"Kehadiran Perempuan sering ada dan tiada karena tiadanya suara mereka. Isu perempuan dan rokok (kretek), mengundang perdebatan dan kesalahpahaman karena tiadanya kesaksian dari perempuan sendiri. Buku ini menyuarakan suara emansipatoris dari subyek untuk melawan beragam stigma, mitos akibat penindasan berlapis terhadap perempuan . Suara perempuan dalam isu kretek merupakan penegasan sikap yang berjangkar pada klaim kedaulatan serta keberpihakan kepentingan bangsa. Para perempuan nasionalis harus secara konsisten bersuara dan melawan praktik penindasan neo liberalisme sekaligus alam pikir feodal yang patriarkhi." (Eva Kusuma Sundari – Aktifis Perempuan dan Anggota DPR RI F-PDI Perjuangan)
Saya menyesal telah membeli buku ini. Buku apa ini? Sudah harganya mahal (Rp 45ribu!), tapi isinya begitu-begitu saja. Baru baca sampai halaman 50, saya tidak sanggup untuk melanjutkan, apalagi mau membaca sampai habis. Saya menyerah!
Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari perempuan-perempuan yang pro kretek/rokok. Kalau selama ini sudah banyak kita melihat perlawanan terhadap rokok, nah buku ini ingin "meng-counter" perlawanan terhadap rokok itu. Tapi, dilihat dari sudut pandang perempuan (para penulis buku ini maksudnya) yang (merasa) perempuan selalu dilecehkan dan dijadikan "korban" karena rokok. Stigma perempuan merokok/mengkretek yang sering dianggap sebagai perempuan tidak benar dan berbagai stigma lainnya. Nah, mereka ingin melawan stigma itu melalui tulisan-tulisan mereka. Tapi, ya begitu deh...
Sebagai orang yang tidak suka dengan rokok, jelas saya jadi tidak sreg dengan buku ini. Iya, saya tahu ini jadi subyektif sekali. Tapi, dari tujuh tulisan yang sudah saya baca kok saya rasa argumen mereka mentah sekali ya? Sampai-sampai saya merasa tulisan-tulisan yang sudah dibuat ini (dan sudah saya baca itu) adalah penyangkalan mereka terhadap rokok. Maksudnya, sudah jelas rokok tidak baik untuk kesehatan, tapi mereka masih membela rokok. Ada yang membandingkan rokok dengan asap knalpot kendaraan. Asap knalpot jelas-jelas buruk untuk kita, tetapi kenapa hanya rokok yang dipermasalahkan? Ada pula yang bilang industri kretek/rokok menopang perekonomian masyarakat kelas bawah, terutama para perempuan yang bekerja di industri tersebut. Kalau perusahaan kretek/rokok dipaksa tutup, nanti mereka bekerja dimana? Ada juga yang mengaitkannya dengan urusan jodoh. Ada yang bilang rokok bisa membangkitkan rasa percaya diri. Dan argumen lainnya. Saya pun akhirnya tidak sanggup untuk melanjutkan membacanya. Okay, that's it. I give up. I won't read this anymore.
Saya kecewa sekali sudah salah beli buku. Sayang duitnya... *keplak diri sendiri*
Saya rasa buku ini memang tidak meminta pembaca menyukai atau tidak menyukainya. Para penulis berusaha memberi warna berbeda tentang perempuan perokok. Awalnya memang saya juga merasakan kesubjektivitasan yg penuh dari beberapa artikel, mengingat saya juga perempuan perokok. Namun rasanya terlalu dangkal bila saya membacanya untuk menguatkan pembenaran atas perempuan perokok. Lama2 saya pun belajar untuk membacanya dengan objektif, dgn pikiran dan hati yg lebih terbuka. Saya tak lagi mencari pembenaran2 utk merokok. Saya melihat banyak hal lain, yakni sejarah dan budaya kretek, sejarah dan budaya perempuan perokok/pengkretek dulu dan sekarang, kedudukan kretek dalam konstelasi ekonomi negara. Bagaimana lintingan komoditi Nusantara berperan bagi manusia penikmatnya baik dalam keadaan yg tak perlu banyak alasan mau pun dalam keadaan yg pelik sekali pun. Bagaimana akhirnya benda sekecil itu bisa memicu berbagai wacana dan argumen. Yah, buku ini menjadi suatu ruang untuk mereka yg hendak mencari lega dan mind set baru di tengah sesaknya argumen2 yg kontra pada perempuan perokok. Juga usaha menyumbang pengetahuan baru yg tidak kita dapat dari penulis yg kontra terhadap perempuan perokok. Bukankah akan membosankan dan sama saja kalau yg ada hanya buku atau artikel kontra perempuan perokok? :) Di luar segala kekurangan buku ini, yah itung2 berbesar hati dan belajar menerima argumen yang berbeda dengan pendapat kita. Toh buku ini mengandung pengetahuan yg sebelumnya tak kita ketahui, tho?
buku dengan tema yang bagus, dengan penyajian yang salah. pertama kali melihat sinopsisnya saya sangat tertarik karena jarang ada buku yang membahas pandangan masyarakat tentang kretek di kalangan wanita Indonesia, sayangnya esensi dari buku ini tidak mengena, gaya penceritaan yang terlalu subyektif disertai penjelasan yang luber sana sini, dan juga argumen-argumen yang terkesan mengada-ada, membuat saya cukup kecewa setelah membaca buku ini. Namun setidaknya buku ini bisa menjadi wacana untuk masyarakat stereotipe dalam menilai 'para wanita kretek'.
Kretek hanya menjadi pengiring subjek utama dalam buku ini, yaitu : perempuan. Untuk apa 21 perempuan (baik yang merokok maupun non-perokok) menulis satu buku ini? Ya untuk menyetarakan gender dengan kretek sebagai salah satu bukti gender mereka tidak se-setara yang kita kira. "Di sini, di negara kita ini, benda mati pun punya jenis kelamin. Malam itu laki-laki, kopi itu laki-laki, rokok itu pun juga laki-laki" (hal.99) betul? Jadi, jangan hanya menganggukkan kepala pada kampanye anti-rokok, tapi lihat juga pendapat 21 perempuan ini terhadap rokok :)
Dalam buku ini, ada 4 bab yang disajikan. Pertama, "Ritus Keseharian” yang isinya cerita tentang kehadiran kretek dalam keseharian beberapa penulis. Kedua, “Perempuan di Simpang Stigma”. Para perempuan berkisah tentang stigma buruk terhadap perempuan pengkretek yang hadir di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Ketiga, “Dalam Pusaran Arus Zaman”. Ini tentang beragam gerakan anti rokok, munculnya fatwa, dan pemerintah yang menyudutkan industri kretek. Keempat, “Kretek, Budaya, dan Keindonesiaan” membahas tentang kretek sebagai warisan budaya bangsa.
Yang menarik pada bab pertama menurut saya adalah “Rokok, Penyakit, dan Perjodohan” (Atika). Dari cerita bapaknya, disebutkan kriteria para perokok yang membuat saya senyam-senyum dan tanpa sadar langsung membayangkan teman-tman saya yang merokok dan mencocokkan dengan tulisan ini. Kok betul ternyata. Kecuali yang terakhir, “Pria yang merokok membuat basah batang rokok, cenderung memiliki gaya seks yang liar.” Bagian ini, saya tidak bisa mengamini.
Pada bab kedua, seputar jilbab dan rokok serta sebagainya. Perempuan itu, milih antara karier atau jadi Ibu Rumah Tangga aja udah dilema. Apalagi ditambah tetek bengek rokok. Ya ampun idup gini amat ya buat perempuan. Menarik juga tulisan “Rokok Itu Berjenis Kelamin Laki-laki” (Niken Wresthi). Cerita yang bagus tentang malam, kopi, dan rokok yang mempunyai jenis kelamin. Sekali lagi, saya manggut-manggut.
Pada bab tiga lebih serius lagi. Banyak diurai data-data dan lucunya ada pula menyinggung twit Mario Teguh. Mario Teguh, permisa. Ternyata sejak 2010 lalu udah bikin onar di twitter sampai tutup akun ya bapak botak itu. Gegara twit yang menyebutkan kalau perempuan yang merokok tentu tidak istriable. Kurang lebih twitnya begitu. Dan hujatan pun berdatangan. Meski tak separah sekarang, gitu keleus. Pada bab ini juga dijelaskan tentang industri-industri yang berebut lapak menghancurkan rokok demi kepentingan pribadi.
Pada bab empat, kembali kepada cerita-cerita. Saya paling suka “Kerja Sempurna: Serangkai Pengalaman Perihal Pabrik Rokok, Migrasi, dan Perempuan” (Indreyani). Di dekat rumahnya ada pabrik rokok. Banyak orang bekerja di sana, tetapi lebih banyak yang memilih ke Malaysia. Bahkan terakhir, yang bekerja di pabrik kebanyakan perempuan-perempuan dari luar desa. Perempuan-perempuan di desanya memilih hal yang jauh lebih menjanjikan. “Garuda di dadaku, tetapi tetap, ringgit di dompetku”. Ya kurang lebih istilahnya begitu.
Para perempuan dalam Perempuan Berbicara Kretek sangat menarik mengulas kretek dari beragam sudut pandang, baik dari pelaku maupun bukan. Kretekus maupun bukan kretekus. Sejarah awal mula kretek, emansipasi, Rara Mendut yang melawan melalui kretek, cerita penjual rokok, kehidupan teman, hingga data-data serius tentang pro kontra rokok diracik dengan sangat apik dalam cerita-cerita ringan-serius buku ini.
ulasan lebih lengkap disertai curhat latar belakang mendapatkan buku ini akan segera saya unggah di blog. hahaha.
ada beberapa kalimat yang setuju sama ini tp pas makin ke belakang tuh kek apa ya bahasannya jd meluber kemana mana alias ga ngomongin kretek doang. beberapa openingnya (sebelum ke pokok permasalahan) agak bertele tele dan kepanjangan. menurut saya jg kurang relevan sama perkretekan / perrokokan. soal bahasan yg kefeminisan saya setuju, tp yg tetiba bahas keadaan kota bogor trus tetiba ada terselip cerita g30s menurut saya kurang relevan. plusnya sih ada beberapa tulisan yg ngebahas sejarah yg bukan hanya sejarah rokok jd setidaknya ilmu saya bertambah setelah selesai membaca buku ini.
Menanggapi isu stigma yang menempel pada perokok perempuan pada bagian kedua dalam buku ini—apalagi muslimah berhijab—terlintas berpikir jika saya (laki-laki)merokok dengan seragam serta atribut lengkap solat di depan publik. Apakah sama rasanya sama dengan yang mereka rasakan?
Menyampingkan dulu tulisan seorang (bukan)perokok dan atau objektif maupun subjektif dari perempuan-perempuan cerdas Indonesia ini, pada akhirnya muncul dua pertanyaan pada diri saya: 1. Bagaimana jika hal-yang-saya-pikir-benar sesungguhnya salah? 2. Bagaimana jika hal-yang saya-pikir-salah sesungguhnya benar?
Meskipun merupakan kumpulan karangan, buku ini bagus. Tidak hanya merupakan pembelaan terhadap hak para perokok untuk merokok, juga menggugat pendangan masyarakat yang cenderung merendahkan perempuan perokok, dan ajakan untuk menjaga industri kretek sebagai bagian dari budaya, sejarah dan salah satu penopang ekonomi yang penting, serta menjaga kemandirian bangsa.
Sampul yang eksotis menimbulkan birahi membaca. Mungkin sudah menjadi bagian dari naluri Jemari perempuan yang mengapit "Batang" rokok memang bukan pemandangan yang asing lagi. Dengan jujur saya mengatakan saya menjadi pemandu atas pemandangan seperti itu