River, sejak kutahu kau akan lahir ke dunia, aku mencoba mengingat kembali pelajaran-pelajaran kecil, tetapi berharga, yang mungkin tercecer atau terlupa. Kutemukan semua dari hal luar biasa sampai yang sederhana. Lalu kusiapkan semua kisah ini untukmu agar kau bisa mengingatnya sebagai pelajaran hidup.
Kau akan tahu ada orang yang bisa bahagia dengan hidup yang serba kurang. Kau akan percaya ada orang yang rela mati demi keyakinan. Dan kau akan tergugah dengan cinta yang tak mengenal batas waktu dan ruang.
Namun, semakin banyak yang aku tulis, semakin aku berpikir akulah yang justru banyak belajar darimu. Dan inilah persembahan dariku, sebuah catatan cinta untukmu.
***
“Cerita tentang kota, bangsa, dan berbagai peristiwa. Lebih dari itu, ini surat cinta yang menyentuh dari seorang ayah kepada anaknya. Saya sangat menikmatinya.” -Riri Riza, Sutradara
Fauzan Mukrim, lahir di Watampone, Sulawesi Selatan, 13 November 1978. Di usia 7 tahun, ia menulis cerita pertamanya tentang keluarga kelinci yang hidup di pohon kol --yang ternyata tidak punya pohon. Karya fiksi pertamanya yang dipublikasikan adalah sebuah cerita pendek berjudul "Bapak" di Majalah HAI tahun 1997.
Tahun 2003, selepas belajar jurnalistik di Universitas Hasanuddin Makassar, ia pamit merantau mencari kerja ke Jakarta. Kepada ibunya, ia berjanji hanya akan sebentar, paling lama dua tahun. Janji yang belum juga ia tepati setelah hampir 16 tahun.
Tahun 2012, ia keluar dari Jakarta, bergeser ke kota pinggiran di mana ia membangun rumah kecil untuk istrinya, Desanti Sarah, dan dua anaknya, River (lahir 2010), dan Rain (lahir 2016).
"Di sini masih banyak pohon, kabut kadang-kadang turun, dan wali kotanya cantik," begitu katanya tentang tempatnya bermukim kini. Ia senang meski setiap hari harus menempuh kurang lebih 40 kilometer pulang pergi ke tempat kerjanya di Jakarta.
Fauzan pernah bekerja sebagai Video Journalist di Trans TV, Produser di Detik TV, dan kini Row Editor di CNN Indonesia TV. Proyek sampingannya adalah "Rivpo.id" (www.rivpo.id), sebuah blog terbuka tempat berbagi cerita dan kabar baik.
Setelah Mencari Tepi Langit(Gagasmedia, 2010) dan River's Note (Nourabooks, 2012), Fauzan menerbitkan buku soliter ketiganya dengan judul Berjalan Jauh (Kata Depan, 2018). Dua judul terakhir itu adalah kumpulan catatan yang ia dedikasikan untuk putranya, River. River's Note diterbitkan ulang dengan judul #dearRiverpada tahun 2018, oleh Penerbit EA Books, Jogjakarta Untuk anak perempuannya, Rain, ia menulis buku #dearRain, terbit Oktober 2019.
Saat ini masih menggarap novel Karabiner dan Di Bawah Lindungan Eddie Vedder yang belum menunjukkan tanda-tanda akan selesai.
Saat pertama kali membaca buku ini, ingatan saya melayang 10 tahun silam ketika saya pertama kali ngeblog dengan motivasi mengabadikan kisah-kisah kelahiran putra pertama saya–yang sudah kami tunggu setelah 3 tahun menikah–Muh.Rizky Aulia Gobel. Ketika itu saya menulis cerita seolah-olah Rizky sedang bercerita tentang dirinya, sejak lahir hingga berusia 7 tahun. Alhamdulillah catatan-catatan tersebut dibukukan oleh Penerbit Gradien pada tahun 2006 dengan judul “Warna Warni Hidupku”.
Buku River’s Note (selanjutnya saya singkat dengan RN) ditulis dalam perspektif berbeda. Fauzan Mukrim, seorang jurnalis Trans TV menuturkan cerita kepada sang anak dengan sudut pandang sebagai seorang ayah. Dengan gaya bahasa yang sederhana, Fauzan–yang akrab dipanggil Ochan–dengan jernih bertutur beragam hikmah kehidupan yang dikemas dalam cerita keseharian kepada sang anak, River Ifham Asfari, secara memikat dan menyentuh. Ochan menyimpan catatan-catatan tersebut dalam blog www.riversnote.blogspot.com.
Yang paling berkesan buat saya adalah, Ochan menampilkan kisah River bahkan sejak masih dalam kandungan sang ibu. Cara bertuturnya mengingatkan saya pada dongeng pengantar tidur yang kerap disampaikan ibu atau ayah, dulu saat saya masih kecil. Lugas. Spontan. Menyentuh. Membuai imajinasi pembaca dalam sejumlah pengalaman-pengalaman sederhana sarat hikmah.
Lihatlah bagaimana Ochan bercerita pada River dalam tulisan “Oleh-Oleh Ayah” (halaman 199)
Malam itu, Nak, aku membawa pulang oleh-oleh untukmu. Aku bawa melintasi sisa gerimis. Malam masih sibuk. Orang-orang yang tadi sempat terhalang pulang, mulai beranjak. Seorang tamu agung baru saja datang ke negara kita. Obama namanya. Presiden Amerika Serikat itu akhirnya benar-benar tiba di Jakarta setelah beberapa kali gagal datang. Ada yang senang. Ada yang gusar. Mereka yang terhalang pulang itu yang gusar. Jalan mereka ditutup selama satu hingga dua jam untuk memberi jalan kepada sang presiden. Pengendara motor membawa anak-anak kehujanan tak sempat berteduh. Ibu-ibu terpaksa berjalan kaki. Pedagang-pedagang kaki lima digusur. Sementara katanya. Lalu keesokan harinya, Obama berpidato bahwa Indonesia tak seperti dulu lagi. Jalan-jalan lancar, katanya. Pak Beye yang berdiri di sebelahnya tersenyum mesem-mesem seperti anak gadis baru dilamar.
Ini bukan cerita tentang Obama, Nak. Insya Allah, dia orang yang lebih baik dibanding pendahulu-pendahulunya. Mari kita doakan.
Teman-temanku dibuat sibuk. Pagi-pagi sekali mereka sudah mengantri di logistik untuk mengeluarkan alat-alat liputan, siap memberitakan apa saja tentang kedatangannya. Seperti biasa, kami pekerja stasiun TV harus berlomba. Euforia Obama di mana-mana. Mungkin bila ada anak yang lahir hari itu, bisa jadi dia diberi nama Obama. Sejenak kita dibuat lupa pada Wasior, Mentawai dan Merapi yang baru saja dihantam bala.
Narasi bernuansa sastra disajikan Ochan dengan sangat menarik seakan membawa pembaca larut dalam kisah-kisahnya. Tak ada kesan menggurui dalam buku ini. Ochan dengan lincah merangkai kata-kata dalam harmoni yang indah. Petuah-petuah yang disampaikan begitu membumi, karena begitu dekat dengan keseharian, begitu lekat dengan rutinitas kita sesungguhnya. Saya merasa buku ini menjadi “gue banget” karena merefleksikan cinta sejati sang ayah kepada anaknya. Menyajikan sebentuk romansa keluarga yang inspiratif dan penuh makna. Saya seakan menyaksikan diri saya di “cermin” sepanjang membaca buku ini. Tak salah bila sutradara terkenal, Riri Riza menyampaikan testimoni mengenai “River’s Note”: “Cerita tentang kota, bangsa, dan berbagai peristiwa. Lebih dari itu, ini surat cinta yang menyentuh dari seorang ayah kepada anaknya. Saya sangat menikmatinya”.
Ochan yang lahir di Watampone Sulawesi Selatan, 13 November 1978 dan 2 tahun lalu menerbitkan novel “Mencari Tepi Langit” (Gagas Media), juga mengangkat sisi-sisi yang akrab dengan kebudayaan Bugis, tempat ia tumbuh besar. Pada tulisan “Malaikat yang Terinjak Sayapnya” (halaman 217) misalnya, suami dari Desanti Sarah ini menulis
Di kultur ayahmu ini, Nak, ada yang disebut pattola palallo. Arti kata per katanya aku tidak paham benar, yang pasti kalimat itu sering diucapkan sebagai doa. Ketika orang-orang tua melihat anak kecil, mereka biasanya berucap “tannapodo pattola palallo ko wa, Na’.” Artinya seorang anak diharapkan menjadi pattola palallo, tumbuh dengan menjadi lebih baik daripada orangtuanya. Jika bapaknya doktorandus, sang anak diharapkan akan menjadi doktor, misalnya. Kalau bapaknya dulu ranking 39, sang anak bolehlah ranking 38 atau 37. Intinya, menjadi lebih baik. Maka, bisa jadi orang Bugis yang paling sial adalah yang bapaknya profesor, karena mau jadi apa lagi dia yang lebih hebat dari profesor? Kompresor, mungkin.
Sebagai orang bugis, Nak, dari lubuk hati yang paling dalam aku juga berharap kamu menjadipattola palallo, menjadi lebih baik daripada kami di segala aspek. Pendidkan, soisal, ekonomi, religi, dan lain-lain. Tapi kamu tak perlu merasa terbebani, toh standar kami juga tidak tinggi-tinggi amat. Kalau tadi aku menyinggung orangtua yang ranking 39, ketahuilah, Nak, bahwa itu adalah aku, ayahmu ini sewaktu berguru di bangku SMA.
Sampai di sini, mari kita coba mendiskusikan sesuatu. Bila Allah SWT memberi umur panjang, mungkin pada saat kamu membaca ini, aku masih ada di ruang tengah membaca buku, atau di teras belakang rumah kita memberi makan ikan koi. Bila kamu tidak sedang sibuk pacaran, hampirilah aku. Insya Allah, aku adalah ayah yang selalu membuka ruang diskusi. Bahkan ruang debat, bila perlu. Open mind for different view. Begitu kata Metallica dalam lagu Nothing Else Matters, Nak.
Tulisan-tulisan Ochan di buku ini tidak melulu menyajikan hal-hal serius dan menerbitkan rasa haru pada pembacanya. Bagai seorang koki handal, penulis yang menjadi participant writer dalam Makassar International Writers Festival 2012 ini, memberikan sentuhan humor yang renyah pada tulisannya yang membuat pembaca tersenyum-senyum sendiri.
Buku ini terdiri atas 7 Bab (dengan isi masing-masing 7 – 8 tulisan) yaitu “Mencintai & Mensyukuri Hidup”, “Kehormatan dan Integritas Diri”, “Cinta yang tak kenal batas”, “Bisik Nurani”, “Ujian vs Kesabaran”, “Asa dan Doa”, dan “Melihat Lebih Dekat”. Beragam setting peristiwa tersaji dalam ulasan yang cerdas dan bernas. Juga kritis. “Surat Cinta” sang ayah ini tidak hanya sekedar menjadi catatan kenangan Ochan kepada sang putra namun menjadi rujukan bermanfaat buat kita semua dalam menjalani hidup dan kehidupan, dengan lebih baik dan bermakna. Terimakasih Ochan!
Akhirnya terbit juga buku ke-2 Fauzan Mukrim (Ochan). Sejak awal pertama tahu akan terbit buku ini, aku selalu menanti kapan bisa kubaca. Setelah River's Note ada digenggaman dalam semalam habis ku lahap lembar demi lembarnya.
Satu kata: Inspiring. Membaca kumpulan tulisan Ochan yang dipersembahkan untuk River, anaknya seakan akulah River. River's Note bukan buku yang menggurui, tapi buku yang isinya sharing Ochan untuk River :)
Membaca River's Note, jadi ingat ayahku. Ayahku tak pandai menulis, tapi semua kejadian antara aku dan dirinya saat aku kanak tersimpan rapi di ingatannya juga diingatanku.
Memang kenangan antara ayah dan anak itu tidak akan hilang sampai kapanpun. Tapi, dengan adanya cerita yang disampaikan dengan tertulis akan lebih abadi karena, di saat anak beranjak dewasa, ingatan orang tua yang sudah melemah dimakan usia catatan ini bisa dijadikan pengingat.
River's Note adalah kumpulan cerita Ochan ketika River belum ditenun dalam kandungan ibunya, saat dikandungan dan kemudian lahir di dunia ini meramaikan kehidupan Ochan dan istri. Setidaknya lewat tulisan ini Ochan tidak ingin mengulang kesalahan yang sama antara Ochan dan ayahnya. Seperti catatannya di halaman Untukmu Cerita Ini Kutuju "Aku sudah menyediakan banyak cerita untukmu. Agar kau tak perlu mengulang kesalahanku. Agar kau dapat mengenalku melebihi caraku mengenal ayahku."
Aku terkesan dengan kisah seorang anak kecil yang setiap berangkat ke sekolah selalu meminta dua pasang kaos kaki kepada ibunya. Sepasang dipakai yang sepasang lagi disimpan di dalam tasnya. Sampai akhirnya si ibu bertanya pada anaknya, "Kenapa harus selalu membawa sepasang kaos kaki, nak?" Lalu anak kecil itu menjawab, "Siapa tahu ada teman yang butuh, ma..." Lewat kisah ederhana ini Ochan bisa mengajarkan berbagi dengan sesama kepada River.
Ada bab-bab yang membuatku menitikkan air mata. Pokoknya River's Note menginspirasi. Terlintas di pikiranku bahwa aku akan mengikuti jejak Ochan. Kelak aku juga ingin berbagi kisah dengan anakku. Apalagi seorang ibu ya, saat mengandung sampai melahirkan pasti mempunyai kisahnya sendiri yang bisa dibagikan kepada anaknya.
Inspiratif. Gaya berceritanya enak, pilihan katanya magis. Gak berlebihan, tapi juga gak kurang. Cerdas dan segar. Saya menemukan diri saya tersenyum dan berkaca-kaca saat membaca ini.
Satu yang disayangkan: saya bukan River. Ya... saya bukan dia yang selalu disebut-sebut dalam buku ini. Saya jadi pengen bikin ginian juga nih buat anak saya nanti. Hahaha ~
Pesan untuk River dari saya: Duh, Nak. Bapakmu keren banget. Jadi anak yang baik dan berguna yah. :)
I didn’t see this coming. Baru membaca di bagian “Sungai Kisah yang Mengalir ke Arahmu” lah kok udah mewek aja. Di tempat umum begitu ya masa mau nangis-nangis. Gengsi amat hahahaha. Padahal itu baru TULISAN PENGANTAR! *panik*.
Sungguh keputusan yang gegabah membawa buku ini buat dibaca santai waktu nemenin anak-anak ke playground di suatu minggu sore yang cerah. Sambil duduk ngeliatin anak-anak main, maksudnya mau duduk-duduk manja sambil baca buku ini aja biar enggak bosen-bosen amat.
River's Note / #DearRiver kumpulan tulisan Fauzan Mukrim buat putranya, River. Mirip dengan “Berjalan Jauh” tapi tulisan-tulisannya beda semua. Jadi ini 2 BUKU YANG BERBEDA. #DearRiver ditulis sebelum River lahir.
Selama ini kita sering terjebak dengan mengunci parenthood sebatas motherhood saja. Father-nya gimanaaaaaa?
Beban pendidikan anak, secara sosial, lebih sering dibebankan kepada Ibu. Padahal, peran Bapak/Ayah ya sama pentingnya.
Para suami dan calon ayah pun sebenarnya punya kegelisahan, deg-degan plus takut jugak mau punya anak dst dst dst dengan intensitas yang kurang lebih sama dengan para istri dan calon ibu. Mungkin selama ini para suami dan calon Ayah lebih suka memendamnya dalam hati. Untunglah ada Ayah Fauzan Mukrim yang mau menceritakan isi hatinya kepada kita :).
Sudah macam masokis baca buku ini. Baca, nangis, baca, nangis, baca, nangis. Tapi gak kapok-kapok.
Buku ini berisi pesan-pesan seorang lelaki yang menjadi ayah untuk anaknya. Pengalaman kehidupan sang Ayah membuatnya merasa perlu menuliskan pesan untuk anaknya. Beberapa berhasil membuat saya baper maksimal karena berurai air mata. Sungguh, ingin rasanya juga membuat surat berisi pesan untuk anak saya sendiri. Bang Ochan berhasil bikin saya tertawa saat ia berkisah hal yang lucu, meringis saat tahu betapa beratnya hidup bagi sebagian orang serta melelehkan air mata ketika bercerita hal-hal yang memerihkan dada. . A must read for every parent! 💟💟💟
buku ini sudah lama jadi incaran. apalagi setelah membaca Berjalan Jauh dan ada kabar Dear River akan dicetak ulang.
membaca dear river seperti duduk santai di sebuah tempat nyaman. mendengarkan seorang ayah bercerita kepada anaknya. kita bisa jadi si pendengar yaitu anak, bisa jadi juga bersiap jadi pencerita yaitu ayah (orang tua).
saya jauh lebih termehek-mehek ketika menyimak dear river dibanding Berjalan Jauh. mata juga mudah berair, entah kelilipan apa.
menyentuh sekali cerita ibu juga naik haji. mungkin kelak saya juga berusaha agar anak kami tidak jadi wartawan seperti bapaknya. seperti ibu, nenek river, tak ingin putranya menjadi hakim yang godaan zamannya akan jauh lebih sulit. betapa saya bisa paham tentang integritas di kisah 6 dan 2 tahun. soal jurnalis tidak menerima amplop.
banyak kisah lain yang selayaknya dibaca laki-laki dan calon ayah dari buku ini. tentang mencintai hidup, bersyukur, menjaga kehormatan diri, melewati ujian, juga cinta tak kenal batas. untung sekali bisa berteman dengan penulis, sebab bisa mengikuti banyak dearriver lebih banyak lagi.
Kali pertama membaca buku ini, saya merasa sedang membaca buku harian orang. Rupanya ada banyak jenis buku seperti ini di lemari buku saya. Mungkin takdirnya memangbegitu, karena saya pun lebih suka menuliskan tulisan "pribadi" ketimbang tulisan yang serius atau kaya imajinasi.
Kali kedua membacanya, masih sama, saya masih merasa sedang membaca buku harian orang. Tapi kali ini ada pikiran-pikiran lain yang ikut serta. Mempengaruhi mood saya, juga sikap saya untuk menghadapi masa depan.
"River's Note", sebuah kumpulan catatan seorang ayah sejak ia masih berstatus calon ayah hingga anak pertamanya lahir, yang ia beri nama River. Nama River ia pilih sebelum ia tahu anak yang dikandung kekasih hatinya (istri tercintanya) itu berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Sebuah nama yang 'androgini', katanya. Kalau menururt KBBI edisi 3 yang saya lihat di situs artikata(dot)com, androgini itu berarti kepemilikan organ kedua perkembangbiakan jantan dan betina. Mungkin dalam kasus ini, nama River bisa dipakai untuk laki-laki atau pun perempuan, seperti halnya nama Ade. :p
Cerita yang tertuang dalam buku ini adalah pelajaran! Pelajaran untuk menghadapi berbagai masalah dengan kebijaksanaan. Pelajaran untuk menjadi lebih baik dari orang-orang terdahulu tanpa merasa lebih pintar dan lebih baik dari mereka. Sebuah pelajaran dan pengingat untuk para pembacanya.
Selama membaca buku ini, satu hal yang saya pikirkan adalah semoga kelak saya pun menemukan ayah yang lebih baik untuk anak-anak saya. Serta kami (saya dan suami saya kelak, ntah siapa pun itu) bisa menjadi orang tua yang menjaga amanah dengan baik, memanfaatkan setiap kesempatan untuk membentuk satu anak manusia dengan karakter yang tentunya baik menurut ajaran dan kepercayaan kami. Ya, buku ini membuat pembacanya pun berkhayal lalu merencanakan yang terbaik untuk masa depannya. Sebuah buku yang inspiratif!
Terkadang saya bingung ketika akan membuat review buku yang menurut saya bagus banget. Karena takutnya saya tidak bisa menemukan kata-kata untuk menggambarkan betapa bagus dan bermanfaatnya isi buku itu.
Yang jelas, River's Note ini adalah buku yang harus ada di rak bukuku. Semoga stoknya masih ada di toko buku ya.. :)
Buku ini ditulis oleh wartawan senior, jadi jangan heran jika bahasa yang digunakan terasa 'yummy' sekali. Bahasa yang sederhana, membumi, mudah dimengerti, tapi bermakna.
Ya River's Note adalah surat terbuka dari seorang Ayah untuk anaknya. Sang Ayah menulis surat-surat itu disebabkan kekhawatiran bahwa nantinya dia tidak punya waktu untuk menyampaikan berbagai hal pada River, anaknya.
Cerita-cerita yang diangkat pun sederhana sekali. Ada yang berdasarkan pengalaman si penulis, ada juga kisah lain yang diceritakan ulang. Cerita-cerita yang memberi banyak pelajaran hidup sekaligus menyadarkan diri akan arti kehidupan kita selama ini.
Sebenarnya saya juga sudah lama mempunyai niat membuat tulisan untuk anak saya kelak. Karena ada beberapa hal yang tidak bisa saya ungkapkan secara lisan. Bukan tidak bisa sih, hanya saya yang kurang bisa mengekspresikan perasaan saya secara lisan dan tindakan. Hanya bisa melalui tulisan yang tersebar di catatan handphone, blog dan status di berbagai media sosial.
Ntahlah, mungkin saya yang terlalu malas untuk menulis, hehe. Tapi, suatu saat saya pasti akan menulisnya, suatu saat. :)
Sebelum kumpulan tulisan ini terbit jadi buku, sebelumnya saya sudah membaca tulisan Bang Ochan untuk River dari facebook dan juga dari blognya. Bisa dibilang, saya ini sudah menjadi groupiesnya bang Ochan dari dulu karena tulisan Bang Ochan memang selalu bisa membuat saya tersentuh.
Banyak postingan yang membuat mata mendadak panas dan hati terenyuh, juga sedikit iri pada River. Banyak pelajaran hidup yang saya petik dari kumpulan tulisan Bang Ochan untuk River. Dan sekarang, saya bisa kembali membaca tulisan-tulisan indah ini tanpa harus menyalakan modem internet terlebih dahulu.
Bravo, Bang Ochan! Ditunggu karya-karya selanjutnya! :D
inspiratif. bukti kasih sayang seorang ayah pada sang anak, yang mencoba mengajarkan bahwa dunia tempat tumbuhnya nanti masih dipenuhi orang-orang baik