Buku ini berisi puisi-puisi yang mengungkap hubungan seorang ibu dengan anaknya. Joko, dengan kepiawainnya merangkai kata, membawa pembaca ke hubungan paling halus antara seorang ibu dan anak-anaknya.
Joko Pinurbo (jokpin) lahir 11 Mei 1962. Lulus dari Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Sanata Dharma Yogyakarta (1987). Kemudian mengajar di alma maternya. Sejak 1992 bekerja di Kelompok Gramedia. Gemar mengarang puisi sejak di Sekolah Menengah Atas. Buku kumpulan puisi pertamanya, Celana (1999), memperoleh Hadiah Sastra Lontar 2001; buku puisi ini kemudian terbit dalam bahasa Inggris dengan judul Trouser Doll (2002). Ia juga menerima Sih Award 2001 untuk puisi Celana 1-Celana 2-Celana 3. Buku puisinya Di Bawah Kibaran Sarung (2001) mendapat Penghargaan Sastra Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional 2002. Sebelumnya ia dinyatakan sebagai Tokoh Sastra Pilihan Tempo 2001. Tahun 2005 ia menerima Khatulistiwa Literary Award untuk antologi puisi Kekasihku (2004). Buku puisinya yang lain: Pacarkecilku (2002), Telepon Genggam (2003), Pacar Senja (2005), Kepada Cium (2007), dan Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung (2007). Selain ke bahasa Inggris, sejumlah sajaknya diterjemahkan ke bahasa Jerman. Sering diundang baca puisi di berbagai forum sastra, antara lain Festival Sastra Winternachten di Belanda (2002). Oleh pianis dan komponis Ananda Sukarlan sejumlah sajaknya digubah menjadi komposisi musik.
Membaca buku ini serasa dicampur aduk emosinya... Pengalamanku saat baca puisi yang bejudul Perjamuan Petang atau Celana Ibu...saat pertama membaca sepertinya lucu sekali puisinya, sempat tertawa terbahak-bahak dan senyum-senyum sendiri..tapi setelah dibaca ulang kok ya miris...ada perubahan dari kesan lucu ke sedih dan perasaan yang dalam... Dan dari dua puisi diatas, sempat diceritakan ulang kepada beberapa teman...dan merekapun terbahak pada awalnya, tapi setelah diam...jadi mikir, sedih juga yah...nah sama kan?
Ah entahlah...tapi dibuku ini, semua puisi aku suka dan yang paling suka adalah Dengan Kata Lain, mengingatkanku pada dua orang guru dirumah, yang juga orangtua tersayang.
Dengan Kata Lain (hal 50-51)
Tiba di stasiun kereta, aku langsung cari ojek. Entah nasib baik, entah nasib buruk, aku mendapat tukang ojek yang, astaga, adalah guru sejarah-ku dulu.
"Wah, juragan dari Jakarta pulang kampung," beliau menyapa. Aku jadi malu dan salah tingkah. "Bapak tidak berkeberatan mengantar saya ke rumah?"
Nyaman sekali rasanya diantar pulang Pak Guru sampai tak terasa ojek sudah berhenti di depan rumah. Ah, aku ingin kasih bayaran yang mengejutkan. Dasar sial. Belum sempat kubuka dompet, beliau sudah lebih dulu permisi lantas melesat begitu saja.
Di teras rumah Ayah sedang tekun membaca koran. Koran tampak capek dibaca Ayah samapai huruf-hurufnya berguguran ke lantai,berhamburan ke halaman.
Tak ada angin tak ada hujan, Ayah tiba-tiba bangkit berdiri dan berseru padaku: "Dengan kata lain, kamu tak akan pernah bisa membayar gurumu."
( 2004 )
"Dengan kata lain, kamu tak akan pernah bisa membayar gurumu."
Saya membaca buku ini dalam Bahasa Indonesia, tersedia di Gramedia Digital.
Puisi favorit saya berjudul Cita-cita. "Setelah punya rumah, apa cita-citamu? Kecil saja: ingin bisa sampai di rumah saat masih senja supaya saya dan senja sempat minum teh di depan jendela."
Cita-cita ini sederhana, tapi berat untuk dijalani dalam kehidupan sebagian besar pekerja di kota besar.
Joko Pinurbo memang sangat suka mengangkat topik tentang sosial dan masalah kelas pekerja.
Setelah lama tak mengembara rasa, sajak Jokpin menjerumuskan saya lagi dalam nikmatnya kata. Sederhana, sekali duduk membaca, sambil bersuara, di dalamnya, cinta menjelma. Jokpin lagi yang membuat saya terpaksa jatuh cinta dengan aksara yang ditata jenaka, siap disantap oleh hati yang malu. Teruntuk "Baju Bulan", "Penjual Kalender", "Dengan Kata Lain", untuk mereka, saya tak tahu harus bahagia, tertawa, atau berduka. Sublim dan subtil, indah dan menggugah.
Cukup sekian sok puitisnya, sekarang pakai bahasa normal.
Memang benar, kata Karlina Supelli di pengantar buku ini. Buku akademis hidup dalam kekakuan metodologis, tetapi sastra, seperti puisi, membawa ke pengembaraan hening yang melewati berbagai batas. Secara pribadi, saya sendiri yang akhir-akhir ini disibukkan dengan bacaan non-fiksi, baik yang akademis dan populer, merasa dibebaskan, dilambungkan, dijerumuskan ke dalam imajinasi nakal Jokpin. Pada akhirnya benar, membaca ini merupakan pengalaman personal yang juga universal. Joko Pinurbo mengisi ruang kosong di mana "procrastination" digambarkan melalui puisi "Penjual Kalender", ataupun rasa syukur yatim piatu digambarkan dengan "Baju Bulan". Terdapat tiga tokoh dalam kumpulan puisi ini yang sama-sama bernama Plato. Penyair, anak penjual kalender, dan anak penjual bakso. Semuanya sederhana. Menggelitik karena ini cara Jokpin menyentil tentang kebijaksanaan besar yang sering ditemukan dalam orang kecil. Lega rasanya membaca ini, sebelum kembali ke buku berbasis logika. Semoga puisi-puisi dalam buku ini senantiasa bergema dalam sunyi dan bunyi.
Pada suatu senja merah yang cerah, saya ke toko buku di bilangan Rawamangun bersama seorang teman. Seperti biasa, sasaran pertama adalah rak-rak tempat novel dan buku-buku sastra. Setelah beberapa saat mata dan jari saya menelusuri deretan judul-judul buku itu, mata saya berhenti pada di sebuah buku tipis hijau abu-abu (maksud saya, saya bingung, warna buku itu hijau atau abu-abu ya?) berjudul Kekasihku, kumpulan puisi Joko Pinurbo.
Saya lalu membuka-buka lembarannya. Ketika tiba di halaman 35, saya tergoda untuk membacakannya buat teman saya itu :
Celana Ibu
Maria sangat sedih menyaksikan anaknya mati di kayu salib tanpa celana dan hanya berbalutkan sobekan jubah yang berlumuran darah
Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang ke kubur anaknya itu, membawakan celana yang dijahitnya sendiri dan meminta Yesus untuk mencobanya.
"Paskah?" tanya Maria "Pas sekali, Bu," jawab Yesus gembira.
Mengenakan celana buatan ibunya, Yesus naik ke surga.
Tawa saya hampir saja pecah terbahak membacanya, Tetapi lalu urung karena teman saya justru cemberut kusut tanda tak suka. Ooops! Saya lupa, teman saya ini Katholik. "Sorry," kata saya pelan akhirnya.
Begitulah. Meskipun teman saya cemberut, saya tetap membawa pulang (setelah membayar di kasir lo!) Kekasihku itu.
Joko Pinurbo, penyair yang akrab dengan celana ini (beberapa puisinya memakai judul yang ada "celana"-nya. Di buku ini saja ada tiga), menerbitkan buku kumpulan puisinya yang terbaru (2004) setelah lima buku sebelumnya : Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Trouser Doll (2002), Pacar Kecilku (2002) dan Telepon Genggam (2003).
Dari judul-judul di atas, saya menangkap ada kesan 'main-main'. Joko Pinurbo seperti tengah mengajak kita bercanda dengan karya-karyanya. Sekilas, puisi-puisinya seperti puisi yang dibuat tidak serius. Namun, saya dapat merasakan makna yang dalam yang terkandung di setiap kata-kata sederhana yang menjelma indah.
Oh tentu saja, tulisan ini tidak saya maksudkan sebagai sebuah penilaian atau apalagi telaah terhadap keempat puluh puisi dalam Kekasihku ini (mana berani saya berbuat selancang itu). Saya hanya menuangkan apa yang saya rasakan setelah membacanya.
Yang paling menggoda saya dari keseluruhan isi buku ini adalah puisi Celana Ibu yang saya kutip di awal tadi. Joko memang kelewatan humorisnya, sampai-sampai Yesus pun diajaknya bergurau. Maka saya tak jadi heran jika lalu menemukan banyak canda dalam puisi-puisi lainnya tanpa kehilangan romantisme, seperti :
Pacar senja sangat pendiam : ia senyum-senyum saja mendengarkan gurauan senja. Bila senja minta peluk, setengah saja, pacar senja tersipu-sipu. "Nanti saja kalau sudah gelap, Malu dilihat lanskap"
(Pacar Senja-2003. hal 1)
Romantis sekali bukan? Saya pasti langsung jatuh cinta andai ada seorang lelaki yang membacakan sajak seindah itu.
Atau yang jenaka ini :
Lalu ibu menjebloskanku ke sekolah. Bertahun-tahun aku belajar bahasa yang baik dan benar hanya untuk bisa mengucapkan cinta monyet dengan lugu dan malu-malu tanpa menyadari bahayanya. Setelah dewasa aku paham bagaimana menyatakan cinta tanpa harus mengatakannya.
Kini aku harus menidurimu.Tubuhmu pelan-pelan terbuka dan merebaklah bau masam dari ketiakmu.
Aku gugup. Tapi tak mungkin kupanggil alamarhumah ibuku untuk mengajariku membaca halaman-halaman tubuhmu sebagaimana dulu dengan tekun dan sabar ia mengajariku membaca kalimat-kalimat sederhana : ini ibu budi; budi minum susu; ini susu ibu.
(Malam Pertama -2003. Hal 7)
Konon, orang yang arif adalah ia yang telah mampu menertawakan dirinya sendiri. Apakah Joko Pinurbo telah sampai pada kearifan tersebut? Entahlah. Namun yang pasti, ia telah berhasil membuat saya tersenyum bahkan tertawa bersama puisi-puisinya. Menertawakan Tuhan, sahabat, ayah, ibu, kekasih dan terutama, diri sendiri.
Himpunan puisi dibuku ini ada satu duanya sudah pernah dibaca dibuku puisi Jokpin yang lain, malah ada yang sudah diulang baca dari blog Jokpin sendiri. Sesuai dengan tajuk bukunya "Kekasihku", kandungan puisinya bisa mengocak-ngocak perasaan. Walau ada antaranya punya permulaan bait yang sedikit lucu; seperti puisi "Penjamuan Petang" dan "Dua Orang Peronda"- dihujung-hujungnya mampu mengundang sedih dan sepi sehingga aku termenung memikir-mikir makna lembarannya.
Kegemaran aku adalah "Pacar Senja", "Surat", "Teman Lama" dan "Dengan Kata Lain".
"Konon menulis surat bisa membasmi sepi. Padahal hanya kalau sepi aku bisa dengan tenang menulis surat agar jangan sampai kata-kataku menyakiti.
Ada pula surat dari masa kecil, datang di malam eksil, ah pasti ditulis dengan pinsil, kubuka amplopnya yang warna-warni, isinya: ayo duel kalau berani!
Suratan nasib: tersimpan rapi di laci meja dan tak akan pernah kubuka."
(Surat, 2003)
Dan puisi "Dengan Kata Lain" amat sesuai sekali dibaca di hadapan guru-guru waktu sambutan Hari Guru di sekolah. Guru-gurumu mungkin akan menangis mendengarnya.
Ah, sudah lama rasanya aku tidak menyelami puisi-puisi Joko Pinurbo. Aku menemukan e-book ini secara tidak sengaja di IbiLibrary. Dan ternyata aku cukup menikmatinya meski beberapa kali terganggu dengan kejenakaan yang kurang sesuai.
Bagian yang kusuka: – "Cinta seperti penyair berdarah dingin yang pandai menorehkan luka. Rindu seperti sajak sederhana yang tak ada matinya."
– "Miskin mungkin bencana, tapi kaya juga cuma karunia."
– "Kepada Puisi Kau adalah mata, aku airmatamu."
Ini buku pertama yang kuselesaikan di bulan September. Mungkin cukup. Sampai jumpa! 💛
Thanks to Roos yang sudah berpayah-payah menulis isi buku ini, kalo tidak mungkin tak akan pernah sempat kumembacanya :)
Puisi...mungkin bukan salah satu menu bacaan yang dapat menyeretku untuk tekun memelototi huruf-hurufnya. Bagiku yang bernalar cupet ini, terasa berat menerjemahkan bahasa puisi ke alam penalaran yang mudah dimengerti.
Perkenalanku dengan puisi yang cukup membuatku bisa mengapresiasinya adalah ketika bu guru bahasa Indonesiaku yang cantik di kelas 2 SMP membacakan puisi 'AKU' karya Chairil Anwar, sejak itu aku agak sering melirik puisi di setiap majalah maupun koran. Tapi entah kenapa, seiring dengan semakin banyaknya variasi buku yang kukonsumsi puisi menjadi kurang mendapat tempat (atau mungkin karena semakin kelihatan bodohnya aku)
Ku ingat kata-kata guru bahasa Arabku dulu, bahwa salah satu nilai tertinggi Al Qur'an adalah karena cita rasa sastranya yang sangat tinggi. Orang-orang yang sudah menguasai Nahwu-Shorof-Balaghoh bahasa Arab pun masih belum berarti apa-apa bila belum menguasai sisi nilai sastranya. Bahkan para ahli sastra Arabpun ketika mendengar desas-desus yang dihembuskan oleh para pembesar Qurays bahwa Al-Qur’an adalah ciptaan Muhammad Saw, tidak mempercayainya karena ketinggian nilai sastranya tidak mungkin diciptakan oleh seorang anak ingusan yang masih lugu dan buta huruf. Allahpun sampai berani menantang makhluknya yang sombong untuk membuat ayat/surat yang bisa menyamainya. Dan ada sastrawan Arab yang menjawab tantangan itu dengan membuat sebuah ‘surat’ dengan judul ‘Gajah’ untuk menyaingi surat ‘Al Fiil/Gajah’ di Al Qur’an Saya lupa redaksinya, tetapi yang saya ingat artinya kurang lebih adalah : Gajah… Belalainya panjang… Telinganya lebar… Blablablabla..… (Ku ingat waktu guruku itu membacakan ini dalam versi bahasa arab dan menterjemahkannya aku terpingkal-pingkal, kok kayak lagu TK dulu ya…), ternyata aku tidak sendirian karena ahli sastra yang membuat surat itupun juga ditertawakan oleh teman-teman sastrawan Arab yang lainnya pada waktu itu.
Lalu ku bandingkan dengan surat Al Fiil di Al Qur’an: Alam taro kaifa fa’ala robbuka biashaabil fiil (Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah) Alam yaj’al kaidahum fii tadhlil (Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan ka’bah) itu sia-sia) Wa arsala ‘alaihim thoiron abaabil (Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berduyun-duyun) Tarmihim bihijaarotim min Sijjil (Yang melempari dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar Faja’alahum ka’asfim ma’kul (Lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat))
Well, jadinya bagiku puisi masih terlalu berat untuk kukonsumsi. Tapi membaca puisi-puisi Jokpin, aku cukup bisa menikmati ‘permainan’ kata-katanya meski kuragukan diriku untuk bisa menafsirkan makna yang tersembunyi dibaliknya
Nama Jokpin mungkin sudah tidak asing lagi bagi penggemar puisi nusantara. Buku ini, seperti judulnya, membawa aku bergentayang di langit sedang bulan menukar baju tidurnya, senja cuma tinggal hilainya, dan bunga azalea yang berwarna ungu di bulan Febuari terbatuk di rumah cinta. Metaforanya sederhana dan kerna kesederhanaan itu, aku mengaguminya.
Aku tidur di remang tubuhmu sampai kau lelap dalam ombak dan deru Saat ombak surut dan waktu terbungkus kabut mimpi baru setengah jadi. "Ayo melalut lagi!" Melautlah lagi. Aku sedang mati.
Jokpin (sebutan singkat untuk Joko Pinurbo) dikenal dengan puisi bertema celana. Tidak heran, karena itulah judul buku puisi pertama yang diterbitkannya di tahun 1999. Dalam buku ini ada beberapa puisi yang juga bertema celana, seperti "Celana Tidur" dan "Satu Celana Berdua". Nuansa yang kental lainnya adalah tentang hubungan antara Ibu dan Anak. Seperti yang termuat dalam puiai "Ranjang Ibu", "Telepon Tengah Malam", "Dua Orang Peronda", dan "Ibuku".
Ibu suka membacakan buku untuk mengantar tidurku. Aku terbuai mendengarkan ibu dan buku, mendengarkan ibuku, sambil membayangkan dan bertanya ini itu. Pada saatnya beta harus meninggalkan bunda sebab tak bisa selamanya menyusu pada ibu. Aku harus mencari susu baru. Sambil menahan airmata, ibu memeluk dan menciumku: Pergilah. Terbanglah. Aku pun terbang bersayapkan buku ke antah-berantah yang bagiku sendiri masih entah. (Ibuku, 2003)
Selain puisi "Ibuku" di atas, saya juga suka dengan satu puisi berjudul "Dengan Kata Lain". Puisi ini berkisah tentang seorang pemuda yang pulang kampung dan bertemu dengan guru Sejarah-nya yang kini menjadi tukang ojek. Saat ingin membayar jasa ojeknya, guru itu pergi begitu saja.
Tak ada angin tak ada hujan, Ayah tiba-tiba bangkit berdiri dan berseru padaku: "Dengan kata lain, kamu tak akan pernah bisa membayar gurumu." (Dengan Kata Lain, 2004)
Pertama kali saya berkenalan dengan pusi Joko Pinurbo adalah lewat Buku Latihan Tidur. Sejak itu, saya berupaya membaca puisi-puisi beliau yang lain. Saya jatuh cinta dengan kata-kata yang terangkai indah dan bermakan dalam. Kadang bisa dipahami hanya dengan membaca sekilas, namun ada juga yang perlu dibaca berulang agar bisa diserap. Untungnya ada Gramedia Digital yang menyimpan beberapa buku kumpulan puisi beliau.
Sepertinya aku perlu jeda agak lama membaca dari satu buku ke buku Jokpin yang lain. Rata-rata akan selalu ada satu-dua puisi yang sebelumnya sudah termuat di buku lain. Aku sampai agak bingung, kira-kira mana puisi yang benar-benar "baru" di dalam buku puisi Jokpin. Jeda waktu membaca rasanya bisa lebih mengaburkan ingatanku akan puisi-puisi lama Jokpin. Ya, lain kali akan aku coba seperti itu.
Buku Kekasihku ini menjadi buku paling tipis dari Jokpin yang pernah kubaca, tak sampai 100 halaman. Bagian pengantar dari seorang dosen pascasarjana di awal bahkan ditulis agak panjang seperti sebuah jurnal penelitian. Di sana, sang dosen menyandingkan ilmu sains dan sastra yang ternyata juga punya irisan yang sama. Menarik sekali pembahasannya.
Sementara untuk bagian isi puisi, tak banyak yang bisa dibilang "baru"—seperti yang sudah aku sebutkan tadi. Highlight puisi "Kekasihku" atau puisi yang relevan juga terbilang kurang mengena, ditenggelamkan oleh judul-judul puisi lain yang lebih menarik.
Menyenangkan, saya sudah membatasi agar pace bacanya tidak terlalu cepat, tapi rasanya sulit. Saya kerap kali membaca lebih dari yang saya tentukan ingin baca karena penasaran & menimati tulisan-tulisan Pak Jokpin.
Saya menyukai & menghighlight beberapa, tapi untuk top 3 ada kosong, tiada & dengan kata lain. Namun karena ini bulan februari saya ingin mengutip puisi “Februari yang Ungu” dalam review ini.
Februari yang ungu berderai pelan sepanjang malam, menyirami daun-daun kalender yang mulai kering.
Aku melangkah ke dinding, membetulkan penanggalan yang tampak miring. “Jangan gemetar. Aku baik-baik saja. Tua cuma perasaan,” kata kalenderku yang pendiam.
Kuhitung berapa tanggal yang telah tanggal, berapa pula tinggal tangkai. Sambil menggigil kalenderku berpesan, “Jangan mau dipermainkan angka. Tua cuma pikiran.” — 2004
Banyak puisi-puisi Jokpin di buku ini yang muncul lagi di buku kumpulan puisinya yang lain. Saya seperti sudah membaca beberapa atau banyak puisi di buku ini dalam "Baju Bulan" dan "Selamat Menunaikan Ibadah Puisi". Mungkin, puisi yang benar-benar baru di buku ini hanya 10%-nya, sisanya adalah ulangan atau sudah ada di buku kumpulan puisinya yang lain. Untuk penggemar baru Jokpin, saya sarankan untuk membeli "Selamat Menunaikan Ibadah Puisi" saja, yang lebih tebal dan lebih banyak puisinya. Tetapi, buku ini tetap asyik disimak kok. tetap seperti Jokpin yang biasanya. Yang juga tidak boleh dilewatkan di buku ini adalah bagian pengantarnya yang bernas sekali.
Setelah punya rumah apa cita-citamu? Kecil saja: Supaya bisa sampai di rumah saat masih senja supaya saya dan senja sempat minum teh di depan jendela.
Ah cita-cita. makin hari kesibukan makin bertumpuk, uang makin banyak maunya, jalanan macet, akhirnya pulang terlambat. Seperti turis lokal saja, singgah menginap dirumah sendiri buat sekedar melepas penat.
Terberkatilah waktu yang dengan tekun dan sabar membangun sengkarut tubuhku memjadi rumah besar yang ditunggui seoarang ibu. Ibuwaktu berbisik mesra, "Sudah kubuatkan sarang senja di bujur barat tubuhmu. Senja sedang berhangat-hangat didalam sarangnya."
Menukil tulisan Karlina Supelli dalam pengantarnya di sini yang mengagumkan tersebut "...dalam senyap Joko Pinurbo juga ada kejenakaan ...Sekejap saja; karena kemudian kejenakaan itu menelan kita dalam gelak kita sendiri", dan saya rasa aspek itu yang membuat puisi-puisi Jokpin begitu lekat dan menarik pembaca puisi.
*Kebanyakan puisi di buku ini telah ada di buku-buku kumpulan puisi Jokpin sebelumnya.
Ini pertama kalinya aku membaca buku kumpulan puisi karya Joko Pinurbo. Tema puisi di buku ini kebanyakan tentang keluarga, terutama hubungan ibu dan anak. Beberapa puisi banyak yang mengundang gelak tawa, lalu kemudian membuat ku dipenuhi kesedihan. "Perjamuan Petang", "Di Bawah Pohon Cemara", "Cita-cita", "Dengan Kata Lain", dan "Rumah Sakit" menjadi puisi-puisi favorit ku di buku ini.
Puisi-puisi dalam buku ini nggak begitu asing, beberapa udah aku baca di berbagai media. Dalam buku ini, banyak puisi yang aku suka, seperti Kosong, Batuk, Aku Tidur di Remang Tubuhmu, Telepon Tengah Malam, Ranjang Ibu, Koran Pagi, Dokter Mata, Kepada Puisi, Celana Tidur, Malam Pertama, dan sebagainya, masih banyak juga kayaknya. Sukaaa.
Dari semua puisi di buku ini, pembaca tidak hanya diacak-acak perasaan cintanya, tetapi juga dibuat tertawa renyah, kadangkala sedih ataupun terharu. Sentuhan-sentuhan jenaka yang disisipkan membuat puisi yang tadinya sudah segar mejadi lebih super segar wkwk.
Buku ini berisi kumpulan puisi Joko Pinurbo. Seru sekali + bikin candu, sekali duduk bisa gak mau berhenti membaca. Sejujurnya baru kali ini aku baca karya Joko Pinurbo, tapi salah satu karya beliau ada dalam Wish list ku judulnya Perjamuan Khong Guan. Ada salah satu puisi yang bikin ngakak. haha syg bgt lupa judulnya apa.
40 puisi Jokpin sepanjang tahun 2003-2004, berkisar di antara tema ranjang, celana, buku, tubuh, ibu. Setiap puisi punya ide dan permainan kata yang menarik, ciri khas Jokpin. Kalau saya baca buku ini di tahun terbitnya, pasti saya sudah ngefans sejak lama ini :D
Gak banyak puisi yang menampilkan kejenakaan Jokpin di kumpulan puisi ini. Ada satu-dua puisi yang pernah aku baca di buku kumpulan puisinya yang lain, tapi lupa judul bukunya. Puisi favoritku: Pacar Senja, Malam Pertama, Baju Bulan, Cita-cita, Hijrah, Dengan Kata Lain, dan Malam Ini Aku Akan Tidur di Matamu.
Kali pertama baca buku kumpulan puisi Joko Pinurbo, bacanya kadang lucu kadang senyum dan kadang gak ngerti juga 😁 Tapi membaca puisi demi puisinya menyenangkan.
"Jangan mau dipermainkan angka, Tua cuma pikiran!"
Puisi Pak Jokpin medio tahun 2003-2004. Kisah-kisah kecil yang menggemaskan dan menggembirakan, sesekali juga bikin baper pembaca, kadang juga bikin mikir. Perlu baca 2-3 kali, maklum, pembaca puisi medioker.
Satu kali aku baca, tertawa. Dua kali aku baca, bahagia. Tiga kali aku baca, kerinduan. Empat kali aku baca, tangisan. Lima kali aku baca, pulanglah nak.