Buku yang berisi pemikiran - pemikiran (alm.) Soe Hok Gie, mahasiswa Jurusan Sejarah FSUI. Disusun lewat pengumpulan karya - karya tulisan Gie, baik di jurnal hariannya, maupun dari tulisan - tulisannya di koran nasional. menarik untuk dibaca. terlebih lagi lewat penggambarannya sebagai mahasiswa pada era orde lama, Gie dapat membawa kita menyelami kehidupan rakyat Indonesia sekitar tahun 1960-an.
Soe Hok Gie (17 Desember 1942–16 Desember 1969) adalah salah seorang aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969.
Soe Hok Gie menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin.
Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983).
Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Dia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok Djin, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal vokal dan sekarang berdomisili di Australia.
Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).
Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Bentang, 1997).
Sebagai bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama.
Hok Gie meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis, di puncak Gunung Semeru akibat menghirup asap beracun gunung tersebut.
John Maxwell menulis biografi Soe Hok Gie dengan judul Soe Hok Gie - A Biography of A Young Indonesian Intellectual (Australian National University, 1997).
Pada tahun 2005, catatan hariannya menjadi dasar bagi film Gie.
“Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau.”
“Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”
“Saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan.”
“Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi ‘manusia-manusia yang biasa’. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.”
Masih banyak lagi petikan diary ini. Sebuah buku yang merekam pergulatan intelektual melawan tirani.
Saya pertama kali membaca buku ini, saya betul-betul dibuat malu oleh sosok Soe Hok Gie. Malu karena dalam catatan harian ini saya melihat potret anak muda yang kurang lebih punya latar belakang keluarga dan lingkungan yang mirip dengan saya. Tapi pada tahun 50an, ketika Gie masih duduk di bangku SMA, dia sudah membaca dan memahami begitu banyak buku sastra, filsafat, dan sejarah kelas dunia. Sementara waktu itu saya malah sibuk asik main dotA setiap hari, hahaha...
Soe Hok Gie adalah sosok legenda bagi kalangan mahasiswa dan kaum intelektual muda Indonesia dari generasi ke generasi. Dan buku ini adalah potret dari kehidupan seorang idealis yang tetap berpegang teguh dan konsisten pada prinsipnya dari awal hingga akhirnya hayatnya. Sebuah catatan harian dari seorang aktivis mahasiswa tahun 60an yang berani bersuara lantang di tengah masa-masa paling gelap sekaligus paling mencekam dalam sejarah Bangsa Indonesia.
Buku ini diberikan oleh orang yang sangat spesial dalam hidup saya, dan sekaligus menjadi buku yang paling menginspirasi dan berpengaruh sangat besar dalam kehidupan saya. Dari mulai perkembangan intelektual dan emosional saya, sampai pada gagasan-gagasan dan ambisi saya tentang apa yang mau saya lakukan dalam hidup saya. Dalam catatan harian Gie, saya belajar dari kacamata seorang yang begitu gelisah akan ketidakadilan yang dialami oleh bangsanya, saya belajar untuk berani berbicara atas nama prinsip yang benar, saya belajar arti dari kata kejujuran dan integritas.
Buat saya, Soe Hok Gie adalah seorang role model hidup tentang konsep anak muda Indonesia yang cerdas (banget), luar biasa berani, punya prinsip dan integritas, sekaligus mau peduli dan berjuang secara konsisten untuk kemajuan bangsanya. Semoga dia bisa tetap menjadi inspirasi dan kaum intelektual muda untuk setiap generasi, termasuk juga kamu yang membaca resensi ini.
Saya sudah jadi fans Soe Hok Gie sejak saya masih kelas 1 SMP. Saya masih ingat dulu saya mulai jatuh cinta pada sosoknya ketika Papa memutar film Gie di ruang keluarga. Meski di tengah film Papa akhirnya jatuh tertidur, saya tetap lanjut menonton tanpa bergeming. :)
Masih lekat pula di ingatan saya ketika dulu saya disuruh untuk membuat biografi tokoh yang dikagumi, dan saya menulis biografi Soe Hok Gie. Ketika itu hanya saya dan dua teman saya yang lain yang mengumpulkan tugas, jadi makalah saya yang sudah saya kerjakan dengan susah payah itu akhirnya tidak terbaca. Sepulang sekolah saya mengurung diri di kamar, menangis. Sejak saat itu saya sungguh membenci guru Bahasa Indonesia saya XD
Jadi ketika suatu kali saya menemukan buku ini, saya tidak berpikir dua kali untuk membelinya. Walau akhirnya bukan saya orang pertama yang baca, tapi malah kakek saya, setelah adu mulut yang lumayan menghibur :p
Buku ini berisi jurnal kehidupan Soe Hok Gie yang terangkum dalam kurun waktu beberapa tahun. Dimulai dengan kata pengantar dari beberapa tokoh (yang kadang membosankan, tapi tetaplah membaca karena kata-kata mereka banyak yang patut digaris-bawahi), lalu dilanjutkan dengan jurnal Gie ketika masih remaja. Tutur katanya masih begitu polos saat itu. Lalu kita seperti diajak naik mobil bersama dengan Gie, yang menunjukan kepada kita kerikil-kerikil dalam hidupnya, sambil berkomentar tentang apa yang terjadi di negeri ini. Lalu puisi-puisinya yang indah dan pemikirannya yang misterius, sinis namun haus didengar. Di buku ini banyak sekali kata-katanya yang patut dikutip, digaris-bawahi lalu disimpan.
Sampai kapanpun saya tidak akan bosan membaca buku ini. Selalu ingin menangis ketika saya sampai di penghujung buku, jurnal yang bagian akhirnya seolah tercuri. Saya selalu akan merasa sedih karena saya tahu satu-satunya hal yang tidak dia ketahui, tidak dia tuliskan dalam jurnalnya: kematiannya. Selamanya akan merasa haru karena sampai kini namanya ada di hati beberapa orang, salah satunya saya, dan bahwa eksistensinya bermakna, dan langkahnya menjadi panutan.
'...keberuntungan yang pertama adalah tidak dilahirkan, yang kedua adalah mati muda....'
'...semua perjuangan yang kita lakukan ini sia-sia, tapi kita harus tetap berjuang...' (maaf kalau salah kutip, bukunya sudah tak di tangan lagi)
Gie memang tokoh yang mampu menginspirasi dengan idealisme-idealismenya. Tapi kesan yang saya tangkap di buku ini, diumurnya yang masih muda Gie menjadi seorang yang 'sinis' dan 'gelisah' terhadap dunia (atau skeptis ya? maaf saya belum bisa menemukan kata2 yang tepat). Mungkin dikarenakan perlakuan yang ia terima waktu muda, atau mungkin karena faktor buku2 yang ia baca. Entahlah. Tapi yang saya tangkap 'kesinisan'nya itu tidak menghalangi ia untuk tetap berjuang.
Kesan kedua yang saya tangkap dari Gie adalah Gie dengan idealisme dan intelektualitasnya sulit sekali untuk memberi ruang kesalahan, yang pada akhirnya sulit sekali untuk memberi ruang pada orang lain. Gie selalu merasa benar.
Kesan yang ketiga. Dari foto yang terdapat di buku ini, Gie sangat berbeda dari Nicholas (Nikolas?) S. Gie di buku ini tersenyum dan terlihat ramah, bukan cowok supercool.
Untuk sebuah diary non fiksi, ini salah satu buku terbaik yang pernah kubaca. Well, yang pasti aku kagum dengan kecerdasannyannya, pemikiran2nya, ide2 yang terbersit di benaknya, kecintaannya pada orang2 di sekelilingnya, keperduliannya pada lingkungan di sekitarnya. Bisa dibilang, aku jatuh cinta kepada pria yang satu ini meskipun dia sudah berpulang ke alam baka ;D
Aku tergila-gila dengan puisinya yang ditujukan pada salah satu wanita yang sering disebut2 dalam diarynya itu:
"...aku ingin mati dalam pelukanmu sayang..." sedih sekali membaca puisi itu. Hatiku terenyuh, Gie...hiks...hiks...
Mungkin banyak orang menyesal kenapa catatan hidup Soe Hok-gie harus difilmkan. Tapi jika film itu tidak pernah ada, entah kapan saya bisa mengetahui sosok mahasiswa Indonesia yang satu ini. Ya, berkat promosi film GIE di media, rakyat Indonesia menemukan kembali Soe Hok-gie, setidaknya dalam karakter yang diperankan Nicholas Saputra. Saya pribadi jadi penasaran dan bersemangat mencari buku ini sampai ke Bandung (waktu itu saya masih tinggal di Bengkulu). Beruntung Hok-gie waktu itu memulai catatan hariannya di masa SMP, di usia yang kira-kira sama dengan usia saya saat mulai membacanya. Sedikit banyak, saya merasa ikut terlibat dengan kegundahan yang ia rasakan sebagai remaja di tengah remaja lainnya dan hegemoni guru-guru sekolah. Saya merasa hal yang paling berpengaruh dari buku ini pada diri saya adalah minat terhadap kebudayaan, apakah itu sastra, musik, film, puisi. Ia ikut andil meluaskan perbendaharaan sastra saya, bahkan saya jadi ikut-ikutan bereksperimen membaca buku filsafat di usia semuda itu (lebih karena sok-sokan, saya kira). Saya kira Hok-gie masih tetap menjadi ideal, karena kemelekbudayaan di usia semuda itu kini sudah jarang saya temui, bahkan ketika akses untuk itu sudah jadi lebih mudah. Saya masih sering membaca ulang buku ini sampai sekarang, terutama kehidupan mahasiswanya. Banyak hal yang baru bisa terkupas setelah semakin banyak keterkaitannya dengan kemahasiswaan saya sendiri. Alangkah mengherankannya, apa-apa yang diperjuangkan sejak dulu masih saja belum terwujud sekarang. Ah, waktu berjalan, tapi manusia memang begitu adanya, saya kira.
Buku ini mengingatkan saya sama Mas Anto. Mahasiswa sejarah yang sosoknya kecil berkacamata. Wajahnya menipu dibalik angkatanya yang lima tahun di atas saya. Lewat dia saya pinjam buku ini, dan banyak buku sejarah lain. Senior yang tidak canggung bergaul dengan anak baru secara wajah dia malah disangka anak SMA. Curaaaang!!!
Mas Anto yang pertama kali cerita soal warna-warni dunia aktifisme kampus dulu. Dia sendiri pernah dituduh sebagai penganut kejawen sewaktu mau mencalonkan diri jadi pejabat dunia mahasiswa. Ah politik norak macam mana itu? Satu-satunya yang bisa mensahkan tuduhan itu adalah logat jawanya yang tidak hilang meski bertahun tinggal di Tatar Sunda. Kalau saja Chintya Laura mau jadi pejabat kampus, pasti kaum norak itu bakal menuduh Chintya Laura sebagai penganut "Kebulen" karena gaya bicaranya yang kebule-bulean itu. hahaha
Mas Anto memang bukan Gie. Hanya orang yang memperkenalkan saya kepada buku ini dan dunia kampus. Tapi selalu nyangkut di kepala ketika saya menoleh ke buku ini. Bahkan ketika Gie didekonstruksi pasar dengan sosok Nico. Kedua setelah Che Guevara direbut oleh pasar. Sulit membedakan Che dengan Ricky Martin jadinya saya. Both of them are nothing but handsome latinos yang disimbolkan oleh kapitalisme. Ah...yang terakhir ini musuhnya Che bukan seharusnya?
Gie sebelum jadi agak wangi seperti itu pun memang digandrungi secara rahasia oleh banyak wanita pada jamanya. Juga banyak aktifis kampus barang kali, yang membanjiri bioskop saat film ini diputar. Tetapi kekaguman itu, seperti Daniel Dakhidae bilang dalam pengantar buku ini, bisa jadi adalah alienasi atau kerinduan akan kelugasan dan kejujuran Gie yang sesungguhnya semakin jauh dari kita. Sosok seperti itu yang akrab dengan kesendirian sementara massa berkepruk riuh tanpa sedikitpun mau dan mampu menyambangi ia di gua semadinya.
It took me 10 months to read this book wowwww and finally here i am. Soe Hok Gie, seorang idealis sejati ! Dari umur 14 tahun sudah mulai menulis catatan. Bukan sembarang catatan, tapi begitu kritis dan dalam. Seumur dia gue juga udah mulai menulis catatan pribadi tapi kualitasnya beda banget hahaha. Gara-gara Hok Gie gue jadi semangat mau nulis lagi nih ;’) Anak angkatan 60’an pasti bangga banget ya punya Seo Hok Gie
Apa yang ada di benak seorang demonstran? Itu pertanyaan yang saya ajukan sebelum membaca buku ini. Selama ini, dalam hemat saya, demonstrasi hanya tindakan sia-sia yang merusak dan tak jarang berbuntut perkara. Apa pikiran yang melandasi tindakan konfrontatif para mahasiswa? Cara terbaik untuk mengenal pemikiran seseorang adalah dengan membaca tulisannya. Oleh karena itu saya mencoba menemukan jawabannya di sini. Agak kecewa sebenarnya saat saya menemukan bahwa buku ini bukanlah sepenuhnya "catatan seorang demonstran". Buku ini lebih merupakan sebuah memoar perjalanan hidup Soe Hok Gie, dengan segala kerumitan pikirannya. Bagian yang benar-benar saya suka hanya bab Catatan Seorang Demonstran di mana Soe Hok Gie menuturkan jalannya demonstrasi-demonstrasi tahun 1966 dari sudut pandang mahasiswa. Tapi sosok Soe Hok Gie sendiri bukannya sosok yang tidak menarik. Sedari kecil dia sudah menolak mentah-mentah pakem keagamaan dan mengikuti sastra dan pemikiran barat. Dia juga mengolok-olok guru bahasa Indonesianya yang dianggapnya tidak mengerti sastra. Di masa mahasiswa, dia adalah seorang idealis tangguh yang benci dengan agenda komunisme. Menjelang akhir hidupnya yang singkat, bisa dikatakan bahwa Soe Hok Gie seorang humanis tulen (bedakan humanis dengan humanitarian) yang menentang segala bentuk militansi. Walau titik penting buku ini adalah gagasan politiknya, tapi buku ini lebih banyak memuat sisik-melik kehidupan Soe Hok Gie. Soal hidup, cinta, dan aktivitas pecinta alam yang digeluti juga ditulisnya. Semua ini dituliskan dengan pemikiran dan renungan yang dalam sehingga tidak terkesan remeh. Banyak mahasiswa yang mengaku pernah membaca Catatan Seorang Demonstran tapi banhkan tindakannya amat jauh dari apa yang dicita-citakan Soe Hok Gie. Entah mereka menghayati apa yang dipikirkan Soe Hok Gie dengan sungguh-sungguh atau hanya sekadar mencari pembenaran untuk berdemo saja.
Luar biasa semangat yang dibawa Gie lewat tulisan-tulisannya. Benar-benar menunjukkan bahwa dia adalah orang yang idealis dan susah untuk diajak kompromi. Banyak nilai-nilai yang dapat diambil dari kehidupannya. Mungkin bagi banyak pemuda yang membaca buku pasti akan salut dengan idealis dan perjuangannya. Tapi, disayangkan ada hal-hal yang tidak bisa dicontoh dari dia. Kurangnya sikap kritis (critical thinking) dia pada suatu hal hingga membuat dia menjadi seperti "buta". Contoh ada isu atau kabar yang berkembang di masyarakat dan dengan kritisnya dia berpendapat tapi disayangkan dia tidak kritis apakah isu yang beredar itu benar atau cuma kabar burung belaka. Dan hal-hal tersebut yang menjadi titik lemah dari seorang Gie. Tapi, dengan sosok Gie seharusnya jadi pedoman bagi mahasiswa bahwa seharusnya seorang mahasiswa mengabdi dengan masyarakat dengan apa yang bisa dilakukan
Buku ini seharusnya dapat membakar semangat para mahasiswa untuk menjadi yang sebagaimana seharusnya. Mahasiswa harus berfikir kreatif, berwawasan luas, humanis, dan berani mengambil resiko untuk sebuah kebenaran. Di buku ini diceritakan juga romantisme yang dia alami sebagai remaja, pengalamannya naik gunung, dan pengalamannya ke Amerika.
Di usianya yg tidak panjang, 27 tahun kurang 1 hari, Soe Hok Gie telah sukses membekaskan nama dan perjuangannya dalam sejarah perjalanan hidup teman-temannya, keluarga, dan bangsanya.
Sangat ‘worth it’ untuk dibaca dan menyadarkan kita untuk berkarya dan berani. Semuanya menarik dan saya tahu dia seorang Indonesia sejati ‘after all’.
Eye-opening and a must-read for activists and intellectuals. This took me a few days due to the unfamiliar Indonesian language. To be completely honest, I understood only 70% of the content. Nonetheless, it deals a lot with ideas and concepts. Hence, a fascinating read. It does feel like more of philosophical monologues than journal entries. . Soe Hok Gie was a renowned Indonesian student activist in the 1960s. Upon his death at the age of 27, his writings became famous for his strong ideas on identity, justice and anti-corruption. The entries also include his many friendships and romances, together with all the political happenings during the 1960s. One name that keeps on popping up is Soekarno, the President who was deemed corrupted and autocratic. During this time, the transition between Soekarno and Suharto was going on, representing the Old Order and the New Order respectively. . One main feature of the book that I love so much is the strong intellectual tradition in universities. Students spent a lot of time discussing ideas - democracy, communism, culture and a lot more. They were adamant that learning does not mean blind faith. Instead, dissent is a huge part of society too. To oppose injustice is a must. As a Malaysian who does feel that we do not support intellectuality enough here, his ideas really resonated with me. It is so very important to have a culture of awareness and accountability. All of us should fight for justice, not merely the select few. . 4/5. Highly recommended if you are into activism or journal-reading. Soe Hok Gie was a marvelous young thinker who unfortunately did not live long to fulfill his potential. However, his journal entries immortalised him in a way. People still talk about him and his ideas. Perhaps, that was his destiny all along.
Sosok terkenal Soe Hok Gie, pemuda idealis dalam menegakkan Orde Baru di Indonesia sekitar tahun 60an. Terkenal dengan kritikan terbuka dan keras kepada hal-hal politik dan sosial juga pernah mengikut demonstrasi mengecam tindakan penguasa sewaktu menjadi mahasiswa di universiti. Catatannya jujur dan ekspresif-- pemikiran dan idea-idea perjuangan mengguling korupsi, hal-hal teman yang seangkatan, kisah harian dan tragedi juga hal personal tentang cinta dan perhubungan.
Aku suka bahagian di zaman sekolah dan awal remaja, sinis dan lucu (tentang Djago yang tidak makan dua hari) juga kisah Hok Gie berdebat dengan guru-guru tentang sejarah dan sastera. Waktu ini Hok Gie sudah menunjuk minat kepada hal politik dan sosial, tentang nasionalisme dan pendemokrasian. "Kita memuji demokrasi tetapi memotong lidah seseorang kalau berani menyatakan pendapat yang merugikan pemerintah." Catatan dan pendapatnya tegas dan realis, gemar sekali dengan pandangan beliau terhadap literatur dan penulis-penulis, perkongsian filem yang sempat ditonton juga hal-hal pendakian yang beliau ikuti bersama teman-teman. Buku yang bagus dalam melihat sebahagian sejarah Indonesia juga kehidupan seorang aktivis dan penulis kritik sosial yang lantang bersuara.
"Kadang-kadang saya berpikir bahwa saya adalah anak nakal yang membangunkan manusia dari mimpi-mimpinya yang indah padahal bohong."
Buku ini akan membawa kita lebih dekat dengan seorang pemuda aktivis yang sangat berpengaruh dijamannya. Banyaknya typo yang bertebaran dalam buku ini tidak mengurangi keinginan saya untuk terus membacanya. Buku ini banyak menambah pengetahuan saya mengenai situasi politik yang terjadi pada saat itu.
Kebenaran hanya ada di langit dan dunia hanyalah palsu dan palsu.
Gie, sosok pemuda intelektual yang sangat kritis. Di masa mudanya, dia sudah mempunyai pikiran yang kritis yang sangat jarang ditemui hingga saat ini. Dia memilih untuk menjadi seorang idealis daripada menjadi apatis.
Gie, meskipun dia begitu keras terhadap pemerintah, tapi dia mempunyai hati yang lembut terhadap wanita.
Gie, banyak yang mendukungnya. Tapi banyak pula yang menentangnya.
Gie, pemuda yang mencintai gunung dan meninggal di atas gunung pula. Sesuai dengan keinginannya, bahwa dia ingin mati muda dan ingin meninggal di atas gunung tertinggi di Jawa.
Andai Gie masih hidup saat ini, apa kira-kira yang akan dia tulis dalam surat kabar mengenai pemerintahan sekarang yang penuh dengan sandiwara dan dagelan?
Buku ini membikin saya seakan begitu mengenal Soe Hok Gie secara pribadi, dia adalah salah satu aktivis kemanusiaan yang saya kagumi karena kejujurannya, keberaniannya, dan kecerdasannya secara intelektual dengan banyak membaca, bahkan sejak SMP dia sudah banyak membaca buku-buku sastra dan filsafat yang membuat saya malu pada diri sendiri kenapa baru mau memulai menumbuhkan semangat literasi baru-baru ini, kenapa tidak sedari dulu? Tapi ya sudahlah kan tidak ada kata terlambat untuk belajar. Pribadi Gie ini mengingatkan ku dengan sosok Minke karya Pram, dia seperti perwujudan Minke di zaman yang berbeda, begitu banyak kesamaan yang ku temui dari pribadi Gie ini dengan Minke. Ya. Mereka sama-sama digerakkan oleh keinginan untuk membela kebenaran akan suatu ketidakadilan. Menurut ku Gie juga merupakan perwujudan dari pribadi dari puisi Wiji Thukul yang tidak hanya membaca saja tapi juga melakukan aksi terhadap kezaliman yang terjadi di negeri ini. Membaca rekaman sejarah ini banyak membuka wawasan baru bagi saya mengenai sisi lain daripada sejarah di Indonesia dan juga memperlihatkan perjuangan daripada Mahasiswa dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Teringat catatan yang masih segar dalam pikiran dari buku ini, "Sejarah hanya untuk penguasa" Yang membikin saya berpikir benarkah sejarah yang saya pelajari selama ini? Karena begitu banyak kebenaran yang ditutup-tutupi pemerintah yang mungkin saja mereka telah memanipulasi sejarah dengan merahasiakan kebenaran yang bisa merugikan posisi mereka. Tulisan ini juga mengingatkan saya betapa pentingnya peran pemuda dalam menentukan nasib bangsanya, pergerakan daripada kaum intelektual ini sangat menentukan mau dibawa kemana bangsa ini. Terkait demonstrasi yang memerangi ketidakadilan dan memperjuangkan kebenaran, terbesit di pikiran saya apakah para demonstran-demonstran itu benar-benar memperjuangkan kebenaran secara tulus dan suci atas nama rakyat? Semoga saja Iya, karena timbul keragu-raguan dalam diri saya saat melihat perjuangan para demonstran jika saja mereka memperoleh kuasa dan punya posisi dalam pemerintahan, akankah mereka menjadi oportunis seperti golongan-golongan Tua itu? Semoga saja tidak. Dalam pribadi Gie ini saya tidak meragukan akan perjuangan-perjuangannya karena dia benar-benar tulus berjuang demi kebenaran atas nama rakyat. Catatan harian Gie ini memperlihatkan rekaman sejarah daripada rezim Soekarno yang mengingatkan ku dengan bukunya George Orwell, Animal Farm dan 1984. Benar-benar mereka dibuat lupa oleh Harta dan Tahta akan perjuangannya dahulu mengenai kemerdekaan, terlebih lagi Presiden pertama ini di hancurkan moralnya dengan ujian paling berat yaitu : Wanita oleh para menteri-menterinya pada saat itu. Tak bermaksud menyalahkan juga, akan tetapi jangan sampai kehilangan moral dan melupakan yang diperjuangkan begitu saja yaitu rakyat, keadilan, dan kebenaran.
“Saya dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942 ketika perang tengah berkecamuk di Pasifik…” Sebuah catatan pada tahun 1957 tercipta dari tangan seorang generasi Indonesia keturunan Cina. Namanya Soe Hok Gie. Seseorang yang hidup pada era orde lama yang selanjutnya menjadi salah satu tokoh penting dalam pergerakan perubahan yang terjadi di Indonesia saat itu.
Gie yang selanjutnya menjadi pemuda yang gusar dalam perasaan dan pemikirannya yang terus bertumbuh lalu mencurahkan ide – ide, pemikirannya dalam rentetan catatan harian yang menjadi teman setianya hingga 12 tahun. Pada masa itu, terjadi pergolakan besar – besaran di negara Indonesia. Gie, selain menjadi saksi juga menjadi tokoh yang ikut memberikan andil dalam perubahan. Selain lewat catatan hariannya yang menjadi his life privation recorded, Ia juga merekam jejak pemikirannya dalam berbagai media cetak yang saat itu diharapkan mampu menyebarkan pola pikirnya yang cenderung idealis namun realis. Secara nyata, Ia juga menjadi pion utama dalam tonggak awal demonstrasi mahasiswa, pergerakan mahasiswa yang mulai menanyakan berbagai kebijakan pemerintah dengan melakukan aksi turun ke jalan.
Lewat catatan hariannya, akan terlihat Gie yang begitu idealis, nasionalis, realis dan yang lebih penting, Ia menjadi sosok yang selalu menjunjung nilai kebenaran. “Siang tadi ketika aku momong kera, aku bertemu dengan seorang (bukan pengemis) yang tengah memakan kulit mangga…… dan kuberikan Rp. 2,50 dari uangku. Uangku hanya Rp 2,50 waktu itu….. Ya, dua kilometer dari pemakan kulit, “paduka” kita mungkin lagi tertawa – tawa, makan – makan dengan istri – istrinya yang cantik….. Kita, generasi kita, ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau…. Kitalah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia…… Cuma pada kebenaran kita harapkan. Kebenaran cuma ada di langit dan dunia hanyalah palsu, palsu. Sebuah nilai kebenaran yang menjadi acuan kehidupan seorang Gie sehingga selanjutnya ia akan dikenal sebagai sosok yang keras namun real dalam bertindak dan mencoba mengembalikan ‘kesadaran’ masyarakat yang sudah kadung melihat pemerintah sebagai suatu area ‘tabu’ untuk disentuh. Dan Ia melakukannya.
Soe Hok Gie. Pemuda yang kritis pada jalannya keadilan juga memiliki ‘pelarian’ selain perjuangannya di kampus kepada pemerintah. Kekagumannya pada alam dan kegemarannya menaiki gunung menjadikan pribadinya semakin tangguh namun seketika rapuh saat menikmati keindahan alam yang ia rekam melalui tulisannya. Ini juga yang menjadi arus kegiatan bernama MAPALA yang telah Ia buat jauh waktu sebelumnya. Bersama kawan – kawannya, melalui sebuah organisasi kecil yang tercipta hanya untuk pergi ke alam dan menikmati kebesaranNya.
Dalam 12 tahun catatan hariannya, ada bagian yang merefleksikan Gie sebagai seorang manusia normal yang mendamba kehidupan manusia normal lainnya. Cinta. Sebuah Tanya dan kerinduan pada bagian yang jarang Ia sentuh. Sebuah bagian yang begitu simpel namun (mungkin) terasa sulit untuk dijalani. “Mereka orang – orang ‘tikus’ ini, senang pada saya karena saya berani, jujur dan berkepribadian. But not more than that. Pada saat mereka sadar bahwa saya ingin menjadi in-group mereka, mereka menolak…… Soal ini telah lama saya sadari. Tetapi pada waktu itu datang sebagai kenyataan, rasanya pedih sekali….” Sebelumnya, Ia pun telah menyerahkan perasaannya dalam sebentuk sajak yang membuat hatinya merindukan akan harapan dan cinta.
Sebuah Tanya
Akhirnya Semua akan tiba Pada suatu hari yang biasa Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Apakah kau masih selembut dahulu Memintaku minum susu dan tidur yang lelap? Sambil membenarkan letak leher kemejaku
(kabut tipis pun turun pelan – pelan di lembah kasih, lembah mandalawangi Kau dan aku tegak berdiri Melihat hutan – hutan yang menjadi suram Meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
Apakah kau masih semesra dahulu Ketika kudekap kau Kau dekap lebih mesra, lebih dekat
(lampu – lampu berkelipan di Jakarta yang sepi Kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya Kau dan aku berbicara Tanpa kata, tanpa suara Ketika malam yang basah menyelimuti Jakarta kita)
Apakah kau masih akan berkata Kudengar derap jantungmu Kita begitu berbeda dalam semua Kecuali dalam cinta
(hari pun menjadi malam Kulihat semuanya menjadi muram Wajah – wajah yang tidak kita kenal berbicara Dalam bahasa yang tidak kita mengerti Seperti kabut pagi itu)
Manisku, aku akan jalan terus Membawa kenangan – kenangan dan harapan – harapan Bersama hidup yang begitu biru -Selasa, 1 April 1969
12 tahun catatan harian nya kini dirangkum dalam sebentuk buku berjudul “Soe Hok Gie : Catatan Seorang Demonstran” terbitan LP3ES, Jakarta. Secara beruntung, aku akhirnya mendapatkan buku yang langka ini pada saat hunting di pasar buku di daerah belakang Sriwedari, Solo. Langka secara harfiah karena semenjak buku ini kucari empat tahun belakangan di berbagai toko buku di Solo, stoknya kosong. Tapi Tuhan memang sayang, akhirnya sekarang kumiliki buku ini secara official :)
Sosok Gie dalam pandanganku adalah karakter yang cerdas, berani, terstruktur, idealis dan realis. Tidak segan kata – katanya tajam yang akhirnya membuka tabir kebenaran yang sengaja ditutup – tutupi oleh beberapa pihak saat itu. Sebagai ganjarannya, adanya beberapa pihak yang kontra akan apa yang dilakukan Gie. Semua hal ini terangkum jelas dalam setiap goresan pena catatan hariannya. Tapi sayang, nama – nama beberapa tokoh sengaja diganti bahkan dihilangkan. Yang anehnya, beberapa nama justru tercetak dengan jelas seperti beberapa anggota parlemen pemerintahan yang memiliki bad responses lewat pemikiran Gie. Entah apa tujuan dari LP3ES melakukan itu. Jika memang LP3ES ingin menyebarkan pemikiran dari Soe Hok Gie, kenapa juga tidak mencantumkan beberapa artikel buatannya untuk kompas dan beberapa media cetak saat itu dalam buku ini? Sepertinya masyarakat akan lebih mudah untuk mencerna sekaligus memahami apa yang Gie ingin sampaikan.
Secara struktur, agak susah pada awalnya untuk mengerti isi buku ini. Tentu, karena ini adalah kumpulan catatan harian yang semestinya menjadi konsumsi pribadi penulis. Tapi berkat kata pengantar yang ditulis oleh Harsja W. Bachtiar (saat menulisnya, Ia adalah Dekan Fakultas Sastra UI, tempat Gie belajar sebagai mahasiswa Sejarah) terbayanglah akan isi buku ini yang selanjutnya menemani waktu senggangku sambil nongkrong di angkringan, makan, sesudah bangun, sebelum tidur atau membacanya memang pada waktu khusus yang sengaja kusediakan untuk melahap isi buku ini.
Karakter Gie telah pun telah di audio visual-kan dengan judul yang sama. Lewat keinginan Mira Lesmana dan eksekusi dari Riri Riza, tercipta Gie yang saat itu diperankan oleh Nicholas Saputra. Sayangnya ada perbedaan yang mencolok dari film Gie jika disandingkan dengan karakter Gie langsung lewat catatan hariannya. Gie yang ditampilkan begitu dingin dan keras. Seolah tak ada celah untuk memperlihatkan Gie yang idealis namun kadang rapuh dan hangat dalam waktu yang berbeda seperti yang tertampilkan dalam catatan hariannya. Mungkin Riri Riza memang memiliki tujuan penciptaan karakter Gie yang seperti itu. That’s all back to the director. But, overall, Film nya cukup bagus (pada saat pertama aku menontonnya, aku sama sekali kosong tentang sosok Gie tapi pada saat menonton ulang baru aku mengerti alurnya :p. Ini juga yang menjadi start awal perburuanku mencari buku ini) dan Buku ‘Soe Hok Gie : Catatan Seorang Demonstran’ sangat layak untuk dikoleksi. Sebagai satu rekaman perjalanan Indonesia yang berharga.
Saya beri rating 3 karena apresiasi dan rasa kagum saya kepada Soe Hoek Gie atas kegemaran dan kesadarannya untuk menulis. Tentu hal inilah yang akan mengabadikan buah pemikirannya. Saya beri rating 3 juga karena memang saya belum terpuaskan dengan sosok Gie dalam buku ini. Hal ini tentu dapat dimaklumi karena ini memang buku catatan. Kumpulan catatan penulis yang disatukan dan diterbitkan kembali. Membaca buku catatan berarti membaca hal-hal pribadi yang tersaji dalam subjektifitas perasaan seseorang. Dari buku ini dapat diketahui bagaimana pandangan politik Gie selama menjadi mahasiswa, bagaimana pertentangannya dengan rezim Soekarno, bagaimana pendapat Gie terhadap teman-teman dan orang terdekatnya, dan pandangan terhadap dirinya sendiri. Dituliskan juga mengenai aksi-aksi nya di jalan, kegiatan-kegiatan diskusi dan kesehariannya, serta perjalanan pendakiannya di Gunung-gunung Indonesia. Salah satu hal yang sukar dipahami adalah membangun cerita dari potongan-potongan plot dari catatan ini. Ditambah lagi ada beberapa bagian catatan yang hilang. Sehingga seakan buku ini tidak akan cukup untuk membuat kita mengenal secara penuh siapa sosok Soe Hoek Gie di masa kebangkitan Mahasiswa. Buku ini juga tidak bisa dijadikan sumber tunggal untuk menilai sejarah Indonesia pada masa orde lama dan keruntuhannya yang digantikan dengan orde baru. Tapi beruntung, ada ulasan dari berbagai pihak di halaman-halaman awal dan akhir buku ini. Dari sini lah kita dapat mengkonstruksi sosok Soe Hoek Gie dari sudut pandang orang ketiga. Baik dari media, rekannya semasa muda, dan bahkan kakaknya sendiri. Dan tidak beruntung juga bagi saya. Karena membaca ulasan ini di awal, justru malah menghilangkan sensasi kejutan dari kutipan-kutipan Gie dalam catatannya. Sebab kalimat-kalimat terbaik yang Gie tulis dalam catatannya tersebut sedikit banyak sudah ditulis pada ulasan tersebut. Jadi bagi yang ingin membaca buku ini, saya sarankan untuk langsung membaca bab catatannya. Kemudian melanjutkan membaca ulasan setelah selesai dengan bab catatannya.
Dan terakhir, tidak lupa saya ucapkan Selamat Membaca kepada kawan-kawan. Salam !
salut dengan mendiang gie yang sudah berani mengkritisi pemerintahan yang bobrok sejak masih bercelana biru.
berikut beberapa kutipan dari gie yang menurutku keren dan patut direfleksikan: 1. "Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau." (hlm. 65) 2. "Kita merayakan hak-hak asasi, tetapi kita merobek-robek hak tadi. Kita memuji demokrasi, tetapi memotong lidah seseorang kalau berani menyatakan pendapat yang merugikan pemerintah." (hlm. 70-71) 3. "Dan seorang pahlawan adalah seorang yang mengundurkan diri untuk dilupakan seperti kita melupakan yang mati untuk revolusi." (hlm. 93) 4. "Belajar tanpa selera tidak akan berhasil. Tanpa fighting spirit, maka kita bukan apa-apa. Hanya dengan inilah kita dapat belajar dengan semangat." (hlm. 101) 5. " ... satu-satunya yang dapat kita lakukan dewasa ini adalah tidak bersikap apatis dan membuat pemuda dan mahasiswa tidak skeptis." (hlm. 103)
MEMBACA Soe Hok Gie berarti melihat kepada seseorang yang berani berkata “Tidak!” dalam kelam yang tidak tahu kapan selesai. Sebab, catatan harian Soe Hok Gie di tahun-tahun setelah merdeka adalah catatan masa ini yang tak lelah berharap: tentang idealisme yang didesak untuk teguh, tetap, tanpa rasa takut.
Tentu saya tak mengerti benar bagaimana tanah air pascakemerdekaan. Tapi Soe Hok Gie menulis: di suatu siang, di ibukota, pada 10 Desember 1959, Gie bertemu dengan seseorang yang tengah memakan kulit mangga. Hanya kulit. Orang itu jelas kelaparan. Tapi ia bukan pengemis, Gie tahu benar itu. Orang itu akhirnya menerima Rp. 2,50 dari Gie.
“Aku besertamu, orang-orang malang,” tulis Gie hari itu, meniru ungkapan biblis.
Yang menarik ialah bahwa niatan pemberian Gie agaknya lahir lebih dari kegeraman, suatu ironi: dua kilometer dari pemakan kulit itu sang `Paduka` ─sebutan untuk Soekarno─ mungkin sedang “tertawa-tawa, makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik” di Istana.
Gie memang kerap menunjukkan keberangan terhadap rezim Soekarno. Ia kecewa terhadap “orang-orang yang dibesarkan di zaman Hindia Belanda almarhum”. Dan ia, dalam usia kurang 20 tahun di tahun 1950-an, memang termasuk kaum kritis terpelajar ─terbiasa berbincang tentang Marx, Childe, Chekov, Dawson, Walt Whitman atau Freud, menaifkan anak sastra Jerman yang tak tahu Goethe/ Holderius/ Thomas Mann, dan sering berdebat tentang sejarah, misal Ken Arok atau Chairil, dengan gurunya.
Keadaan ibukota saat itu tak bisa dikatakan aman. Pertarungan elit politik sangat ramai. Pada awalnya Tentara, di bawah komando Nasution, bekerja sama dengan Soekarno. Mereka bahu-membahu dalam tigal hal: memperkecil peran partai politik, memberlakukan kembali UUD 45, dan menerapkan sistem otoriter Demokrasi Terpimpin. Tapi kedudukan Tentara makin kuat, dan itu menggelisahkan Soekarno. Taktik diubah: Soekarno memperbesar partai politik untuk mengimbangi Tentara dengan Nasakom. Tapi PNI terpecah dan NU tak mau satu pihak dengan PKI, sehingga komunis menjadi satu-satunya sekutu. Tentara yang tak mau berkonfrontasi secara langsung dengan Soekarno dibikin pecah belah. Saat itu, segala-gala dibubarkan dan dipecat: harian oposisi, Liga Demokrasi, percetakan-percetakan, Nasution.
Charles Tambu, seorang diplomat yang pernah bersama-sama Sjahrir, Agus Salim, Sumitro, pergi ke Lake Success untuk mengadukan agresi militer Belanda yang ke-I, mengisahkan hari-hari sulit itu setelah surat kabar miliknya, Times of Indonesia, tidak diizinkan terbit oleh Soekarno. Di satu Ramadhan ia mengirim surat meminjam uang karena “satu sen pun tidak ada di rumah”. Tapi ada kata-katanya yang lebih pesimis: rezim otoriter ini akan berlangsung lama, dan satu generasi akan hilang, yaitu generasi kita.
Generasi itulah generasi di mana Soe Hok Gie berada di dalamnya. Hiruk pikuk politik agaknya telah melupakan rakyat benar-benar, termasuk orang pemakan kulit dalam catatan Gie. Pada 12 Juni 1960 ia menulis, “Delapanpuluh juta rakyat Indonesia mengacungkan tangan menanti harapan atas Revolusi ’45. Dan mereka sia-sia menanti. Mereka hidup melarat dan pemimpin-pemimpin seperti Soekarno hidup mewah. Dan rakyat yang telah berjuang itu telah dikhianati oleh pemimpin-pemimpinnya.”
Gie tak bisa sembunyi atau berpura-pura tak tahu, meski ia berbeda dengan Charles dalam melihat suatu harap, sebuah cerah: inilah suatu pertanda datangnya hero. Keburukan yang sungguh telah menyengsarakan rakyat, kemudian sesosok hero akan datang dari langit terang. Maka dari itu ia bergerak dalam demonstrasi-demonstrasi.
Kita yang membaca catatan-catatan harian itu akan mengetahui perasaan sangsi atau membangkang pada pemerintah berkuasa yang memperlihatkan Gie sebagai seorang yang idealis. Dalam banyak hal, karena nilai-nilai `kemanusiaan` di dalam dirinya (ia tak percaya Tuhan), Gie memposisikan diri sebagai kaum intelegensia yang, meminjam Ortega Y. Gasset, “merasa lebih dari orang lain dan menuntut lebih kepada dirinya”. Ia berjuang, menabrak sana-sini, mengecam, menuntut bahwa “generasi tua yang mengacau” mesti diberantas, mesti “ditembak mati di Lapangan Banteng”.
Daniel Dhakidae tak memotret kesendirian Gie. Hal itu, tulis Daniel dalam kata pengantar Catatan Seorang Demonstran, adalah “sadisme pribadi dan sadisme generasional” sebagai karakter para mahasiswa zaman itu yang telah kehilangan kepercayaan, dan dengan sendirinya berarti menghancurkan mitos Soekarno.
Namun setelah rezim Soekarno runtuh, nampaknya Gie terus kecewa—barangkali disitulah resiko seorang idealis. Kebatilan tak begitu saja musnah dengan turunnya Soekarno. Apa yang disebutnya perjuangan atas “kebenaran dan kejujuran” tak membuahkan “kebenaran dan kejujuran”. Ia mengaku mengalami masa-masa sulit dalam memperjuangkan keyakinannya: pada tanggal 30 Juni 1968 ia menulis untuk tetap setia pada prinsip-prinsip yang dipegangnya dan memutuskan “lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan”. Dari apatis atau ikut arus, ia pilih “bebas”.
Saya tak tahu apakah ia keberatan ketika akhirnya mati pada 17 Desember 1969 dalam usia 27 tahun di puncak Semeru. Yang pasti ia pernah mengutip Silenus: “Nasib terbaik berada di luar jangkauan ─tidak dilahirkan, menjadi tiada. Nomor dua adalah mati muda.”
Dan kita sesudah itu merobek kalender Desember, mengganti harap, menanti sayap-sayap serangga berserakan di rerumputan musim hujan bulan Januari.
4.5* Ada beberapa kekurangan buku ini. Pertama, tidak diterbitkannya catatan pada periode waktu tertentu. Entah apa penyebabnya. Kedua, untuk mengenal lebih dalam pemikiran Hok Gie kita tidak cukup hanya dengan membaca catatan hariannya. Tapi juga perlu membaca tulisan2nya yg dimuat di berbagai surat kabar pada saat itu.
Sebenarnya sudah lama membaca ini saat kuliah dulu. Pinjam dari perpus FISIP UI. Masa yang tepat membaca untuk membaca buku ini. Sayangnya, saat itu negara sedang adem ayem dan saya tidak pernah mengenakan jaket kuning untuk ikut demo :(
Sebenarnya sudah beberapa kali saya menamatkan buku ini, tapi selalu lupa saya buat reviewnya karena selalu merasa belum-belum selesai baca. haha. Hari ini akhirnya buku ini kembali saya baca saat mengerjakan submisi esai untuk suatu lomba.
Pertama kali beli buku ini di toko buku dekat kampus di tahun pertama perkuliahan saya. Di kampus saya Soe Hok Gie itu semacam legenda. (halah) Sebelumnya saya sama sekali tidak pernah mendengar tentangnya. Baru ketika menjadi mahasiswa baru ada tugas untuk membuat esai mengenai Soe Hok Gie. Karena penasaran, akhirnya sejak mengerjakan esai itu saya mulai mencari bukunya, dan ternyata ketemu tak lama kemudian di toko buku dekat kampus.
Salah satu profesor di kampus saya berkata bahwa di Indonesia ini, ada tiga buku otobiografi/catatan harian yang wajib dibaca, salah satunya adalah buku ini (saya sudah mencari yang dua lainnya, tapi belum sempat dibaca). Begitu dibaca, ternyata pantas saja buku ini masuk tiga catatan harian Indonesia terbaik menurut profesor itu. Dari tulisan-tulisan ini bisa kita lihat kecenderungan pola pikir Gie sejak dirinya masih muda belia--bahkan sebagian besar dari kita sepertinya belum mampu berpikir sepertinya di usia yang sama. Dan yang paling saya sukai dari buku ini adalah idealisme Gie yang tidak tergoyahkan oleh apa pun. Dia itu terlalu lurus--dan menurut saya adalah seorang martir yang akan selalu dikagumi namun akan sangat jarang yang mampu mengikuti.
Buku yang akan selalu saya baca ulang ketika saya merasa jengah dengan segala ketidakadilan di negara ini.
Buku yang menarik untuk sekedar diary. Menarik karena isi dari diary tersebut berisikan kegiatan-kegiatan, ide-ide, pengalaman Soe Hok Gie selama bergulat menjadi seorang idealis dari SMP hingga lulus kuliah. Dari buku tersebut kita akan tau jauh lebih dalam tentang pemikiran-pemikiran personal, percintaan, cita-cita, keinginan yang terpendam dan bagaimana sosok idealis muda cerdas yang disegani, ditakuti dan dibenci banyak orang dalam berinteraksi di kehidupan sehari-hari. Semuanya itu bersimpul pada Soe adalah sosok manusia yang sama seperti kita. ditengah aktivitas dan idenya yang melawan arus dan menentang awan, seringkali ia merasa melankolik karena cinta, kesepian karea penolakan, dan kebimbangan akan idealisme yang ia pilih. Tapi beruntungnya hingga akhir hayanya ia bisa mempertahankan idealisme, moral dan keadilan yang selalu ia perjuangkan.
Dalam buku catatan seorang demonstran kita juga akan mendapat sedikit gambaran sosial, ekonomi dan politik masa peralihan dari orde lama.
Akhir kata buku ini bisa jadi oasis bagi pemuda-pemuda yang sedang merasakan pahit, kesepian, sendiri, disenangi, dikagumi tapi sekaligus dijauhi karena memperjuangkan idealisme, karena sedang berada dijalur perjuangan moral, karena memperjuangkan keadilan. Buku ini bisa membuat kalian pemuda-pemuda idealis yang menjunjung tinggi moral dan keadilan tetap pada tracknya.
Penyesalan saya adalah ketika saya membaca buku ini bukan pada saat saya SMA atau setidaknya sedang berkuliah. Mungkin kalau itu terjadi, saya bisa berbuat lebih banyak lagi (tidak hanya aktif di LBH) untuk orang-orang disekitar saya
Saya melewatkan beberapa fase tanggal dalam buku harian Gie, karena bagi saya, beliau membahas hal yang sama, yang itu-itu saja. Ini agaknya membuat saya sedikit bosan, karena harus membaca penuturan Gie yang berulang. Saya malah sedemikian cepatnya membuka bagian-bagian yang perlu saja, agar tak kehilangan alur sebenarnya dari kisah Gie. Jika saya terpaku pada tanggal dan catatan hariannya secara keseluruhan, saya malah tak yakin kalau akan menemukan alur kisah dalam catatan harian Gie.
Gie memang benar-benar seorang intelektual yang progresif, seperti yang pernah dikatakan Eko pada bukunya "Menjadi Intelektual Progresif". Buku berwarna merah yang sarat akan kesan komunis, meski sebenarnya tak begitu. Buku terbitan resist book yang berwarna sama resist-nya. Gie adalah aktivis muda yang harus menimbang-nimbang hidup ketika dekat pada kematian dan baru merasa bahwa kesepian telah merenggut hidupnya pelan-pelan.
Dari sini saya mengambil suatu kesimpulan. Kadang, manusia yang berhati seperti Gie, berhati melulu dongkol dengan kapasitas pemikiran yang kadang tak dimengerti manusia lain, memang akan membentuk pribadi yang idealis dan cenderung skeptis. Beberapa orang sepertinya memang mati dalam kesepian. Saya merasa hidup saya seperti itu. Kesepian, skeptis, dan entahlah, mungkin akan mati muda juga.
Buku ini adalah kumpulan catatan harian Soe Hoek Gie. Dengan membaca catatan-catatan Gie yang disusun secara runut, kita bisa melihat bagaimana Gie tumbuh berkembang menjadi seorang pemuda yang kritis dan idealis.
Sayangnya buku ini tetaplah sebuah diary. Gie menulisnya bukan untuk disebarluaskan dan dibaca orang banyak. Memang menarik membaca pemikiran-pemikiran kritis Gie tentang kekurangan dan mungkin "keburukan" pemerintahan Soekarno. Akan tetapi, beberapa bagian buku ini terasa terlalu personal, misalnya catatan tentang kekasih dan keluarganya. Jika saja Gie masih hidup, apa ia mau kisah pribadinya menjadi konsumsi publik? Tren menerbitkan catatan harian memang sudah ada sebelumnya, seperti catatan harian alm. Ahmad Wahib yang terbit 2 tahun sebelum buku ini. Tetapi tetap saja, membaca catatan personal orang yang telah wafat terasa aneh dan agak kurang etis.
Di catatan-catatannya, Gie membahas bagaimana orang-orang yang menuntut perbaikan di rezim Soekarno bersama Gie, justru bertransformasi menjadi bagian dari pemerintahan korup Orde Baru. Hal ini menimbulkan pertanyaan yang tidak akan pernah terjawab: seandainya Gie berumur panjang, apa ia akan tetap idealis? Atau apakah ia akan turut terseret arus kekuasaan?
Buku ini sedikit mengingatkan saya akan buku harian Anne Frank. Mula-mula Soe Hok Gie menulis sebagai seorang anak lima belas tahun, gaya tulisnya masih berantakan dan catatan hariannya pun bercerita seputar dunia sekolah. Sering dia menggunakan kata "benci," dan setiap kali saya lihat kata itu terbayang seorang anak kecil yang tak berdaya, yang sudah punya sedikit pengertian tentang dunia tapi yang masih belum tahu apa-apa. Rasanya kasihan juga.
Catatan harian Soe Hok Gie mulai enak dibaca ketika dia berusia delapan belas tahun. Entah, mungkin karena dia hidup di tahun 60-an atau mungkin karena dia banyak berintrospeksi, terkesan kalau dia seorang yang banyak pikiran dan memang pantas masuk ke universitas. Kadang-kadang dia mengingatkan saya akan C. S. Lewis. Dua-duanya suka sastra dan bisa mengambil sesuatu dari setiap buku yang dibaca, walau Soe Hok Gie lebih mengarah ke bidang politik di mana Lewis lebih mengarah ke bidang agama.
Kalau dipikir-pikir, Soe Hok Gie cuma seusia saya waktu dia mulai menjadi aktivis. Rasanya aneh. Dia hidup cuma sekitar 40 tahun yang lalu, tapi dia hidup di dunia yang begitu berbeda dibanding dunia yang saya tinggali sekarang.
Setelah memasuki jenjang pendidikan Universitas, saya setengah "dipaksa" untuk sesegera mungkin membaca buku ini. Berada dekat dengan lingkungan aktivis kampus membuat saya cukup mudah mendapat akses gratis ( pinjam ) atas buku ini.
And hell, buku ini mebuat saya terperangah. Soe Hok Gie mulai menulis bahkan sebelum dia genap berumur 10 tahun. Walaupun saat itu yang ditulis masihlah mengenai kehidupan dia di sekolah, namun kita sudah bisa melihat "warna" dasar Gie : idealis, berpegang teguh pada pendiriannya.
Di usia yang kira-kira sama dengan saya ketika membaca buku ini, Gie sudah mulai mengupas permasalahan bangsa dan mencernanya dengan cara dia sendiri. Kenyataan bahwa Gie merupakan WNI keturunan Tionghoa justru membuat buku ini semakin legit, karena kita bisa melihat sebagaimana parahnya represi terhadap golongan minoritas di masa lampau.
Usaha editor untuk mempertahankan keaslian catatan ini patut diacungi jempol, sayangnya justru ini yang membuat buku ini agak sulit dibaca dan dipahami karena ejaan dan tata bahasa yang digunakan merupakaan ejaan lama.
Nie dia buku biografi pertama yang tuntas aku baca.. waktu SMP, di perpus tercinta.. mengisahkan gie yang cerdas, dengan kesederhanaannya.. gie yang ngebawa aku suka pada alam, hiking, and pergi ketempat sunyi menyatu pada alam.. alone.. aku benci pada kemunafikan..
ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke mekkah ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di miraza tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu sayangku
bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mendala wangi ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danang ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
tapi aku ingin mati di sisimu sayangku setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu
mari, sini sayangku kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku tegakklah ke langit atau awan mendung kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita takkan pernah kehilangan apa-apa”