Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), adalah pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuth Thalibin, Rembang. Mantan Rais PBNU ini dilahirkan di Rembang, 10 Agustus 1944. Di masa mudanya ia pernah nyantri di berbagai pesantren seperti Pesantren Lirboyo Kediri di bawah asuhan KH Marzuqi dan KH Mahrus Ali; Al Munawwar Krapyak Yogyakarta di bawah asuhan KH Ali Ma'shum dan KH Abdul Qadir; dan Universitas Al Azhar Cairo, di samping mengaji di di pesantren milik ayahnya sendiri, KH Bisri Mustofa Rembang.
Gus Mus menikah dengan St. Fatma, dan dikaruniai 6 (enam) orang anak perempuan serta seorang anak laki-laki.
Selain dikenal sebagai ulama dan Rais Syuriah PBNU, Gus Mus juga budayawan dan penulis produktif. Ia kerap menulis kolom, esai, cerpen, dan puisi di berbagai media massa seperti: Intisari; Ummat; Amanah;Ulumul Qur’an; Panji Masyarakat; Horison; Jawa Pos; Republika; Media Indonesia; Tempo; Forum; Kompas; Suara Merdeka dll.
Ibu Kaulah gua teduh Tempatku bertapa bersamamu Sekian lama Kaulah kawah Dari mana aku meluncur dengan perkasa Kaulah bumi Yang tergelar lembut bagiku Melepas lelah dan nestapa Gunung yang menjaga mimpiku Siang dan malam Mata air yang tak berhenti mengalir Membasahi dahagaku Telaga tempatku bermain Berenang dan menyelam
Kaulah, ibu, laut dan langit Yang menjaga lurus horisonku Kaulah, ibu, mentari dan rembulan Yang mengawal perjalananku Mencari jejak surga Di telapak kakimu
Tuhan, aku bersaksi Ibuku telah melaksanakan amanat-Mu Menyampaikan kasihsayang-Mu Maka kasihilah ibuku Seperti Kau mengasihi Kekasih-kekasihMu Amiin…
Sejak mengenal puisi balsem saya menyukai puisi Gus Mus. Kesukaan saya lebih bahwa bertanya bukan hal yang tabu malah bisa membuat syahdu. Bertanya hingga menggugat bukan hal yang tabu karena utamanya bertanya dan menggugat itu lebih tertuju kepada yang ada dalam diri ini. Seperti halnya akan kemerdekaan yang pantas untuk terus dipertanyakan. Di buku ini ada puisi "Rasanya Baru Kemarin" entah versi ke berapa. Jadi, mari merdeka untuk bertanya tentang kemerdekaan. Saya salinkan versi 2005 yang ada dari tautan berikut
"Rasanya Baru Kemarin"
Rasanya… Baru kemarin Bung Karno dan Bung Hatta Atas nama kita menyiarkan dengan seksama Kemerdekaan kita di hadapan dunia. Rasanya baru kemarin Gaung pekik merdeka kita Masih memantul-mantul tidak hanya Dari para jurkam PDI saja. Rasanya Baru kemarin. Padahal sudah enam puluh tahun lamanya.
Pelaku-pelaku sejarah yang nista dan mulia Sudah banyak yang tiada. Penerus-penerusnya Sudah banyak yang berkuasa atau berusaha Tokoh-tokoh pujaan maupun cercaan bangsa Sudah banyak yang turun tahta Taruna-taruna sudah banyak yang jadi Petinggi negeri Mahasiswa-mahasiswa yang dulu suka berdemonstrasi Sudah banyak yang jadi menteri dan didemonstrasi.
Rasanya Baru kemarin Padahal sudah lebih setengah abad lamanya.
Petinggi-petinggi yang dulu suka korupsi Sudah banyak yang meneriakkan reformasi. Tanpa merasa risi
Rasanya baru kemarin Rakyat yang selama ini terdaulat sudah semakin pintar mendaulat Pejabat yang tak kunjung merakyat pun terus dihujat dan dilaknat
Rasanya baru kemarin Padahal sudah enam puluh tahun lamanya
Pembangunan jiwa masih tak kunjung tersentuh Padahal pembangunan badan yang kemarin dibangga-banggakan sudah mulai runtuh
Kemajuan semu masih terus menyeret dan mengurai pelukan kasih banyak ibu-bapa dari anak-anak kandung mereka Krisis sebagaimana kemakmuran duniawi Masih terus menutup mata banyak saudara terhadap saudaranya
Daging yang selama ini terus dimanjakan kini sudah mulai kalap mengerikan Ruh dan jiwa sudah semakin tak ada harganya
Masyarakat yang kemarin diam-diam menyaksikan para penguasa berlaku sewenang-wenang kini sudah pandai menirukan
Tanda-tanda gambar sudah semakin banyak jumlahnya Semakin bertambah besar pengaruhnya Mengalahkan bendera merah putih dan lambang garuda Kepentingan sendiri dan golongan sudah semakin melecehkan kebersamaan
Rasanya Baru kemarin Padahal sudah lebih setengah abad kita merdeka.
Pahlawan-pahlawan idola bangsa Seperti Pangeran Diponegoro Imam Bonjol, dan Sisingamangraja Sudah dikalahkan oleh Sin Chan, Satria Baja Hitam, dan Kura-kura Ninja
Banyak orang pandai sudah semakin linglung Banyak orang bodoh sudah semakin bingung Banyak orang kaya sudah semakin kekurangan Banyak orang miskin sudah semakin kecurangan
Rasanya Baru kemarin
Tokoh-tokoh angkatan empatlima sudah banyak yang koma Tokoh-tokoh angkatan enamenam sudah banyak yang terbenam Tokoh-tokoh angkatan selanjutnya sudah banyak yang tak jelas maunya
Rasanya Baru kemarin
(Hari ini ingin rasanya Aku bertanya kepada mereka semua Sudahkah kalian Benar-benar merdeka?)
Rasanya Baru kemarin
Negeri zamrud katulistiwaku yang manis Sudah terbakar nyaris habis
Dilalap krisis dan anarkis
Mereka yang kemarin menikmati pembangunan Sudah banyak yang bersembunyi meninggalkan beban Mereka yang kemarin mencuri kekayaan negeri Sudah meninggalkan utang dan lari mencari selamat sendiri
Mereka yang kemarin sudah terbiasa mendapat kemudahan Banyak yang tak rela sendiri kesulitan Mereka yang kemarin mengecam pelecehan hukum Kini sudah banyak yang pintar melecehkan hukum
Rasanya baru kemarin Padahal sudah lebih setengah abad kita merdeka
Mahasiswa-mahasiswa yang penjaga nurani Sudah dikaburkan oleh massa demo yang tak murni Para oportunis pun mulai bertampilan Berebut menjadi pahlawan Pensiunan-pensiunan politisi Sudah bangkit kembali Partai-partai politik sudah bermunculan Dalam reinkarnasi
Rasanya Baru kemarin
Para seniman sudah banyak yang senang berpolitik Para agamawan sudah banyak yang pandai main intrik Para wartawan sudah banyak yang pintar bikin trik-trik
Rasanya Baru kemarin
Tokoh-tokoh orde lama sudah banyak yang mulai menjelma Tokoh-tokoh orde baru sudah banyak yang mulai menyaru
Rasanya Baru kemarin
Pak Harto yang kemarin kita tuhankan Sudah menjadi pesakitan yang sakit-sakitan Bayang-bayangnya sudah berani pergi sendiri Atau lenyap seperti disembunyikan bumi Tapi ajaran liciknya sudah mulai dipraktekkan Oleh tokoh-tokoh yang merasa tertekan
Rasanya baru kemarin
Habibie dan Gus Dur sudah mencoba sebentar Menduduki kursi kekuasaan yang terlantar Megawati yang mendapat giliran dan sudah berusaha Sekuat tenaga gagal memperpanjang kuasa
SBY yang menggantikan kekuasaan Terus dicoba cobaan demi cobaan Jusuf Kalla sudah menggantikan Hamzah Haz di istana Sambil menggantikan Akbar Tanjung di Golongan Karya
Saifullah Yusuf dan Alwi Syihab sudah menjadi menteri Meski berbuntut pertikaia n dalam partai sendiri Tokoh-tokoh KPU yang dituding sering memperlihatkan arogansi Malah banyak yang menjadi terdakwa kasus korupsi
Mantan-mantan calon dalam pilpres dan pilkada Banyak yang masih tak bisa menerima kenyataan yang ada Banyak yang demam pesta demokrasi Ternyata belum bisa menghayati demokrasi
Rasanya baru kemarin
Partai-partai politik sudah menjadi rebutan Para pemimpinnya sendiri yang melihat kesempatan Tanpa peduli warga mereka yang rentan Ormas-ormas pun banyak yang seperti tak tahan Melihat iming-iming kekuasaan
Rasanya baru kemarin
Wakil-wakil rakyat yang kemarin hanya tidur Kini sudah pandai mengatur dan semakin makmur Bahkan rakyat tak perlu lagi berkelahi dan memperkaya diri Karena wakil-wakil mereka sudah mewakili dengan baik sekali
Insan-insan pers yang kemarin seperti burung onta Kini sudah pandai menembakkan kata-kata
(Hari ini ingin rasanya Aku bertanya kepada mereka semua Bagaimana rasanya Merdeka?)
Rasanya Baru kemarin Padahal sudah enam puluh tahun kita Merdeka.
Para jenderal dan pejabat sudah saling mengadili Para reformis dan masyarakat sudah nyaris tak terkendali Mereka yang kemarin dijarah Sudah mulai pandai meniru menjarah Mereka yang perlu direformasi Sudah mulai fasih meneriakkan reformasi Mereka yang kemarin dipaksa-paksa Sudah mulai berani mencoba memaksa
Mereka yang selama ini tiarap ketakutan Sudah banyak yang muncul ke permukaan Mereka yang kemarin dipojokkan Sudah mulai belajar memojokkan Mereka yang kemarin terbelenggu Sudah mulai lepas kendali melampiaskan nafsu Mereka yang kemarin giat mengingatkan yang lupa Sudah mulai banyak yang lupa
Rasanya baru kemarin Ingin rasanya aku bertanya kepada mereka semua Tentang makna merdeka
Rasanya baru kemarin
Pakar-pakar dan petualang-petualang negeri Sudah banyak yang sibuk mengatur nasib bangsa Seolah-olah Indonesia milik mereka sendiri Hanya dengan meludahkan kata-kata
Rasanya baru kemarin
Dakwah mengajak kebaikan Sudah digantikan jihad menumpas kiri-kanan Dialog dan diskusi Sudah digantikan peluru dan amunisi
Rasanya baru kemarin
MUI yang didirikan untuk mendukung rezim lama Kini sudah mencoba menjelma orsospol ulama Pendukung-pendukung Islam Sudah semakin berani mencemari Islam
Masyarakat Indonesia yang berketuhanan Sudah banyak yang kesetanan Bendera merahputih yang selama ini dibanggakan Sudah mulai dicabik-cabik oleh dendam dan kedengkian
Aceh semakin merana Ambon dan Papua terus terlena Bangsaku yang sejak dulu dipuja-puja Kini selalu dihina-hina
Rasanya baru kemarin
Orangtuaku sudah lama pergi bertapa Anak-anakku sudah pergi berkelana Kakakku dan beberapa kawanku sudah berhenti menjadi politikus Aku sendiri masih tetap menjadi tikus
(Hari ini setelah enam puluh tahun kita merdeka ingin rasanya aku mengajak kembali mereka semua yang kucinta untuk mensyukuri lebih dalam lagi rahmat kemerdekaan ini dengan mereformasi dan meretas belenggu tirani diri sendiri bagi merahmati sesama)
Rasanya baru kemarin Ternyata sudah enam puluh tujuh tahun kita Merdeka
(Ingin rasanya aku sekali menguak angkasa dengan pekik yang lebih perkasa: …Merdeka!....)
Negeri daging adalah kumpulan puisi. Padahal saya tidak suka puisi. Puisi atau sajak di lembaran majalah atau koran langka saya baca. Puisi hanya pernah saya bikin ketika saya jatuh cinta. Namun, ajaibnya, buku puisi yang diterbitkan Bentang itu mampu saya lalap habis.
Nah, kumpulan puisi yang dibuat oleh Mustofa Bisri itu membuat saya bisa menikmati puisi. Menyukai, sekaligus tersindir juga. Merasa 'dionek-onekke' oleh pengasuh ponpes kelahiran Rembang itu.
Puisi-puisi dalam Negeri Daging adalah puisi keresahan dan kepasrahan. Resah akan kondisi bangsa Indonesia dan manusianya yang macam-macam. Pasrah akan kehendak Allah Yang Maha Kuasa, mengatur segala kehidupan sebagaimana Ia. Saya suka bagaimana puisi bisa menjadi begitu terang benderang di tangan Gus Mus. Tak berbelit mencari kata atau rima yang pas demi memberi berbagai tanda. Justru kata-kata itulah yang akhirnya menjelaskan segala pertanda dari penulisnya. Seperti salah satu bait dalam puisi Hijrah: " Ya Rasul, kami ingin hijrah seperti paduka, tapi hendak ke mana?"
Tasawuf, praktik keberagamaan di tengah keberagaman, politik praktis, hingga sentilan pada keakuan dipentaskan dengan begitu bersemangat oleh beliau lewat puisi. Di negeri daging, orang mudah mendapatkan daging. Daging ada dimana-mana, sampai tak ada tempat bagi yang namanya jiwa. Nampol sekali puisi yang ini.
Selesai baca buku ke-4 Negeri Daging – A Mustofa Bisri DIVA Press, Yogyakarta (2020) 95 halaman Lama baca: 6 Maret - 19 Mei 2024
Antologi puisi karya Gus Mus atau Ahmad Mustofa Bisri ini terdapat 35 judul. Beberapa di antara puisinya pernah tampil dalam pentas atau diwujudkan dalam pembacaan oleh Gus Mus.
Ihwal yang menarik perhatianku adalah pemilihan sampul buku yang menggunakan lukisan Gus Mus. Dahulu, lukisan ini pernah menjadi topik pembicaraan kala tren goyang ngebor oleh seorang penyanyi dangdut.
Beberapa judul puisi yang kukenal yaitu Syahadat, Kaum Beragama Negeri Ini, Negeri Haha Hihi, dan beberapa judul lain. Syahadat dan Kaum Beragama Negeri Ini aku dengarkan dulu sewaktu SD melalui kaset, masih lekat sekali ingatan itu, berkesan.
Buku ini merangkum karya maestro Gus Mus. Kebanyakan puisi beliau berkisah tentang kesalehan sosial sehingga memuat kritik-kritik bagi masyarakat maupun pemerintahan. Rasanya, Negeri Daging mencerminkan muatan materi kritik-kritik tersebut.
Ulasan lebih lengkapnya bisa dilihat di s.id/elsuyuthi
Saya sangat ingin membaca semua versi puisi "Rasanya Baru Kemarin". Dari sedikitnya 12 versi yang ada, saya baru punya beberapa versi saja. Kalau ada yang punya versi puisi itu secara lengkap, saya ingin memintanya. Atau, kalau Gus Mus sendiri membaca tulisan ini, sudilah mengirim seluruh versi puisi "Rasanya Baru Kemarin" itu ke email saya: asepsambodja@yahoo.com. Terima kasih Gus!
pernah baca meskipun tak sampai selesai... puisinya bagus dan memiliki makna yang dalam serta kritik bagi pemerintahan... dari sinilah kemudian saya mulai menggemari dan jatuh cinta terhadap puisi beliau...
Buku ini memang tipis namun isinya cukup untuk menjejali otak saya setelah membacanya untuk yang kesekian kali. Puisi Gus Mus kadang-kadang malah tidak seperti puisi, saya malah merasa tengah membaca renungan dari diri saya sendiri. Apakah kau terlalu bebal, atau aku yang terlalu peka? haha.