Jump to ratings and reviews
Rate this book

Jalan Raya Pos, Jalan Daendels

Rate this book
Sebuah buku tentang kesaksian. Dan buku ini adalah kesaksian tentang peristiwa genosida kemanusiaan paling mengerikan di balik pembangunan Jalan Raya Pos atau yang lebih dikenal dengan Jalan Daendels; jalan yang membentang 1000 kilometer sepanjang utara pulau Jawa, dari Anyer hingga Panarukan. Inilah satu dari beberapa kisah tragedi kerjapaksa terbesar sepanjang sejarah di Tanah Hindia.

148 pages, Paperback

First published January 1, 2005

180 people are currently reading
2388 people want to read

About the author

Pramoedya Ananta Toer

84 books3,105 followers
Pramoedya Ananta Toer was an Indonesian author of novels, short stories, essays, polemics, and histories of his homeland and its people. A well-regarded writer in the West, Pramoedya's outspoken and often politically charged writings faced censorship in his native land during the pre-reformation era. For opposing the policies of both founding president Sukarno, as well as those of its successor, the New Order regime of Suharto, he faced extrajudicial punishment. During the many years in which he suffered imprisonment and house arrest, he became a cause célèbre for advocates of freedom of expression and human rights.

Bibliography:
* Kranji-Bekasi Jatuh (1947)
* Perburuan (The Fugitive) (1950)
* Keluarga Gerilya (1950)
* Bukan Pasarmalam (1951)
* Cerita dari Blora (1952)
* Gulat di Jakarta (1953)
* Korupsi (Corruption) (1954)
* Midah - Si Manis Bergigi Emas (1954)
* Cerita Calon Arang (The King, the Witch, and the Priest) (1957)
* Hoakiau di Indonesia (1960)
* Panggil Aku Kartini Saja I & II (1962)
* The Buru Quartet
o Bumi Manusia (This Earth of Mankind) (1980)
o Anak Semua Bangsa (Child of All Nations) (1980)
o Jejak Langkah (Footsteps) (1985)
o Rumah Kaca (House of Glass) (1988)
* Gadis Pantai (The Girl from the Coast) (1982)
* Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (A Mute's Soliloquy) (1995)
* Arus Balik (1995)
* Arok Dedes (1999)
* Mangir (1999)
* Larasati (2000)

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
524 (28%)
4 stars
634 (34%)
3 stars
561 (30%)
2 stars
104 (5%)
1 star
30 (1%)
Displaying 1 - 30 of 192 reviews
Profile Image for bakanekonomama.
573 reviews85 followers
February 28, 2013
Penulis adalah orang yang peka terhadap perubahan masyarakat dan lingkungan di sekitarnya

Beberapa tahun yang lalu, di suatu kelas sastra, saya mendengarkan dosen saya mengatakan kata-kata itu. Ketika itu, bahasan kami tentang sosiologi sastra. Memang tepat jika dikatakan demikian, karena melalui jejak torehan tinta para penulis, kita banyak mengetahui hal-hal yang terjadi di masa lalu. Meskipun memang, sebuah karya sastra tidak bisa dijadikan patokan seutuhnya dalam menggambarkan suatu masyarakat pada waktu karya itu dibuat. Butuh fakta-fakta utama lainnya, sehingga karya itu nantinya akan dapat digunakan sebagai sebuah data pendukung.

Itu jugalah yang saya rasakan setelah membaca karya Pram yang satu ini, "Jalan Raya Pos, Jalan Daendels". Padahal, saya tahu kalo ini adalah non fiksi (meskipun awalnya dikirain fiksi -,-) dan ada data-data konkret yang digunakan ketika menulis buku ini (ngelongok dapus), tapi tetap saja mau tak mau saya memikirkan hal di atas. Agak nggak nyambung memang, pikiran saya ini...

Melaui bukunya ini, Pram menceritakan bagaimana proses pembuatan jalan raya dari Anyer ke Panarukan dengan panjang mencapai 1000 km, hanya dalam setahun saja. Semuanya tentu saja berkat yang mulia Mr. Herman Willem Daendels, Sang Tuan Besar Guntur, wong londo bertangan besi yang kejam setengah mati, yang memerintahkan pembangunan jalan itu untuk menghindari serangan Inggris dan India yang ingin mengambil alih wilayah Belanda, di tahun 1808.

Lalu, ingatan saya pun melayang ke kelas-kelas sejarah ketika saya masih imut-imut dulu. Tentu kita semua, anak-anak yang bersekolah di Indonesia, sudah hapal betul jika ditanya siapa pembuat jalan terpanjang dari Anyer ke Panarukan. Atau jika terdengar nama Daendels, yang terbayang tentunya adalah jalan itu. Tapi, berapa banyak dari kita yang tahu seberapa panjangnya jalan itu, berapa banyak tenaga kerja yang digunakan, dan berapa banyak korban yang harus jatuh akibat pembuatan jalan itu? Saya pikir tidak banyak yang tahu. Setidaknya, ketika saya masih imut-imut dulu, saya benar-benar nggak ada gambaran kalo Anyer-Panarukan itu ternyata nggak jauh tapi jjjaaauuuuhhh buannggeeettttt. Yah, mungkin kesalahan memang bukan pada guru dan buku sejarah, tapi pada saya aja yang mungkin, ini mungkin lho, nggak nyimak pelajaran di kelas. Tapi, dengan bangga saya mengatakan kalau sejak dulu saya sudah menyimpan ketertarikan pada sejarah, hingga ketika masih imut-imut dulu (jangan eneg ya.. xp) saya sering tuh baca buku pelajaran sejarah kayak lagi baca buku cerita aja. Soalnya, emang bener buku cerita juga, sih....

"Jasmerah! Jangan sekali-sekali melupakan sejarah!"

Itulah yang dikatakan Bung Karno dulu. Kata-kata yang sederhana, tapi sulit dipraktikkan. Kenyataannya, bangsa kita saat ini bukan hanya melupakan sejarah, tapi juga mengaburkan sejarah. Dan membaca buku Pram ini semakin meyakinkan saya kalau banyak sekali fakta yang ditutup-tutupi dari negeri ini.... Saya seolah melihat sisi baru dari bangsa ini, yang nggak saya kenali sebelumnya...

Sejarah itu milik penguasa!

Seru teman saya, mahasiswa program studi sejarah di kampus sore itu. Saat itu saya yang masih imut-imut (ya, dibandingin sama temen-temen saya di prodi sejarah yang pikirannya udah pada ribet... xp) sebenarnya agak nggak terima. Bagaimana mungkin sejarah yang saya ketahui selama ini, banyak yang di antaranya hanya merupakan rekaan dari rezim yang bersangkutan saja? Lalu, dimana kebenaran hakiki itu berada?

Jawaban itu seolah dipaparkan satu per satu oleh Pram di hadapan saya melalui buku kecilnya ini. Saya yang dulu terlalu naif, kini sadar sepenuhnya, kalau sejarah memang milik orang yang berkuasa. Mereka akan memilih sendiri mana yang boleh diceritakan dan mana yang harus disimpan rapat-rapat, bahkan kalau perlu dimusnahkan. Nggak hanya di negara ini, tapi juga di berbagai tempat di belahan dunia. Selama membaca buku ini, tak bisa dihindarkan, kalau saya memiliki banyak pertanyaan serta perasaan yang berkecamuk di dalam diri saya....

Mengapa baru kali ini saya tahu bahwa pernah ada genosida di Indonesia? Mengapa warga dunia tampak begitu peduli dengan genosida di Jerman oleh Hitler itu, genosida di Vietnam, di Afrika, tapi kenapa genosida di nusantara tak pernah terekspos sebelumnya? Berapa banyak warga pribumi yang tewas karena tingkah polah para penjajah? Ratusan ribu, jutaan, puluhan juta? Jika Daendels meminta dikirimkan 1.000 pekerja setiap harinya kepada penguasa pribumi dan hanya sedikit dari mereka yang selamat, berapa jumlah pekerja pribumi yang dibutuhkan selama setahun? Berapa orang dari mereka yang selamat, jika pemandangan tubuh manusia bergeletakan tanpa nyawa di suatu desa, tanpa ada yang sanggup menyolatkan dan menguburkan (mengingat itu fardhu kifayah bagi Muslim), menjadi pemandangan yang biasa?

Berapakah jumlah rakyat kecil Pribumi yang tewas, baik di Bandaneira, proyek Jalan Raya Pos, dan Cultuurstelsel? Yang di Bandaneira tak pernah disebutkan angka. Yang di Jalan Raya Pos, menurut sumber Inggris hanya berapa tahun setelah kejadian; 12.000. Yang di Grobogan 3.000 sementara ada yang menyebut 5.000. Tak pernah ada komisi resmi yang menyelidiki. Nyawa rakyat kecil Pribumi nampaknya hanya baik jadi sumber kebesaran barat. (Hal. 22)


Semuanya pakai ilmu kirologi. Kira-kira saja. Yang meninggal selama pembuatan Jalan Raya Pos kira-kira 12.000. Yang meninggal di Maluku, kira-kira 40.000. Yang meninggal di Kalimantan akibat dibantai Jepang, nggak ada datanya, dan nggak ada yang berusaha untuk mencari datanya. Ya memang, rakyat kecil itu nggak ada artinya. Kalau mereka mati, masih ada banyak yang bisa menggantikan. Toh salah satu anugerah bumi nusantara ini, selain tanahnya yang subur, rakyatnya juga melimpah ruah. Jadi, untuk apa merepotkan diri dengan kejadian yang sudah lama terjadi. Toh, sekarang masih banyak hal yang perlu dipikirkan, bukan?

Kenapa orang yang mengaku dirinya sebagai penganut "Kebebasan, Persamaan, dan Persaudaraan" itu justru menjadi orang yang paling bertindak kejam kepada manusia? Apa hanya karena warna kulit kami yang berbeda? Bahasa kami yang berbeda? Budaya kami yang berbeda? Inikah potret kebebasan dan kemerdekaan yang begitu diagung-agungkan oleh Barat itu?

Sejujurnya saya memang menganggap bahwa hasil pemikiran Barat, yang dikagumi banyak orang itu, semuanya omong kosong belaka. Mereka menawarkan kebebasan, tapi siapa coba yang dulu berlayar dengan kapal dan persenjataan lengkap (padahal ngakunya pedagang) dan mengusir kaum pribumi? Mereka mengagung-agungkan kesetaraan, padahal di Afrika Selatan sekarang inipun, masih kental sekali politik apartheidnya. Ya, nggak usah jauh-jauh juga sih. Ke Papua aja sana, buat tau gimana bedanya antara orang asing dan pribumi? Toh, semua yang mereka ungkapkan semuanya memiliki standar ganda.

“You don't have to burn books to destroy a culture. Just get people to stop reading them.”


Mungkin kata-kata Ray Bradbury di atas cocok untuk mengungkapkan apa yang terjadi di negeri ini saat ini. Belum 100 tahun negara ini merdeka, tapi tampaknya kita telah melupakan semua semangat kepahlawanan yang diwariskan oleh kakek, nenek, dan buyut kita dulu. Kita, saya, terlalu terlena dengan berbagai kemudahan yang ada sekarang, hingga mempelajari sejarah negeri ini telah menjadi prioritas yang kesekian di negeri yang dipenuhi kelabilan dan kegalaluan ini...

Selepas membaca buku ini, mau tak mau saya teringat beberapa orang teman yang sepertinya begitu benci dengan negara ini, hingga kata-kata yang keluar dari mulutnya selalu berupa kata-kata sinis yang menyudutkan negerinya sendiri. Sadarkah mereka kalau tanah yang ditinggali sekarang ini dibayar dari darah orang-orang terdahulu? Sadarkah mereka menghirup udara kebebasan dari negeri yang mereka hina ini? Sadarkah mereka kalau negara barat dengan segala keagungan pemikiran yang mereka kagumi itu dulunya adalah bangsa penindas yang hidup dari darah dan keringat saudara setanah airnya sendiri?? Pernahkah mereka melakukan upaya untuk mengenal negeri ini dengan lebih dekat lagi? Mencari apa yang tersembunyi di dalam tanah dan airnya, mengulik apa yang dulu pernah menjadi kejayaan dan keruntuhan negeri ini?

Indonesia adalah negara tempat saya lahir. Tempat saya hidup, tumbuh, belajar, dan mungkin akan menjadi tempat persemayaman terakhir saya. Indonesia adalah ibu pertiwi, tempat saya pulang. Tempat anak-anak bangsa di bawah NKRI merasakan dan mengambil segala sumber dayanya. Tapi, ternyata masih begitu sedikit hal yang kita ketahui dari negara ini....

Sejujurnya, setelah membaca karya Pram, saya merasa sedang dilucuti. Saya merasa benar-benar bodoh karena nggak tahu apa-apa tentang negara yang sudah saya tinggali sepanjang hidup saya ini. Dan Pram, melalui bukunya ini, seolah bertindak seperti seorang kakek bijaksana yang mengajarkan saya apa yang terjadi di negara ini di zaman penjajahan dulu. Saya diajak berkelana dari Anyer hingga Panarukan. Saya seolah merasakan perang yang dulu berkobar demi mengusir penjajah. Turut merasakan kekesalan ketika ada penguasa pribumi yang memihak mereka demi perutnya sendiri. Merasa marah ketika Daendels dengan kejamnya menyuruh pekerja pribumi untuk membelah gunung hanya dengan peralatan minim, hingga nyawa mereka berterbangan satu per satu tanpa ada harganya (dan memang nggak berharga dari dirinya). Dan merasa bangga ketika pribumi melakukan pemberontakan yang membuat penjajah kalang kabut. Bener, deh. Kalau saya pegang stabilo selama baca buku ini, pasti hanya tersisa sedikit kertas putih di bukunya, karena saya sangat ingin menyerap dan mengingat semua informasi yang ada di sana....

Lalu yang masih menjadi misteri bagi saya adalah, bagaimana bisa Daendels menjadi Gubernur Jenderal pada masa itu?

Ah, ternyata pengetahuan saya memang masih begitu ceteknya....
Profile Image for Nanto.
702 reviews102 followers
September 23, 2009
Hore sudah tamat! Review lengkapnya besok kalo sempet. Yang jelas puas bertraveling bersama Pram. Saya kasih bitang 4 bukan karena buku tuntas mengupas semua yang ada tentang Jalan Raya Pos. Tapi saya puas dengan dongengan yang sarat cerita lokal kota-kota yang dilewati Jalan Raya Pos, sekaligus cerita pribadi Pram ditiap kota itu. Cerita ia "pup" di atas tungku dapur yang disangka jamban. Dibawahnya ada kuali berisi singkong yang ditawarkan oleh lasykar di Cirebon. =))

Kilasanya bisa dilihat dari update saya yang saya catat dari beberapa informasi ringan yang ada dibuku ini. Selain informasi soal Tangerang yang terbilang banyak buat saya yang lama tinggal di Tangerang tapi malah tidak tahu. Termasuk Tangerang yang tanahnya banyak dikuasai oleh tuan tanah sehingga menimbulkan budaya tanding dari kalangan jawara. (Hiks! Ingat rumah tua yang hilang tak berbekas jadi restoran cepat saji).

Salah satu kutipan favorit saya adalah yang ini:

"Penyakit puasdiri bangsa Indonesia sebagai bangsa yang hebat di muka bumi sudah terlalu banyak mencampakan fakta-fakta historis"
Profile Image for mahatmanto.
545 reviews38 followers
August 13, 2007
ini kisah biasa saja, tapi karena yang berkisah adalah PAT [yang nota bene daerahnya juga terlewati oleh jalan ini] maka perkara pembangunan jalan raya pos ini mendapatkan aksentuasi dramatiknya.
tapi, bagaimana pun, kita perlu bersyukur karena PAT mengisahkannya sedemikian. ada sisi-sisi lain yang mencuat dari sana: pengurbanan luar biasa yang diberikan oleh orang-orang perdesaan jawa. yang dalam versi filmnya hal itu nampak digarisbawahi [sebelum membaca buku ini saya sempat melihat filmnya yang memerlihatkan PAT sendiri bercerita menghantarkan gambar-gambar hidup tentang kota-kota yang dilewati jalan raya pos tadi].
orang-orang perdesaan, dulu dan kini, selalu jadi tumbal bagi ambisi pemimpinnya.
bisakah mereka ditolong?
dan bagaimanakah?
Profile Image for Pris.
445 reviews38 followers
February 7, 2017
Ternyata ini bukan fiksi toh, lebih ke sejarah pembangunan Jalan Raya Pos Daendels diselingi memoar kenangan Pramoedya saat berada di beberapa kota yang dilalui jalan tersebut. Penceritaannya menarik karena cerita kota-kotanya diurutkan dari timur ke barat, membuat saya serasa sedang menelusuri sendiri satu persatu kota tersebut, dari Anyer hingga Panarukan. Sejarah yang diuraikan beragam meski mungkin tidak terlalu detil, dari sejarah kerajaan zaman Hindu-Buddha, Islam, masa kolonial hingga perkembangan terbaru di zaman Orde Baru (buku ini selesai ditulis tahun 1995). Yang tak lupa ditekankan Pram tentu saja bagaimana rakyat kecil selalu menjadi korban, dalam genosida langsung maupun tak langsung yang pernah terjadi di bumi pertiwi ini, termasuk akibat pembangunan jalan melalui sistem kerja rodi hingga memakan korban jiwa ribuan orang (angka pastinya tak pernah diselidiki).
Profile Image for Zharif Zainuddin.
Author 3 books32 followers
September 30, 2016
Buku ini agak berbeda dengan buku-buku penulisan Pram yang pernah saya baca. Membaca buku ini seperti mengenali sejarah Indonesia melalui kisah pembinaan sebuah jalan sepanjang 100 kilometer yang menyaksikan genosida atau pembunuhan beramai-ramai ke atas marhaen Indonesia. Sepertimana kata-kata Pram sendiri: ''Kalau yang tewas dari kasta satria mungkin namanya bisa masuk dalam babad. Tetapi bila yang dibantai rakyat kecil, petani, nama mereka akan hapus untuk selama-lamanya''
Profile Image for Guguk.
1,343 reviews81 followers
May 3, 2018
Aku sudah lupa apa antisipasi awalku sebelum membaca buku ini ^^; //sakinglamanyabaca
Yang jelas, kenyataannya berbeda.

Di buku ini penulis membawa pembacanya dari kota ke kota yang dilalui jalan bersejarah itu, kadang membahas tentang Daendels, kadang berkisah tentang sejarah kota tersebut, ditambahkan pula (bila ada) pengalaman pribadi penulis saat berkunjung ke sana.

Bener-bener bikin keinget guru dulu (di SD, SMP, sampai SMA pun ada saja satu guru yang seperti ini ^^), yang ketika masih ada waktu sedikit sebelum bel bunyi, beliau menyempatkan bercerita tentang masa lalu dan dunia yang 'ndak kami kenal, diiringi celetukan murid iseng dan tawa menggelegar kami semua. Saat-saat yang menyenangkan~

Membaca buku ini -- tanpa bisa nyeletuk, kalau ada yang lucu pun ketawa-ketawa sendiri -- yang dilakukan pembaca setelah 'tertawa di satu kota' itu paling-paling jatuh tertidur~ (^///^) //pantesanbacanyalama
Profile Image for Evi Rezeki.
Author 7 books34 followers
May 21, 2017
Sudah sejak di bangku sekolah saya tertarik dengan sosok Daendels tapi terlupakan karena berbagai hal. Hingga dua tahun ini, sosok Mas Galak kembali menghantui saya. Akhirnya bertemulah saya dengan buku Pram ini.

Saya pikir, saya akan menemukan kisah pembangunan setiap jengkal jalan raya pos ternyata Pram tidak membahas semuanya. Barangkali karena keterbatasan data. Buku ini kaya akan sejarah baik itu tentang Mas Guntur maupun sejarah setiap daerah yang dilewati jalan raya pos. Ada kata-kata yang asing dan saya cari di KBBI tidak ketemu. Mungkin itu istilah lama atau istilah khusus yang dibuat Pram. Membaca buku ini seperti menorehkan luka di hati saya. Betapa bangsa Indonesia adalah bangsa budak seperti ucapan Pram. Jika beliau masih hidup, saya ingin sekali bertanya, bagaimana kita bisa keluar dari perbudakan ini?

Profile Image for an.
764 reviews22 followers
June 23, 2010
menjelajah jawa dalam 128 halaman. mengulang sejarah lebih dari 3 abad yang lalu.

membaca beberapa lembar halaman awal berasa ini adalah buku sejarah, dan langsung lompat ke cover belakang. ternyata memang tidak ada keterangan 'novel' di atas ISBN. ya sudah, memang bukan fiksi ternyata, tapi rekaman sejarah. peristiwa yang banyak diabaikan orang bahkan tidak ada dokumentasi yang jelas.

saat itu mungkin belum ada yang disebut bangsa indonesia, namun jawa telah ada beserta orang-orang na, apalagi nusantara. dan kebiasaan diperintah oleh bangsa-bangsa lain telah ada bahkan mengakar dimulai.

...kita adalah bangsa yang kaya tapi lemah, bengsa yang sejak lama bermental diperintah oleh bangsa-bangsa lain, bangsa yang penguasanya lebih asyik memupuk-mupuk ambisi berkuasa daripada menggerai kesejahteraan bagi warganya

sungguh tepat kalimat tersebut untuk menggambarkan bangsa indonesia. tapi benarkah sependek itu bangsa indonesia digambarkan? bagaimana dengan nasib para petani dan dan orang-orang rendahan lain yang nama na tak pernah dikenal apalagi disebut dalam sejarah.

rindu nama karyoreja, parptoprawira, margono, djedal siswapranata (maklum darah jawa na kental) yang sekarang banyak digantikan albert, david, thomas dan nama-nama lain yang dianggap lebih elite. apakah nama-nama bercetak miring akan tetap ada atau hanya (jika beruntung) dapat disebut dalam suatu naskah sejarah, ntah sebagai apa.

kembali ke isi buku, beberapa halaman awal memang berasa seperti membaca buku sejarah, tapi bertahanlah karena mulai ke belakang, pembaca mulai diajak mengenal indonesia (terutama jawa) lebih dalam lagi. bukan hanya bercerita tentang kekejamam daendels selama 1 tahum masa pembuatan jalan anyer-panarukan, tapi juga sejarah-sejarah lain yang berkaitan dengan peristiwa ini (baca genosida) yang terjadi tidak hanya di jawa tetapi juga kalimantan dan sulawesi. sayang untuk keterangan kalimantan dan sulawesi penulis kurang memiliki sumber yang lengkap sehingga penjelasan na diulang-ulang (halaman 22 dan 72). penjelasan yang ada sesudah na tidak menambah penjelasan yang sudah ada tetapi mengulang na.

bagian tersebut bukanlah sandungan untuk melanjutkan kisah ini. kisah dari kota ke kota yang dilalui jalan raya pos, sejarah na dan sejarah lain yang pernah ada di sana, baik yang ada maupun yang tidak ada dalam buku teks sejarah sekolah. memang pembangunan (perbaikan dan pelebaran) jalan terjadi 1808. namun dalam mengkisahkan kota-kota yang dilalui na tidak hanya berkutat pada tahun itu saja, bahkan bisa sampai 300 tahun sebelum na. saat sebuah kota masih merupakan kerajaan hindu ataupun setelah dikuasai portugis. lagi-lagi penduduk yang ada bermental diperintah oleh pendatang. ada pula untuk kota-kota yang pernah disinggahi na, pram mengemukakan opini pribadi atau memori tentang kota tersebut. dirangkai satu per satu sepeti merangkai satu per satu kota yang dilalui jalan raya pos, anyer panarukan. mengembalikan kejayaan masa lalu, romantisme kota-kota sejarah, dan...

saya tidak pernah berjalan di atas bumi panarukan, kata pram. begitu pula rhe, belum pernah lebih tepat na. ada yang mau kesana?

nb: sebelum na, ada yang tau lagu panon hideung?
Profile Image for Lutfi Retno.
Author 2 books14 followers
November 7, 2007
Isinya agak beda sama yang aku harapkan. Awalnya aku mikir ini buku sejarah tentang pembuatan Jalan Daendles. Ternyata engga sepenuhnya benar. Buku ini lebih banyak bercerita tentang kejadian sejarah di kota-kota yang dilewati sama jalan sepanjang 1.159 km ini. Juga pengalaman pribadi Pram saat datang ke kota-kota di sepanjang jalan ini. Ada banyak cerita mulai dari jaman VOC sampai Orde Baru yang sama sekali nggak ada hubungannya sama pembuatan jalan pos masuk ke sini. Buku ini menarik, sayang kronologi waktunya loncat-loncat. Pram sering cerita tentang “saat ini” tanpa menyebut waktu kapan. Di buku ini nggak ada pengantar kapan buku itu ditulis. Trus Pram juga nggak nyebut sumber saat dia cerita tentang satu hal. Yang ada Cuma sumber bahan di bagian belakang buku.
Aku masih penasaran sama kenapa kok Bangsa Indonesia mau-maunya kerja paksa untuk bikin jalan ini? Di buku ini Cuma disebut klo Pemerintah Belanda menanggung biaya pembuatan dari ruas Karangsembung-Bogor. Sisanya, yang jauh lebih panjang, ditanggung oleh bupati se-Jawa dengan kerja paksa penduduk. Trus aku juga nggak nemu sejarah tentang kenapa jalan ini dinamakan Jalan Pos.

Hal paling menarik di buku ini (menurutku juga paling menyedihkan) adalah kutipan Pram di bagian sampul dan pengantar. Dia bilang begini:
“Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain.”

Ngenes banget ya? Padahal aku percaya kalo Tuhan nggak akan mengubah nasib suatu kaum kalau kaum itu tidak mau mengubah sikap mentalnya. Selama manusia Indonesia masih beranggapan dirinya budak, selamanya dia akan jadi budak.

Profile Image for Adriana.
68 reviews12 followers
April 26, 2012
Buku karya Pramoedya Ananta Toer ini menyingkap tentang pembangunan Jalan Raya Pos atau lebih dikenali dengan Jalan Deandels, iaitu jalan raya sepanjang 1000 kilometer sepanjang utara pulau Jawa, dari Anyer hingga ke Panarukan. Dalam buku ini Pram mengungkap cerita-cerita disebalik setiap daerah yang dilalui Jalan Deandels.

Jalan raya ini dibangunkan pada tahun 1808 dalam masa setahun sahaja oleh Deandels, iaitu Guberbur Jenderal Hindia Belanda semasa awal kedatangannya. Beliau terkenal sebagai seorang yang bengis, kejam dan tidak ada tolak ansur. Dan dari situ bermulalah penderitaan dan kesengsaraan yang dialami penduduk Indonesia. Semasa kekuasaannya perbudakan telah dibiarkan terus berjalan, kerja tanam paksa juga ditambah dan korupsi terus menjadi-jadi.

Penduduk dikerah dalam pembinaan Jalan Raya Pos, dan hasilnya berpuluh ribu rakyat meninggal sepanjang tempoh pembinaan ini kerana kelaparan, seksaan dan penyakit. Namun begitu kematian ini tidak pernah dicatatkan memandangkan golongan bawahan ini dianggap tidak berkepentingan. Hasil kerja tanam-paksa juga tidak pernah dinikmati oleh rakyat. Hanya 1/14 dari hasil tanaman ini yang dinikmati rakyat sekeluarga manakala 13/14 lagi menjadi milik kerajaan penjajah. Akibat kelaparan dan malaria, mayat-mayat bergelimpangan dijalanan namun pembinaan Jalan Raya Pos dan kerja tanam-paksa terus dijalankan.

Dalam buku ini dapat dilihat, sekalipun kita sebagai sebuah negara yang kaya dengan segala hasil bumi, namun kita yang sebenarnya memiliki kekayaan itu sering tertindas dan melarat.

http://jiwarasagelora.blogspot.com/20...
Profile Image for winda.
357 reviews14 followers
August 16, 2013
" Untuk berhasilnya proyek pembangunan jalannya, Daendles tidak bergeming melihat ribuan jiwa Pribumi melayang. Sekali lagi laporan orang Inggris pada 1815 itu; seluruh Jalan Raya Pos itu korban tewas diperkirakan sejumlah 12.000 orang. Jadi Marsekal Gubernur Jenderal itu meneruskan genosida tak langsung itu. Demi pembangunan. Dan yang tewas tidak akan pernah melihat, jangankan menikmati, hasil cucuran keringatnya sendiri."

Pramoedya menggambarkan jalan raya Daendles dari Anyer sampai Panarukan dari sejarahnya, deskripsi jalan atau daerah yang dilintasi jalan tersebut juga pengalaman-pengalamannya ketika singgah di daerah tersebut.

Mungkin saya pernah melewati jalan-jalan yang dibangun oleh Daendles, hasil tetesan keringat dan darah para pekerja paksa. Namun tak pernah terlintas untuk mengkorelasikannya dengan sejarah jalan tersebut. Setelah membaca buku ini jadi timbul keinginan untuk menapak tilas jalur jalan raya pos: Anyer-Cilegon-Banten-Serang-Tangerang-Batavia-Master Cornelis/ Jatinegara-Depok-Buitenzorg/Bogor-Priangan-Cianjur-Cimahi-Bandung-Sumedang-Karangsembung-Cirebon-Losari-Brebes-Tegal-Pekalongan-Batang-Weleri-Kendal-Semarang-Demak-Kudus-Pati-Juwana-Rembang-Tuban-Gresik-Surabaya-Wonokromo-Sidoarjo-Porong-Bangil-Pasuruan-Probolinggo-Krakasaan-Besuki-Panarukan.
Profile Image for Farah Fitria Sari.
228 reviews10 followers
June 24, 2016
Wow.

Buku ini rapi banget. Informasi/pelajaran Sejarah pra-kolonial, kolonial, dan post-kolonial tiap kota yang dilewati Jalan Raya Pos hampir semuanya dibahas, ngejawab pertanyaan mengenai asal mula tempat itu dan peristiwa apa aja yang pernah terjadi di tempat itu yang berhubungan dengan pembuatan jalan ini, sambil sesekali Pak Pram nambahin pengalamannya. Pak Pram ngulik bahan buku ini pasti nggak sebentar. Nggak jarang gue dibuat ternganga karena penjelasannya masuk akal dan mind-blowing sampe perspektif gue akan suatu kota berubah (sangat) drastis. Gue jadi pengen ke kota-kotanya (lagi) dan ngeliat sendiri bukti peninggalan sejarahnya.

Buku ini bikin gemes. Di sini juga ditulis tentang etnis-etnis yang pernah ada di sepanjang jalan, gimana itu ngefek ke pembawaan kota-kotanya, dan gue juga baru tau tanah Jawa ternyata udah jadi melting pot sejak sebelum yang pertama kali gue kira (terima kasih kepada pengetahuan gue yang sempit). Etnis Eropa, Tionghoa, pribumi, Arab, India, bahkan Jepang (jauh sebelum masuk tahun 1942) disinggung di sini.

Gue rasa buku ini pantes dibilang life-changing. Rating sesungguhnya 6/5.
Profile Image for Darnia.
769 reviews113 followers
February 7, 2015
Buku ini semacam napak tilas perjalanan Pram (hanya ditunjukkan dgn kata ganti "aku") menelusuri Jalan yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Daendels selama pemerintahannya.

Daendels memang terkenal dan gw sendiri mengenalnya dri buku sejarah :D Tapi ternyata dibalik "prestasi"-nya tersebut, ada berjuta rakyat yang "dikorbankan" untuk pembangunan jalan tersebut.

Jalan tersebut dikenal dgn nama Jalan Pos atau jalan Daendels. Membelah pulau Jawa dari Jawa Barat hingga ke ujung Jawa Timur (bahkan Lenteng Agung juga masuk jalan ini)

Banyak hal yg diungkap Pram dalam tulisannya kali ini. Termasuk kanibalisme di Bangil (dimana kota tersebut adalah kota kelahiran gw) *ngok*
Profile Image for Sandys Ramadhan.
114 reviews
August 27, 2020
Buku ini hanya membahas sedikit tentang sejarah jalan raya pos, malahan buku ini seperti cerita perjalanan yang dikemas dengan begitu ringkas. Di setiap kota yang dilalui jalan raya ini memiliki hasil alam yang sangat melimpah seperti padi, kopi tebu. Kemudian juga memiliki hambatan yang menyusahkan apabila bertemu dengan gunung karang yang susah ditembus, rawa-rawa berlumpur dan juga penyakit malaria. Maka tentu banyak sekali rakyat pribumi yang jadi korbannya.

Bagian yang saya suka adalah ketika sampai di provinsi jawa tengah, menurut saya ceritanya menarik apalagi soal penamaan kota itu unik sih.
Profile Image for Fahmi Arfiandi.
31 reviews2 followers
December 29, 2009
de groote post weg adalah proyek maha akbar dari gubernur jenderal bertangan besi,DAENDELS.cita2nya adalah menyerupai jalan amsterdam paris di eropa.tapi tentunya banyak cerita dalam perjalanan proyek maha akbar ini dengan mengorbankan rakyat indonesia yang nota bene merupakan jajahan perancis pada saat itu dikarenakan belanda kalah perang oleh perancis...secara keseluruhan novel ini sangat menarik karena mengandung muatan historis dari kota2 yang dilalui jalan raya pos yang terbentang dari anyer hingga panarukan...u should read this.PRAM'S KICK ASS!!!
Profile Image for Yudhi Herwibowo.
Author 44 books61 followers
February 12, 2013
walau kemasannya seperti novel, buku ini merupakan catatan sejarah. cukup detail dan cukup membuat tercengang. kisah pembangunan jalan raya pos atau dikenal jalan daendels yang tak terekpos besar-besaran, ternyata sudah memakan korban ribuan jiwa manusia.
walau saya membaca dengan perasaan datar, karena penyajian data-data sejarah yang banyak sekali, tapi saya merasa cukup bisa mengikutinya. eyang pram tetap meninggalkan jejaknya dengan sesekali memasukkan dirinya, tokoh aku, dalam narasi. itu yang membuat saya seperti terus merasa didongengi... :)
Profile Image for Probo Darono Yakti.
84 reviews5 followers
April 20, 2015
Menceritakan garis besar tentang bagaimana jalan raya fenomenal proyek dari Wilhelm Daendels, seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda dibawah pendudukan Perancis. Menggambarkan betapa ambisiusnya orang ini, bagaimana tekad kuatnya untuk mempersambungkan pulau Jawa dari arsenal-arsenal yang telah ditempatkan di kota-kota besar di pantai utara seperti Baatavia, Semarang dan Surabaya. Serta sebagai akses utama pasukan yang sudah disebar pula di benteng-benteng pertahanan Hindia Belanda dalam rangka menyaingi hegemoni Inggris terutama angkatan lautnya.
Profile Image for Hamdanil.
143 reviews12 followers
August 6, 2016
Buku ini berisikan kumpulan anekdot sejarah dan pribadi penulis menganai kota-kota di sepanjang Jalan Raya Pos, bukan buku sejarah umum mengenai Jalan Raya Pos. Menarik juga membaca sudut pandang penulis mengenai sejarah, terutama sejarah kolonial, orde lama dan orde baru. Namun fakta-fakta sejarahnya tidak meyakinkan, jarang mencantumkan sumber dan sering berdasarkan mulut ke mulut saja. Secara umum bukunya kurang memuaskan menurut saya.
Profile Image for Meiza.
31 reviews12 followers
October 29, 2012
Seperti membaca sejarah. Melihat kebelakang, mengetahui lebih banyak mengenai Indonesia, kejamnya masa penjajahan, dan genosida secara tidak langsung dalam pembuatan 100 km jalan dari Anyer - Panarukan.
Profile Image for Mahe.
12 reviews3 followers
April 10, 2008
Bangsa kita memang bangsa pelupa. Buku ini mengingatkan kita lagi. Orang di dunia ribut-ribut soal holocaust. Kita ikut-ikutan. Lupa apa yg menimpa saudara di negeri sendiri...
Profile Image for Irwan Sukma.
10 reviews3 followers
July 20, 2015


“Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak di antara bangsa-bangsa lain” (Pramoedya Ananta Toer).

Kata itu adalah pembuka saat awal buku Pram yang satu ini. Jalan Raya Pos, Jalan Raya Deandels merupakan jalan yang membentang sepanjang 1.000 kliometer dari Anyer sampai Panarukan. Jalan itu dibangun atau lebih tepatnya dilebarkan di bawah perintah Maarschalk en Gouverner Generaal, Mr. Herman Willem Deandels. Yang selesai pada tahun 1809. Lewat buku ini Pram menyeritakan sisi kejam dari pembangunan jalan yang beraspalkan darah dan air mata dari penduduk republik ini.

Deandels ditunjuk menjadi Gubernur Jendral Hindia Belanda taun 1808. Dia mendarat di Anyer pada 5 Januari 1808. Untuk jamannya , “membangun” jalan Raya sepanjang itu dalam setahun saja (1808) sungguh prestasi besar, karena itu juga namanya mendunia. Deandels merupakan sosok yang kontroversial. Ia di gambarkan sebagai soerang yang berhati baja sekaligus berkepala angin, tak punya kekuatan untuk menghadapi, baik atau buruk, benar atau salah, dan langsung mengancam dengan bentakan akan menembak mati lawan berargumentasi. Penulis Belanda “Geillustreerde Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie” sendiri menyatakan, Deandels seorang despot yang kejam tidak taktis, dan tak ada bakat diplomat, karenanya tidak cocok bergaul dengan raja-raja pribumi.

Daendels hanya memerintahkan untuk melebarkan jalan menjadi 7 meter. Semua batu peninggian dan pengerasan, rakyat kecil dan para petani yang harus setor serta tanpa imbalan. Atau dengan imbalan, hanya saja orang-orang atasan tertentu yang menerimanya. Bukan rahasia lagi, jaman kompeni adalah jaman maraknya korupsi. Walaupun jaman orde lama, baru maupun reformasi masih dilestarikan korupsi sebagai warisan bangsa.

Ada tindakan Deandels yang menjadi sejarah –semua tindakanya sepertinya adalah sejarah – yaitu ketika dalam perjalanan inspeksi pembangunan Jalan Raya Pos ia mengucapkan kata-kata sebagai berikut : “Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd” (Usahakan ketika aku datang lagi kesini telah di bangun sebuah kota). Lalu ia menusukan tongkat ke tanah. Tempat menusukan tongkat itulah yang kemudian menjadi titik nol kilometer kota Bandung.
Kebengisan Deandels dalam memerintah karena dia adalah satu-satunya dari 71 Gubernur Jendral yang diterjunkan langsung dari Belanda. Gubernur Jendral biasanya diangkat diantara orang Belanda yang ada di Hindia Belanda. Disamping memenimbulkan kebencian pada rakyat Indonesia, tingkah Deandels telah menyebabkan banyak pengaduan kepada Louis napoleon –raja Belanda, adik dari Napoleon Bonaparte yang waktu itu menduduki Belanda. Sehingga pada 1811 ia di panggil pulang dan diganti J.W. Jenssens. Berakhirlah karirnya sebagi gubernur jendral Hindia Belanda.

Jalan Raya Pos, Jalan Raya Deandels atau kerap dikenal dengan nama jalan Anyer-Panarukan. Sesuai dengan namanya awal dari pembangunan jalan ini mulai dari Anyer. Anyer merupakan tempat pertama kali Deandels menginjakan kaki di bumi Jawa. Tetapi Anyer yang didarati Deandels bukan Anyer yang sekarang. Pantai dan beberapa desanya telah habis disapu oleh letusan gunung Krakatau tahun 1883.
Setelah itu jalan Raya Pos bergerak 19 kilometer ke arah barat yaitu kota Cilegon, kemudian menyusuri kota Banten, selanjutnya membelok ke selatan menuju Serang. Di kota Serang ini pengarang Belanda Multatuli mendapat inspirasi untuk memebuat karyanya yaitu Max Havelaar, yang memberikan kesaksian betapa rakyat teraniaya oleh penjajah Belanda.
Kemudian di teruskan melalui kota Tanggerang dan dua puluh kilo meter menuju tanah betawi –Batavia. Di Batavia juga di ceritakan betapa terkejutnya Inggris bahwa rakyat hanya menikmati seperempat belas dari hasil pekerjaan mereka. Tiga belas perempatbelas adalah untuk membiayai tata susun feodal pribumi sendiri, kekuasaan kolonial dan kemakmuran serta kesejahteraan Belanda, Eropa. Lantas bagaimana petani Jawa bisa bertahan, orang Inggris menJawab sendiri : “Karena Kesuburan Tanahnya.”
Beranjak dari Batavia lanjut menuju kota Depok melintasi Lenteng Agung dan Pondok Cina. Dari namanya daerah ini merupakan tempat kediaman etnis Tionghoa. Di masa VOC, dari surat wasiat tanggal 13 maret 1714 tanah di berikan kepada budak belian yang beragama Kristen dan keturunanya. Salah satu syaratnya dalah bahwa oarng Tionghoa tidak boleh tinggal disitu. Namun sekarang Depok menjadi kota Universitas. Saya termasuk “warga” didalamnya, walaupun menurut saya Depok masih banyak dihuni oleh etnis Tionghoa. Karena mahasiswa di kota Depok banyak juga yang beretnis Tionghoa dan dengan Indeks Prestasi (IP) yang luar biasa –cumlaude— atau sering di sebut IP “dewa”. Pribumi mau tak mau harus mengakui dan banyak belajar dari ketekunan etnis tersebut.

Kemudian dilanjutkan menuju Buitenzorg –Bogor—, tejemahan dalam bahasa Prancis, Sans Souchi, yang berarti tanpa beban pikiran, santai saja. Meninggalkan Bogor menuju Priangan si Jelita. Priangan atau Parahyangan tempat para hyang (=leluhur atau dewa) bersemayam. Kemudian menjurus ke tenggara sampai ke Ciawi di kaki gunung Pangrango. Hanya menuruni beberapa kilometer menuruni lereng gunung Gede dan sampailah di Cianjur,Cimahi, Bandung Parijs Van Java ibu kota Priangan, kemudian menuju kota tahu, Sumedang, dan dilanjutkan ke kota Karang Sembung.
Dari Karang Sembung jalan Raya Pos menuju kota pelabuhan Cirebon. Kemudian secara berturut-turut melintasi kota Losari, Brebes, dan Tegal. Konon orang Tionghoa sudah bermukim di kota Tegal sejak sebelum abad 10. Bisa dipercaya karena Posisi Tegal sebagai gudang beras, dan sampai bangkrutnya VOC menjadi Hindia Belanda.
Enam puluh kilometer ke timur menuju kota Pekalongan kemudian menuju kota Batang, Weleri, Kendal, dan selanjutnya menuju kota Semarang, ibu kota Jawa Tengah.
Meninggalkan Semarang, sekitar dua puluh delapan kilometer sedikit serong ke timur laut menuju kota Demak –kota yang tekenal dengan mesjid Agung Demak. Jalan Raya Pos kemudian menyusuri kota Kudus yang merupakan mata rantai dari penyebaran agama Islam yang juga merupakan industri rokok kretek.
Dari Kudus kemudian menuju kota Pati yang didalam wilayah kabupaten juga terdapat makam yang melambangkan kekacauan berabad dalam alam pikiran. Makam di Tlogowungu itu dianggap bukan saja keramat juga sebagai makam Pandu Dewanta, tokoh pertama Pandawa Lima dari sastra Hindu Mahabaratha. Selanjutnya menuju kota Juwana dan kota perbatasan Jawa Tengan dan Jawa Timur yaitu Rembang.

Memasuki provinsi Jawa Timur masuk ke kota Tuban, kemudian masuk ke kota Gresik. Di sini juga cukup banyak peninggalan lama seperti jangkar tua bermata 4 dengan panjang 3,5 meter. Dan tentu saja makam-makam lama seperti makam Maulana Malik Ibrahim yang dianggap sebagi wali pertama semasa tahap pertama penyebaran Islam di Jawa. Kemudian jalan Raya Pos menuju ke kota Surabaya. Di kota ini Pram untuk pertama kali melihat dan mengenal kata “tawuran”.
Berlanjut beberapa kilometer saja ke selatan sampailah ke kota Wonokromo dan delapan belas kilometer kemudian sampai ke kota Sidoarjo. Selajutnya sepuluh kilometer kemudian sampai ke pusat lumpur di kota Porong. Kemudian jalan Raya Pos melintasi kota Bangil, lanjut kota asal Inul Daratista –Pasuruan, Probolinggo, Kraksaan, Besuki, dan dua puluh kilometer menyusur pantai timur laut sampailah ke terminal jalan Raya Pos yaitu Panarukan, yang semasa VOC juga merupakan benteng kompeni sebagai terjemahan keadaan siap perang.
Diakhir bukunya Pram mengatakan “saya tidak pernah berjalan di atas bumu Panarukan….”

Jejeran kota-kota dari Anyer sampai Panarukan merupakan sebuah jejeran yang sungguh sangat membosankan jika hanya di tilik dari sejarah dan khas kota tersebut. Namun, Pram bisa menyiasati agar sejarah yang membosankan dan penuh kejumudan menjadi mengasikan dan terkadang membuat tertawa. Karena di buku ini penulis melibatkan diri baik dalam pengalaman maupun dalam argumentasi.
Misalnya ketika masuk ke penjelasan kota Cirebon Pram menceritakn sebuah kenangan yang menurutnya tidak akan mungkin terulang kembali. Di pertengahan 1946, pangkat Pram sudah melompat menjadi letnan dua. Singkat cerita Pram dari Cirebon ingin ke Tegal menuju tempat kopral yang katanya punya saudari perempuan. Celakanya mereka tak menemukan rumah kopral tersebut. Ajaib..!! Dan alangkah kagetnya Pram ketika selesai makan di sebuah hotel besar uang di sakunya lenyap. Kaburlah mereka berdua pada pukul 3 pagi. Karena masih jaman revolusi, suasana malam sangat sepi, namun kemudian mereka sampai ke tempat yang bernama Laskar Rakyat. Tanpa curiga piket setempat menerima mereka, malah menyuguhkan singkong rebus. Pengalaman uniknya sebagai berikut.

“Belum lagi membaringkan badan perutku melintir. Piket menunjukan dimana kamar kecil. Tempat itu gelap tak tembus pandang. Kaki menggeRayangi tahta kakus. Begitu mendapat ketinggian langsung nongkrong. Aneh, barang buangan itu jatuh berbunyi minor. Membersihkan diripun tangan menggeRayangi sumur. Dan waktu membasuh itu korek logam itu jatuh dari kantong celana. Curiga pada suara minor aku kembali ke kakus. Sinar api korek itu? Masyaallah, ternyata yang kuberaki bukan tahta kakus tapi tungku dapur. Dan kotoranku jatuh ke dalam priuk rendah yang masih ada singkong rebus. Celaka, ini bisa jadi tuduhan aku sebagai agen provokator, dan tembak-menembak bisa terjadi dan merembet jadi tembak menembak antara tentara lawan laskar. Kopralku kutarik dari tikar pendopo markas. Sekali lagi kami melarikan diri.” (hal. 79)

Masih banyak lagi pengalaman Pram yang di masukan dalam buku ini. Terdapat pula argumentasi yang menusuk tentang pembuatan jalan 1000 kilometer sepanjang utara pulau Jawa. Menurut Inggris korban dari pembuatan jalan tersebut mencapai 12.000 orang. Yang juga merupakan kuburan terpanjang dalam arti sebenarnya maupun kiasan sebagai bangsa yang besar, luas, kaya, tetapi selalu kalah dalam segala hal.

This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Muhammad.
72 reviews33 followers
February 24, 2013
Selayang Pandang

Herman Willem Daendels. Dia adalah salah satu nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang paling saya ingat sejak bersekolah di bangku SD. Kenapa? Tentu saja karena prestasi dan warisannya yang sangat fenomenal, yaitu jalan raya sepanjang 1.000 km yang membentang dari Anyer sampai Panarukan. Apalagi jalan raya tersebut masih dapat kita telusuri saat ini dan secara tidak resmi dinamakan/dikenal sebagai Jalan Daendels. Tak heran jika Daendels adalah salah satu dari 71 Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang paling mudah "dikenang".

Sayangnya tidak banyak literatur yang membahas detail pembangunan jalan raya yang sangat fenomenal itu. Bahkan mungkin banyak yang tidak menyadari bahwa pembangunan jalan raya tersebut adalah salah satu bentuk genosida paling mengerikan dalam sejarah. Hal itulah yang menyebabkan Pram tergugah untuk menuliskan buku ini. Pram mencoba menjabarkan pada kita sisi kelam dari pembangunan jalan raya tersebut⎯di mana pembangunan tersebut menumpahkan begitu banyak keringat, air mata, dan darah para anak bangsa.

Keinginan Pram untuk menuliskan buku ini sendiri baru terpenuhi di usia senjanya. Buku ini ditulis Pram pada tahun 1995, tapi entah kenapa diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 2005. Meski begitu kita pantas bersyukur bahwa buku ini bisa terbit dan masih bisa kita nikmati sampai saat ini. Selain karena topiknya yang jarang dibahas, buku ini adalah salah satu karya terakhir Pram sepanjang hidupnya.

Ulasan

Judul buku dan sinopsis yang terpampang di kover belakang buku ini membuat saya langsung menaruh ekspektasi tinggi pada buku ini. Dari beberapa karya Pram dan buku tentang Pram yang saya baca, saya jadi tahu seperti apa gaya penulisan Pram dan tendensi tulisan-tulisannya. Dari situ saya membuat perkiraan bahwa buku ini berisi kritik-kritik tajam Pram terhadap proses pembangunan Jalan Daendels. Entah itu dari sisi ekonomi, politik, sosial, maupun kemanusiaan yang selalu menjadi ciri khas Pram dalam karya-karyanya. Dan ekspektasi saya tersebut ternyata terlalu tinggi! Isi buku ini ternyata tidak semenggiurkan yang ditawarkan sinopsis di kover belakang, yang berkata bahwa buku ini adalah sebuah kesaksian tentang peristiwa genosida kemanusiaan.

Meski begitu buku ini masih memiliki daya tarik untuk dibaca karena kritik-kritik tajam ala Pram tetap hadir dalam buku ini. Beberapa fakta sejarah yang mungkin jarang kita dengar juga disajikan oleh Pram secara lugas dalam buku ini. Selain itu, buku ini juga merupakan sebuah memoar karena pada dasarnya menceritakan pengalaman-pengalaman Pram dalam menyusuri jalan raya sepanjang 1.000 km tersebut⎯di mana Pram juga secara lugas menjelaskan bermacam bentang alam di sepanjang jalan tersebut. Sehingga buku ini pun tidak hanya tampil sebagai sebuah memoar dan buku sejarah, melainkan juga sebagai sebuah buku yang sarat akan wawasan geografis.

Buku ini memang berukuran mini untuk ukuran sebuah buku sejarah⎯hanya memiliki ketebalan 148 halaman. Tulisan Pram dalam buku ini hanya sampai pada halaman 128. Sedangkan sisanya adalah tulisan dari Koesalah Soebagyo Toer⎯adik Pram⎯tentang riwayat singkat Daendels. Buku ini juga tidak dibagi-bagi ke dalam beberapa bab, melainkan terbagi ke dalam sub-bab di mana judul setiap sub-bab adalah nama-nama kota yang dilewati jalan raya pos⎯mulai dari Anyer, Cilegon, Banten, Serang, Tangerang, dan seterusnya sampai Panarukan.

Dengan format penulisan seperti itu, Pram menceritakan kesan dan pengalaman pribadinya dalam setiap kota yang pernah disinggahinya sepanjang jalan raya tersebut. Pram juga tidak ketinggalan menjelaskan kondisi dan letak geografis kota-kota tersebut. Kemampuan Pram untuk menceritakan hal tersebut tak ubahnya seperti seorang ahli geografi. Selain itu Pram juga memberi sejarah singkat kota-kota tersebut, mulai dari asal mula nama hingga bagaimana kota tersebut berdiri serta perannya di masa lalu. Misalnya, "Tangerang" sebagai nama tempat adalah ejaan yang salah sebagai hasil warisan Belanda. Sebab pengucapan dan penulisan "Tangerang" yang tepat adalah "Tanggeran". Selain itu, Tangerang di masa lampau ternyata terkenal sebagai produsen kecap kelas wahid dan penghasil kerajinan topi anyaman bambu yang mendunia [halaman 40-41]. Porsi inilah yang sebenarnya lebih mendominasi di buku ini. Pram seakan-akan malah lebih fokus menjabarkan sejarah lokal dan informasi geografis setiap kota.

Lalu, di mana porsi kritik-kritik Pram yang menjadi ciri khasnya?

Meski tidak terakumulasi di satu bagian, Pram masih setia untuk melontarkan kritik-kritik tajam dalam buku ini. Dalam buku ini secara garis besar Pram memberikan kritikan terhadap empat hal, yaitu sosok dan latar belakang Daendels, genosida terhadap orang pribumi, rezim Orde Baru, dan neokolonialisme.

Kritik Pram pada sosok Daendels sendiri dimulai dengan latar belakang Daendels. Perlu diketahui bahwa Daendels bukanlah wakil Kerajaan Belanda "asli" di Hindia Belanda, melainkan wakil Kerajaan Belanda di bawah Kekaisaran Prancis. Sebab pada saat itu Belanda dipimpin oleh Louis Napoleon⎯adik Napoleon Bonaparte⎯yang dijadikan raja di negeri itu oleh kakaknya. Louis Napoleon inilah yang mengutus Daendels ke Hindia Belanda sebagai gubernur jenderal. Bisa dibilang Daendels condong lebih dekat ke pihak Prancis daripada Belanda. Bahkan Daendels sendiri adalah pengagum Napoleon. Karena itulah Daendels ingin merombak Hindia Belanda dengan menerapkan semboyan Revolusi Prancis, yaitu liberte, egalite, fraternite.

Tapi, bagaimana kenyataannya? Nol besar! Pram sendiri sampai mengatakan bahwa Daendels adalah orang yang goblok. Sang gubernur jenderal dinilai Pram sebagai administrtor yang gagal. Kariernya di bidang militer pun tidak meyakinkan. Dalam buku ini Daendels juga digambarkan sebagai orang yang berhati baja dan berkepala angin, dan tak punya kekuatan menghadapi argumentasi⎯bahkan sampai mengancam untuk menembak mati lawannya dalam berargumentasi.

Gambaran sosok Daendels itu membuatnya memerintah Hindia Belanda dengan tangan besi. Puncaknya adalah ketika dia "memaksa" rakyat pribumi untuk membangun jalan raya pos. Tentang pembangunan ini Pram juga menyingkap satu fakta bahwa Daendels hanya membangun sebagian jalan raya pos. Sisanya dia hanya memerintahkan untuk memperbaiki dan melebarkan saja. Dan di sini Pram juga menuding bahwa pemerintah Hindia Belanda untuk kesekian kalinya melakukan genosida terhadap rakyat pribumi lewat praktik pembangunan jalan raya pos ini. Selanjutnya kita juga dapat membaca kritikan Pram terhadap genosida lain yang dilakukan Belanda, seperti yang dilakukan J.P. Coen, Van den Bosch, dan Westerling.

Dalam kritik tersebut Pram juga membawa nama salah satu "musuh" besarnya, yaitu rezim Orde Baru. Di samping genosida yang dilakukan oleh pihak asing tersebut, Pram mengingatkan bahwa genosida terbesar terhadap rakyat pribumi justru dilakukan oleh anak bangsa sendiri. Bahkan genosida itu memberikan angka yang besar, yaitu sekitar lebih satu juta nyawa anak negeri lenyap hanya untuk memuluskan berdirinya sebuah rezim. Tak lupa Pram juga sedikit menceritakan pengalamannya bersama tahanan politik lain di masa Orde Baru yang mendapat perlakuan tidak adil. Dan di bagian lain Pram juga menyinggung bahwa Orde Baru adalah antek neokolonialisme yang menjerat negeri ini.

"... Eropa⎯kemudian meluas menjadi Barat⎯melakukan penjajahan baru atas bangsa-bangsa non-Eropa, non-Barat, melalui neo-kolonialisme: negara-negara non-Barat tetap diperlakukan sebagai perdagangannya, dan kekuasaan setempat diperlakukan sebagai satpam semata untuk menjaga kepentingan pasar mereka. ... Dan dengan kekayaan, kekuatan, dan kemajuannya, mereka menjerat kurbannya dengan hutang luar negeri dan diharapkan sampai dunia kiamat, mungkin juga sampai setelah itu, di akhirat." [halaman 45-46]


"Bukan kebetulan bila negara-negara penjajah atau bekas penjajah di Dunia Utara tidak menyukai Soekarno, apalagi antek-anteknya di dalam negeri Indonesia sendiri, yang hidup dari kesetiaannya pada bekas majikan. Itu sebabnya sampai sekarang pun semua anti-Soekarno digabung jadi satu ikatan masih tetap tanpa arti di hadapan Soekarno, sekali pun berhasil dibikin almarhum sebagai tahanan Orde Baru." [halaman 66-67]


Di samping bahasannya yang serius, Pram ternyata juga mampu menyelipkan hal-hal jenaka dalam buku ini. Ternyata cukup banyak pengalamannya yang menggelikan yang diceritakan dalam buku ini. Bahkan saya sampai dibuat tertawa terpingkal-pingkal oleh salah satu pengalamannya di Cirebon:

"Belum lagi membaringkan badan perutku melintir. Piket menunjukkan tempat kamar kecil. Tempat itu gelap tak tembus pandang. Kaki menggerayangi tahta kakus. Begitu mendapatkan ketinggian langsung nongkrong. Aneh, barang buangan itu jatuh memantulkan bunyi minor. Membersihkan diri pun tangan gerayangan mencari sumur. Dan waktu membasuh itu korek logam itu jatuh dari kantong celana. Curiga pada suara minor aku kembali ke kakus. Sinar api korek itu? Masyaallah, ternyata yang kuberaki bukan tahta kakus tapi tungku dapur. Dan kotoranku jatuh ke dalam periuk rendah yang masih ada sisa singkong rebus." [halaman 79]


Dan satu hal yang membuat saya kurang nyaman membaca buku ini adalah masih banyaknya penggunaan kata-kata yang tidak sesuai kaidah KBBI dan penempatan tanda baca yang kurang tepat. Sebaiknya penerbit melakukan penyuntingan lebih jauh untuk cetakan-cetakan mendatang agar buku ini lebih enak dibaca. Terlepas dari hal itu, buku ini sudah cukup untuk membuat khazanah ilmu sejarah dan geografi kita semakin luas.
Profile Image for Sampaguita Syafrezani.
98 reviews
June 30, 2023
Penuturan Pak Pram dalam Jalan Raya Pos, membawa benak kita ke berabad silam. Tiga ratus hingga empat ratus tahun lalu. Kisah yang diceritakan Pram bukan hanya tentang bagaimana Jalan Raya Pos dibangun, tetapi juga tentang raja dan tokoh penting yang pernah disebutkan dalam buku-buku sejarah yang dipelajari di sekolah.

Dari buku ini saya juga mendapatkan sudut pandang sejarah yang lain. Bagaimana sebuah peristiwa diceritakan kembali, kemudian dimaknakan, sehingga seseorang bisa disebut pahlawan. Namun, dari sudut pandang lain, justru sang tokoh bisa dianggap sebagai pembantai bangsa sendiri. Bagaimana penjajah bukan hanya mereka yang datang dari benua nun jauh di sana, tetapi bangsa kita sendiri. Penikmat hasil bumi dan kekayaan alam adalah mereka yang secara sosial berada di puncak piramida, sementara rakyat jelata hanya mendapatkan sedikit saja (seperempatbelas). Mereka berkontribusi dalam memeras tenaga rakyat, dan seringkali mengabaikan kesejahteraannya. Hingga muncul pemberontakan dimana-mana.

Tentang pembangunan Jalan Raya Pos, pembesar-pembesar pribumi yang mendapatkan tekanan untuk membangun Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan, mengirimkan pekerja paksa demi terlaksananya projek Daendels. Banyak dari rakyat yang dikirim untuk menyongsong ajal, karena wabah penyakit, kelelahan, kelaparan, atau kecelakaan kerja. Ribuan bahkan puluhan ribu nyawa pembangun jalan sepanjang 1.000 km, tak pernah menikmati apa yang pernah dibangunnya. Nama-namanya pun tak pernah tercatat dalam sejarah. Berulang kali dalam buku ini Pram membahas tentang genosida.

Semoga membaca dan memahami bisa menyelamatkan kita dari kedunguan dan kesempitan berpikir. Setiap akal berhak atas kebebasan untuk berpikir. Setiap kisah boleh dituturkan dari sudut pandang yang berbeda.
Profile Image for tianiita.
118 reviews32 followers
October 30, 2018
Banyak sejarah yang belum pernah dipelajari saat bangku sekolah.

"Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain." -Pramoedya Ananta Toer

Ulasan:
Buku 148 halaman ini merupakan non fiksi karya Pramoedya pertama yang saya baca. Mengulas sejarah pembangunan Jalan Raya Pos yang membentang sepanjang Anyer sampai Panarukan yang diprakarsai oleh Gubernur Jenderal Daendels. Setidaknya secara garis besarnya bagi murid sekolah, termasuk saya, fakta tersebut sempat diberikan dalam pelajaran sejarah di sekolah menengah. Dalam buku ini, Pram memaparkan fakta sejarah dan pengalamannya ketika singgah di kota-kota yang dilalui Jalan Raya Pos ini. Pembangunan jalan ini menewaskan ribuan rakyat dengan kerja rodinya dan tanam paksa dibawah pemerintahan Daendels. Bahkan dari buku ini saya jadi tahu asal usul beberapa kota seperti nama kota pada zaman Hindia Belanda yang berbeda dengan saat ini.

Karena dasarnya saya sudah suka dengan gaya tulisan Pram, membaca buku ini seperti ikut berkelana ke masa lalu. Melihat Indonesia jauh sebelum kemerdekaan, bahkan sedikit banyak disinggung pada masa kerajaan Hindu Buddha sudah ada di bumi Nusantara. Penderitaan pribumi yang tiada habis, pemberontakan yang belum tentu berakhir dengan kemenangan, hingga kematian akibat wabah dan kelelahan karena kerja rodi yang tak kunjung selesai. Meskipun begitu, sekelam apapun sejarah yang pernah dialami Indonesia, melalui buku ini setidaknya kita sebagai generasi penerus memiliki gambaran agar tetap berjuang untuk tanah air, salah satunya dengan menjadi rakyat yang cerdas dalam berbangsa dan bernegara.
Profile Image for htanzil.
379 reviews149 followers
May 27, 2009
Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, membentang 1000 km sepanjang utara Pulau Jawa, dari Anyer sampai Panarukan. Dibangun dibawah perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu : Herman Willem Daendels (1762-1818). Ketika baru saja menginjakkan kakinya di Pulau Jawa Daendels berangan untuk membangun jalur transportasi sepanjang pulau Jawa guna mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Angan-angan Daendels untuk membangun jalan yang membentang antara Pantai Anyer hingga Panarukan, direalisasikannya dengan mewajibkan setiap penguasa pribumi lokal untuk memobilisasi rakyat, dengan target pembuatan jalan sekian kilometer. Yang gagal, termasuk para pekerjanya, dibunuh. Kepala mereka digantung di pucuk-pucuk pepohonan di kiri-kanan ruas jalan. Gubernur Jendral Daendels memang menakutkan. Ia kejam, tak kenal ampun. Degan tangan besinya jalan itu diselesaikan hanya dalam waktu setahun saja (1808). Suatu prestasi yang luar biasa pada zamannya. Karena itulah nama Daendels dan Jalan Raya Pos dikenal dan mendunia hingga kini.

Walau Jalan Raya Pos dikenal dan selalu diajarkan di bangku-bangku sekolah namun bisa dikatkan tak ada buku yang secara khusus mengungkap sejarah pembuatan dan sisi-sisi kelam dibalik pembuatan Jalan Raya Pos. Buku terbaru karya Pramoedya Ananta Toer(Pram) ini bisa dikatakan dapat mengisi kekosongan literatur Jalan Raya Pos dalam khazanah buku-buku berlatar belakang sejarah dewasa ini. Walau buku ini bukan merupakan buku sejarah resmi, namun buku yang ditulis Pram dimasa tuanya ini (1995) dapat dijadikan sebuah buku yang mengungkap dan memberi kesaksian tentang peristiwa kemanusiaan yang mengerikan dibalik pembangunan Jalan Raya Pos.


Buku ini ditulis dengan mengalir, tanpa pembagian bab. Pada halaman-halaman awal Pram mengurai awal ketertarikannya pada Jalan Raya Pos yang memakan banyak korban jiwa para pekerja paksa yang ia golongkan sebagai genosida, pembunuhan besar-besaran ia juga menyinggung beberapa genosida yang awalnya dilakukan oleh Jan Pietersz Coen (1621) di Bandaneira, Daendels dengan Jalan Raya Posnya (1808), Cuulturstelsel alias tanam paksa, genosida pada jaman Jepang di Kalimantan, genocida oleh Westerling (1947) hingga genosida terbesar dalam sejarah bangsa Indoenesia di awal-awal pemerintahan Orde Baru. Di halaman-halaman selanjutnya setelah mengurai sejarah tercetusnya ide pembuatan Jalan Raya Pos di benak Daendels Pram membagi bukunya ini berdasarkan kota-kota yang dilewati dan berada disepanjang Jalan Raya Pos. Pram mencatat dan mengurai 39 kota yang berada dalam jalur Jalan Raya Pos, baik kota-kota besar seperti Batavia,Bandung, Semarang, Surabaya, maupun kota-kota kecil yang namanya jarang terdengar bagi masyarakat umum seperti Juwana, Porong, Bagil dan lain-lain. Secara rinci Pram mengungkap sejarah terbentuknya kota-kota tersebut, dampak sosial saat dibangunnya Jalan Raya Pos, hingga keadaan kota-kota tersebut pada masa kini. Dengan sendirinya masa-masa kelam ketika Jalan Raya Pos dikerjakan akan terungkap di buku ini. Ketika Jalan Raya Pos sampai di kota Sumedang dimana pembangunan jalan harus melalui daerah yang sangat berat ditembus, di daerah Ciherang Sumedang, yang kini dikenal dengan nama Cadas Pangeran. Para pekerja paksa harus memetak pegunungan dengan peralatan sederhana, seperti kampak, dan lain-lain. Dengan medan yang demikian beratnya inilah untuk pertama kalinya ada angka jumlah korban yang jatuh, 5000 orang! Ketika pembangunan jalan sampai di daerah Semarang, Daendels mencoba menghubungkan Semarang dengan Demak. Kembali medan yang sulit menghadang. Bukan hanya karena tanahnya tertutup oleh rawa-rawa pantai, juga karena sebagian daripadanya adalah laut pedalaman atau teluk-teluk dangkal. Untuk itu kerja pengerukan rawa menjadi hal utama. Walau angka-angka korban di daerah ini tidak pernah dilaporkan, mudah diduga betapa banyaknya kerja paksa yang kelelahan dan lapar itu menjadi makanan empuk malaria yang ganas (hal 94). Sumber Inggris melaporkan seluruh korban yang tewas akibat pembangunan Jalan raya Pos sebanyak 12.000 orang!. Itu yang tercatat, diyakini jumlah korban lebih dari itu. Tak pernah ada komisi resmi yang menyelidiki.


Selain mengungkap sisi-sisi kelam dibalik pembangunan Jalan Raya Pos, Pram juga senantiasa menyelipkan penggalan kenangan-kenangan masa muda dirinya pada kota-kota disepanjang Jalan Raya Pos yang pernah ia singgahi. Ada kenangan yang pahit, mengesankan, dan lucu yang pernah dialaminya di berbagai kota yang ditulisnya di buku ini. Sebut saja pengalaman lucu ketika Pram muda yang sedang dalam tugas ketentaraannya bertugas di daerah Cirebon, dalam kegelapan malam secara tak disengaja ia pernah buang hajat disebuh tungku dapur yang disangkanya kakus, padahal tungku itu masih berisi sisa singkong rebus untuk rangsum para laskar rakyat.(hal 79)..O la la….!


Buku ini diutup dengan bab "Dan Siapa Daendels" yang ditulis oleh Koesalah Soebagyo Toer. Dalam bab ini diuraikan biografi singkat Daendels. Selain itu bagian daftar pustaka yang menyajikan sumber-sumber pustaka yang digunakan Pram untuk menyusun buku ini mencakup buku-buku yang terbit dipertengahan abad ke 19 hingga akhir abad ke 20. Tak heran jika membaca karya ini pembaca akan mendapatkan hal-hal yang detail mengenai sejarah kota yang dilalui oleh Jalan Raya Pos. Yang patut disayangan pada buku ini adalah tidak adanya peta yang secara jelas menggambarkan rute-rute Jalan Raya Pos. Buku ini hanya menyijikan reproduksi dari peta kuno yang diambil dari Rijks Museum Amsterdam (hal 129). Peta yang tak mnggambarkan Pulau Jawa secara utuh dan huruf yang tak terlihat pada peta tersebut tentu saja menyulitkan pembaca untuk memperoleh gambaran akan sebuah jalan yang dibuat Daendels sepanjang Anyer hingga Panarukan ini.


Jalan Raya Pos, Jalan Daendels diselesaikan oleh Pramoedya pada tahun 1995, entah apa yang membuat buku ini harus menuggu 10 tahun untuk diterbitkan, tak ada penjelasan dari penerbit mengenai mengapa baru sekarang buku ini diterbitkan, padahal beberapa tahun setelah karya ini diselesaikan era reformasi memungkinkan diterbitkannya karya-karya Pram secara bebas. Namun walau bisa ditakan terlambat diterbitkan, buku ini masih sangat relevan untuk dibaca oleh siapa saja karena buku ini merupakan sebuah buku kesaksian tentang peristiwa genosida kemanusiaan paling mengerikan dibalik pembangunan sebuah jalan sepanjang 1000 km yang dibangun beraspalkan darah dan air mata manusia-manusia pribumi yang dipaksa untuk membangunnya.

@h_tanzil

Profile Image for Poppy Aristanti.
38 reviews1 follower
September 26, 2025
Saya agak kesulitan ketika pertama kali membaca buku ini. Saya mengira bahwa buku ini akan membahas terkait pembangunan Jalan Raya Pos. Tetapi kenapa malah membahas sejarah tiap daerahnya?

Setelah beberapa hari membuka-tutup dan beberapa kali membaca ulang halaman yang sama, saya menemukan titik serunya. Dan ternyata, cerita sejarah yang sempat saya pertanyakan tujuannya itu, sedikit banyak berhubungan dengan kondisi beberapa wilayah saat pembangunan jalan legendaris ini.

Buku ini ditulis dengan bab-bab yang dibagi per daerah. Mulai dari Anyer, Cirebon, Tegal, Tuban, Surabaya, hingga Panarukan. Di setiap daerah, Pak Pram tidak hanya menyinggung pembangunan Jalan Raya Pos, tetapi juga menuliskan sejarah singkat, kondisi sosial, dan apa yang ia saksikan langsung ketika berkunjung ke sana.

Membaca buku ini, saya merasa diajak jalan-jalan oleh Pak Pram, menyusuri jalanan yang dibaliknya tertumpah darah dan penderitaan pendahulu kita. Jalan Raya yang dianggap sebagai ‘kemajuan’ oleh bangsa Eropa dan masih kita nikmati hingga kini, sesungguhnya dibangun dengan bayaran kematian belasan ribu rakyat Indonesia. Sayangnya, hal ini sangat jarang dibahas.

Di tahun 2025 ini, saya sangat berharap buku ini lebih mudah diakses. Dan lebih dari itu, semoga buku ini dapat masuk ke sekolah-sekolah, agar generasi muda tahu bahwa ‘kemajuan’ seringkali dibayar dengan harga yang tidak sedikit.
Profile Image for Endah.
285 reviews157 followers
October 31, 2008
Telah satu windu lebih setiap hari saya melakoni perjalanan pergi pulang Jakarta-Puncak setiap hari. Ya, setiap hari, karena kantor saya terletak nun di negeri awan dengan selendang kabut yang melayang-layang di pagi hari : Puncak. Anda tentu tahu perkebunan teh yang membentang di kiri kanan Jalan Raya Puncak mulai dari desa Tugu Selatan dan berakhir di sekitar restoran Rindu Alam? Nah, di situlah saya ngantor setiap harinya. Enam hari dalam sepekan. Nama perkebunan itu adalah Gunung Mas yang merupakan salah satu “warisan” peninggalan pemerintah kolonial Belanda.

Oh, saya melantur. Sebaiknya saya segera kembali ke niat semula membincang ihwal riwayat Jalan Raya Pos atau yang lebih populer lagi dengan sebutan Jalan Daendels (atau beken juga dengan nama Anyer-Panarukan). Kiranya salah sepotong jalan yang memiliki panjang keseluruhan seribu kilometer itu adalah Jalan Raya Puncak yang selama delapan tahun mondar-mandir saya lalui setiap hari.

Sebetulnya saya sudah sedikit mengetahui fakta tersebut. Namun, selama ini saya tidak pernah memberikan perhatian khusus pada jalan raya yang dalam sejarah pembuatannya telah menelan ribuan korban jiwa (menurut data pemerintah Inggris, sekitar 12.000) rakyat Indonesia. Barulah setelah membaca buku nonfiksi karya sastrawan aktivis Lekra, Pramoedya Ananta Toer, perhatian saya tergugah sepenuhnya.

Kini, jika tidak tertidur di angkot, setiap kali melintasi jalur Puncak tersebut, saya membayangkan betapa sengsaranya para kuli pribumi saat menjalani kerja rodi membangun jalan ini. Membabat hutan, memangkas bukit. Membelahnya hingga menjadi sebatang jalan yang menembus memanjang hingga ke ujung timur Pulau Jawa. Dengan teknologi dan peralatan yang tentu masih sangat sederhana, tak mengherankan jika banyak jatuh korban dalam upaya pembikinan jalan ini. Terlebih lagi mereka bekerja secara paksa di bawah tekanan penjajahan yang dipimpin oleh Sang Tuan Besar Guntur, Mr. Herman Willem Daendels. Tanpa upah dan kerap tak diberi makan.

Pramoedya, sastrawan yang banyak melahirkan roman sejarah, kali inipun menuliskan riwayat Jalan Daendels ini dengan cara bertutur, mengawinkan fakta sejarah dengan pengalaman pribadinya dengan kota-kota yang dilewati jalan raya “maut” ini.

Ia memulai kisahnya dari Lasem, Jawa Tengah. Kota yang dekat dengan tanah kelahirannya : Blora. Kemudian meloncat ke ujung barat Jawa: Anyer, tempat “mandor” Daendels pertama kali menginjakkan kaki di bumi Jawa (5 Januari 1808).

Dari Anyer, ia lantas mengurutnya ke Cilegon, Banten, Serang Tangerang, dan Batavia. Semua daerah itu ada di garis pantai utara Jawa. Dari Batavia Jalan Raya Pos ini membelok ke Depok, berlanjut ke jalur mudik selatan: Bogor (waktu itu namanya masih Buitenzorg), Cianjur, Cimahi, Bandung, Sumedang, dan berakhir di Karang Sembung sebelum kembali menuju pantura (jalur mudik yang senantiasa macet dan rawan kecelakaan) yang berawal di Cirebon.

Dari Kota Udang ini, Meneer Daendels memerintahkan untuk melanjutkan pembuatan jalan terus ke timur, melewati sederetan kota sebagai berikut: Losari, Brebes, Tegal, Pekalongan, Batang, Waleri, Kendal, Semarang, Demak, Kudus, Pati, Juwana, dan stop di Rembang yang merupakan perbatasan Jawa Tengah dan Oosthoek (Jawa Timur).

Apakah jalan itu buntu di kota tepi pantai ini? Tentu tidak, sebab kita tahu dari sejarah, jalan “berdarah” ini berujung di Panarukan, Jawa Timur. Maka, dari Rembang jalan menyambung ke Tuban, Gresik, Surabaya, Wonokromo, Sidoarjo, Porong, Bangil, Pasuruan, Probolinggo, Kraksaan, Besuki, dan tamat di Panarukan yang pada masanya pernah menjadi pelabuhan terpenting di bagian paling timur pantai utara Jawa.

Jika hanya menuliskan barisan kota-kota tadi, pastilah terbayang di benak Anda (dan saya sebelum membaca) alangkah membosankannya buku ini. Tetapi bukan Pram namanya jika ia tak pandai menyiasati “sejarah”.

Maka, Pram mengakali penulisan sejarah Jalan Raya Pos ini melalui penuturan yang sangat personal; mengaitkannya dengan pengalaman dan kenang-kenangannya terhadap barisan kota yang dilalui jalan raya itu plus sejarah kota-kota tersebut sembari sesekali melontarkan kritik dan kecaman terhadap penguasa. Bahkan kejadian-kejadian lucu yang sempat dialaminya tak luput diuraikan pula.

Misalnya, pengalaman harus mengantre selama dua harmal (dua hari dua malam) di Semarang untuk memperoleh karcis kereta api cepat jurusan Jakarta. Atau pengalaman “menjijikan” ketika ia menginap di markas Laskar Rakyat di Cirebon pada pertengahan 1946. Pada tengah malam, mendadak Pram muda terserang sakit perut ingin buang air besar. Karena tidak ada penerangan, di dalam kakus, ia tak dapat melihat apapun di sekitarnya.

“Kaki menggerayangi takhta kakus. Begitu mendapatkan ketinggian langsung nongkrong. Aneh, barang buangan itu jatuh memantulkan bunyi minor. Membersihkan diri pun tangan gerayangan mencari sumur. Dan waktu membasuh itu korek logam jatuh dari kantong celana. Curiga pada suara minor aku kembali ke kakus. Sinar api korek itu? Masya Allah, ternyata yang kuberaki bukan takhta kakus tapi tungku dapur. Dan kotoranku jatuh ke dalam periuk rendah yang masih ada sisa singkong rebus” (hlm. 79).

Sudah pasti, paparan demikian tak akan kita temukan dalam buku teks sejarah. Oleh karenanya, melalui buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels ini sejarah jadi terasa menarik dan nikmat untuk diikuti. Dengan ketekunan seorang sejarawan, Pram mencangkuli, menggali, setiap data dan detail sebuah peristiwa untuk kemudian dicatat dan dituliskan kembali sebagai sebuah upaya melawan lupa.

Tahun ini, tepat 200 tahun usia Jalan Raya Daendels. Pada masanya, jalan ini pernah menjadi jalan terpanjang di dunia. Sama dengan jalan raya yang menghubungkan Amsterdam-Paris. Jalan yang ternyata tidak sepenuhnya hasil karya Daendels (jalan aslinya sebagian sudah ada sejak berabad-abad sebelumnya, ia hanya melebarkannya menjadi 7 meter) ini, menjadi saksi dan bukti pembantaian manusia-manusia pribumi. Kisah di balik pembuatannya hanya salah satu dari banyak tragedi kerja paksa yang pernah berlangsung di Hindia Belanda. Di bawah Jalan Daendels ini terhimpun ribuan mayat petani dan orang-orang kecil tak berdaya.

Dan, oops! “Kuburan” itulah yang selama sewindu setiap hari saya lintasi. Masya Allah….***
Profile Image for Claudia.
47 reviews5 followers
January 20, 2022
Buku cukup tipis ini akhirnya kuselesaikan dalam waktu 1 bulan.
Dalam buku ini, penulis mencoba menjabarkan sejarah Jalan Raya Pos atau Jalan Daendels, jalan fenomenal sepanjang 1.000 km, terbentang dari Anyer sampai Panarukan, yang pembangunannya hanya memakan waktu 1 tahun, dan menelan banyak korban jiwa.
Satu poin plus dari buku ini, pembaca diajak “berjalan-jalan” ke berbagai daerah yang dilewati Jalan Raya Pos, sembari disajikan juga sejarah dari daerah tersebut.
Buku ini juga menceritakan berbagai sejarah genosida di Tanah Air, yang cukup membuatku merinding, bagaimana bisa “seseorang” membunuh puluhan atau bahkan ratusan ribu nyawa tanpa perasaan bersalah sedikit pun?
Anyway, mungkin tidak terlalu muluk untuk bilang buku ini bisa jadi referensi bacaan sejarah untuk semua orang, khususnya yang masih berada di bangku sekolah.
Tapi, ya, layaknya buku sejarah lain, membacanya cukup bikin ngantuk, wkwk.
Displaying 1 - 30 of 192 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.