What do you think?
Rate this book


192 pages, Paperback
First published January 1, 1983
Sejak kecil aku mendengar dan diajar menyadari bahwa aku tidak cantik, bahwa mataku terlalu besar untuk muka yang sedemikian ciut. Waktu mendengar bahwa aku akan kawin, ibuku mulai memompakan berbagai pikiran, di antaranya aku tidak seharusnya terlalu mencintai dan mengikat diri kalau sekali waktu nanti laki-laki itu bosan kepadaku. Aku bukan ‘potongan’ perempuan yang patut dicintai sampai hari matiku. (NH Dini dalam ‘Di Pondok Salju’, Halaman 101).
Sekali lagi aku tidak menyesali hidup yang mengemudikanku. Aku hanyut menuruti alirnya air yang membawaku ke tepian sejuk atau pantai pasir yang panas. (NH Dini, dalam ‘Ibu Jeanette’, Halaman 113).
Berbagai perasaan bergumul dalam diriku. Dendam, kebencian, dan terutama kesakitan yang tak terkirakan karena selama ini aku dilecehkan oleh laki-laki yang kuberi seluruh perhatianku. Aku selalu berusaha menyediakan makanan yang dia sukai. Aku mengatur rumah bertingkat dua dengan tenaga sendiri setiap hari agar dia saat pulang dari kerja, mata suami yang lelah dapat melihat kerapian yang segar. Ataukah aku tidak bisa memuaskan dia dalam hal yang lain? (NH Dini, dalam ‘Kebahagiaan’, Halaman 140).
Untuk pertama kalinya dalam lima belas tahun, aku memamasabodohkan apa yang akan dimakan malam itu oleh suamiku. (NH Dini, dalam ‘Kebahagiaan’, Halaman 141).