Jump to ratings and reviews
Rate this book

Geni Jora

Rate this book
Novel Geni Jora ini sarat dengan gugatan seorang perempuan muslim terhadap persoalan gender : pendidikan yang amat diskriminatif bagi perempuan, poligami, lesbianisme, dominasi laki-laki, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) serta seksualitas perempuan. Bentuk perlawanan itu tampil dalam sosok seorang feminis muslim, Kejora yang, sayangnya, terlalu sempurna.

272 pages, Paperback

First published January 1, 2003

5 people are currently reading
104 people want to read

About the author

Abidah El Khalieqy

17 books29 followers

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
14 (17%)
4 stars
29 (36%)
3 stars
23 (29%)
2 stars
12 (15%)
1 star
1 (1%)
Displaying 1 - 15 of 15 reviews
Profile Image for Endah.
285 reviews157 followers
January 12, 2009
Matanya belok, seperti boneka cantik dari negeri Antah (Heran, kenapa ya tokoh wanita dalam novel dan film selalu saja dikatakan cantik. Kapan ya yang tidak cantik mendapat peran utama? Paling-paling perannya sebagai antagonis : nenek sihir culas, ibu tiri jahat atau pembantu rumah tangga bagian bodor-bodoran. Kata temanku, kalau tidak cantik nanti ceritanya jadi tidak menarik, akibatnya buku atau film itu jadi tidak laku) Kejora juga cerdas, selalu ranking satu di kelas. Ia pun gadis mandiri dengan cita-cita tinggi : mendobrak dominasi laki-laki.

Untuk seorang anak dari seorang ayah yang tunduk patuh pada ajaran-ajaran Islam, agak aneh juga ia dinamai Kejora. Kakak perempuannya (yang juga jelita) bernama Bianglala. Kedua saudara lelaki mereka bahkan bernama Samudra dan Prahara. Biasanya, ayah (dalam budaya kita, ayahlah yang lebih berhak memberi nama anaknya, meskipun ibu yang setengah mati mengandung dan melahirkannya) yang islami akan memberi nama anak-anaknya, jika perempuan, memakai "Siti" dan jika lelaki, akan memakai "Muhammad" Tapi sudahlah, tidak terlalu penting bukan soal nama-nama itu. What's in a name, kata Shakespeare lebih seabad yang lalu.

Terlahir dari seorang ibu berstatus istri kedua, Kejora bersaudara tumbuh di dalam rumah besar dengan tiga dinding tinggi tebal mengurung mereka seperti sebuah harem, hanya bagian pintu pagar saja yang agak terbuka memperlihatkan dunia luar. Ibu tirinya, istri pertama ayahnya, tinggal di dalam harem itu juga. Rumahnya dengan rumah mereka beradu punggung, hanya dipisahkan oleh sebuah halaman seluas lapangan bulutangkis. Kejora kecil hanya dibolehkan ke luar halaman untuk sekolah dan les bahasa Arab. Sementara, adik lelakinya, Prahara, boleh bermain sepuasnya di luar rumah dari pagi hingga petang.

Ketka ia dan Lola (nama panggilan Bianglala) menginjak remaja, mereka mulai naksir pemuda sebelah rumah. Setiap pagi, kedua gadis cilik itu memanjat pohon yang banyak tumbuh di halaman rumah mereka, demi mengintip pemuda tetangga keturunan Arab bernama Ali Baidawi alias Alec Baldwin, jogging. Memanjat pohon dan mengintip Alec Baldwin adalah bentuk perlawanan terhadap perlakuan diskriminasi orang tua (ayah, ibu, paman dan nenek) mereka.

Lihatlah, Nek! Kau telah gagal membentengi diriku. Tamengmu tameng semu. Terbukti cakrawalaku lebih menghampar dari halaman rumahmu. Langitku lebih lebar dari atap rumahmu. Pemandanganku lebih luas dari kisi-kisi jendela karatmu. Dari atas pendakianku, terlihat semua yang kau tutupi dan terbuka semua yang kau sembunyikan. Milikku adalah semesta penglihatanku dan milikmu, Nek, sebatas tempurung buntu. Kaulah "katak dalam tempurung" sang waktu. (hal. 77)

Rumah tangga orang tuanya benar-benar sebuah lembaga patriarkhi yang memberi tempat utama bagi lelaki. Sementara perempuan seperti dirinya, ibunya, ibu tirinya, dan Lola, hanya berada di urutan kedua. Selalu ke dua, meski ia jauh lebih cerdas dari adik lelakinya itu. Neneknya, oleh sebab lama berada di bawah dominasi para lelaki, akhirnya justru menjadi salah satu agen patriarkhi di rumah tersebut. Kesemua ini membuat Kejora tumbuh dengan sebuah "dendam" di hati. Dendam kepada penguasaan para lelaki.

Selanjutnya, Kejora, oleh ayahnya, disekolahkan ke pesantren paling top di kotanya. Dari sinilah saya jadi tahu seluk-beluk kehidupan para santri, khususnya santri putri, yang tentu saja berbeda dengan sekolah-sekolah umum. Di pesantren ini, para santrinya dididik dengan aturan dan disiplin keras berdasarkan syariat Islam. Tentu diajarkan pula ilmu pengetahuan umum lainnya, tidak semata-mata pelajaran agama saja. Dari sini, kelak diharapkan akan lahir perempuan-perempuan muslim cerdas dengan pengetahuan dan ilmu yang tak kalah hebat dibanding mereka yang jebolan sekolah umum. Kejora mewakili gambaran seorang santri ideal tersebut. Ia yang berpikiran moderat kerap kali mendebat para ustadznya terutama untuk hal-hal yang dirasa mengganggu logikanya.
"Sebutkan hal-hal yang membatalkan salat"
"Hanya ada satu hal, Ustadz"
"iya. Sebutkan"
Aku mendehem dan memandang ragu ke arah Ustadz Mu'ammal yang tak acuh dengan soalnya. Pedulikah ia dengan jawabnya?
"Tidak memiliki imajinasi" (hal.33)

Mungkin sudah menjadi watak remaja di seluruh bumi : memberontak.Tak terkecuali di pesantren "galak" ini, ada saja santri-santri badung yang senangnya melanggar peraturan dan disiplin pesantren. Ada persaingan akademis yang berbuah kecemburuan, ada geng-gengan yang saling bermusuhan, sampai dengan skandal asmara sejenis alias lesbianisme. Tak terhindarkan memang, mengingat sehari-hari yang mereka temui dan gauli adalah kaum sejenis. Sudah tentu, lesbianisme merupakan barang haram di pesantren tersebut dan pelakunya pasti diganjar hukuman rotan.

Penulisnya, Abidah El Khalieqy, mengisahkan isi perut pesantren dengan fasihnya. Tak heran, sebab ia adalah jebolan Pesantren Putri Modern PERSIS di Bangil, Pasuruan. Bisa jadi sebagian kisah Kejora ini merupakan petikan pengalamannya semasa menjadi santri. Pun, saat cerita sampai pada Kejora yang melanjutkan kuliahnya ke Damascus, tentu sedikit banyak diambil dari pengalamannya mengikuti berbagai konferensi perempuan Islam di manca negara.

Novel Geni Jora ini sarat dengan gugatan seorang perempuan muslim terhadap persoalan gender : pendidikan yang amat diskriminatif bagi perempuan, poligami, lesbianisme, dominasi laki-laki, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) serta seksualitas perempuan. Bentuk perlawanan itu tampil dalam sosok seorang feminis muslim, Kejora yang, sayangnya, terlalu sempurna.

Dalam penyampaiannya, Abidah tampak amat lepas dengan kalimat-kalimatnya. Ia bisa dengan ringan membahas semua hal di atas dengan bahasa yang lugas tanpa kehilangan keindahannya. Saya bahkan banyak mendapati rangkaian kalimat puitis berima, seperti : Aku bangkit berdiri. Menjarak dari sajadah bumi dan berjalan menuju diri. Dalam sunyi 00.00. Dini hari. (hal.128)
Ia juga dengan cukup berani menampilkan percintaan Kejora dan Zakky penuh gelora dan keterusterangan : bahwa perempuanpun berhak atas kebahagiaannya serta boleh berinisiatif dalam, ataupun menolak, segala hal, termasuk urusan cinta dan seks.

Budaya Arab yang identik dengan Islam (Abidah banyak mengutip ayat-ayat Al Qur'an dan menyelipkan istilah-istilah bahasa Arab) melatarbelakangi kehidupan para tokohnya : Ibu tiri Kejora, Fatmah, adalah wanita Arab. Pemilik pesantren juga orang Arab. Demikian halnya dengan Zakky, kekasih Kejora, dan Elya, karibnya serta si pemuda tetangga, Alec Baldwin. Abidah memberikan kritiknya terhadap mereka yang mengaku Islam namun sikap dan perbuatannya amat jauh dari nilai-nilai Islami. Ajaran-ajaran Islam sering disalahgunakan justru sebagai tameng dan pembenaran bagi tingkah laku menyimpang yang seringkali berakibat ketidakadilan bagi perempuan (misalnya : poligami). Abidah merindukan dunia yang mengakui kesejajaran hakiki antara pria dan wanita, ( Ah...sobat, apakah itu bukan sekedar utopia mengingat dunia ini sangat penuh lelaki yang tak ingin "hak-haknya" dikurangi, sebab itu, buat mereka, sama artinya dengan berkurangnya kenikmatan hidup)

Sebelum Geni Jora yang ke luar sebagai pemenang ke dua Sayembara Novel 2003 versi DKJ, Abidah telah banyak menulis novel lain, di antaranya : Ibuku Laut Berkobar (1997), Perempuan Berkalung Sorban (2000), Menari di Atas Gunting (2001), dan Atas Singgasana (2002).
Profile Image for Ivan.
79 reviews26 followers
July 22, 2012
Ini adalah novel pertama dari Abidah yang aku baca. Setelah aq ubek ubek penulisnya, dia adalah juga penulis novel yang telah difilmkan -- Wanita Berkalung Sorban. Memang sedikit kontroversial film tersebut. Ada unsur unsur Islam Liberal didalamnya. Itu kata temenku sih.

Tetapi selain novel wanita berkalung sorban tersebut, ternyata Abidah juga merupakan penulis dari novel ini. Novel yang mendapatkan penghargaan Pemenang Sayembara Novel 2003 DKJ.

Abidah termasuk seseorang yang getol menyisipkan pesan feminisme dalam novel novelnya. Itu informasi yang saya tangkap dari buku ini. Tokoh utama sekaligus merupakan tokoh dengan sudut pandang tunggal yang digunakan dalam novel ini yaitu Kejora. Perjalanan hidup gadis ini mulai dari kecil sampai dia mengenyam pendidikan di pesantren waktu SMA, terus dilanjutkan ketika dia menerima beasiswa untuk melanjutkan kuliah di Maroko. Diceritakan dengan sangat apik oleh Abidah. Saya bahkan tidak bisa membayangkan ada wanita yang serba sempurna seperti Jora. Jora memang dilukiskan mempunyai gabungan kecerdasan dan wajah yang elok. Yang akan membuat wanita manapun iri, serta pastinya akan menarik kumbang kumbang untuk mendekatinya.

Walaupun stereotip liberal ada pada Abidah tetapi di novel ini. Abidah melukiskan tokoh Jora dengan apik. Tidak pernah disebutkan dalam novel Jora mengumbar-umbar hasrat seksualnya. Bahkan dalam berbagai kesempatan, Jora lah yang selalu bisa menahan dan sebagai panutan jika keadaan sudah melewati batas.

Zakky, yang merupakan anak dari pemilik pesantren yang pernah Jora tempuh waktu SMA. Pada novel ini, diceritakan sebagai tokoh utama kedua. Kisah kasmaran antara Jora dan Zakky mengisi sebagian besar novel ini.

Zakky yang lebih senior dari Jora, yang juga lebih dulu kuliah di Maroko digambarkan sebagai seoarang yang kaya, pintar, ganteng dan pandai merayu wanita. Akan tetapi menurut sudut pandang Jora, Zakky hanyalah seorang intelek yang adab beragamanya kurang, suka minum khamr dan maen wanita.

Di novel ini juga diceritakan bagaimana si Jora mendapatkan sudut pandang feminisme yang dibawanya sampai dia bertunangan dengan Zakky. Pengalaman masa kecilnya bersama sanga nenek dan pengaruh keluarganya ikut mempengaruhi tumbuh kembang Jora sehingga dia menjadi feminis kritis. Bagamana perlakukan sang pamannya sendiri yang pernah mencoba berbuat tidak senonoh terhadap Jora dan kakaknya membuat sudut pandang itu terus melekat.

Selain itu sifat cerdas Jora telah ditunjukkannya dari dia sekolah. Waktu di pesantren dia mendapatkan title bintang kejora yang merupakan title untuk siswa terbaik. Dari situlah dia mandapatkan akhlak dan pendidikan agama yang bisa menangkis rayuan negatif dari si Zakky.

Kehidupan kuliahnya di Maroko ditampilkan dengan bagus. Penyebutan nama nama kota, hidangan makanan, dan lagu lagu khas arab. Membuat saya yang tidak pernah kesana hanya bisa membayangkan dalam pikiran saja. Tapi saya akui riset kehidupan arab oleh Abidah sungguh membuat saya tertegun.

Di akhir cerita, dikisahkan Jora bertunangan dengan Zakky. Dengan bumbu bumbu kecemburuan oleh keduanya.
Profile Image for Movie Riana.
8 reviews2 followers
June 10, 2010
Nothing. But dissapointed, so if He punched your nose, punch back..
as Zakky slice my heart into pieces, i slice his heart too into pieces..


Ada beberapa kritikus novel yang berpendapat bahwa karya ini adalah salah satu kritikan mengenai emansipasi yang salah arah,bahwa emansipasi tanpa batasan juga akan menghancurkan wanita itu sendiri, bahwa jora adalah gambaran wanita=makhluk emosional yang mengedepankan emosi semata dibanding logika, sehingga pada akhirnya diya berakhir dengan kemarahan yang meletup2 tanpa mempertimbangkan logika.

Namun menurut saya novel ini lebih dari itu..
seperti namanyua GENI JORA, yang berarti Bintang Kejora, sang penulis ingin menyampaikan suatu pesan bahwa sang pemain utama adalah memiliki mimpi, cita-cita untuk setinggi bintang kejora..bintang kejora yang merupakan perumpaamaan dari sesutu yang indah namun sulit untuk dimiliki adalah salah satu penggambaran dari Geni Jora itu sendiri.

Novel ini mengedepankan bahwa wanita memiliki hak atas dirinya sendiri, tanpa terbelenggu gender manapun, wanita berhak untuk menyuarakan pendapat,, mendapatkan pendidikan yang sesuai, berhak untuk menentukan kebahagaiaannya sendiri, sekolot apapun lingkungan yang menaunginya.

Geni Jora terbiasa untuk menjadi masyarakat kelas 2 karena dia adalah wanita, namun ia membuktikan kepada semua orang yang membelenggunya bahwa ia dapat mendobrak semua asumsi dan kebiasaan setempat bahwa wanita adalah mahluk pinggiran, yang harus berjalan setelah laki-laki berjalan terlebih dahulu..

bintang tetaplah bintang meskipun diendapkan dan dilesapkan dalam bagian bumi terdalmpun.
Profile Image for Mumtaza Rizky Iswanda.
113 reviews2 followers
November 8, 2019
Struktur kalimat maupun cerita sangat bagus, detail latar tempat dan suasana mengajak pembaca masuk kedalam cerita, sayangnya pengembangan karakter dan konflik kurang mendalam
Profile Image for Muhammad Rajab Al-mukarrom.
Author 1 book28 followers
March 19, 2023
Wtf??? It’s weird, queer, lovely, smart, naughty, too much, all over the place, insane, and witty. With that mysterious ending, this book was amazing! It just gagged y’all.
Profile Image for S N.
91 reviews26 followers
July 12, 2019
Mana persoalan gender yang dibicarakan itu?
Buku ini, dengan deskripsi yang sedemikian mengesankan, cukup membosankan.
Profile Image for Ali.
Author 10 books10 followers
May 19, 2009
Marrakesh, 1993. Akhirnya waktu membalik kenyataan. Bahwa mimpi tidak selamanya bersembunyi di belakang tembok angan-angan. Ia hadir disini. Menungguku di bandara Tangier, Boukhalef, dalam perjalanan menuju bumi Muhammad paling barat. Di pesisir Atlantik. Di antara pegunungan Atlas dan Jabal Musa yang perkasa, untuk sebuah pertemuan paling monumental di antara para perempuan dunia.

Itulah cuplikan pembuka kisah Gejora, Geni Jora atau Bintang Kejora, si tokoh utama yang mendapatkan beasiswa di Universitas al Akhawayn, Maroko, sebuah negeri arab modern dengan lautan buminya adalah Sahara, taman Allah yang tetap terjaga. Latarnya terjadi di berbagai tempat, melintas Cassablanca, Damaskus, Amman hingga Jogjakarta.

Di tempat-tempat itu pula kisah cinta terjadi, Geni, Lola, Zakky, Elya, Sonya. Semua tokoh terikat dengan beberapa penafsiran soal cinta, seperti menafsirkan mazhab, tariqat, dan ideologi. Meski banyak kosa kata dan ungkapan dalam kiasan bahasa arab dengan level tinggi, ada lampiran yang baik untuk menjelaskannya di halaman akhir.

Abidah El-Khalieqy bukanlah Taslima Tasreen, perempuan Bangladesh yang di fatwa mati karena terlalu nyeleneh. Ia menulis novel ini dengan penyampaian yang halus dengan penuturan yang sopan, cerdas dan kocak tapi tetap "kurang ajar". Ibu kelahiran Javis Syarqi atawa Jawa Timur ini memang pecandu musik Arab, Libanon, Syria dan Mesir sehingga sangat akrab dengan penyanyi Omi Koultsum, Abdul Wahab, Rashid Thaha atau pun Sayed Darwis, ia kemudian menyisipkannya dalam cerita ini.

Makin ke halaman tengah, membaca novel ini akan semakin nampak universalnya, persamaan gender, pendidikan yang amat diskriminatif bagi perempuan, poligami, lesbianisme, dominasi laki-laki, kekerasan dalam rumah tangga serta seksualitas perempuan. Dan yang menarik, mengekspose seluk beluk pesantren perempuan, semuanya terlalu sayang untuk dilewatkan.

Endingnya terlalu pilosofis menurut saya...
Tak ada. Hanya kecewa. Maka jika ditonjok hidungmu, ganti tonjok hidungnya. Jika ia meninjumu, tinju mereka dengan kekuatan yang sama. Sebagaimana Zakky mengiris hatiku, kuiris pula hatinya hingga luka berdarah-darah oleh cemburu. Baru tahu rasa ia. Saat kuasa melihat saingannya. Semoga ia taubatan nasuha.

Heuheuu.....Harusnya ada pelemnya juga kaya Ayat-ayat Cinta...
Profile Image for Deta NF.
234 reviews6 followers
December 8, 2016
"Di kurun mahakacau ini, kata maaf tidak lagi memiliki kekuatan untuk menggerakan revolusi. Ketika nurani menjadi tumpul oleh daki berlapis-lapis, ketika hak kuasa menjadi satu-satunya barang yang ditinju dan impikan, apa yang kita harap dari deret hurup maaf?
Tak ada. Hanya kecewa. Maka, jika ditonjok hidungmu, ganti tonjok hidungnya. Jika dia meninjumu, tinju dia dengan kekuatan yang sama. Sebagaimana Zakky mengiris hatiku, kuiris pula hatinya hingga luka berdarah-darah oleh cemburu." (Pg. 269)

Demikian, dua paragraf terakhir yang kukutip dari novel ini. Banyak sekali nilai feminisme yang dianut Kejora sebagai prinsip hidup yang memberikan banyak sekali bahan renungan untukku. Pada akhirnya ketika itu bertentangan dengan ideologiku, cukupkan menjadi pengetahuan saja. Aku suka sekali gaya bertutur penulis, penuh dengan nilai estetika. Indah. Dan, aku suka Zakky. Bukan lelaki yang menjadi sosok too good to be true tetapi lelaki yang apa adanya, cerdas, suka berganti-ganti wanita namun hanya menginginkan Jora sebagai mitra hidupnya hingga ajal menjemput. Kurang ajar namun jujur.
Profile Image for Ahmad.
Author 8 books37 followers
April 11, 2009
Abidah menunjukkan sekali lagi keberpihkanny kepad perempuan. Sayangny kali ini tidak setelak "Perempuan Berkalung Sorban". Kisahnya bergumul saja dalam sepasangan kekasih yang kemudian memutuskan bertunangan. Isunya menjadi sangat lokal. Individual.

Ketika Abidah menampilkan suasana konferensi perempuan dunia, kelengkapannya tak sempurna sama sekali. Seolah tempelan semata. Juga tentang perempuan-perempuan Hamas yang ditemuinya menguap begitu saja. Selebihnya, Abidah terasa menghabiskan ceritnya pada kisah cinta -yang entah saya menyebutnya apa. Pertunangan putra mudirul-ma'had dengan santriwati terbaik? Ah...

Untungnya, Abidah semakin apik berpuisi dalam ceritanya. Alinea-alineanya seperti langgam syair. Nikmat dibaca, meski juga terlalu berlebihan memakai kata. Diksinya kaya. Itu yang membuat novel ini laik dibaca. Dan lagi-lagi saya harus berkata, pesannya belum juga sempurna, tetapi Abidah harus menutupnya segera. Sayang...
Profile Image for Satiti.
13 reviews
October 22, 2021
Seperti karya Abidah yang lain, cerita ini mengusung emansipasi muslimah. Diwakili oleh Kejora, seorang mahasiswi, aktivis, keturunan Arab kaya raya, dan tentu saja cantik dan cerdas. Tapi rasanya karakter Jora terlalu sempurna bahkan sebagai tokoh fiksi. Pada akhirnya, ia tetap jatuh terpesona pada Zaky Hedouri, tapi gengsi untuk mengakuinya. Jika tokoh cerita bisa bicara, mungkin Jora tidak akan terima dengan apa yang kukatakan.

Ketika seorang perempuan cantik, diam dan duduk-duduk saja membuat seorang laki-laki terpesona, perempuan itu menjadi objek atau subjek? Ini masalah simpel tapi menarik dibahas.

Hal lain yang menarik untuk dibahas dalam novel ini adalah masalah poligami. Jika kita biasa mendengar opsi menerima atau menolak bagi perempuan yang dipoligami, novel ini menambah opsi poliandri. Tentunya dengan cara berbeda.

selebihnya ada di blog
https://memoribuku.com/novel-geni-jora/
Profile Image for Rika.
51 reviews
January 12, 2009
Setelah beberapa halaman aku tak bisa menikmatinya, malah merasa sebal karena aku mendapat kesan buku ini mencoba membuat pembacanya terkesan atas sesuatu yang sama sekali tidak mengesankan, dengan resmi aku berhenti membacanya.(apa coba? review yang aneh)
Profile Image for Karest.
7 reviews
March 25, 2008
berhubung belum baca semua karyanya, tapi sepertinya pengarang kental bgt mengusung feminisnya
Profile Image for Dian Hartati.
Author 37 books35 followers
July 6, 2016
27 Januari 2010 memberi bintang dua.
7 Juli 2016 memberi bintang empat.

Displaying 1 - 15 of 15 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.