Sampai hampir empat minggu saya pinjam buku ini dari perpustakaan fakultas. Iya, pinjam, sebab saya menghargai usaha fakultas saya yang menyediakan perpustakaan yang buku-bukunya cukup lengkap saya kira. Meskipun, sayang sekali belum ada buku catatan harian-nya Anne Frank. Semoga lekas ada edisi terbarunya. Juga buku-buku cerpen pilihan kompas, kalau bisa lengkap tiap tahun ada! Hehe.
Jadi, dalam buku ini terdapat delapan belas. Seperti biasa, saya akan membahasnya satu per satu. Ini saya lakukan supaya saya ingat isi dari cerpen-cerpen yang pernah saya baca. Atau paling tidak garis besar, atau hal menarik yang terdapat di dalamnya.
Cerpen pertama, yang judulnya dijadikan sebagai judul buku kumpulan cerpen ini, adalah cerpen yang ditulis oleh seorang artis perempuan yaitu Djenar Maesa Ayu, berjudul “Waktu Nayla”. Cerpen ini berkisah mengenai seorang perempuan yang divonis oleh dokter bahwa waktunya hidup di dunia sudah tidak lama lagi. Ah, betapa waktu begitu berkuasa, dan kita seringkali terhipnotis olehnya. Terkadang sadar, tapi lebih sering lupa. Banyak yang terlewat sudah. Bahkan kata Mbak Djenar, “Tapi mimpi juga terbatas waktu”. Sudahlah, lebih baik sekarang kita bersimpuh, supaya kelak tidak harus meminta pengampuan atas dosa-dosa yang kita sesali tidak sempat kita lakukan.
Cerpen kedua, “Ode untuk Sebuah KTP”, ditulis oleh Martin Aleida. Saya membaca cerpen ini dua kali sebab saya menjadikan cerpen bahan untuk tugas analisis cerpen mata kuliah teori prosa. Waktu membaca cerpen ini untuk yang pertama kalinya, saya hanya memahami beberapa bagian dalam cerpen ini saja, sedang bagian yang lain tidak begitu saya pahami. Namun, ketika saya membaca cerpen ini untuk kedua kalinya, mungkin karena saya sudah mengetahui bagaimana ending cerpen ini, saya jadi lebih paham pada keseluruhan isi cerpen ini. Cerpen ini menjadi salah satu favorit saya sebab ide ceritanya sederhana, tapi tidak biasa, dan dinarasikan dengan ‘pas’ oleh penulisnya. Berkisah mengenai seorang perempuan bernama Iramani yang merupakan eks tahanan politik yang tidak lagi percaya pada pemerintah, sehingga menggunakan uang hasil penjualan tanah warisan orang tuanya untuk segera menghapus tanda ‘etp’ dari KTP lamanya. Ia ditahan cukup lama dibawah pemerintahan yang baginya sangat menindas. Ia mengungkapkan bahwa ia ditahan hanya karena ia seorang istri. Ia juga mengungkapkan bahwa hilangnya ‘etep’ dari pojok KTP lamanya yang buruk adalah kebebasan kedua, sedang kebebasan yang pertama adalah kebebasannya dalam arti harfiah, yaitu ketika Iramani ke luar dari penjara setelah bertahun-tahun ditahan di dalamnya.
Saya mengutip beberapa bagian dalam cerpen ini yang menurut saya menarik;
“…kebahagiaan begitu cepat kehilangan semaraknya dalam perjalanan waktu yang panjang.”
“Memang, ada yang mengatakan kartu ini adalah salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak-hak mendasar manusia. Hak bergerak bebas. Karena KTP merupakan perangkat kekuasaan untuk mengamati gerak-gerik warganya. Orang jadi tak bisa bebas bergerak tanpa ada mata yang mengawasinya. Sama dengan sapi yang harus membawa cacat yang ditinggalkan besi merah yang ditancapkan di punggungnya ke mana pun dia merumput dan memamah biak.”
Dan satu lagi kutipan terakhir, sebagai penutup cerpen ini;
“Waktu telah mengajariku bahwa siapapun tak bisa membuat kata-kata menemukan kenyataan yang dijanjikannya. Aku tak bisa menunggu. Kepercayaank timpas sudah…”
Cerpen ketiga, berjudul “Batas” karya Helen Yahya. Menurut I Nyoman Darma Putra pada bagian depan buku kumpulan cerpen ini, judul cerpen ini dapat bermakna ganda, lebih dari satu. Cerpen ini mengisahkan mengenai konflik di suatu daerah. Konflik tersebut bersangkutan dengan ‘batas’. Sehingga makna pertama judul “Batas” adalah ‘batas geografis’. Makna kedua adalah ‘batas moral’, sebab selain konflik tunggal itu, adalah salah seorang tokoh diceritakan senang mengganggu istri orang lain. wah!
Cerpen keempat, ditulis oleh cerpenis ngenyek. Itu istilah yang saya sendiri berikan untuk, siapa lagi kalau bukan, Seno Gumira Adjidarma. Berjudul “Legenda Wongasu” cerpen ini merupakan cerita berbingkai yang intinya mengisahkan kehidupan ‘wong cilik’. Menurut I Nyoman Darma Putra, cerpen ini penuh dengan humor pahit, dan cerpen-cerpen Seno merupakan ilusi meyakinkan terhadap kehidupan. Ditulis oleh Hamsad Rangkuti, cerpen kelima berjudul “Saya Sedang Tidak Menunggu Tuan!” berkisah mengenai seseorang yang tidak jadi mati.
Cerpen keenam ditulis oleh Putu Fajar Arcana, berjudul “Rumah Makam”. Saya kira yang diangkat adalah permasalahan kedaerahan, tetapi saya menemukan semacam pesan anti-kapitalisme yaitu pada bagian; “Sebelumnya ia begitu yakin bahwa serbuan dunia modern menjadi satu-satunya penghancur tatanan adat di Banjar Sari. Derasnya arus modal yang membawa peradaban baru, akan mengubah kondisi sosial dan ekonomi. Saat itulah secara bersamaan terjadi perubahan dalam cara berpikir dan pola perilaku masyarakat”.
Cerpen ketujuh, ditulis oleh Ratna Indraswari Ibrahim berjudul “Para Ta’ziah” . Cerpen kedelapan, ditulis oleh Triyanto Triwikromo, berjudul “Mata Sunyi Perempuan Takroni”. Berhubung banyak istilah dan mitos-mitos yang terdapat pada cerpen ini yang tidak saya pahami meskipun sudah sedikit diterangkan oleh penulisnya, saya jadi tidak terlalu memahami cerpen satu ini.
Cerpen kesembilan berjudul “Panikov” ditulis oleh Laban ‘Nyonyo’ Abraham, saya suka ending cerpen ini, dan bahwa setelah selesai membaca cerpen ini saya jadi bertanya-tanya dan ingin tahu lebih lanjut mengenai apa yang terjadi di Uni Sovyet pada tahun 1936.
Cerpen kesepuluh ditulis oleh Kuntowijoyo dengan judul yang cukup panjang yaitu “Jl Kembang Setaman, Jl Kembang Boreh, Jl Kembang Desa, Jl Kembang Api”. Sudut pandang pencerita dalam cerpen ini menurut saya agak membingungkan. Tetapi cerpen ini memiliki ide yang gila—istilah say amah: ada-ada aja!—dan ending yang menarik. Saya menduga-duga apakah ada maksud lain pada ending cerpen ini selain secara eksplisit Kuntowijoyo menceritakan bahwa pada malam hari di perumnas itu terdengar banyak suara tetapi tanpa wujud. Maksudnya, pada akhirnya perumnas itu jadi ‘sepi tapi terdengar banyak suara, meskipun suara tanpa wujud’, bukankah kalau banyak suara malah jadi ramai?
Cerpen kesebelas, mengharukan saya kira. Berjudul “Sinar Mata Ibu”, cerpen ini ditulis oleh Harris Effendi Thahar. Ending-nya lucu, yaitu sang Ibu yang sudah tua, pikun dan pelupa, juga sedikit jahil jadinya, ditemukan di suatu tempat tak terduga setelah seharian menghilang dan dicari oleh anak-mantunya keman-mana.
Cerpen kedua belas adalah salah satu cerpen yang menarik buat saya. Dengan judul “Malaikat Kecil”, cerpen ini ditulis oleh Indra Trenggono. Salah satu kutipan dari cerpen ini yang membuat saya berpikir bahwa cerpen ini menarik, yaitu; “Aku sama sekali tak takut dengan kematian. Karena selama ini aku hidup dari kematian orang lain. Dan kematian itu sangat indah, anakku. Berulangkali aku membikin orang mengerjat-ngerjat kesakitan, kemudian nyawanya loncat… bersama angin… ah… fantastis…”
Cerpen ketiga belas, ditulis oleh A Mustofa Bisri, berjudul “Gus Jakfar” juga merupakan cerita berbingkai.
Cerpen keempat belas, lagi-lagi ditulis oleh Djenar Maesa Ayu. Si Artis Cantik yang sayang keluarga dan kedua anaknya. Cerpen berjudul “Asmoro” yang berkisah mengenai Adjani yang terus berlari sampai kemudian menjadi kupu-kupu ketika sampai menjelma ia menjadi kupu-kupu. Cerpen yang saya kira harus say abaca dua kali supaya dapat saya pahami.
Cerpen “Rumah Baru” karya Pamusuk Erneste merupakan cerpen kelima belas. Lagi-lagi kisah tentang kematian, yaitu orang yang mati saat ingin menempati rumah baru-nya. Jadi, menurut I Nyoman Darma Putra, judul cerpen “Rumah Baru” memiliki makna ganda, yaitu rumah baru duniawi—yang baru dibangun dan baru ingin ditempati—juga bermakna rumah baru—alam lain, alam sesudah kematian. Meskipun menurut saya cara mati tokoh utama dalam cerpen ini kurang ‘cetar’ sehingga kurang terasa ‘greget’-nya.
Cerpen “Kacapiring” merupakan cerpen keenam belas, ditulis oleh Danarto. Berkisah mengenai orang yang ‘hilang’. Saya kira cerpen ini berkisah mengenai alam gaib. Gitu kira-kira.
Cerpen ketujuh belas berjudul “Kembalinya Pangeran Kelelawar” karya Bre Redana.
Cerpen terakhir, cerpen kedelapan belas berjudul “Perempuan Semua Orang”. Ditulis oleh Teguh Winarsho AS dengan ending yang membuat saya terluka.
Sekian pembahasan dari saya, beberapa tidak saya bahas terlalu dalam, malah ada yang tidak saya bahas sama sekali, maafkan. Sebab saya sudah terlalu lelah menjelang UAS (lebay anjeeer-_-v). Tugas menumpuk menunggu diri ini menyelesaikannya. Semoga lancar dan baik ya nilai saya. Juga bermanfaat ilmu saya.
It was perfect experience having a collection of short story by Indonesian Author. Every story has a different concept of conflict, mind-blowing ending, and touching stories.
Agak susah untuk saya membacanya dikarenakan cover bukunya yang teramat sangat jelek (dan ya, saya tipe orang yang menilai buku dari covernya terlebih dahulu.)
Tiga cerpen favorit saya adalah "Legenda Wongasu" karya Seno Gumira Atmaja. Sebuah satir dengan latar belakang post-apokaliptik Jakarta.
Lalu ada "Jl Kembang Setaman, Jl Kembang Boreh, Jl Kembang Desa, Jl Kembang Api" karya Kuntowijoyo, sebuah satir yang menggambarkan kepercayaan masyarakat kita pada takhayul.
dan satu lagi "Kacapiring" karya Danarto, cerpen surreal yang penuh dengan tanda tanya.
Dikarenakan berisi kumpulan cerpen terpilih sesuai judulnya, maka buku ini isinya cerpen-cerpen terbaik pilihan kompas.
Membaca buku ini menyimak sesuatu bahwa cerpenis-cerpenis Indonesia sgt kreatif dalam mengemas sebuah cerita ke dalam tulisan walaupun hanya sebuah cerpen.
National Newspaper fiction is usually written with set standards. Set standards can be dull. Even the editors and team selected the stories were bored out of their minds. Ya siapa suruh juga bikin standar cerpen ngebosenin? I couldn't finish the last 3 stories. Yang nulis aja bosen, apalagi yang baca.
Meski aku tidak terlalu sepakat dengan kemenangan Djenar dalam buku ini, tetapi Djenar mengajari bagaimana mempermainkan kata, tema, bahkan diksi yang seperti bercerita sendiri.