Mohamad Sobary (biasa dipanggil Kang Sobary, lahir di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, 7 Agustus 1952; umur 57 tahun) adalah budayawan yang sering menulis di beberapa surat kabar Indonesia. Kolomnya sampai sekarang masih muncul di Harian Kompas Minggu di rubrik Asal-Usul. Mantan Pemimpin Umum Kantor Berita Antara ini sekarang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan[1] (Partnership for Governance Reform).Jabatan tersebut berakhir bulan Juli 2009. Kini Sobary sedang memfokuskan diri pada penulisan Novel tentang keluarga Syalendra yang membangun Borobudur. Ditengah kesibukan itu dia juga menyelesaikan segenap kenangan dengan Gus Dur : 1. Jejak Guru Bangsa: Meneladani Kearifan Gus Dur, minggu ketiga Februari 2010 terbit di GRAMEDIA 2. Kenangan lainnya, dialog-dialog dengan Gus Dur yang pernah direkam dan diperjualbelikan, akan diterbitkan kembali dengan judul Gus Dur dan Kang Sobary : KeIndonesiaan dan Kemanusiaan.
Selama jeda sejenak dari pekerjaan setelah melahirkan beberapa saat lalu, aku berkempatan membaca ulang buku ini. Tidak semua isinya, hanya sebagian artikel dari buku kumpulan tulisan Mohammad Sobary ini, terutama yang berkaitan dengan religiusitas dan spiritualitas. And it hooked me. Beberapa tulisan bahkan membuatku meneteskan air mata, karena terharu, tersentuh, tergugah, dan menghasrati pengalaman yang serupa. Spiritualitas pilihan Mohammad Sobary sangatlah bersahaja dan membumi. I love this kind of spirituality. Spiritualitas orang biasa. Spiritualitas yang nggak neko-neko. Spiritualitas yang tidak sombong. Buku ini meninggalkan kesan teramat mendalam hingga tiba-tiba aku ingin mengunjungi akun goodreadsku yang telah lama telantar untuk menuliskan kesanku mengenai buku ini. Love love love love love this book.
Filsuf sekali Kang Sobari memaparkan sosok Kang Sejo. Apalagi saat Kang Sejo tidak fasih ilmu tajwid karena di usia tua ia baru belajar ngaji "A`in Jo...a`in..bukan Ngain".
Lalu ketika bacaan lainnya yang tidak fasih seperti menyebut Alhamdulillah dengan kata 'Lakamdulillah', ia hanya sadar bahwa Tuhan tak mungkin mendengar maksud isi hatinya. Tuhan tak mungkin membedakan antara yang fasih dan ndak. Tuhan Maha Tahu.
Ada kelucuan sekilas, tetapi pesannya sangat nendang !
Seperti yang dikatakan Gus dur dalam beberapa lembar pertama, "kemampuan yang luar biasa, bagi pemburu yang mengincar mangsa tanpa membunuhnya. dan pengamat tanpa campur tangan kepada objeknya".
Sobary, saya pikir dia telah membuat beberapa kumpulan sastra yang menyenangkan, inspiratif dan menggugah hati dalam Kang Sejo Melihat Tuhan. Sebuah buku yang mungkin harus dibaca semua orang, baik seorang Agamis maupun Atheis. Bagaimana tidak? Ia berhasil menemukan beberapa orang yang mampu menemukan Tuhanya dengan cara yang sangat amat biasa, seperti kang sejo, tukang pijat yang menemukan Tuhanya hanya dengan "Duh gusti" yang selalu ia ucapkan setiap hari, Parmin tukang becak mantan penggila porkas yang hanya bisa berdo'a "duh gusti, wolo-wolo kuwato", dan masih banyak lagi.
Sungguh pengalaman yang menyenengkan, seperti "Tuhan ada dimana mana dan didalam diri kita, juga Tuhan adalah cinta itu sendiri.
Salah satu gaya khas dari esai Mohammad Sobary adalah bahasanya yang membumi dan kecendrungannya membela dan memotret masyarakat kecil, lihatlah dalam Semar Gugat Di Temanggung, yang membela petani Tembakau, atau dalam Makamkan Dirimu di Tanah Tak Dikenal yang mengulas tema ketidakpuasaan dan kemuakan terhadap birokrasi Indonesia. Dalam Kang Sejo Melihat Tuhan pun kebiasaan itu tak berubah, itu bisa kita tilik dari orang-orang biasa yang di kisahkannya. Seperti Kang Sejo, Kang Parmin, atau Kang Suto yang lewat kesederhanaan mereka memberi pandangan mencerahkan. Membaca puluhan esai di buku ini serasa mempelajari ilmu Tasawuf dari para Sufi, namun dengan bahasa ringan dan riang. Setiap akhir tulisan selalu mengajak kita merefleksi diri sendiri, bahwa selama ini kita ternyata kerap kali mengabaikan hal-hal kecil di sekeliling kita.
Sebuah buku kumpulan essay yang ditulis Mohamad Sobary. Buku ini terbagi menjadi beberapa bagian. Lebih banyak membahas mengenai sosial, politik, dan budaya. Beberapa diantaranya masih busa relate pada masa sekarang, beberapanya kurang karena memang buku ini ditulis pada tahun 1990an. Namun pada bagian-bagian awal beberapa tulisannya sangat menggugah, yakni mengenai ke-Tuhanan, namun dikemas dengan cara yang tidak menggurui. Banyak pula kata-kata yang menggetarkan hati...
Awal kira ini buku hanya tentang spiritualitas atau religius dari seorang tokoh istimewa, makanya awal-awal saya tidak tertarik membacanya (beli baru dari bulan lalu tapi tidak dibuka segelnya). Setelah membacanya, ternyata diluar ekspektasi saya, luar biasa. Saya dapat membayangkan apa-apa yang ada di pikiran saudara penulis mengenai pandangannya pada apapun yang menurut saya uniform baik dari sisi agama dan budaya (sebagian besar dalam negeri), dapat dicontoh, tidak menggurui. Tapi, saya selalu merasa tergelitik saat penulis mencoba menceritakan kondisi yang ada pada masa orde baru (sebelum 1994). Saya merasa kondisi politik, sosial, dan budaya di Indonesia sudah memang begitu adanya (no-spoiler, I hope so), sulit diubah, walaupun sudah melewati masa revolusi di waktu lalu (1998).
Secara keseluruhan, bagus banget. Sayang masih banyak typo disana-sini dan susunan kalimat yang sulit dimengerti (saya mengerti setelah menyusun ulang kata-katanya). Tapi tetap, worth it.
Judulnya menggelitik, covernya bagus, dan terpajang di rak fiksi di Gramedia Padang, maka akhirnya saya membeli buku ini. Setelah dibaca satu bab, eh kok ya non fiksi, lalu dua tiga bab, lho kok bahasannya Muhammadiyah dan NU. Duh, saya salah beli buku. Saya sempat meninggalkan sebentar, membaca satu dua buku fiksi yang lain.
Setelah saya kembali membacanya lagi dan menemukan bab-bab lain, ternyata isinya bagus. Lebih banyak tentang pemahaman hidup. Pengalaman penulis yang tidak bersifat mengurui membuat saya sangat menikmati kontennya. Beruntung saya akhirnya membaca tulisan Pak Mohamad Sobary ini.
terima kasih kang telah menuntun saya melihat tuhat, tapi kang ternyata sulit ya.... begitu sederhana dan menggugat ritual keagamaan yang hanya sebata kurungan saja. dalam bukunya ia mencoba menawarkan konsep yang dixsebut dengan kealehan soaial di satu sisi dan kesalehan ritual di sisi yang lain. kang sejo, hanya satu bagian yang terekan dalam tulisan sobari yang sederhana tapi sarat makna ini terima kasih kang...
Tulisan Sobary di buku ini menjadi penyegar ingatan kita bahwa tuhan itu pengasih-penyayang dan bukan pemarah-pendendam. Dengan jenaka sekaligus menyayat kesadaran, kisah-kisah dalam buku ini mengingatkan kita bahwa ayat tuhan itu terhampar lebih luas dari kumpulan huruf dalam kitab. Kisah orang-orang biasa yang "bermodal pas-pasan" dan malah "ditemui" oleh tuhannya.
sayang, buku ini terkesan asal cetak. Banyak kata-kata yang kurang huruf bahkan salah ketik dibiarkan begitu saja...
kumpulan tulisan kang sobari, yang mebuat saya merenung dan mensyukuri keislaman saya. yang meski tak sempurna ini. cerita-cerita menggelitik seputar interaksi antar umat manusia berkait dengan agama dan kehidupan sosial. dengan bahasa yang sangat "jogja." satir, lucu, kadang memutar, tapi tiba-tiba lugas.
merupakan kumpulan kolom dari mohammad sobary,ditulis dengan gaya bahasa yang ringan dan sama sekali tidak menggurui,dan semakin menambah keyakinan kalau tuhan itu sebenarnya penuh dengan cinta kasih...so kenapa kita jadi begitu cepat tersinggung??//
wow.... baru baca sedikit aja udah terkesima... memang Bapak satu ini membuat kita membaca, tapi seperti mengalami apa yang dibaca. detail situasi, emosi, dan keadaan alam disampaikan dengan baik sekali. terima kasih.....
Saya suka dongengan Homo mBantulensis satu ini. Suka suaranya yang kerap hadir melalui siaran radio swasta Jakarta. Gelitiknya membuat saya mentertawai akan ke-langit-an hidup di dunia.