Buku ini secara garis besar membahas revolusi sosial yang terjadi di Karesidenan Pekalongan, tepatnya di tiga kabupaten yaitu Tegal, Pemalang, dan Brebes pada bulan-bulan awal kemerdekaan sekitar September-November 1945. Revolusi sosial ini berusaha menggulingkan para pejabat daerah mulai dari lurah, wedana, camat, hingga bupati. Salah satu alasan utamanya adalah mereka para pangreh praja ini dinilai sebagai kaki tangan Belanda dan Jepang di masa sebelumnya. Namun faktor penyebabnya jauh lebih kompleks seperti yang diuraikan Lucas dalam bukunya ini.
Kebencian terhadap pangreh praja ini sudah berakar sejak masa kolonial Hindia Belanda, ketika rakyat dibebani pajak dan kerja wajib yang begitu memberatkan. Pangreh praja sebagai kepanjangan tangan birokrasi kolonial yang kemudian bertugas mengumpulkan pajak-pajak dari rakyat tersebut. Masa Jepang kemudian semakin memposisikan pangreh praja berhadap-hadapan dengan rakyat. Dendam ini yang kemudian memuncak dan akhirnya meletus selama periode Revolusi saat rakyat menemukan momentum yang tepat untuk menyalurkan amarahnya yang selama ini terpendam. Revolusi Sosial di Karesidenan Pekalongan ini lantas disebut sebagai Peristiwa Tiga Daerah.
Peristiwa Tiga Daerah ini dapat disebut sebagai episode gelap dalam sejarah Indonesia pasca merdeka di mana pembunuhan dan pembantaian menjadi suatu hal yang terang-terangan dan dilakukan dengan terbuka. Para pangreh praja seperti camat dan wedana diarak keliling kota dan dipermalukan, dianggap sebagai antek-antek kolonial yang telah menyengsarakan rakyat di periode sebelumnya. Tidak hanya para pangreh praja, orang-orang Indo, Manado, Ambon, dan Batak juga menjadi sasaran dari Revolusi Sosial di Tiga Daerah. Dendam yang tersulut ditambah semangat anti-NICA yang menggebu membuat rakyat berani untuk memulai perlawanan terhadap mereka yang selama ini berada di struktur sosial atas.
Apa yang kemudian dapat direfleksikan dari hasil penelitian Anton Lucas ini adalah periode Revolusi Indonesia adalah periode yang penuh kebingungan serta petualangan dari banyak sekali elemen politik dan rakyat. Misalnya saja penggulingan terhadap pangreh praja tersebut kemudian tidak menemukan pengganti yang tepat dan sesuai dengan harapan rakyat. Para lenggaong (tokoh setengah bandit) yang menduduki jabatan baru seperti camat ataupun wedana kemudian tidak begitu paham dan mengerti harus melakukan apa. Maka kemudian yang terjadi adalah kebingungan ketika struktur yang sudah digulingkan nyatanya tidak dapat digantikan dengan baik.
Aku penasaran saja sama buku ini. Setting peristiwanya di daerah kelahiranku. Dulu cuma pernah dengar tentang hiruk-pikuk revolusi sosial pada era kemerdekaan. Dan tokoh lokal legendaris, Kutil, salah satu aktor di dalam drama sejarah tersebut.