bertebaran. Dengan banyaknya tokoh yang diceritakan dari Langit, terlebih saudara-saudaranya (Wolf atau Rasya, Attar, Langit, Jendra, dan Medina) membuat porsi Langit lebih banyak. Cerita mereka pun sangat menarik, terlebih Wolf dan Attar (ahh, jadi pengen punya pacar kayak mereka ), waktu penulis siaran di Proresensi saya bertannya apakah cerita mereka akan berdiri sendiri atau dibuat sekuelnya? Dan penulis menjawab belum ada rencana. Yah, walau singkat, melalui buku ini cerita mereka bisa dikatakan sudah tamat. Suka setiap kali penulis mengakhiri cerita di tiap bab, menjelaskan kenapa dia mendatangkan banyak tokoh pembantu di buku ini, karena setiap cerita mereka berkaitan dengan cerita Langit dan Biru, ada benang merahnya. Sayangnya, dengan banyaknya tokoh membuat hubungan Langit dan Biru tidak kerasa, saya merasa kurang mengenal mereka, chemistry mereka kurang, hanya perasaan rindu yang amat kuat yang saya rasakan diantara mereka. Dan untuk endingnya, waktu siaran penulis mengatakan kalau sama halnya dengan Forgiven, penulis membuat open ending, biar pembaca yang menentukan. Saya tidak masalah, tapi sewaktu membaca bagian epilog, saya ingin menyobek bagian itu. Sungguh sangat dipaksakan, padahal sebelum epilog saya sudah membayangkan hubungan mereka akan seperti apa. Yah, kembali ke open ending, tiap pembaca punya pemikiran sendiri-sendiri. Bagian yang paling saya suka adalah ketika orang lain mengatakan amin untuk Langit dan Biru
Buku ini cocok untuk kamu yang punya nasip kayak Biru, yang jauh dari pacar dan cocok juga untuk kamu yang ingin tahu gimana sih rasanya LDR itu
Buku ini menceritakan kisah sepasang kekasih (Langit dan Layla) yang menjalani hubungan jarak jauh (LDR). Seperti pejuang LDR pada umumnya, mereka berusaha supaya hubungannya berhasil dengan cara mengumpulkan 40 Aamiin agar doa mereka terkabul.
Menurutku disinilah keseruan cerita ini, ketika tokoh utama mengumpulkan 40 Aamiin mereka bertemu orang-orang dengan kisah cinta yang berbeda-beda. Tentang kesetiaan, pengharapan, penantian, perjuangan dan masa depan yang akan dipilih oleh masing-masing tokoh. Hal ini menjadi pembelajaran bagi Langit dan Layla dalam memilih hubungan yang seperti apa? Berakhir atau bertahan.
Penulis tidak hanya fokus pada kisah cinta tokoh utama, tapi juga memperhatikan orang-orang yang berada disekitar Langit dan Layla, yang dikemas dengan apik.
Penulis tidak serta merta ingin melihatkan tokoh lain dalam buku ini, melainkan akan ada benang merah yang dapat ditarik dalam cerita ini.
Meski awalnya sempat bingung karena pembaca dipaksa untuk ikut dalam kehidupan tokoh lainnya tanpa pengenalan basa-basi. Tapi overall aku menikmatinya karena diksinya yang indah.
Aku tidak akan membandingkan buku ini dengan buku-buku kak Morra yang lain, karena menurutku kak Morra memang ingin memberikan kisah yang sedikit berbeda dari biasanya(?). Aku pribadi merasa seperti tidak sedang membaca novel melainkan cerita pendek yang begitu manis.
Dan bukan kak Morra kalau ngga bikin pembacanya nangis, even itu kisah bahagia. Menurutku buku ini worth to read!
Membaca buku ini rasanya nyesek, tapi juga terasa tenang. Nyesek karena sebagian cerita di buku ini mengambil setting di Jogja, dan kebetulan juga tempat-tempat itu adalah tempat yang ku datangi berama si guide. Galau to the max lah. Lalu ada juga setting di Bangka, hmmm. Tenang, karena ada begitu banyak doa yang diselipkan dalam buku ini.
Tokoh utama dalam buku ini adalah Langit dan Layla yang lebih sering dipanggil biru. Langit biru. Cinta mereka terhalang restu orang tua, begitu yang diceritakan di awal buku. Lalu keadaan semakin mengharubiru ketika Langit akan berangkat ke Kairo untuk melanjutkan studinya di Al-Azhar.
Tapi ada beberapa hal yang kurang sreg dalam buku ini. yeah sekedar kritik aja. Langit diceritakan sebagai pemuda religius lulusan Pondok Pesantren Gontor, pesantren yang ada di buku Negeri 5 Menara. Tapi sikapnya sama sekali tidak mencerminkan sebagai orang yang religius. Begitu juga dengan suasana ketika Langit berada di Al-Azhar, Kairo. Ntahlah mungkin aku terlalu sering membaca novel islami yang mengambil setting di Al-Azhar, jadinya aku agak kaget dengan penggambaran suasana Al-Azhar dan mahasiswanya dalam buku ini. sangat berbeda. Mereka digambarkan begitu mudahnya melakukan skinship, bahkan ada yang tinggal bersama. Apakah pantas mahasiswa Al-Azhar bersikap seperti ini? kalo di buku sebelumnya, Forgiven, hal itu mungkin terjadi, malah bukan hal yang tabu, dah biasa. Tapi ini di Al-Azhar gitu lho. Yesungdahlah, toh itu hanya fiksi.
Oiya di buku ini juga terdapat terlalu banyak kisah cinta. Seperti sinetron di Indonesia. Yeah kisah cinta mereka cukup indah dan berkesan, tapi apa hubungannya dengan kisah cinta Langit dan biru?
Setting tempatnya juga terlalu banyak, kadang di Jogja, Semarang, Jakarta, Kairo. Kadang saya bingung, ini tokohnya sedang berada dimana?
Hmm… kalo boleh saya bilang, Langit dan Biru ini terlalu lebay dalam hal perasaan mereka. Awalnya memang diceritakan bahwa mereka tidak direstui. Tapi di akhir cerita orang tua mereka malah merestui bahkan ikut mendoakan. Langit memang belum memperkenalkan Biru pada bundanya, begitu juga papa Biru yang belum mengenal Langit. Mereka hanya berasumsi bahwa mereka tidak direstui.
Saya juga bingung, sebenarnya berapa lama Langit berada di Kairo? Kenapa sepertinya mereka susah sekali untuk berkomunikasi? Apa gunanya handphone dan internet? Apa gunanya skype, facebook, dan twitter? Overall, ini adalah buku yang bagus, pemilihan diksinya keren, terasa dalam banget. Banyak kata-kata yang bagus untuk dijadikan status facebook, hehe
"Kalau..., kalau doa kepada Tuhan itu diamini dengan tulus oleh empat puluh orang saja, Insya Allah akan diijabah kan? Karena itu orang mengadakan istigasah, kan... berdoa bersama-sama?" hal.5
"Aku akan ngumpulin amin dari empat puluh orang. It sounds stupid, i know... But i'll do it. Entah pada akhirnya dikabulkan atau nggak.." hal. 6
tidak banyak yang kuketahui tentang hal-hal itu, tapi aku selalu mencoba percaya. Karena, terkadang, kita tidak punya pilihan. Selain percaya--pada kekuatan Yang Maha Gaib yang turun setelah kita berusaha. Terutama, pada saat-saat seperti ini. Hal. 12
Kita berdua tidak tahu kapan kamu akan melingkari setengah putaran planet ini lagi untuk kembali. Atau adakah keajaiban yang akan menghantarkan aku kesana untukmu. Hal. 15
Namun, Tuhan sering memberikan jalan dari arah yang tidak kita duga. Hal. 17
you're gone. and life goes on. Hal. 26
Bersedih, menangis sampai berdarah tidak akan mengubah apapun. Aku sudah membuktikannya tadi. Benar-benar tidak ada yang bisa kulakukan sementara keinginan untuk memelukmu sekali lagi membuatku merasa ingin berteriak. Berteriak pun tidak akan mengubah apa-apa. Yang ada, hanyalah bahwa hidup harus terus berjalan. Tidak apa-apa. It's gonna be fine in the end. If it's not fine, it is not the end.
Cukup bagiku untuk tahu kamu ada di atas sana, dengan perasaan yang sama. Itu sudah cukup bagiku untuk tahu, kamu memang pantas untuk kutunggu. hal. 26.
Tapi, aku bisa merentangkan hatiku lebih jauh dari setengah lingkar planet ini untukmu. Hal. 33
Mungkin, ini bukan kisah cinta yang mudah. Namun, aku sudah berjanji akan berusaha. Akan kuhimpun segenap kekuatan untuk itu. Karena untukmu, puisi-puisi ini pun akan terus ku tulis. Hal. 45
Pada saat kamu jatuh cinta, jatuh cintalah. Karena, mungkin setelah itu, kamu tidak akan jatuh cinta sedalam itu lagi. Karena mungkin itulah yang akan menjadi cinta hidupmu. Hal. 94
if you want me to come back, i will. Hal 102
begitu membahagiakan. Karena memang seperti itu saat kita jatuh cinta pada seseorang. Memang untuk itu cinta dihadirkan diatas dunia. Kepada manusia -siapa pun itu- agar hal-hal terkecil dalam hidup terasa indah dan kita terus bersyukur. Sekecil apa pun itu. Hal 104
Aku selalu percaya dia pasti kembali. Terus percaya begitu. Walaupun aku tau dia nggak mungkin nggak sama siapa-siapa disana. Padahal, mungkin dia bahkan nggak akan kembali kan? You know it.. Hal 118
Ada banyak hal yang tidak terduga yang bisa terjadi. Tuhan amat jarang memberitahukan rahasia masa depan. Dan bila pada akhirnya Dia memberitahukannya, biasanya itu adalah sesuatu yang tidak mampu diubah lagi. Dan, jarak adalah sesuatu yang amat powerful yang membuka seribu kemungkinan. Juga untuk kita berdua. Tetapi, hingga saat ini, aku ingin kembali untukmu. Kuharap, hingga saat ini, kepadamu Dia juga tidak mengubaj apa pun untukku. Tunggulah aku. Hal. 121
Mungkin, aku tidak sempat mengucapkan ini kelak. Jadi, izinkan aku mengucapkannya sekarang. Terimakasih. Hal 132
It's always easier to believe what you're told to believe. Doaku, izinkan aku untuk mendengar hatiku sendiri kali ini, Tuhan. Because the true answer is what speaks inside of you. Saat ini, segala yang ada dalam diriku memanggil kepadamu. Meskipun sejumlah ketakutan kemudian datang menyerangku. Bagaimana kalau mereka benar. What if something happens.. What if, what if. Hal. 138
Dalam hati, aku meneriakkan doaku lebih keras agar Tuhan mengembalikan kamu untukku segera. Cepatlah kembali. Hal. 140
People are people. They change. They do it all the time. Hal 141
What defines a good rain? It is good when it rains and i'm with you. Seperti itu saja, sudah cukup bagiku untuk tahu, bahwa apa pun yang kulakukan hingga sejauh ini - it's all worth it. Itulah yang penting sekarang. hal 198
3.5 / 5 Ini kali pertama aku membaca karya mbak Morra Quoatro. Well, first impression.. aku langsung suka dengan writing style-nya. Manis dan deskripsinya sangat detail. Tidak jarang aku akan larut dalam kisah pada buku ini, dan ikut merasakan bagaimana perasaan tokoh-tokohnya.
Membaca buku ini seperti membaca kumcer. Tiap bab pembaca akan mendapati kisah yang berbeda yang berhubungan dengan dua tokoh utama-Langit dan Biru. Oh, talk about that names, aku sangat suka cerita di balik kedua nama itu. Awalnya aku sedikit terganggu sih dengan model alurnya dan cukup membingungkan, selain karena banyaknya tokoh di luar Langit dan Biru juga karena tidak ada perkenalan apa-apa sebelumnya tentang tokoh yang diceritakan. Seolah-olah kita sudah mengenal tokoh-tokoh tersebut sehingga di buku ini kita hanya tinggal mengenangnya saja layaknya tokoh utama. Walaupun begitu aku sangat respect bagaimana semua kisah itu saling berhubungan dan memberi pengaruh terhadap kedua tokoh utama.
Kenapa 3.5 bukan 4 , karena 0.5 nya untuk kisah Langit dan Biru yang menurutku kurang banyak.hehe Aku berharap bisa mengetahui lebih banyak kehidupan Langit dan Biru ketika menjalani hubungan jarak jauh mereka sehingga prosesnya lebih kelihatan dan tidak serta merta mendapatkan conclusion. :) Overall, aku suka dan akan membaca karya-karya mbak Morra Quatro yang lainnya. ^^
been on reading slump for soooo long and finally this book pulled me out of it!
ini buku mbak morra yang pertama kali aku baca and i instantly fell in love with the naration 🥹
kaget sih pas buka goodreads ratingnya nggak setinggi buku yang lain. banyak yang berpendapat klimaksnya kurang dapet dan ceritanya lebih berfokus ke kisah romansa orang lain dibanding ke kisah layla dan langit sebagai peran utama. tapi buat aku malah di situ letak uniknya. meski cerita mereka nggak jadi pusat utama, seolah-olah mereka belajar tentang cinta dari kisah-kisah tersebut. dan di akhir, semua itu bermuara pada “mengumpulkan aamiin” sebagai doa untuk hubungan mereka sendiri yang masih ldr dan belum direstui. justru lewat cara itu komitmen layla dan langit terasa, i feel sooo warm 🥹
yang jelas kalau mau baca ini, harus lagi santai, bukan di tempat ramai, fokus 100%. karena bagiku bahasanya lumayan susah dicerna. setelah 40+ halaman baru mulai biasa dan makin penasaran, hihi.
secara bahasa, jujur aku lebih suka forgiven, sih. tapi secara cerita, ga kalah kok. jujur aku suka banget gaya cerita dan alurnya. dan baca novel ini ada sensasi tersendiri. feel warm.
Pertama kalinya aku baca cerita kak morra. Dari segi penulisan dan diksi yg diambil memang bgus, tp entah kenapa isi cerita nya blm pas di aku. kisah cinta langit dan biru "Layla" Yang kurang byk, dan diakhir endingnya terasa seperti digantung, tidak dijelasin akhir cinta langit dan biru seperti apa nantinya. Tapi sejauh ini keren, next time bakal baca karyanya kak morra
Akhirnya kesampaian juga baca buku Believe setelah sebelumnya tuntas membaca Forgiven dan Notasi. Dan lagi-lagi, Morra mengeluarkan novel yang judulnya hanya terdiri dari satu kata tetapi saya suka, sederhana namun mewakili isi cerita secara keseluruhan.
Pertama, saya ingin bercerita sedikit. Saya pernah berbincang dengan rekan jauh saya di media sosial. Kami membahas mengenai novel Morra Quatro. Pada saat itu saya belum membaca Believe dan menanyakan pendapatnya mengenai Believe. Ia bilang, dari ketiga novel Morra yang telah terbit, hanya Believe yang sama sekali tak memiliki nyawa. Pada saat itu, saya hanya manggut-manggut karena beberapa kali mengintip goodreads pun, rating yang diperoleh Believe tidak sebesar Forgiven atau Notasi. Tapi, saya harus membuktikannya sendiri. Kini, saya bisa bilang bahwa saya memiliki penilaian lain, selera saya berbeda dengan mereka, Believe tak kalah mengagumkan dari nvel pertama dan ketiga Morra.
Bercerita mengenai cinta yang dipisahkan oleh jarak dan waktu dimana Langit sang hero dan Biru yang bernama asli Layla, sang heroin berusaha mempertahankan apa yang seharusnya mereka miliki. Mereka berdua menaruh harapan penuh agar mereka dapat dipertemukan kembali lantas mereka berjuang mengumpulkan ‘amin’ sebanyak-banyaknya karena mereka percaya, semakin banyak ‘amin’ yang terkumpul maka kesempatan akan terkabulnya keinginan mereka akan semakin besar.
“Kalau... kalau do’a kedapa Tuhan itu diamini dengan tulus oleh 40 orang saja, InsyaAllah akan diijabahkan, kan? Karena itu orang mengadakan istighasah, berdo’a bersama-sama....”
Menggunakan sudut pandang orang pertama dari Langit dan Biru secara bergantian. Menceritakan pengalaman dan kisah orang-orang terdekat mereka dimana dari setiap kisah memiliki benang merah yang menghubungkan kepada kisah cinta mereka berdua. Terus terang, saya menyukai cara bercerita Morra yang seperti ini. Meskipun banyak sekali tokoh yang diceritakan namun saya tidak merasa terganggu sama sekali karena kisah-kisah yang disuguhkan dari berbagai tokoh pun berbeda dan sangat memorable sekali.
Langit yang dituntut untuk menyelesaikan pendidikan S-2 di Univ. Al-Azhar, Kairo hingga ia menyandang gelar master seperti kakak-kakaknya yang lain, bercerita mengenai Aji, temannya yang berusaha menenangkan kekasihnya di bandara saat mereka hendak berpisah.
“Gue bakal gantung aja waktu di atas pohon. Biar dia berlalu sebagaimana mestinya. Melewati musim, melewati kehidupan...”
Lalu, ada kisah Aziz yang berhasil menjadi pemain sepak bola kebanggan kota karena ia tak pernah menanggalkan mimpinya dan cinta pun demikian bila dipertahankan dengan baik.
Ada bab ‘Catatan Biru tentang Faris’ dimana Biru mengisahkan Faris yang mencintainya namun Tuhan tak mengizinkan mereka bersama. Faris diambil oleh Tuhan terlebih dahulu. (FYI, Ini adalah bab favorit saya. Damn, Mbak Morra! Saya membaca bab ini di angkot ketika hendak berangkat kuliah dan saya menangis huhu untung lagi sepi penumpang.)
“Setelah kematian Faris, aku menyadari dengan penuih sesal bahwa aku nyaris begitu dekat dengan cinta yang tulus dari orang dengan jiwa sekuat itu. Aku sudah pernah berusaha menemukan itu lagi—dan berakhir pada orang yang salah. Kini, aku menemukannya pada dirimu, Langit. Aku tak ingin kehilangan untuk kali kedua.”
Dan ada kisah-kisah lainnya mengenai Jendra, Zie & Egit, Attar & Rein, Julian & Ayahnya Biru serta Rara, Wolf & Ibunya yang juga sangat mengharukan.
Ciri khas Morra sekali dengan penuturan narasi yang indah, dengan kalimat yang sangat enak dibaca dan bahasa-bahasa romantis yang bertebaran. Mengambil beberapa latar tempat seperti Yogya, Jakarta, Bangka dan Kairo yang semuanya digambarkan dengan cukup apik. Terdapat banyak sekali typo namun saya masih bisa menikmati karena typo-nya masih tergolong minor error. Suka sekali dengan ending terbuka yang disajikan dari sudut pandang Medina (adik Langit) yang menceritakan tentang isi hati ibunya.
Recomended buat kalian pecinta fiksi berat yang membutuhkan konsentrasi tinggi khususnya kalian yang sedang LDR, kumpulkan 40 amin! Hihi ^^
Pernahkah kamu merasakan kerinduan yang begitu dalam kepada seseorang? Pernahkah kamu begitu ingin bertemu, namun jarak begitu jauh membentang? Sanggupkah kamu bertahan dan menjaga komitmen dalam suatu hubungan jarak jauh? Apakah percaya saja cukup untuk menjaga cinta?
Ini bukan tentang kisah cinta biasa, bukan sekedar hubungan yang terpisah karena jarak. Namun, lebih daripada itu. Kamu akan dibawa kepada masa-masa penantian 2 tokoh utama, Langit dan Biru yang berjuang mempertahankan hubungan jarak jauh mereka. Jarak antara Kairo dan Indonesia tidak melunturkan perasaan mereka, bahkan belum adanya restu dari orang tua bukan suatu penghalang.
Langit dan Biru telah memilih. Ya, mereka "percaya" bahwa cinta tidak mengenal ruang dan waktu. Mereka terus menunggu dengan kerinduan, ketakutan, dan sejuta perasaan yang datang silih berganti bersamaan dengan musim demi musim yang telah mereka lewati.
Cukup bagiku untuk tahu kamu ada diatas sana, Langit dengan perasaan yang sama. Itu sudah cukup bagiku untuk tahu, kamu memang pantas untuk kutunggu
Sampai muncul ide untuk mengumpulkan 40 "Amin" dari semua orang, baik keluarga, teman bahkan orang yang tidak dikenal, mulai dari wanita India di bandara, penjual kue di jalan, teman sekantor digedung yang sama dan siapa saja yang mereka temui. Semua itu dilakukan hanya untuk 1 hal, "menggetarkan hati Tuhan untuk mengabulkan doa mereka agar bisa segera bersama kembali".
Semuanya memang tidak mudah. Karena bukan hanya jarak yang harus dikalahkan oleh Langit dan Biru, tapi lebih dari itu restu orang tua yang lebih utama bahkan yang terpenting.
Pada saat kamu jatuh cinta, jatuh cintalah. Karena, mungkin setelah itu, kamu tidak akan jatuh cinta sedalam itu lagi. Karena mungkin itulah yang akan menjadi cinta hidupmu
Membaca novel ini sebenarnya menarik, sebagai pembaca saya suka membaca catatan-catatan Langit dan Biru secara bergantian dalam masa penantian mereka untuk bertemu kembali. Namun, karena terlalu sedikitnya konflik, bahkan persoalan restu orang tua kurang begitu dieksplor, sehingga membuat novel ini agak sedikit membosankan.
Honestly, saya mengharapkan pertemuan yang lebih manis dan romantis di ending cerita, namun terlalu datar (ini hanya penilaian pribadi). Karena bagaimanapun membaca catatan2 Langit dan Biru bisa ikut merasakan kerinduan yang sungguh menyiksa, namun pertemuannya biasa banget =(
But, over all saya suka novel ini. Banyak pemahaman baru, bahwa hubungan jarak jauh pun bisa berhasil. Mungkin tidak sedikit yang gagal, itu bukan permasalahan jarak, mungkin saja karena tidak berjodoh atau Tuhan tidak menghendaki ^^
So, novel ini cocok dibaca bagi siapa saja karena termasuk bacaan yang ringan, khususnya bagi pasangan yang sedang menjalani hubungan jarak jauh, bisa sedikit menguatkan.
Cinta tidak mengenal waktu. Walau hanya waktu yang tahu seberapa berharganya cinta itu
Sulit untuk saya memahami apa yang ini disampaikan oleh penulis dari novelnya ini. Jujur saja saya memang dibuat bingung dengan alur yang melompat lompat dari cerita satu ke cerita lainnya. Saya baru memahami isi cerita ketika hampir sampai pada pertengahan buku (blame me). Malah saya malah sempat berhenti untuk membaca setelah beberapa halaman dikarenakan tidak begitu menyukai gaya bahasa yang dipakai oleh penulis. Namun akhirnya saya melanjutkan membaca novel ini hingga habis, dan well.. 3 bintang untuk novel ini.
Novel ini bercerita tentang sepasang kekasih yang menjalani long distance relationship, Biru dan Langit. Dibalik cerita utama ini, terdapat cerita cerita lain tentang orang orang terdekat yang mempengaruhi hubungan mereka. Awalnya saya tidak mengerti apa yang sebenarnya diceritakan. Ternyata cerita cerita kecil dalam novel inilah yang menjadi penyokong dari cerita utamanya.
Sedikit sulit untuk mereview novel ini, dikarenakan mungkin maksud dan gaya penulisan dari penulisnya tidak tersampaikan pada saya. Karena saya tidak mendapat penjelasan mengapa Langit dan Biru begitu kesulitan menjalani hubungan mereka dan seakan ragu. Dibanding sepasang kekasih yang menjalani LDR, mereka lebih terlihat seperti sepasang kekasih yang tidak saling percaya lagi. Ketidakpuasan lainnya adalah situasi terbalik dimana penulis lebih menekankan cerita dari tokoh tokoh pendukung dibandingkan kedua tokoh utamanya, jadi seperti cerita utama adalah cerita yang paling tidak jelas dan tidak tuntas serta menimbulkan banyak sekali pertanyaan di benak saya.
Diluar itu, saya menikmati sepenggal sepenggal cerita dari tiap tokoh yang disuguhkan dalam tiap bab nya. Cerita tentang Faris adalah cerita yang paling saya sukai disini. Gaya penulisan yang unik dari penulis (khas novel gagas media) memang layak untuk dihargai. Selain memberikan suasana fresh yang berbeda, juga menjadikan nilai plus dari novel ini. Detil latar dan suasana yang digambarkan pun juga patut diberi jempol.
Hanya sedikit membandingkan, saya bukannya tidak suka dengan gaya penulisan seperti ini. Here, After yang ditulis Mahir Pradana adalah salah satu novel yang gaya penulisannya sedikit mirip dengan novel ini dan merupakan salah satu novel favorite saya lho. Here, After juga menyuguhkan cerita cerita yang berbeda dari tiap bab, namun dari tiap kisah tersebut terdapat benang merah yang menghubungkan setiap kisahnya tanpa mengesampingkan intinya. Jika saja Morra dapat meramu Believe dengan tepat, tentulah novel ini dapat menjadi favorite saya juga.
"Kalau doa kepada Tuhan itu diamini dengan tulus oleh empat puluh orang saja, insya Allah akan diijabah kan?"
"Aku akan ngumpulin amin dari empat puluh orang, it sounds stupid, I know..., but I'll do it."
"It's gonna be fine in the end. If it's not fine, it is not the end."
"Sebab, hanya Waktu sajalah yang tahu, berapa nilai sesungguhnya dari Cinta itu."
. . .
Believe bercerita tentang Layla--or as we known as Biru--dan juga Langit. Sepasang sejoli yang berjuang meretas jarak dan waktu yang merentang antara Jakarta-Mesir juga mendapatkan restu orangtua mereka masing-masing dengan berbekal 'amin' dari orang-orang di sekitar mereka. Ada cerita yang tidak biasa di antara premis yang kak Morra ciptakan di sini. Saya seperti sedang membaca kumpulan cerita pendek, hanya saja, ini bukan sebuah kumpulan cerita pendek. Kak Morra menarasikannya dengan pergantian sudut pandang antara Biru dan Langit juga orang-orang dekat mereka di setiap babnya. Dari sanalah pemahaman akan hubungan mereka seolah digambarkan. Juga banyaknya 'amin' yang terujar.
Diksi dan cara penulisan kak Morra selalu memukau. Like I said before, it like there's something called 'magis'. Penulisannya selalu mampu menenggelamkan saya pada ceritanya. Dan sampai sekarang, hal itulah yang membuat saya sangat jatuh cinta dengan cerita-cerita yang ditulis kak Morra. A very good teller. Deskripsi dan narasinya, amazing. Benar-benar mampu membawa emosi pembacanya masuk ke dalam cerita. Gampang bikin merinding dan heart-warming. (atau hanya saya yang merasakannya?)
Intinya, tulisan kak Morra selalu menjadi yang saya favoritkan :) meski dari segi konflik saya lebih menyukai Forgiven dan Notasi, but, worth it lah untuk menebus kerinduan saya pada tulisan beliau ;p ditunggu Resonance dan current project-nya, Kak!
Endingnya? Mungkin, ini yang disebut cliffhanger kali, ya? Kalau pembaca setia kak Morra, pasti tahulah cara ia merangkum endingnya seperti apa. Meski di sini tidak seekstrim Forgiven dan Notasi. Tapi tetap saja, rasanya kepengin teriak di ending. Kenapa? Kenapa berhenti di sini? Gitu.
Ah iya, sebenarnya, saya masih nggak tahu maksud ucapan "Awas" Bunda. Same with Dina-_- entah saya kurang teliti atau gimana ya, tapi saya gagal paham :(
Pokoknya, ditunggu terus karya-karya selanjutnya, Kak Morra!
Believe—mengajarkan tentang percaya, bahwa suatu hari nanti akan ada saatnya bertemu pulang dan menjalin kisah yang sempat terputus oleh ruang dan waktu. Jika segalanya benar, maka semuanya akan berjalan sesuai harap dan doa yang selalu dikumandangkan.
Believe—berkisah tentang Layla atau Biru dan Langit. Cerita tentang sebuah hubungan yang panjang, didekap waktu dan ruang yang panjang pula, tapi dari mereka sebuah pemahaman muncul, mereka masih dalam dimensi yang sama, usaha yang mereka tuturkan tidak akan pernah sia-sia, karena segala yang mereka ketahui, Tuhan bersama mereka. Merenda cinta yang mereka punya, membuatnya menjadi nyata di bawah restu-restu yang mereka dapatkan di sepanjang waktu merangkak perlahan.
“…does it matter so much anyway? God answer prayers when He feels like it…” “Forty amens from forty people, I don’t know it’s gonna work or not. But I’m gonna do it. That’s all I’m wishing for may life now.”
Dan setiap Amin yang terucap adalah restu yang ingin mereka dengar, bahwa setiap Amin untuk mereka adalah tulus agar mereka kembali bersama.
Novel kedua mbak Morra, tapi dia punya urutan nomor tiga yang pernah kubaca, setelah Notasi, Forgiven, dan Believe ini. Novel ringan tapi menghanyutkan, aku suka dengan POV-POV milik Biru dan Langit. Saling memberi harap, mencari restu, memupuk rindu. Bukan apa-apa, karena dari itu semua, hal tersebut yang aku suka. Dan entah kenapa, bagaimana bisa aku masih merasakan Will ada di sana? William Hakim, maksudku. Kisah-kisah pendek yang disajikan, seperti seputar Faris, kisah masa lalu Troy dan Rara. Mereka seperti menyiratkan ada Will di sana. Aku tidak bohong. Kata Rara tentang Troy, “Dia bercerita tentang mimpinya. Scientist dan ahli kedokteran nomor satu. Aku akan temukan teori baru, and you know what…, one day I’ll really blow up the world.”
It sounds like Will, huh? But I can’t mention it truly. Karena pada akhirnya aku sadar, I miss him actually. I miss you, Will :)
gue ngerti kenapa orangorang naruh novel ini di peringkat paling bawah, di daftar novelnovel kak morra yang paling disuka. apalagi ini novel keduanya, setelah novel pertamanya forgiven, such a beautiful tragic story. jadi wajar orangorang membandingkan ama forgiven. trus merasa lebih suka forgiven blabla. ceritanya emang biasa, bukan wah kayak novel kak morra lainnya. yang hebat, tragis, ekstrim, keren. ehh kecuali the second best ding. dan ceritanya ini kan ldr, tapi diputerputer. ngomongin ini itu. ga fokus sih kata gue. kak morra emang nulisnya gitu sih, ngomongin blablabla trus back ke ceritanya. tapi yang believe ini too much, makanya mungkin orang ga fokus, berasa nyeritain apa sih ini sebenernya, trus jadi kadar sukanya paling bawah. gue pribadi jujur ga fokus ama ldrnya si biru dan langit. tapi emang gue sengaja sih, gue membiarkan diri ini larut diajak mutermuter nyeritain iniitu ama kak morra. gue lebih fokus ke kalimatkalimat yang disusun rapi ama kak morra, kata per kata, gue baca pelanpelan. dan yaah, keindahan tulisan kak morra bisa gue rasakan, as always. kalo fokus di kalimatnya tuh jadi berasa kayak baca tulisan kak morra yang manapun, yang di buku manapun atau di tumblr. ga ada beda. cantik gitu. kalo lo mengesampingkan ini believe nyeritain apa sih, atau pikiran yang lainnya, bakal merasa ini sama aja kok kayak tulisan kak morra yang lain. gue seneng deh fokus ke cara nulisnya. cara kak morra merangkai tiap kata biar jadi heartwarming banget. cara kak morra describe sesuatu. cara kak morra nyeritain, biasanya tulisannya pake pov orang pertama yang sedang nyeritain sesuatu. dan gue suka itu. cinta banget. makanya gue suka tulisantulisan kak morra yang dimana pun. jadi gue tetep suka believe ini.
ohh iyaa gue setuju reviewnya kak winna dibawah, setuju semuamuanya yang dibilang. terutama ini. Tapi, tetap saja bukunya yang kedua tidak kehilangan ciri khas sang penulis yang sulit saya jelaskan tapi memang sangat istimewa.
Dunno what to say, yang ku tangkep dari buku ini adalah kumpulan cerita tentang percaya bahwa kita punya takdir masing-masing.
ia kumpulan cerita. Marena di setiap babnya sang tokoh utama which is biru ama langit selalu nyeritain kisah cinta orang lain.
Simpel sih isinya, langit ama biru lagi ngumpulin 40 amin biar cinta mereka direstui, maknya bitu ama langit nyeritain kisah cinta orang lain yg nanti diakhirnya si orang-orang yang diceritain itu nge aminin mereka. udah segitu.
Klimaks? Gak nemu.
Plot? mungkin plot dibuat perbab aja, kan certa per bab nyeritain orang lain.
Ku kasih tiga bintang? Ya karena suka banget ama narasi yang dibawain penulis, ada beberpa cerita yang kusuka juga, misalnya certa rara, rasya, dan troy (ini troy anaknya Karla-kah? Karena Troy ngomong gini, "one day i'll really blow up the world"-hal 181. Secara itu kata-kata Will di Forgiven, kan?)
Yang disayangkan, kenapa cerita rara diceritain ama Rara sendiri, yang bikin aku gak nemu benang merahnya. Rara emang bilang di akhir kalau dia berdoa tentang membuat pilihan yang benar. Lalu hubunganya? Apa hal ini berhubungan ama keputusan Langit dan studinya? Atau berhubungan dengan Biru a.k.a Layla dengan mimpinya? Entahlah. Padahal bagian ini bisa diceritakan oleh lanhit biar gak ada gap. Karena pas baca bagian Rara ini udah kerasa jadi cerita lain. Tapi pasti penulis ada maksud lain yang saya gak tahu :'
Dan belakangan saya mulai menyadari bahwa mungkin alasan penulis membuat tokoh utama menceritakan kisah orang lain adalah bahwa cerita-cerita itu adalah isi pesan yang dikirim langit ke biru dan sebaliknya.
Ini adalah novel kedua Kak Morra yang aku baca setelah Forgiven. Kalau kemarin review yang aku bikin cuma sekedar "Aamiin", sekarang, setelah terlepas dari beban penelitian seminar dua aku tiba-tiba pengen membuat reviewnya 'sekali lagi' :)
Believe menceritakan tentang Langit dan Layla (yang dipanggil langit dengan sebutan "Biru") yang harus menjalani hubungan jarak jauh dan kesulitan untuk bersama karena hal-hal lain yang digambarkan Kak Mo dengan sangat menggugah hati.
Mereka mengumpulkan 40 aamiin agar doa mereka untuk bisa bersama terkabulkan, dan disini cerita asyiknya, dimana ketika mengumpulkan 40 aamiin tersebut mereka menemukan begitu banyak kisah cinta yang dialami oleh orang-orang terdekat dan disekiling mereka ;patah hati, bahagia, berbunga-bunga, dan sebagainya.
Kak Mo, seperti dalam Forgiven selalu berhasil membuat aku mengharu biru. Bahkan, dalam kisah-kisha bahagia pun, aku masih mengharu biru. Kak Mo such a very great story-teller :') Love ya, kakaks ^^
Part yang paling aku suka adalah waktu Layla mengejar Langit di bandara yang sayangnya nggak kejadian kayak film AADC :|
Juga cerita SMA Layla tentang Faris :') Ah, itu bener-bener deh, galaunya maksimal :')
Sekarang aku sedang duduk manis menunggu buku Kak Mo yang bakalan terbit bulan depan <3 Can't be patient!
3.5 stars Sejujurnya, buku ini tidak sesuai dengan ekspektasi saya sebagai seorang fans dari karya-karya Morra Quatro. Saya sudah membaca ketiga bukunya. Saya sangat suka dua dari tiga buku yang telah saya baca. Saya mengira buku yang ini juga akan meninggalkan kesan yang sangat membekas seperti dua buku lain, tapi ternyata tidak. Saya tetap suka dengan gaya menulis Morra, tapi untuk buku yang ini saya kurang sreg dengan plotnya. Menurut pendapat pribadi saya, buku ini memiliki terlalu banyak karakter. Saya tidak bisa mengingat nama-nama tokoh dibuku ini. Penulis menceritakan kisah cinta dari beberapa tokoh yang saya tidak ingat kapan mereka pertama kali muncul dicerita. Karena hal inilah, menurut saya plotnya jadi hilang fokus. Seolah memang tokoh Langit dan Biru ini hanya penonton dari kisah2 orang-orang tersebut. Juga, novel ini diceritakan dari beberapa sudut pandang, tapi mainly dari Langit dan Biru. Sayangnya, saya tidak bisa merasakan perbedaan dari cara menarasikan pengalaman Langit dan Biru. Langit adalah laki-laki dan Biru adalah perempuan, tapi mereka memiliki cara yang sama dalam menceritakan cerita yang mereka alami. Bukan berati saya kecewa. Saya tetap ngefans sama Mbak Morra Quatro. Semoga karya yang selanjutnya sebaik Notasi atau bahkan lebih. :)
Morra Quatro, menceritakan kisah sebuah LDR dengan sedikit berbeda. Menurut saya, novel ini lebih menceritakan ttg harapan2 sepasang kekasih yang terpisah jarak. Nggak terlalu menceritakan ttg bagaimana mereka berhubungan.
Dengan begitu banyaknya ide yang bisa jadi sama, bagi saya bagaimana penulis menuliskan ceritanya menjadi salah satu parameter utama dari bagus atau nggaknya sebuah novel.
Dan dengan cara bercerita mbak Morra untuk menunjukkan harapan2 sepasang kekasih ini u/ tetap bersama walau harus LDR a/ salah satu gaya bercerita yang jenius. Dengan terpisah jarak dan kesibukan masing2, membuat mereka jarang berinteraksi, maka harapan2 dan pelajaran didapatkan dari cerita2 di sekeliling mereka. Dari pengalaman dan cerita orang lain mereka belajar dan tahu, hubungan, perjuangan, dan masa depan seperti apa yang ingin mereka dapatkan dari hubungan ini.
Sayangnya, ending novel ini menurut saya kurang manis dan ngena. Tapi bagian awal hingga menjelang ending cerita ini benar2 membuat kita pengen baca terus-menerus. Apalagi u/ mereka yg LDR ;)
Walau ending yang kurang greget, saya tetep memberikan bintang 4 u/ novel ini u/ gaya bercerita dan kalimat2 yang jenius :)
Entahlah, tapi menurutku, buku ini yang paling kurang 'pas' dibanding buku Morra yang lain.
Sebut saja saya sebagai Morraholics, atau Morralovers, atau PecintaMorra, karena saya selalu suka dengan hasil karya tulisnya. Tapi, tidak untuk buku ini.
+1 untuk hasil riset Morra. Saya sangat bangga untuk itu. +1 untuk ceritanya. Ceritanya lumayan, meskipun sederhana; cerita tentang sepasang kekasih yang dipisahkan oleh rentangan jarak setengah lingkar bumi. Tapi, lumayan menarik, deh. +1 untuk covernya. Sekarang aku sadar, aku selalu jatuh cinta pada cover buku-bukunya Morra.
-1 untuk plot ceritanya. Bagus sih, tapi terkadang saya kurang 'ngeh' untuk cerita di setiap partnya. Mungkin Morra memang ingin menunjukkan bahwa 'segalanya bisa tercapai bila kita memiliki kemauan". Nah, itulah salah satu pesan tersirat yang saya tangkap dari setiap cerita di buku ini. Tapi, saya masih bingung di part terakhir dari buku ini. Partnya Dina, kalau nggak salah. Saya masih belum mengerti akan keberadaan bagian ini.
Tapi, buku ini lumayan bagus, paling nggak, bisa dapet quotes-quotes gratis. ^^
Asik, akhirnya semua novel kak Morra udah ludes dibaca ^^ *tari tortor*.
Sejak baca Notasi, aku memang begitu yakin untuk menempatkan nama kak Morra ke dalam list penulis favoritku. Lalu aku memutuskan untuk membaca Forgiven (yang menurutku merupakan buku yang nguras hati banget ya (?)). Kedua buku itu mempunyai karakter cowok yang.... lovable, pokoknya tipikal idola banget deh.
Untuk yang ini? Hmm, let's see.
Buku ini sebenernya mengambil tema kecil yaitu LDR. Langit di Kairo dan Biru di Indonesia. Mereka berdua juga belom dapet restu yang pasti dari orang tuanya masing-masing.
Entah kenapa setiap baca novel kak Morra, auranya kerasa gelap gitu ya (?), bawaannya tegang muluuuu. Padahal buku yang ini beda cerita loh sama Notasi dan Forgiven yang cukup ngurak otak.
Sayangnya buku ini mengalami kecacatan produksi. Beberapa halaman penting yang merupakan endingnya, malah hilang enggak tau ke mana ;_;
Buku ini bercerita tentang percakapan hati dua kekasih yang saling berjauhan, percakapan itu tidak hanya tentang perasaan mereka tapi juga menyangkut kehidupan dan kisah cinta orang-orang di sekeliling kehidupan mereka. tentang kesetiaan, perbedaan, penantian dan cinta. Sebenarnya buku ini lumayan apik secara kisah cinta, tapi yang menjadi ganjalan , kenapa kisah ini harus membawa-bawa Institusi pesantren dan universitas Al Azhar? Apakah penulis tidak mengetahui bahwa dalam agama islam berpacaran itu dilarang, apalagi berciuman dan sebagainya. Bukan berarti semua lulusan pesantren baik, tapi jika dipublikasikan seperti ini, rasanya akan menjadi rancu batasan yang tidak diperbolehkan dalam islam. Jika mau islami ya islami lah sekalian, jika mau binal ... ya binal saja.... Saya terganggu dengan part yang mengatasnamakan lulusan pesantren tapi berprilaku bebas. Mohon pada penulis agarberkenan merevisi poin ini.