Ia seorang jurnalis dan sastrawan yang kritis dan berwawasan luas. Tanpa lelah, ia memperjuangkan kebebasan berbicara dan berpikir melalui berbagai tulisan dan organisasi yang didirikan-nya. Tulisannya banyak mengangkat tema HAM, agama, demokrasi, korupsi, dan sebagainya. Seminggu sekali menulis kolom “Catatan Pinggir” di Majalah Tempo.
Pendiri dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah Berita Tempo kelahiran Karangasem Batang, Pekalongan, Jawa Tengah, 29 Juli 1941, ini pada masa mudanya lebih dikenal sebagai seorang penyair. Ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan 1964 yang mengakibatkannya dilarang menulis di berbagai media umum.
Ia juga pernah menjadi Nieman fellow di Universitas Harvard dan menerima penghargaan Louis Lyons Award untuk kategori Consience in Journalism dari Nieman Foundation, 1997. Secara teratur, selain menulis kolom Catatan Pinggir, ia juga menulis kolom untuk harian Mainichi Shimbun (Tokyo).
Ia menulis sejak berusia 17 tahun, dan dua tahun kemudian menerjemahkan puisi penyair wanita Amerika, Emily Dickinson. Sejak di kelas VI SD, ia mengaku menyenangi acara puisi siaran RRI. Kemudian, kakaknya yang dokter (Kartono Mohamad, mantan Ketua Umum PB IDI) ketika itu berlangganan majalah Kisah, asuhan H.B. Jassin. “Mbakyu saya juga ada yang menulis, entah di harian apa, di zaman Jepang,” tutur Goenawan.
Pada 1971, Goenawan bersama rekan-rekannya mendirikan Majalah Mingguan Tempo, sebuah majalah yang mengusung karakter jurnalisme majalah Time. Di sana ia banyak menulis kolom tentang agenda-agenda politik di Indonesia. Jiwa kritisnya membawanya untuk mengkritik rezim Soeharto yang pada waktu itu menekan pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Tempo dianggap sebagai oposisi yang merugikan kepentingan pemerintah sehingga dihentikan penerbitannya pada 1994.
Goenawan Mohamad kemudian mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), asosiasi jurnalis independen pertama di Indonesia. Ia juga turut mendirikan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang bekerja mendokumentasikan kekerasan terhadap dunia pers Indonesia. ISAI juga memberikan pelatihan bagi para jurnalis tentang bagaimana membuat surat kabar yang profesional dan berbobot. Goenawan juga melakukan reorientasi terhadap majalah mingguan D&R, dari tabloid menjadi majalah politik.
Ketika Majalah Tempo kembali terbit setelah Pak Harto diturunkan pada 1998, berbagai perubahan dilakukan seperti perubahan jumlah halaman namun tetap mempertahankan mutunya. Tidak lama kemudian, Tempo memperluas usahanya dengan menerbitkan surat kabar harian bernama Koran Tempo.
Setelah terbit beberapa tahun, Koran Tempo menuai masalah. Pertengahan bulan Mei 2004, Pengadilan Negeri Jakarta Timur menghukum Goenawan Mohamad dan Koran Tempo untuk meminta maaf kepada Tomy Winata, (17/5/2004). Pernyataan Goenawan yang dimuat Koran Tempo pada 12-13 Maret 2003 dinilai telah melakukan pencemaran nama baik bos Arta Graha itu.
Goenawan yang biasa dipanggil Goen, mempelajari psikologi di Universitas Indonesia, mempelajari ilmu politik di Belgia dan menjadi Nieman Fellow di Harvard University, Amerika Serikat. Goenawan menikah dengan Widarti Djajadisastra dan memiliki dua anak.
Selama kurang lebih 30 tahun menekuni dunia pers, Goenawan menghasilkan berbagai karya yang sudah diterbitkan di antaranya kumpulan puisi dalam Parikesit (1969) dan Interlude (1971), yang diterjemahkan ke bahasa Belanda, Inggris, Jepang, dan Prancis. Sebagian eseinya terhimpun dalam Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, dan Kita (1980), dan Catatan Pinggir (1982).
Hingga kini, Goenawan Mohamad banyak menghadiri konferensi baik sebagai pembicara, narasumber maupun peserta. Salah satunya, ia mengikuti konferensi yang diadakan di Gedung Putih pada 2001 dimana Bill Clinton dan Madeleine Albright menjadi tuan rumah.
Goenawan Mohamad memang bukan penulis esai yang mumpuni, secara akademis. Bila mengharapkan uraian yang terstruktur, dengan tesis yang cemerlang dan tersusun dengan argumen yang pejal, tentu caping Goenawan tidak masuk ke situ. Saya tidak mencari itu di kumpulan-kumpulan capingnya. Saya memang selalu ketagihan dengan referensi yang ia pakai, narasi historis yang ia maknai secara personal, dan lompatan metafor yang sering memercikkan inspirasi.
Saya sendiri merasa baca kumpulan caping Goenawan Mohamad cukup melemaskan kepenatan pikiran setelah membaca uraian reportase yang terlalu polos setiap harinya.
Setengah buku saya selesaikan dalam perjalanan pulang ke rumah menggunakan kereta.
Membaca caping memang membutuhkan konsentrasi yang lebih, nggak konsen sedikit jadinya malah bingung. Dan perlu diingat. Saat akan memulai membaca, datanglah dengan pikiran yang kosong. Terima saja sampai kalimat terakhir setiap judul. Baru... pikirkan ^_^
Bagi saya. Catatan pinggir itu seperti ensiklopedia. Sungguh saya kagum, betapa luasnya "dunia" seorang Goenawan Mohamad.
Saya agak sulit mendefinisikan keilmuan dari Mas Goen (GM), kadang-kadang beliau menyoroti isu budaya, dan seolah-olah seperti pakar didalamnya. kadang-kadang menyinggung-nyinggung tentang isu filsapat dan sosial, hingga seolah-olah seperti pakar dalam bidang tersebut. atau kadang-kadang menyitir perihal permasalahan agama, dan seperti orang yang mengetahui seluk beluk agama itu. atau kadang-kadang, berbicara tentang sastra, tentang sejarah, tentang sosiologi ataupun antropologi, dan disetiap bidang yang kerap sedang dibahasnya itu, seseringnya mas goen menampilkan kecermatan dalam mengomentari.
Buku caping ini, yang dibukukan dari artikel mingguannya di koran tempo, memang menawarkan wawasan yang banyak. dan tentu saja, kadang-kadang saya pun ngantuk karena loncatan kata dan pemahamannya yang kerap tak tersamai.
Tulisan Goenawan Mohamad tidak pernah mengecewakan saya. Tulisannnya menjangkau ke seluruh alam dan zaman. Watak dan tokoh saling bertingkah, bertembung atau berganding di dalam esei-esei beliau. Beliau gemar melihat tokoh, watak, keadaan, sejarah dan peristiwa dari sudut pandang yang lain dari biasa.Tulisannya sering menjangkau pemikiran dan kadangkala melangkaui sempadan.