Jump to ratings and reviews
Rate this book

Yang Tak Kunjung Padam: Narasi Eksil Politik Indonesia di Jerman

Rate this book
Usai pecah peristiwa ’65, mahasiswa ikatan dinas asal Indonesia yang belajar di luar negeri mengalami kesulitan besar. Tidak saja sulit mengakses informasi ihwal perubahan ekstrem di negaranya, tapi belakangan juga kehilangan kewarganegaraan karena menolak sebuah rezim baru. Penuh ketidakpastian, generasi emas yang seharusnya dapat kembali ke tanah air dan mengontribusikan ilmu mereka, harus bertahan hidup dengan cara apa saja yang memungkinkan.

332 pages, Paperback

First published April 1, 2023

23 people are currently reading
397 people want to read

About the author

Soe Tjen Marching

17 books57 followers
Soe Tjen Marching (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 23 April 1971; umur 39 tahun) adalah seorang Indonesianis, penulis, dan feminis. Ia memperoleh gelar Ph.D.nya dari Universitas Monash, Australia dengan menulis disertasi tentang otobiografi dan buku harian perempuan-perempuan Indonesia. Ia telah diundang sebagai dosen tamu di berbagai Universitas di Australia, Britania dan Eropa.

Soe Tjen banyak menulis artikel di berbagai suratkabar Indonesia maupun asing, cerita pendek, dan juga membuat komposisi musik. Ia pernah memenangi beberapa kompetisi penulisan kreatif di Melbourne - Australia. Salah satu cerita pendeknya telah diterbitkan oleh Antipodes, sebuah jurnal sastra terkemuka di Amerika Serikat. Selain itu, ia juga seorang komponis penting di Indonesia, yang karya-karyanya telah dipagelarkan di Asia, Australia, Eropa dan Amerika. Sebagai seorang komponis, ia pernah memenangi kompetisi tingkat nasional di Indonesia pada 1998. Sebuah komposisinya, "Kenang" (2001) diterbitkan sebagai bagian dari sebuah CD, "Asia Piano Avantgarde: Indonesia" yang dimainkan oleh pianis tersohor dari Jerman, Steffen Schleiermacher. CD ini telah beredar di Amerika dan Eropa. Pada Juni 2010, karya musiknya memenangkan kompetisi Internasional avant-garde yang diadakan di Singapura.

Novel Soe Tjen, berjudul Mati Bertahun yang Lalu, diterbitkan oleh Gramedia pada akhir tahun 2010. Novel ini diilhami oleh pengalaman pribadi Soe Tjen terjangkit kanker 3 kali.

Soe Tjen Marching juga sering bekerja sama dengan suaminya, Angus Nicholls, seorang peneliti sastra Jerman di Queen Mary University of London.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
56 (48%)
4 stars
44 (37%)
3 stars
14 (12%)
2 stars
1 (<1%)
1 star
1 (<1%)
Displaying 1 - 21 of 21 reviews
Profile Image for Alfi.
61 reviews2 followers
July 20, 2023
"Eksil adalah kehidupan yang termutilasi, sebab mereka dipaksa meninggalkan tanah air mereka dan tak mungkin kembali." Kutipan dalam buku ini diambil dari pernyataan Theodor Adorno (2006) dalam bukunya berjudul Minima Moralia: Reflections on Damaged Life.

Aku berniat membaca buku ini karena ukm ku waktu itu mengadakan diskusi mengenai buku "Yang Tak Kunjung Padam" ini bersama penulisnya, Soe Tjen Marching. Ketika menghadiri acara itu, aku sama sekali ga punya bayangan mengenai apa yang akan dibahas. Jadi benar-benar datang dengan tangan kosong. Namun, setelah mendengar penuturan penulis, aku tertarik untuk membaca buku ini dan meminjamnya di perpustakaan ukm ku.

Isi dari buku ini yaitu kumpulan cerita eksil politik yang terjebak di Jerman akibat peristiwa 1965. Nama-nama mereka yang disebutkan dalam buku ini adalah nama asli, meskipun ada cerita lain yang menggunakan nama samaran. Inti cerita mereka sama, yaitu mereka berusaha untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia dan dapat kembali ke Indonesia tanpa stigma komunis yang melekat pada diri mereka.

Masing-masing eksil politik menceritakan struggle mereka ketika hidup di luar negeri, ada yang sampai kesulitan bertemu anak, kesusahan mencari pekerjaan, harus bolak-balik ke negeri-negeri lain agar dapat akses ke Indonesia. Bahkan, kebanyakan eksil politik adalah kaum terpelajar dan berpendidikan tinggi dan mereka berniat untuk menyumbangkan ilmunya bagi Indonesia. Namun, sayangnya mereka 'dibuang' oleh negeri yang mereka cintai.

Dari rate 1-10, aku rate buku ini 10/10 💫 karena memang memunculkan wawasan baru terkait apa yang terjadi saat peristiwa '65. Cerita para eksil politik juga sangat mengena dan menurutku penulis berhasil mengemas cerita mereka dalam tulisan yang mudah dipahami. Aku sangat merekomendasikan buku ini, terutama untuk penyuka sejarah.
Profile Image for Henzi.
211 reviews16 followers
May 21, 2025
Eksil bukan sekadar hidup di luar negeri. Ia adalah status yang menggantung, antara pergi dan terusir. Banyak orang Indonesia yang hidup sebagai eksil politik pasca-1965, ketika negara menghapus hak mereka untuk kembali, hanya karena pernah bersinggungan—langsung atau tidak langsung—dengan ideologi yang dianggap salah. Mereka tidak ditahan, tapi tidak juga dibebaskan. Mereka lepas dari jeruji besi, tapi terperangkap dalam batas imajiner bernama kewarganegaraan.

Waruno Mahdi adalah salah satu dari mereka. Seorang intelektual yang akhirnya menetap di Jerman, menjadi ahli linguistik dan peneliti di berbagai institusi ilmiah. Ia tidak melarikan diri, tapi keadaan membuatnya tak bisa kembali. Bukan karena ia tak ingin, tapi karena pulang tak lagi mungkin. Bagi Waruno, eksil adalah kondisi eksistensial: terus menjadi Indonesia, tapi tak lagi punya akses ke tanah air.

Salah satu hal yang menyakitkan untuk Waruno, ia melajang hingga kini karena trauma sama kekasih terakhirnya yang adalah seorang mata-mata. Ia menderita paranoia hingga saat ini. Meskipun kemudian sempat dekat dengan orang lain, tapi masa lalunya tak dapat ditampik dan malah melahirkan trust issue. Salah satu korban Indonesia.

Para eksil ini bukan kriminal. Mereka bukan pemberontak bersenjata. Banyak dari mereka adalah pelajar, intelektual, jurnalis, seniman, bahkan mahasiswa yang sedang belajar ke luar negeri ketika tragedi 1965 meletus. Mereka kehilangan paspor, kehilangan negara, dan akhirnya—pelan-pelan—kehilangan nama dalam sejarah resmi.

Ada ironi yang menyakitkan. Mereka adalah orang-orang yang justru sangat peduli pada Indonesia—bahkan ketika Indonesia sudah mencoret nama mereka. Mereka terus mengikuti berita dari Tanah Air, mendirikan komunitas, membuat media alternatif, dan mendokumentasikan sejarah dari kejauhan. Mereka menyusun ulang ingatan, saat negara sibuk menghapusnya.

Willy Wirantaprawira—wawancara eksil terakhir di buku ini—lahir miskin, anak ketiga dari 10 bersaudara. Hidupnya sangat susah, ia bahkan sempat berpisah dengan keluarganya saat liburan ketika pemberontakan DI/TII meletus di Tasikmalaya. Pada usia menjelang dewasa, sekitar SMA-kuliah, ia pernah “dipaksa tunangan” paksa karena membawa gadis tersebut ke rumah kakeknya walaupun mereka tidak ngapa-ngapain. Namun akhirnya mereka misah juga.

Demi memenuhi hasratnya untuk menjadi orang yang berhasil—yang tak taunya malah mengantarnya jadi eksil—ia berangkat ke Uni Soviet untuk melanjutkan kuliahnya di Fakultas Hukum Internasional dan Hubungan Internasional di Universitas Negeri Kiev setelah putus kuliah dari UNPAD. Ia berhasil lulus summa-cumlaude dan diberikan semacam beasiswa post-graduate.

KBRI menolak permintaannya dan mengharuskan Willy pulang untuk mengurus izin. Seperti yang kita ketahui bersama, ternyata birokrasi Indonesia jauh lebih ribet & tak adil (apalagi di zaman dahulu) yang membuat screening Bakispalu nggak terbit-terbit suratnya. Hal tersebut mengakibatkan ia terluntang-lantung; tak bisa melanjutkan pendidikan dan bekerja. Syukurlah, tak lama kemudian ia berhasil mendapatkan paspor—meskipun dengan cara menyuap—dan lanjut “sendiri” menempuh post-graduate meskipun tak dibekali izin dari Indonesia.

Setelahnya, kehidupannya tak juga berkunjung baik. Selama di Uni Soviet, ia mesti melakukan penyelundupan barang-barang secara illegal dengan memasok barang dari Jerman (kalau tidak salah). Ia bertahan hidup dari situ. Bolak-balik ia melakukan hal tersebut sampai ia menikah & punya anak. Akhirnya, setelah orde baru lengser, pada pemerintahan Gus Dur sempat ada proses merehabilitasi para eksil politik ini. Namun sayangnya, nasibnya kembali tak terarah setelah pemerintahan berganti.

Beberapa eksil akhirnya bisa kembali, bertahun-tahun kemudian, dalam usia senja. Tapi yang mereka temukan bukan rumah yang sama. Ada yang tak lagi punya keluarga. Ada yang tak diakui di kampung halamannya sendiri. Ada yang bahkan tak diizinkan masuk, meski hanya untuk ziarah ke makam orang tua. Karena bagi sebagian sistem, eksil tetap dianggap “bermasalah”, bahkan ketika mereka sudah renta.

Membaca pengalaman para eksil adalah suatu hal baru buat saya, dan sungguh, mereka sangat berani. Tidak terhitung berapa kali saya berdecak ngeri—tapi juga kagum—akan usaha mereka & rasa nasionalisme yang masih sangat tinggi meskipun negara tidak mengakui mereka. Selain merasa sakit karena dikhianati, ada sejuta rasa rindu yang tak dapat ditahan karena terpaksa berjarak dengan keluarga selama ber-dekade-dekade. Para eksil yang masih bisa pulang terhitung “beruntung”, lantas bagaimana dengan yang meninggal duluan di negara orang? 🥲
Profile Image for Ms.TDA.
233 reviews3 followers
September 2, 2024
Buku ini menyoroti tentang perjuangan Para Eksil (mereka yang terbuang dari Negri nya) yang terimbas karena peristiwa 1965 dan sangat jarang diungkapkan terkhusus di generasi sekarang ini. Ketika mereka menimba ilmu di negri jauh dan ingin kembali ke Indonesia, tapi dikekang karna pergolakan politik yang sedang terjadi. Mereka hanya dengan tulus ingin mengapai cita2 dan kembali membangun negri, seketika hancur karna banyaknya pihak pihak yang mengkambing hitamkan posisi mereka di luar sana.

“Banyak perjuangan yang dilakukan oleh para Eksil ini untuk kembali ke Indonesia walaupun telah ditolak dan dikhianati berkali-kali. Dan negaralah yang telah mengkhianati para eksil ini berkali-kali, dengan berbagai penolakan, firnah dan kebohongan.”

Kandungan Sejarah di buku ini WAJIB dibaca oleh semua orang agar kita tak luput dan bodoh terhadap sejarah yang semakin lama semakin hilang digores oleh waktu. Terima kasih Soe Tjen Marching🚂💚
Profile Image for Sheeta.
214 reviews18 followers
February 14, 2024
Mereka yang apatis, tak mau tahu atau tak ingin terlibat politik, sebenarnya tanpa disadari tak bisa menghindari politik sama sekali.


Yang Tak Kunjung Padam adalah salah satu buku memoar tentang para eksil yang ada di Jerman. Buku ini menceritakan bagaimana kehidupan mereka sebelum peristiwa 65 terjadi—yang menjadi latar belakang mereka tidak bisa kembali ke tanah air—hingga masa kini. Mereka selalu dan terus-menerus memperjuangkan paspor dan kewarganegaraan mereka.

Buku ini diawali dengan pandangan dan perspektif orang-orang tentang eksil. Bagi para eksil yang menjadi korban 1965, para eksil lain yang tak bisa kembali ke tanah air karena bukan peristiwa 1965, adalah bukan 'eksil'. Bagi keluarga, para eksil ini adalah komunis, PKI, tak bertuhan, ateis. Bagi sesama eksil, mereka tak saling kenal. Bagi masyarakat kini, mereka tak kenal apa dan siapa itu eksil. Para eksil politik yang dikirim ke negara blok timur banyak yang memilih ke Skandinavia atau ke Eropa Barat yang diharapkan bisa memudahkan kontak mereka dengan keluarga di tanah air. Hal ini karena Eropa Timur jauh lebih berbahaya karena dicurigai dan diawasi oleh pemerintah Indonesia.

Yang menarik dari buku ini ialah adanya sedikit cerita tentang para eksil perempuan. Hampir jarang diketahui, namun sayangnya masih banyak yang memilih bungkam. Ketakutan para eksil ini hanyalah merugikan dan membahayakan keluarga mereka di tanah air. Meskipun kebanyakan dari mereka bukanlah berpaham komunis atau anggota atau simpatisan PKI, namun seolah komunisme melekat pada identitas mereka. Sehingga, kebanyakan dari mereka—hingga kini, memilih untuk bungkam atau jauh dari keluarga sekalian.

Banyak eksil yang tertutup. Mereka sering menyembunyikan identitas. Banyak eksil yang komunis tidak mau mengaku komunis, tapi kadang suka memaksakan pendapat. Tidak tahu untuk apa mesti begitu.


Buku ini menceritakan tentang enam orang eksil yang ada di Jerman dengan segala perjuangan dan apa yang mereka hadapi selama bertahun-tahun. Membekas di kepala saya kisah tentang Waruno, salah seorang eksil yang masih melajang hingga sekarang. Waruno berasal dari keluarga yang berada dan multikultural, namun tetap gigih, rajin, dan cerdas hingga ia bisa bersekolah dengan dibiayai pemerintah ke luar negeri. Namun, pengalamannya dimata-matai membuat ia menjadi paranoia. Ia tak bisa menjalin hubungan, tak bisa kembali ke rumah, dan justru bisa semakin dekat dengan keluarga di Indonesia berkat paspor Jerman.

Banyak dari eksil yang di Uni Soviet harus berlari kesana dan kemari untuk mendapatkan perlindungan atau wilayah yang paling aman bagi mereka dan keluarga. Kisah lain dari Supardjo yang kehilangan kepercayaan diri akibat direbutnya tanah air dan rasa aman yang ia miliki. Ia harus berhadapan dengan kenyataan bahwa "saya bukan siapa-siapa". Dari ucapannya ini, saya sadar bahwa pada saat itu ia sudah kehilangan kepercayaan dirinya.

Indonesia selalu menjadi negara yang dicintai oleh para eksil, tetap menjadi rumah dan tanah air mereka. Namun, tak semua dari mereka mampu memiliki rasa nasionalisme, misalnya Waruno. Namun, jiwa patriotik mereka masih membara. Indonesia tak hanya menjadi tanah air mereka tetapi juga sumber ketakutan yang mengekang kebebasan berbicara tentang dirinya sendiri serta pandangan-pandangan politiknya.

Banyak dari para eksil yang menyimpan luka mendalam, namun tak bisa bersuara kemanapun. Pandangan bahwa hidup para eksil ini jauh lebih enak dibandingkan di tanah air juga menjadi duka sendiri bagi mereka. Seberapapun menyenangkannya hidup mereka di luar negeri, mereka tetap merindukan tanah air dan keluarga yang ada di Indonesia.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Grace.
32 reviews
October 10, 2024
(((lupa terus ngreview)))

Agak terganggu dengan beberapa typo dalam buku ini, terus salah banget kalau bacanya di tempat2 umum.. Jangan yaaa jangan~
.
Hanya mau bilang kalau eksil itu gak PKI, tapi part2 yg selalu buat mewek adalah ke-4 eksil dalam buku ini harus menjadi WNA utk bisa kembali ke Indo 😭😭
Profile Image for P.P. Rahayu.
Author 1 book36 followers
November 29, 2025
Yang Tak Kunjung Padam: Narasi Eksil Politik Indonesia di Jerman
oleh Soe Tjen Marching
4.5 dari 5 bintang

Maka mereka yang apatis, tak mau tahu atau tak ingin terlibat politik, sebenarnya tanpa disadari tak bisa menghindari politik sama sekali.

-- hlm. 5.


So, I want to admit aku enggak ngeuh kalau buku ini sebetulnya non fiksi. Aku pikir lebih ke historical fiction. Hehe. Tapi melihat dari daftar isi, aku langsung yakin kalau buku ini akan cukup mudah dinikmati karena menggunakan narasi layaknya buku fiksi.

Saat aku membaca Yang Tak Kunjung Padam aku berasa lagi baca film Eksil. Penceritaannya mirip dan tentunya, kisah yang diangkat juga kurang-lebih sama. Bagiku, buku ini semacam memberi pemahaman lebih dalam lagi mengenai kehidupan para eksil.

Salah satu hal yang cukup aku ingat adalah pengertian soal eksil di Indonesia, mau tak mau akan selalu dikaitkan dengan peristiwa ‘65. Makna dari eksil jadi sangat politis dan bukan sekadar orang yang tak bisa kembali ke Indonesia.

Aku teringat, pembahasan yang juga mirip aku temukan juga saat membaca Metode Jakarta. Jadi, aku cukup memahami apa yang terjadi pada saat peristiwa ‘65, kekelamannya, intrik di baliknya, maupun operasi yang berjalan sesungguhnya. Jujur, aku sempat punya stereotipe yang melekat saat membahas eksil. Tapi aku bersyukur mendapatkan pengetahuan yang lebih banyak, jadi bisa memahami apa yang terjadi.

Di dalam buku ini, ada empat cerita eksil yang diceritakan. Gaya penceritaannya berbeda-beda, tergantung dari masing-masing narasumber. Ada yang berbentuk wawancara, ditulis langsung oleh orangnya, dan ada juga yang diceritakan oleh penulis. Yang aku suka, ceritanya cukup engaging untuk dibaca. Aku berasa terhanyut aja ke dalam cerita yang ada.

Keempat Eksil tersebut adalah Arif Harsana, Waruno Mahdi, Supardjo, dan Willy Wirantraprawiro, Latar belakang mereka berbeda-beda. Ada yang seorang anak diplomat, anak kepala dusun, calon tentara, dan anak seorang kepala pabrik. Yang pasti, enggak semuanya mengikuti ajaran “kiri” yang dituduhkan. Banyak yang kehilangan paspornya karena tak bersedia mengakui pemerintahan Soeharto. Apa yang disampaikan di Eksil sebetulnya kembali dijelaskan di sini.

Ironi yang sebetulnya muncul adalah, karena peritiwa ‘65, kita betul-betul kehilangan satu generasi intelektual yang harusnya bisa membantu kemajuan Indonesia. Sayangnya, mereka malah terbuang dan tak bisa kembali ke negeri tercinta. Setahuku, jumlah eksil ‘65 semakin sedikit karena banyak yang berpulang. Sudah setengah dekade berlalu, dan hak mereka tak pernah bisa dikembalikan. Malah cuma jadi mainan janji politik. Sungguh jahat ya negeri ini.

Lalu, hal lain yang menurupku cukup insightful aku jadi paham mengapa Jerman menjadi salah satu tempat tujuan bagi para eksil Indonesia. Aku no idea sebelumnya soal aturan pasca Perang Dunia II yang membuat Jerman jadi relatif mudah dikunjungi dan menerima orang dari luar negeri—ada faktor kebutuhan tenaga kerja di sana. Menjawab pertanyaanku mengapa omnya temenku memutuskan ke Jerman pada tahun 60-an.

Kalau kamu ingin mengenal bagaimana kehidupan para eksil ‘65 yang terusir karena pergolakan politik para elite, coba baca buku ini, deh. Coba untuk luruhkan sreterotipe yang kamu miliki tentang mereka. Terkadnag, mereka hanyalah orang-orang yang ingin kembali ke Indonesia, tapi selamanya tak akan bisa.
Profile Image for Triska.
8 reviews2 followers
June 14, 2023
"Bagaimana Penulis bisa yakin bahwa orang yang diwawancarai itu memang berkata benar?" adalah reaksiku ketika selesai membaca cerita Arif Harsana, eksil yang kisahnya dituangkan di salah satu bab yang cukup panjang di buku ini yang selanjutnya diikuti dengan kisah-kisah dari Waruno Mahdi, Supardjo, dan Willy Wirantaprawira. Padahal harus kita akui bahwa ingatan manusia tidak pernah lengkap dan bisa salah. Pengalaman masa lalu tak luput dari kesalahan dan terlalu sulit untuk dirangkai dalam sekali cerita.

Namun, seiring mendengarkan kisah-kisah mereka di buku ini kita bisa menyaksikan adanya konsistensi internal dari narasi yang mereka utarakan. Tak diragukan pula bahwa Penulis tentu saja menggunakan prosedur yang panjang dan detail untuk menimbang dan memastikan kebenaran dari sang pencerita.

Mereka berempat adalah bagian dari mahasiswa ikatan dinas yang dikirim ke luar negeri di masa kepemimpinan Presiden Soekarno, yang meyakini bahwa Indonesia bisa bangkit dengan jalan pengetahuan dan teknologi.

Pecahnya peristiwa '65, berimbas kepada mereka yang dituduh sebagai komunis, padahal dalam penuturan mereka melalui buku ini, di masa itu, masa ketika mereka menimba ilmu di negeri yang jauh, sama sekali tidak terlibat atau tertarik dengan politik.

Kisah-kisah yang mengharukan, akibat dari tuduhan tersebut mereka pun dicabut paspornya dan kewarganegaraannya, yang membuat mereka kesulitan untuk pulang, bahkan ada yang lebih dari dua dekade setelahnya baru bertemu dengan keluarganya lagi. Selama itu pula mereka berusaha untuk mencari suaka. Alasan mereka memilih Jerman diuraikan lengkap di buku ini.

Dikhianati negaranya cukup memberi alasan untuk mereka membenci tanah airnya. Namun tidaklah demikian, justru dari cerita-cerita mereka, ada ungkapan harap, asa, dan cinta yang tak kunjung padam untuk tanah kelahirannya, Indonesia. Cinta itu, kata Soe Tjen Marching, juga disertai dengan kecaman atas ketidakadilan yang menimpa mereka, dengan melanggengkan identitas "eksil" mereka.

___

This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Neysa.
112 reviews
September 29, 2024
What will you do if you are in the middle of your study abroad and suddenly out of nowhere something terribly happened in your country and without any of your knowledge then your rights to be a citizen of your country is being stripped off forceably by a new regime?

This book tells 4 different perspectives from Indonesian exiles whose lifeline was lost in a foreign country because their citizenship was suddenly revoked for no apparent reason due to the bloody events in 1965 and because of the greediness of one person who want to take over Indonesian presidency. Can you imagine that you suddenly being considered as a traitor just because you are studied in a foreign country that has a contradictory political view with a new regime that reigned so sudden in your country. Reading this book makes me realized how does a power and a human greediness not just corrupted the country but also corrupting the rights of people to have their freedom even killing the future of a country that actually can be built by the potential intellectuals. But the rights of these intellectuals being “shutting down” by the greediness over power. Thank you Soe Tjen Marching for writing this book. Totally 4,4 out of 5 from me!
Profile Image for Hirai.
196 reviews5 followers
July 10, 2025
“Bagaimana rasanya terusir dari negara sendiri?”
Berhasil menyelesaikan buku ini dengan perasaan marah, bingung, sedih campur aduk membayangkan bagaiman nasib dan perasaan orang-orang yang ada di dalam buku ini. Bagaimana bisa kewarganegaraan seseorang dicabut begitu saja? Apakah keberadaan mereka cukup mengancam negara atau bahkan sebaliknya?
Semua berawal dari peristiwa di tahun 1965 dimana negara sedang kisruh mengenai kepemimpinan dan banyak terjadi pengkhianatan. Kekuasaan dan keserakahan dalam diri manusia ternyata bisa merusak kekokohan sebuah negara bahkan merampas hak asasi serta keamanan mereka menjadi warga negara. Hak-hak itu bukan hanya tidak diberikan namun lebih sengaja dimatikan atau dicabut sehingga mereka tidak lagi bisa melakukan apa-apa untuk negara.
Sedihnya itu ketika membaca bagian saat mereka datang ke bandara Indonesia sudah disambut dengan banyak caci makian. Padahal mereka hanya rindu dengan keluarga yang ditinggalkan secara paksa. Kehidupan yang tak mudah namun banyak yang tetap memilih tanah air tempat kelahiran yang membuang mereka.
Buku yang mudah dipahami bagi yang ingin membaca perihal sejarah terlebih tentang eksil. Isinya berupa rangkuman wawancara dari para eksil yang ada di Jerman.
Profile Image for Dyan Eka.
287 reviews12 followers
March 10, 2025
Sepertinya wawancara dengan para eksil di buku ini dilakukan ketika masa pemerintahan jokowi di periode pertama haha, saya jadi bertanya-tanya bagaimana opini para eksil ini terhadap jokowi saat ini. Bagian ini sejujurnya cukup mengganggu bagi saya, melihat realita sekarang yang seperti ini.

Saya membaca buku ini setelah saya menonton film dokumenter Eksil, jadi antara film dan buku saling melengkapi pengetahuan saya tentang eksil akibat peristiwa '65 ini. Buku ini sebenarnya sangat menyenangkan untuk dibaca, seolah saya mengikuti langkah demi langkah perjalanan para eksil ini untuk mendapatkan jaminan keselamatan setelah dibuang begitu saja oleh negara. Hanya saja beberapa cerita menurut saya ngga perlu dimasukkan ke dalam buku ini. Mungkin penulisnya ingin menunjukkan ya, bahwa menjadi eksil berarti menjadi orang yang harus siap dipersulit jalan hidupnya untuk faktor apapun. Tapi tetap saja, ada beberapa bagian yang membikin saya sedikit bosan membacanya dan memutuskan untuk membaca cepat saja.

Tapi secara keseluruhan buku ini sangat menarik untuk dibaca dan semoga menjadi jembatan bagi negara ini untuk meminta maaf!!

Profile Image for Bloombleu.
2 reviews
September 16, 2025
mengangkat kisah yang sering terabaikan oleh sejarah, bahkan berusaha sengaja dihapus. Yakni pengalaman para eksil politik 1965. Orang-orang yang mendapat stigma "komunis" dan pencabutan paspor, terpaksa hidup di luar negeri tanpa bisa pulang ke tanah air.


Dibuku ini menggambarkan bagaimana para eksil berjuang mempertahankan identitas sebagai orang Indonesia walaupun negara menolak mengakui keberadaan mereka, bahkan ada yang mengalami trauma dan paranoia akibat tekanan politik. Dan ada pula yang tetap memperjuangkan kewarganegaraan sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim orba.

buku ini juga menyinggung peran militer Orde Baru yang mempertahankan kekuasaan lewat struktur komando teritorial, serta kontroversi seputar G30S—antara narasi resmi yang menyalahkan PKI dan versi lain yang menyebut keterlibatan Soeharto.

Yang membuat buku ini menarik adalah keberaniannya menyoroti dampak kemanusiaan dari tragedi 1965: bagaimana stigma, kehilangan kewarganegaraan, dan pelanggaran HAM membuat luka yang panjang.

Serta bagaimana warisan orde baru masih terasa hingga kini
3 reviews1 follower
May 7, 2025
Buku yang bikin melow, semangat, terharu, senang, lega - semua ngumpul jadi satu. Kok bisa ya semua tokoh di buku ini mati-matian memperjuangkan ke-Indonesiaannya padahal udah “dibuang” sama pemerintahnya sendiri? Zaman sekarang malahan adanya tren #KaburAjaDulu 😂 (valid sih). Salut juga sama perjuangan semua tokoh di sini untuk bertahan hidup walau hati gak pernah tenang, uang pas2an, jauh dari keluarga. Seratus persen membangkitkan semangat hidup.

Kisah2 berharga yang untungnya dibukukan dan untungnya juga, sangat enak dibaca dengan gaya cerita yang santai tapi kalimatnya jelas. Penting untuk dibaca generasi muda. Terima kasih Soe Tjen Marching!
Profile Image for Regina.
328 reviews16 followers
December 22, 2025
Buku ini mengisahkan tentang kisah nyata para mahasiswa Indonesia yang kuliah diluar negeri pada tahun 1965, dan tidak dibolehkan kembali ke Indonesia sehingga menjadi seorang eksil karena dianggap mendukung Soekarno atau mendukung Komunis.
Setelah itu mereka terpaksa menjadi warga negara asing agar memiliki hak untuk “berlibur” ke Indonesia.
Buku ini mudah dibaca dan membuat saya sedikit emosional. Hanya saja saya sedikit kesulitan membaca kisah narasumber pertama dibuku ini karena isinya meleber kesejarah2 yang lain yang dijelaskan secara panjang lebar. Selain itu saya sangat suka membaca buku ini krn bisa belajar banyak lewat sharing kisah hidup para narasumber nya.
Profile Image for Lintang.
20 reviews2 followers
September 11, 2025
Jarang banget baca buku non fiksi, kayanya ini buku nonfiksi pertama yang aku baca di 2025 sampai habis! Meskipun ceritanya cukup berat & sedih, aku berhasil menyelesaikannya dalam 2 hari saking seru banget isinya ; emang bener kata orang kalau sejarah itu ditulis oleh para pemenang, dan di buku ini ada beragam hal yang aku baru tau! bener-bener wow dan nggak kebayang seberapa kecewa dan sedihnya para 'eksil 65' yang dirampas hak kewarganegaraan juga masa depan dan mimpi-mimpinya, goodluck ke semua pihak yg kalau kata feast di tarian penghancur raya, 'bahan bakar neraka'!
Profile Image for Marina.
2,035 reviews359 followers
January 3, 2025
** Books 01 - 2025 **

Buku ini untuk memenuhi tantangan 25 books of 2025 dan Tsundoku Books Challenge 2025

3,8 of 5 stars!

Isinya bikin terenyuh membaca kisah masing-masing orang Indonesia yang dirampas paksa kewarganegaraannya dan terpaksa menjadi warga negara Jerman alasan tidak pro dengan politik order baru saat rezim Soeharto

Buku yang tepat dibaca bersamaan dengan menonton film eksil 🥹
10 reviews
October 23, 2025
sebuah buku yang memberikan perspektif unik mengenai eksil Indonesia di Jerman. anda akan mengerti dan secara bersamaan merasakan pengalaman beberapa eksil yang memiliki latar belakang berbeda termasuk cara penyajian cerita yang berbeda-beda.
terdapat sedikit kebingungan mengenai beberapa kisah yang awalnya terbaca seperti sudut pandang orang ketiga, namun tiba-tiba berubah narasi selayaknya orang pertama.
namun, yang jelas semua kisah masih bisa dinikmati dan diresapi.
Profile Image for A. M..
1 review
March 16, 2024
“Mereka yang apatis, tak mau tahu atau tak ingin terlibat politik, tanpa disadari tak bisa menghindari politik sama sekali.”

Seperti judul bukunya, Yang Tak Kunjung Padam, memuat riwayat 4 eksil yang tetap menunjukkan rasa cinta kepada Indonesia dan terus menerus berusaha untuk mendekatkan diri dan pulang ke Indonesia, walau tetap ditolak, bahkan dikhianati berkali-kali.

Saya sangat menyukai gaya penulisan Soe Tjen yang mudah dibaca dan dipahami, padahal buku ini memuat informasi asli yang cukup kompleks dari para eksil.

Namun, saya sangat menyayangkan ada beberapa typo di cetakan yang saya beli. Meskipun tidak terlalu signifikan.
Profile Image for ann.
83 reviews7 followers
December 19, 2024
It’s a good thing that I read this book first from Soe Tjen Marching, there’s a lot of new insights especially on Russia & Germany political views. I’ll definitely read more books from her!
Profile Image for Afifah.
62 reviews
May 3, 2025
Indonesia kehilangan orang pintar dan tulus untuk negeri 🥹
Profile Image for Killa Neu.
3 reviews
September 9, 2025
Saya sangat suka cara masing-masing narasumber menceritakan ceritanya sendiri. Apalagi keempatnya memiliki latar belakang yang cukup berbeda. Dan satu cara saya bisa percaya dengan kisah mereka adalah memang ada persamaan alur dan juga tempat di perjalanan mereka mencari suaka ketika menjadi eksil.

Yang membuat saya kurang nyaman dengan buku ini hanya karena ada cukup banyak typo. Kemudian penggunaan akronim yang kurang konsisten penulisannya.
Displaying 1 - 21 of 21 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.