Sejarah, ingatan, khayalan; fakta dan sains-fiksi; harapan dan religiusitas, bercampur jadi satu dalam perjalanan hidup seorang lelaki dan seorang wanita. Hingga sebuah kejadian menyadarkan mereka untuk mengubah dirinya, mengubah takdirnya.
Premortem mengajak Anda berpikir, merangkai benang merah, dan membongkar sendiri semua petunjuk tersembunyi. Apa yang sesungguhnya terjadi pada tokoh-tokoh cerita? Siapa mereka sebenarnya? Siapakah Anda sebenarnya? Tugas Anda untuk membaca dan menjawab.
Promosi dari buku ini sangat luar biasa. sebelum terbit pun ada thriller videonya segala. Dengan mengusung gaya yang tidak biasa, buku ini dipromosikan hingga masuk kaskus. Bahkan sampai membuat akun khusus sendiri, metromerp. Yang baru saya sadari, adalah kebalikan dari Premortem. Terbujuklah si saya ingin membeli buku ini, karena banyak sekali bisikan-bisikan dari si metromerp itu tentang keistimewaan buku ini. Salah satu yang dibisikkan ialah bahwa buku ini adalah buku jenis seperti ini pertama yang ada di Indonesia (bahkan dunia?). Jenis ini seperti apa? Buku dimana ending dan kesimpulan cerita ditentukan oleh masing-masing pembaca. Jadi jangan heran apabila banyak persepsi berlainan yang muncul dari cerita-cerita yang ada disini.
Berhasil saya lahap dalam waktu kurang dari 24 jam, buku ini berisi banyak cerita pendek yang (bisa) berkaitan (bisa juga tidak) antar satu cerita dengan cerita lainnya. Seperti saya sebut di atas, tergantung persepsi masing-masing. Dimulai dari cerita seorang pekerja kantoran yang harus menghadapi kenyataan dipecat dari tempatnya bekerja karena tidak pernah tersenyum, cerita tentang seorang anak bernama Bagus, cerita tentang sebuah keluarga yang diceritakan dari awal hingga anak cucunya telah berkeluarga, hingga cerita tentang Pak Ustad dan romo yang kebetulan bernama sama, Adil.
Memang agak membingungkna membaca buku ini awalnya. Tetapi setelah dibaca secara seksama, muncullah cerita-cerita yang diantaranya adalah cerita-cerita yang saya sebutkan tadi. Tapi itu juga bukanlah hal yang saklek. Siapa tahu orang lain dapat beranggapan bahwa dua cerita yang menurut saya berhubungan, menurut dia sama sekali tidak nyambung, karena sekali lagi, ini dipengaruhi oleh persepsi masing-masing. Uniknya lagi, buku ini memiliki sudut pandang orang pertama, yaitu aku. Silakan menginterpretasikan sendiri pada setiap cerita, siapakah si aku yang sedang bercerita tersebut. Untuk lebih mudahnya menangkap maksud saya, telaah saja cover dari buku ini, maka anda dan teman-teman anda akan menemukan jawaban yang berlainan satu sama lain. Begitu pula dengan cerita-cerita yang ada di buku ini.
Hal yang unik dari buku ini selain semua tokoh bersudutpandang “aku”, di buku ini pun tak ada tanda petik ciri-ciri seseorang sedang berbicara. Jadi harus pintar-pintarnya kita untuk memilah, mana yang merupakan pembicaraan, mana yang bukan. Ada lagi yang membuat kaget, yaitu ketika membuka halaman pertama, tidak terlihat data buku di situ, langsung masuk ke dalam jalan cerita. Ternyata, data buku yang dimaksud disimpan di belakang buku, sungguh suatu kejutan bagi saya.
Akhirnya, memang, promosi yang gencar tersebut tidak terlalu berlebih, karena buku ini merupakan buku yang lain daripada yang lain, buku yang butuh imajinasi kuat dalam membacanya, buku yang membutuhkan ingatan kita karena antara dua cerita yang (kemungkinan) berhubungan, terkadang diletakkan tidak berurutan, bisa sampai terselang dua atau tiga cerita lain. Belum lagi masalah tanda petik dan penggambaran tokohnya, mesti dipikirkan secara masak-masak selagi membacanya. Jangan salahkan juga apabila ada orang yang bingung membaca buku ini, karena tidak semua orang berpikiran sama, dan semuanya kembali ke selera masing-masing pembaca.
4 bintang saya berikan kepada buku ini, buku unik yang membikin penasaran, dan layak dibaca untuk mengetahui jenis buku yang lain daripada yang lain.
Sejarah, ingatan, khayalan; fakta dan sains-fiksi; harapan dan religiusitas, bercampur jadi satu dalam perjalanan hidup seorang lelaki dan seorang wanita. Hingga sebuah kejadian menyadarkan mereka untuk mengubah dirinya, mengubah dirinya. Premortem mengajak Anda berpikir merangkai benang merah, dan membongkar sendiri semua petunjuk tersembunyi. Apa yang sesungguhnya terjadi pada tokoh-tokoh cerita? Siapa mereka sebenarnya? Siapakah Anda sebenarnya? Tugas Anda untuk membaca dan menjawab. Anda kunci utama rahasia novel ini.
“Kenapa kita harus tersenyum?”
Tema itu membuka novel Premortem dengan apik dan menarik. Membuat saya juga mempertanyakan hal yang sama: Apa, sih, gunanya senyum? Tapi… sejujurnya, saya tidak bisa tersenyum membaca novel ini ^__^ Lho?
Oke, pertama kali saya tahu novel ini gara-gara membaca twit dari Gramedia. Melihat kovernya yang sederhana dan judul yang saya tidak tahu artinya, saya hanya bertanya-tanya, “Ini novel tentang apa, ya?” Saat itu, saya tidak peduli dan melewatkannya begitu saja, sampai… suatu ketika J. Angin, sang penulis, mengadakan kuis berhadiah tiket nonton dengan memecahkan teka-teki yang ada di buku tersebut.
“Pecahkan sandi di hlm. 115.”
Saya tidak punya bukunya, jadi saya menjawab kuis dengan menjiplak jawaban orang lain dan… ternyata jawaban itu SALAH. Berkali-kali variasi jawaban dilempar, tidak ada yang benar. Hal ini membangkitkan rasa penasaran saya sampai maksimal sampai saya langsung memesan Premortem secara online dan minta dikirim secepat mungkin.
Karena dari awal ingin memecahkan misteri pesan sandi tersebut, saya sudah menyiapkan pulpen dan kertas untuk mencatat petunjuk-petunjuk yang dapat digunakan untuk menguak takbir, tapi saya tidak mempersiapkan diri untuk menerima penuturan yang sama sekali belum pernah saya temui sebelumnya: semua karakter di buku ini adalah AKU. Sepanjang buku ini saya menemukan beberapa nama, seperti Bagus, Nissa, dan Dama. Ada juga beberapa karakter yang sampai akhir buku tidak bernama. Namun, hati-hati, Anda tidak akan mudah menemukan siapa ‘aku’ yang sedang berbicara atau berperan di bab bersangkutan. Anda harus benar-benar mengenali setiap karakter dari gaya bertuturnya agar Anda tahu siapa ‘aku’.
J. Angin juga memberikan ‘tugas’ tambahan pada Anda dengan memainkan seting dan alur novel ini. Anda akan menemukan beberapa lompatan waktu antarbab, yang membuat Anda terkaget-kaget karena karakter X yang di bab sebelumnya masih kanak-kanak, tahu-tahu beranjak dewasa di bab berikutnya.
Kembali ke pesan sandi, saya menemukan beberapa petunjuk yang mengarah ke peristiwa-peristiwa tertentu yang dapat dikaitkan dengan kode ‘tanggal esok hari’. J. Angin berhasil menyelipkan peristiwa itu dan petunjuk lainnya tanpa ketara dan tersebar di seluruh buku. Kalau Anda tidak teliti, Anda akan melewatkannya, seperti yang nyaris saya lakukan jika tidak terlalu berniat memecahkan misterinya :) Dan saya tidak akan mendapatkannya jika tidak membuat catatan sepanjang saya membaca buku ini.
Selesai membaca Premortem, kening saya masih berkerut, memikirkan setiap karakter yang keluar di novel ini, hubungan antarkarakter, juga misteri-misteri yang melingkupinya. Saat saya merasa sudah tahu benar dan membaca review novel Premortem milik orang lain, kening saya kembali berkerut. Kenapa? Karena apa yang saya pikirkan ternyata berbeda dengan orang tersebut.
Tidak percaya? Kalau begitu, waktunya Anda mengungkap misterinya dan mungkin Anda akan mendapatkan jawaban yang berbeda dengan yang saya punya. Dan saya yakin sekali, saat saya membaca ulang Premortem, saya juga akan mendapatkan hasil analisis yang berbeda dengan sebelumnya.
Ingat, ANDA-lah kunci utama rahasia Premortem.
PS. Kover Premortem juga bersifat ambigu. Anda bisa melihat sosok seorang pria sekaligus wanita di sana, sesuai dengan para ‘aku’ di dalam novel.
Jadi seperti ini; mari kita bersepakat dulu kalau sebuah prosa bisa seperti puisi: tersembunyi, membacanya harus serba hati-hati, membuka tafsir yang bercecabang di sana-sini. Tapi di sisi lain prosa juga mengagungkan plot dan karakter. Dua hal yang saya sulit dapati dari novel ini--betapapun seringnya saya mengulang-ulang halaman.
Saya tahu bahwa novel ini berisi potongan-potongan fragmen yang mesti digabungkan oleh pembaca. Saya bahkan sempat kepikiran membuat bagan agar bisa mengerti, tapi semakin membaca potongan-potongan cerita tersebut semangat saya semakin kendor. Bahkan untuk menganggap satu potongan fragmen sebagai cerpen yang berdiri sendiri pun saya tidak sanggup.
Barangkali otak saya yang memang bebal, tapi jika generasi baru novel Indonesia harus seperti ini--seperti yang didengung-dengungkan Penulis. Mohon maaf, sepertinya saya belum siap.
Bab awal sangat menarik, membuat saya ingin membaca novel ini sampai selesai.
Tulisannya sangat enak dibaca. Penulis begitu cerdas menuliskan novel yang seperti kumpulan cerpen tanpa judul bab. Nama tokoh-tokoh sentralnya tidak disebutkan dengan jelas. Pembaca harus menemukan benang merah antara satu penggalan kisah dengan penggalan lainnya. Layaknya puzzle. Saya sendiri belum berhasil menyusun bagian-bagian cerita menjadi puzzle yang utuh. Barangkali perlu membaca ulang dengan penuh konsentrasi.
Two thumbs up buat Premortem karena telah membuat saya gagal paham, namun tetap menikmati kata per kata yang ditulis secara lugas. :D
Agak mindblowing dan butuh perhatian ekstra dalam membacanya, sayangnya saya tidak memberikan apa yang penulis tuntut sehingga saya gagal menyempurnakan susunan puzzle. Akan ada waktu lain untuk membaca kali kedua.
Me-review buku ini susah susah gampang actually, soalnya buku ini BEDA
Tahu buku ini juga dari temen yang ngajakin join di bookclubnya DETEKSI, bukunya tipis. Tapi cukup membuat otak cenat cenut. pertama liat covernya pun unik, nggak biasa. Kita bisa liat sosok perempuan sekaligus sosok lelaki pada waktu yang sama. Halaman detail buku yang biasannya ada di bagian awalpun pindah *hilang* dan muncul di bagian belakang *cling*.
pertama kali baca-pun bikin orang speechless nggak punya harapan buat tahu *ini buku tentang apasih* tapi setelah mencoba menarik napas dan membaca untuk kedua kalinya + notes d tangan, LANGSUNG DEH CENGAR CENGIR SENDIRI.
This book was AMAZING!! that's why i rate 4 ranks for it.
Mari kita berandai andai kalo buku ini adalah sebuah puzzle, puzzlenya putih, putih smua, tapi kita bisa susun puzzle itu berdasarkan bentuknya.
intinya buku ini bakalan bikin kita stunning di menit menit awal. tapi begitu kita uda tau alurnya, dan kita uda tau apa yang mau kita lakuin, dijamin deh -_- nggak bakal bisa berhenti nyusun puzzlenya sampai selesai.
what make me still curious until now is, meskipun aku uda berusaha se jeli apapun menangkap clue yang d kasi sama penulisnya, aku tetap saja belum bisa mencapai garis finish !!
i don't know why, tapi belum ketemu aja benang buat nyambungin ceritanya.
just for your information : di buku ini ada bnyak bnget Babnya sekitar 25 bab *lupa* setiap bab diceritakan oleh "aku" yang diperankan oleh banyak tokoh, bisa jadi di Bab 1 "aku" = Ratna, bab 2 "aku"nya orang lain, jadi kita harus tau siapa sih "aku" di bab sekian. atau "aku" di bab ini , because what!!!! penulisnya sama sekali tidak mencantumkan nama "aku" -_- jadi kita harus menebak nebak HEBAT BUKAN ??? *lempar sandal*
over all buku ini great ! if you know how to USE it, wkwkwkwk
Jadi buku ini saya beli dari sebuah *obralan* di Gramedia, di daerah Jakarta Utara. Dan, wah, saya sama sekali gak menyesal beli buku ini. Bahkan kalaupun saya beli dengan harga aslinya (yang entah berapa kali lipat dari harga obral), saya juga tidak akan menyesal.
Awal-awal baca saya berniat memberikan 4 bintang untuk Premortem, tapi makin ke belakang, otak saya kok kayaknya malah jadi makin korslet......jadi ya terpaksa saya ambil lagi satu bintangnya.
Gak banyak yang bisa dikomentari dari "novel" ini, selain, ya, eksekusinya. (Soalnya mau nilai apa lagi? Plot? Gak jelas. Karakter? Apalagi...) Gaya bercerita penulis di sini enak banget diikutin. Ngalir dan gak bikin bosen. Satu yang saya kagumi, meski entah ada berapa "aku" di sini, tone mereka masing-masing kerasa beda, gak kayak kebanyakan penulis lain yang suka ganti-ganti akuan tapi tone-nya gak dapet. :V
Sepanjang cerita saya selalu dibuat mikir. Ini Bagus yang mana, ini Nissa yang mana. Hmmm... berarti kakeknya Nissa ini yang tadi Pak Ustad, terus dia punya om tante, punya kakak namanya Dama, hmmm.....eh kok ada Bagus lain, apa hubungannya nih, tadi si Bagus kan......eh kok ada Nissa lain lagi, tadi kan dia...... Hingga saya sampai pada titik tertentu dan memutuskan untuk berhenti mikir. Just read. Enjoy the show.
Sejujurnya sih endingnya gantung banget yak. Tapi dari awal saya emang gak berharap ending yang orgasmic sih. Gak bakal dapet kepuasan apa-apa dari cerita ini, cuma seneng aja bacain deretan kejadian ngacak. Dan....sesungguhnya masih kurang paham sama Premortem Neurospecimen. Tapi saya berasumsi itu semacam penelitian rahasia untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, dan si cewek ini udah dapet "bisikan" sebelumnya, dan....ah udahlah, saya aja pusing nulisnya, apalagi yang baca. Bye.
Nice book, really entertaining! Membaca buku ini hampir seperti pilih sendiri petualanganmu. Tiap pembaca bisa menetukan sendiri apakah ingin memecahkan misterinya atau bisa dibaca sebagai kumpulan cerita yang sama sekali tidak terkait satu sama lain (walaupun mungkin pengarang tidak setuju dengan pilihan kedua). For me, buku ini seperti cermin, ia menunjukkan bagaimana sebenarnya karakter kita sendiri sebagai pembaca. Apakah kita pembaca yang sukanya bacaan ringan dan sederhana dengan alur jelas (that's me!) atau pembaca yang lebih 'intelek' yang suka bacaan berat, menantang pikiran dan suka putar otak untuk memecahkan misterinya. Atau jenis pembaca yang suka buku-buku kontemplatif, self-help dan psikologi. Semua jenis pembaca akan bisa mendapatkan sesuatu dari buku ini. That's the beauty of this book!
Gaya berceritanya fresh dan baru, dengan narator sang AKU yang kelihatannya seakan hanya dibawakan oleh satu orang namun nyatanya ada banyak AKU yang baru kita tahu jika mencermati arah pembicaraan di bab tersebut. Alur sama sekali tidak runut, bisa berloncatan dari satu waktu ke waktu yang lain dengan scene yang tiba-tiba sudah begini atau tiba-tiba jadi begitu. Pembaca yang diharapkan fill the blank(s) dan menemukan kunci dari alur ceritanya.
well.... nice read, but I think I'm not too ready for this kind of puzzle-like story. Bukan bacaan bagus buat saya yang gemar melupakan detil yang diceritakan di bab-bab sebelumnya, jadi walaupun terbayang alur ceritanya tetap saja ada banyak hal yang bikin bingung.
Kenapa Premortem disebut 'Novel Generasi Baru' pertama?
Jawaban: Novel Premortem menawarkan sebuah interaksi yang baru dengan pembaca. Jika biasanya penulis yang pegang kendali, di sini pembaca bisa memegang kemudi cerita. Ibarat mobil, pembaca bisa jadi supirnya, jika mau.
Kenapa tidak ada tanda kutip? Kenapa semua tokohnya seakan-akan 'sepintar pengarang'? Justru itulah bagian dari rahasia ceritanya :) Semua pertanyaan anda adalah kunci awal untuk membongkar misteri cerita. Semua jawaban ada di dalam buku, kalau anda mau mencarinya.
this book is a total mindfuck. sudah 2 kali saya baca, bahkan mencatat isi setiap fragmen cerita, namun rasanya masih belum mengerti secara lengkap jalan ceritanya. sensasi yg sama seperti saat setelah membaca Kafka on the Shore karya Haruki Murakami, semakin dibaca semakin dibuat pusing hahaha.
salut untuk sang penulis yang memberikan kebebasan kepada pembacanya untuk menginterpretasikan sendiri isi dari novel ini. saya rasa kunci utama dari cerita ini adalah "premortem neuro specimen". i guess i'll read some articles about it first before re-reading this novel.
Udah baca yang ke Sekian, tapi masih ga dapet inti dari teka-teki pak Angin. Masih sama asumsi pertama kali baca buku ini, ceritanya dari dua sisi laki-laki sama wanita, tapi mereka siapa?? -_- Review: Buku yang kalau dilihat dari covernya doang, mungkin ga menarik. Lihat cover belakang, penasaran ini buku tentang apa. Pas Baca, ini ceritanya apa sih kok beda-beda dan pada akhirnya sadar banyak teka-teki yang harus ditemukan buat memahami buku ini inti ceritanya apa. So great, belum nemu buku yang kayak gini lagi
apa makna tersirat dan seperti apa jalan cerita buku ini, ditentukan oleh masing-masing pembacanya. unik, aneh, dan mengagumkan. secara tak sengaja kita menilai diri kita sendiri dalam menilai orang lain. butuh konsentrasi yang cukup untuk menikmati buku ini, bahasa yang dipakai tak seberat buku bergenre sastra tapi tak segampang buku biasa. masih terkagum oleh kepiawaian sang penulis, disarankan membaca habis cerita pada hari yang sama.
Gini dulu deh: penokohannya berantakan. Iya semua tokoh memakai POV 1. Iya. Tapi mereka semua enggak punya beda! Semuanya sama-sama "sepintar" pengarang. Saia masih ngerasa aneh terhadap salah satu tokoh lulus SD aja enggak, kerja serabutan, tapi bisa-bisanya mengerti istilah cacophony.
Belum berhasil memecahkan teka-teki buku ini, secara baru sekali di baca dan langsung malas tuk baca ulang karena pengarangnya nggak memberikan sedikit pun clue.Tokoh 'aku' berubah-ubah, bisa cowok, cewek, muda, tua, pokoknya njelimet gitu deh. Tapi gue denger2 ada 9 orang yang berhasil memecahkan teka-tekinya, kasih tau dong ya.
Setelah baca review2 yang lain, mungkin memang benar buku ini ga mudah dimengerti jika hanya 1 kali dibaca. Harus 3 kali minimal. Saya sendiri masih bingung. Tapi saya kasih rate 3 yang berarti "saya suka" walau belum cukup paham. Tapi secara konsep dan gaya bercerita memang unik dan beda.
Saya akan baca ulang buku ini. Jadi, mungkin saja rate berubah jadi 4 bintang, atau malah 2? Hehehehe...
Bagaimana saya bisa menilai sesuatu yang tidak saya mengerti?
Saya rasa, buku ini kurang petunjuk, atau saya kelewat malas mencari petunjuk yang disembunyikan jauh di dalam. Buku ini bisa sangat multitafsir. Dengan nama yang sama. Dengan karakter yang banyak. Dengan dunia yang kadang tampak bersinggungan dan kadang seolah tak ada kaitan. Apakah Bagus ini sama dengan Bagus itu? Adil ustadz sama dengan Adil Romo? Nalik pemilik toko sama dengan Nalik bidan? Abang mana yang dimaksud masih jadi pacar Mbak Norma?
Ini tentang apa, sih? Pesan dari masa depan? Agar bisa lebih siap sebelum menghadapi kematian? Percobaan macam apa yang dilakukan dengan premortem itu? Kalau ada yang bersedia meluangkan waktu untuk memecah isi buku ini, saya mau baca.
Terlalu sedikit petunjuk, Bung. Atau pembacamu ini sedang kelewat malas mengelupas terlalu banyak lapisan.