Perempuan-perempuan dalam Tempurung terjebak dalam ikatan suci yang ganjil. Mereka berhadapan dengan kemerdekaan atas tubuhnya, persoalan agama, budaya, dan norma masyarakat. Perempuan-perempuan yang berhadapan dengan banyak ironi: mereka menginginkan ketenangan, anak, dan suami di tengah kejengahan institusi keluarga; mereka mencari cinta, kasih sayang di antara ambiguitas dan kegamangan hidup; mereka ingin merdeka menentukan hidup dan impian di antara hal-hal yang membuatnya takut akan hidup itu sendiri. Perempuan-perempuan yang kadang gagap berhadapan dengan tubuhnya sendiri. Perempuan-perempuan yang kadang tak mengenal dirinya sendiri. Perempuan-perempuan yang kemudian bertanya: menjadi perempuan anugerah, ataukah kutukan?
Profil Penulis:
OKA RUSMINI lahir di Jakarta, 11 Juli 1967, dan bermukim di Denpasar. Bukunya yang telah terbit: Monolog Pohon (1997), Tarian Bumi (2000), Sagra (2001), Kenanga (2003), Patiwangi (2003), Warna Kita (2007), Pandora (2008), Tempurung (2010), Akar Pule (2012), Saiban (2014), Men Coblong (2019), Koplak (2019), dan Jerum (2020). Berbagai penghargaan telah diterimanya: Penghargaan Sastra Badan Bahasa tahun 2003 dan 2012, Anugerah Sastra Tantular, Penghargaan Balai Bahasa Provinsi Bali tahun 2012, Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2014, The S.E.A. Write Award dari Pemerintah Thailand tahun 2012, Ikon Berprestasi Indonesia Kategori Seni dan Budaya tahun 2019, CSR Indonesia Awards kategori Karsa Budaya Prima 2019, dan Bali Jani Nugraha dari Pemerintah Provinsi Bali tahun 2019.
Oka Rusmini was born in Jakarta, July 11, 1967. She lives in Denpasar, Bali. She writes poetry, novel, and short story. Her published works are Monolog Pohon (1997), Tarian Bumi (2000), Sagra (2001), Kenanga (2003), Patiwangi (2003), Warna Kita (2007), Pandora (2008), Tempurung (2010), Akar Pule (2012), Saiban (2014). Her novel Tarian Bumi has been translated into foreign languages: Erdentanz (Deutsch edition, 2007), Jordens Dans (Svenska edition, 2009), Earth Dance (English edition, 2011), and La danza della terra (Italian edition, 2015). In the year 2002, she received the Best Poetry Award from Poetry Journal. In 2003, The Language Centre, Ministry of Education of the Republic of Indonesia, gave her the Literary Appreciation Award of Literary Works for her novel Tarian Bumi. In 2012, she received the Literary Appreciation Award from the Agency of Language Development and Cultivation, Ministry of Education of the Republic of Indonesia, and the South East Asian Write Award, Bangkok, Thailand, for her novel Tempurung. Her book of poems Saiban (2014) won the national literary award, “Kusala Sastra Khatulistiwa 2013-2014”. She was invited to national and international events, such as Literary Festival Winternachten in Den Haag, Amsterdam, Netherland (2003), Singapore Writer Festival (2011), and OZ Festival, Adelaide, Australia (2013). She was also invited as guest writer in Hamburg University Germany (2003).
Oka Rusmini can be contacted at Twitter: @okarus Email : tarianbumi@yahoo.com. Facebook Page: oka rusmini
Buku perdana karya Oka Rusmini yang saya baca. Karya dengan banyak sudut pandang bukanlah hal yang baru, tapi ini kali pertama saya sempat bingung mengidentifikasi sosok "aku" dalam setiap kisah. Dan semuanya berkaitan antara satu wanita dengan wanita yang lainnya. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak memperdulikan keterkaitan mereka dan fokus pada nilai apa yang bisa saya ambil dari kisah mereka. Lebih baik begitu. Supaya tetap waras.
Lumayan banyak yang bisa dipelajari dari buku ini. Kebudayaan dan sistem kasta di Bali, feminisme, bahkan hal-hal mistik. Semua karakter wanita memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing yang membuat mereka terasa hidup. Bukan hanya sebatas fiksi. Tak jarang saya merasa saya memiliki ingatan tentang beberapa kisah di buku ini. Kisah-kisah dari wanita di sekitar saya. Adapun lelaki yang dihadirkan di sini juga terasa tak asing. Mereka ada di kehidupan nyata. Hanya saja lelaki paling baik versi buku ini tak terlalu disorot: Aji (Bapak) nya Jelangga. Apa ini isyarat kalau lelaki baik masih ada hanya saja tak mendapatkan 'spotlight' yang cukup di tengah masyarakat kita yang cenderung lebih menyukai tragedi?
Inilah novel tentang tubuh perempuan yang sesungguhnya tidak jadi milik mereka sendiri. Bahkan seringkali mereka juga gagap berhadapan dengan tubuh sendiri. Tubuh yang tidak mereka kenal. Inilah kisah perampuan, yang tidak tahu apakah menjadi perempuan itu anugerah atau kutukan.
Dayu, seorang perempuan Bali, ibu dari seorang anak lelaki, berkasta brahmana, karena menikah dengan pria bukan Bali, bukan Hindu, dan jelas-jelas tidak sekasta dengannya, dibuang dari keluarga besarnya, tidak boleh lagi bersembahyang di Griya. Masih tak tahu anaknya akan berTuhan siapa. Yang bertetangga dengan...
Saring, perempuan yang ayah ibunya mati terbunuh warga karena dianggap mencuri daksina (sesembahan), menyerahkan diri pada Barla, yang ternyata mengkhianatinya ketika keluarga mereka mapan, menutupi keburukan Barla di depan anak-anaknya, untuk kehormatan keluarga. Yang bersahabat dengan...
Glatik, pembenci laki-laki karena trauma dengan pengalaman hidupnya. Ayahnya yang pencinta burung memenuhi rumah dengan sangkar-sangkar dan membuat rumah tinggal mereka tidak sehat. Ibu dan adiknya meninggal karena radang paru-paru. Kelak akan ada pembalasan dendam..
Ida Ayu Made Pidagda, alias Patricia, perempuan Bali yang beristri lelaki bule, tidak berinteraksi dengan lingkungannya, memiliki dua anak..
Maya Coultermein, juga memiliki suami bule, takut hamil, karena takut memiliki anak yang cacat, karena takut idiot dan gila seperti adiknya, yang kejam dan suka menyiksa semena-mena. Memiliki pembantu bernama...
Sipleg, lahir sebagai satu-satunya anak yang selamat di keluarganya. Memilih diam daripada harus menanggapi omongan warga desanya. Dinikahkan begitu beranjak dewasa, dengan harapan memperbaiki nasib. Ayahnya, pekerjaannya tak menentu hanya menginginkan anak lelaki. Ibunya yang sering melahirkan, yang selalu mati, rusak, dan banyak jumlahnya. Dirinya seperti orang tua bagi ibunya...
Songi, pelacur cantik yang dijual ibunya begitu memasuki kedewasaan. Diperas untuk menghidupi keluarganya. Menikah dengan Sager,jawara desa, yang begitu sering mencaci makinya. Selalu hamil dan mengandung lagi, untuk berperang dengan dirinya, yang amat membenci ibunya, yang menjadikannya begini... "Kalau kau mulai mengingat satu nama, kau bukan pelacur. Seorang lelaki yang mau mengawinimu adalah lelaki jahanam!"
Rimpig, menikahi Pasung, seorang pemalas yang kerjanya hanya minum-minuman keras. Sering semena-mena melampiaskan nafsunya. Pasung ditangkap warga setelah menakuti perempuan desa. Menghidupi ketiga anaknya, dan membuat ketiga anaknya menghidupinya. Rabug, Ribeg, dan Songi. Terpenjara dalam kekayaan demi penghormatan..
Jelangga, sepupu Dayu. Menikah dengan seorang sulung beradik tiga dan bukan dari Bali. Juga diusir dari Griya. Ternyata mendapat mertua yang sok priyayi, minta dihormati, merasa pernah jadi orang kaya. Selalu disalahkan, karena mertuanya menganggap anak lelakinya selalu benar. Namun juga mertua yang minta dibalas budi oleh anak-anaknya dengan cara halus, sindiran, dan selalu terkenang pada kejayaannya di masa lalu..
Rosa Carmelita, pengasuh Sarah, adik Maya, orang Indonesia yang besar di Perancis. Memiliki papa yang selalu mengabaikannya dan mamanya, hanya tenggelam dalam pekerjaannya saja setiap hari. Bertanya-tanya, bagaimana mamanya bisa sanggup hidup sebagai pendamping, pengurus papa, sementara papa tak pernah mau tahu betapa lelahnya mama. Mencari tahu tentang papanya hingga pulang ke Indonesia..
Dan cerita perempuan-perempuan lain yang lelah namun tak tahu bagaimana mengadu, yang sudah tidak sanggup mengeluh, yang berakhir dengan menerima nasibnya sampai mati, karena melawan dianggap tidak pantas..
Perempuan, yang diatur, harus menjadi apa ia, harus seperti apa ia. Sering aku bertanya pada diri bisakah perempuan memiliki dirinya sendiri?
Jujur, saya bosan baca novel ini. Sering berhenti. Entah karena faktor saya yang tidak suka tulisan dengan banyak format percakapan, atau porsi percakapannya yang terlalu banyak sampai membuat jenuh
Selamat Hari Perempuan Internasional bagi seluruh perempuan yang ada di dunia. Perempuan, satu kata penuh makna dan kekuatan mendalam. Semoga, semua perempuan yang ada di dunia ini, selalu diberkahi kebaikan dan kekuatan yang saling menginspirasi.
ada baiknya, sebelum menuju isi kepalaku terkait buku ini, aku mau menekankan tentang beberapa trigger warning berupa kekerasan seksual, marital rape, PTSD, grafik kekerasan, pembunuhan, perilaku bunuh diri, depresi, dan kekerasan dalam rumah tangga yang menurutku dominan dalam buku ini.
disklaimer : ini murni pemikiran subjektif dan pengalaman membaca buku ini. Tidak usah dijadikan acuan. baca untuk dirimu sendiri.
Ngebaca buku ini, ngga naruh ekspetasi tinggi. Novel ini bisa dibilang, udah lama juga dianggurin di rak buku. Pernah maju mundur buat bacanya karena masih belum 'tertampol' dan agak 'terintimidasi' sama temanya yang terkait dengan perempuan dan 'seolah-olah hal yang ada disekitar perempuan sepenuhnya adalah tempurung untuk dirinya sendiri' dan perempuan, terikat dengan semua hal itu dan ngga bisa lepas. Karena, ya, ada benarnya juga, sih. Sebagai perempuan muda, banyak momen yang membuatku merasa seperti itu juga.
Oke, ceritanya menurutku bisa dibilang unik. saling menjalin, satu demi satu, berpindah-pindah sudut pandang, dari satu generasi ke generasi lain dan di akhir, dipertemukan. Ciamik, cantik, tapi juga mengerikan di beberapa bagian. Penulis benar-benar membuat perasaanku serasa diaduk-aduk dengan fakta-fakta yang dibeberkan terkait dengan patriarki yang terjadi, khususnya, dari kacamata penulis yang mengambil latar Bali yang kuat.
Banyak kutipan di buku ini yang saya tandai, dan sangat berkesan. "Bisa! Yang punya tubuh kan aku, bukan alam. Enak benar dia main paksa. Sembarangan, memang siapa dia itu!"
percaya percakapan ini dilakukan oleh perempuan pada usia berapa? sepuluh tahun! Pas dibaca, rasanya menggelitik. Tapi, menurutku, menariknya di sini. Penulis amat sangat memberikan pandangan yang begitu kuat kalau tubuh perempuan adalah miliknya sendiri, semua miliknya. Ngga hanya tubuh secara fisik. Pikirannya, apa yang akan ia lakukan, adalah miliknya. Tapi, kok, apa-apa dibatasi, sih?
Yang amat sangat aku sukai adalah, penulis sangat mengeksplor semuanya. Bukan hanya terkait budaya, bahkan pada pemikiran perempuan itu sendiri yang terkadang menjadi tempurung hidup yang ia buat sendiri, meskipun, pada fakta yang ada di dalam cerita, perempuan ini sesungguhnya, bisa lepas. Kontradiksi? memang. Ngga semua melulu lelaki, tapi kadang perempuan juga turut menciptakannya, kok.
atau keadaan ketika sesama perempuan, seperti : "kenapa perempuan selalu bermasalah ketika berhadapan dengan perempuan? Kenapa perempuan jarang membela perempuan? Mengapa perempuan selalu menutup mata atas keunggulannya sebagai seorang perempuan? mengapa perempuan selalu memilih memenangkan laki-laki? Bagaimana mungkin perempuan akan maju, kalau untuk memajukan perempuan pun seorang perempuan selalu ditentang oleh perempuan yang lain?
Rumit? iya. Pusing? udah jelas. Tapi, ngebaca buku ini membawa banyak wawasan bagi saya terkait dengan diri saya sebagai perempuan. Penulis benar-benar mengajak pembaca untuk lebih mampu memahami dirinya sendiri. Apa itu perempuan, mengapa aku menjadi perempuan, dan apa nilaiku sebagai perempuan, penulis benar-benar menyajikannya dari sudut pandang yang begitu kompleks dan rumit. Mulai dari aturan adat yang mengikat, perbedaan nilai budaya dan agama, perbedaan nilai antar generasi tua dengan generasi yang lebih muda, semua ditulis begitu apik dan ciamik menurutku.
Dan uniknya lagi, banyak percakapan yang kita ngga tahu, ini siapa ya yang ngomong, dan apa yang mereka omongin karena cuma kutipan-kutipan aja tanpa tau siapa yang berbicara dan mengajak bicara. Bagi yang ngga cocok, mungkin bakalan susah.
Kurangnya, ada beberapa nilai yang menurutku kurang cocok. Tapi sisanya, eksekusi dari penulis sangat aku sukai!
Ide tentang perempuan yang memahami, merespon (kadang memprotes) tubuhnya sendiri menarik. Pembaca akan banyak menemukan perempuan-perempuan yang marah pada semesta karena kelahiran mereka sebagai perempuan. Latar cerita yang sebagian besar di Pulau Dewata yang mistis dan sedikit adegan “gore” membuat beberapa bagian terasa sedap.
Sayangnya, walaupun dengan ide seseksi itu, alur maju-mundur-maju dengan pergantian point of view di akhir yang mendadak bikin saya ngga nyaman saat membaca. Sering muncul tambahan tokoh yang awalnya saya kira akan bertemu semua di akhir, tapi ternyata tidak huhu. Ada juga kemunculan tokoh Rosa kecil yang notabene saat itu berusia 10 tahun namun dari cara berdialognya dengan Mami, seolah ia berusia minimum 25 tahunan deh. Pun beberapa tokoh kecil yang “kebetulan” muncul. Persoalan kecil ini bikin saya berkernyit. Belum persoalan yang lain.
Tapi novel ini tetap harus dinikmati kok. Saya rekomendasikan buku ini untuk pembaca yang menyukai feminisme, hal-hal mendetail, dan memiliki long-term memory yang baik. Good book, amazing idea, but not my cup of tea.
Tabik.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Konsistensi Oka Rusmini yang mengangkat tema feminisme juga Bali, patut diacungi jempol. Budaya Bali di buku ini memang nggak sebanyak Tarian Bumi, tapi nggak hilang sama sekali.
Tokohnya banyak banget lah yaaa... dan semuanya perempuan! Uji ingatan banget, tokoh ini siapa, itu siapa. Sempat bikin bingung juga, sih. Tapi semua tokoh menyuarakan hal yang sama.
Perempuan punya hak memilih dan berhak sepenuhnya atas tubuhnya sendiri. Keren!
Di buku ini, tulisannya terasa lebih gelap, suram, dan mengerikan dibanding buku Kenanga. Bagaimana penulis menceritakan benda-benda mati seolah jadi bernyawa, bagaimana makhluk-makhluk hidup digambarkan tak ubahnya benda mati. Bagaimana nyawa seperti tidak ada harganya, bagaimana harga diri manusia serapuh kayu lapuk yang hanya perlu diinjak sekali lalu langsung lebur. Mengerikan, tapi juga sangat apik.
Disini saya tidak terlalu suka dengan tokoh Sarah yg "absurd" :( Juga relevansinya dengan keseluruhan cerita atau sudut pandang perempuan memandang hidup, tubuh, dan lainnya. Saya tidak tahu apakah tokoh Sarah ini hadir sebagai semacam "gimmick"...
Aku suka dengan gaya penulisannya, benar-benar bernyawa dan aku dapat merasakan emosi setiap tokohnya. Walaupun yang sedikit agak memusingkan itu bagian alur sama tokoh "aku" yang berganti-ganti.
Jujur saya nggak pernah dengar soal buku ini sebelumnya. Impulsif main beli aja. Saya termasuk orang yang menilai buku dari covernya, sinopsisnya, dan yang terpenting adalah judulnya. Saya suka sama judulnya. Didukung sama ilustrasinya saya langsung bisa menebak, ini bukan buku dongeng, novel sok puitis yang bisa dijadiin caption instagram, bukan juga novel romansa. Buku ini kental banget akan masalah perempuan yang mayoritas dikaitkan dengan budaya bali. Disini saya belajar banyak soal masyarakat bali jaman dulu, terutama yang berhubungan dengan kehidupan di desa. Masalah perempuannya sendiri, jujur bukanlah hal yang baru, namun sering terlewatkan buat saya. Soal ketidakadilan yang dirasakan perempuan dalam struktur sosial, religi, keluarga, bahkan fisiologi tubuhnya. Kalau mau saya deskripsikan dengan ringkas, ini buku feminisme yang tragis. Setelah membaca sampai selesai, ada hal yang bikin saya kagum banget sama buku ini, karakternya. Cara pikirnya beda – beda, perspektifnya banyak, rasanya nyata banget. Saya bisa membayangkan dengan mudah, karakternya seperti orang – orang yang ada di sekitar saya. Ada yang bikin saya sebal, bikin saya pengen jadi temannya, atau malah bikin saya kepingin jadi seperti dia. Disini saya banyak diajari untuk jadi perempuan yang lebih kuat, saya diberitahu bahwa banyak hal yang sebenarnya bisa kita lakukan. Pentingnya hal – hal yang saya selama ini lupakan, bahkan mengingatkan saya bagaimana lingkungan akan memperlakukan saya ketika saya memutuskan sesuatu sebagai perempuan. Di buku ini juga banyak mengangkat tema pernikahan. Saya sendiri adalah perempuan yang agak enggan untuk menikah melihat pengaruh buruknya. Saya tadinya menyangka buku ini, buku yang mengangkat banyak tragedi hidup wanita dengan berbagai latar belakang, akan bikin saya benar – benar nggak mau nikah. Namun kenyataannya berbeda, cerita soal Rosa dan Maminya bisa membangkitkan keinginan saya buat punya anak, haha. Buku pertama yang saya tidak bisa selesaikan sekali duduk, bukan karena capek atau tidak bisa fokus. Pacing-nya nggak mengganggu, nggak terlalu cepat atau lambat. Pas lah, kira – kira kalau buat saya. Tapi saya tetap harus berhenti beberapa kali saat baca buku ini karena saya harus mikir dulu. Minus dari saya buat buku ini cuma satu, endingnya. Agak kurang kerasa nendang, dan saya merasa kalo seharusnya belom selesai aja. Saya sempet liat orang – orang kecewa sama endingnya yang rada horror atau mistis tapi ya, menurut saya ini seharusnya bisa diterima mengingat karakter yang berinteraksi disitu orang – orang yang budaya dan kepercayaannya masih kental.
Pertama kali membaca buku karya Oka Rusmini. Seketika takjub dan sedikit dibuat kaget dengan isi bukunya. Di buku ini disuguhkan ragam kehidupan perkawinan yang terkesan eksotis dan tak biasa. Isu-isu yang diangkat juga sangat segar. Yaitu tentang ketimpangan gender dan sangat membela posisi perempuan yang masuk dalam lingkaran manusia lemah dan tabah. Masalah-masalah yang dihadirkan banyak yang benar adanya. Kenyataan yang pahit dan sedikit memilukan. Khususnya untuk para perempuan. Tidak hanya menanggung derita diri namun tubuh dan kehidupan yang kadang tak berimbang. Tak peduli wanita berada di kelas sosial yang mana. Masalah terhadap wanita dan tubuhnya masih menjadi semakin dominan. Dengan latar belakang budaya Bali semua perempuan yang diceritakan memiliki warna dan coraknya tersendiri khususnya dalam kehidupan perkawinan mereka. Bias gender terkesan sangat terlihat disini. Apalagi peran patriarki masih melekat kuat di setiap jalan ceritanya. Dan mengesampingkan kedudukan seorang perempuan yang notabenenya juga sangat penting dalam kehidupan berkeluarga. Buku ini juga seakan menyindir para lelaki. Yang menggambarkan mereka dengan laki-laki bermoral bejat dan berhati batu. Dan menyuguhkan kematian yang sangat epik dan sedikit kejam. Buku ini seakan memiliki ruh tersendiri dalam menceritakan peliknya kehidupan perempuan. Dan dibalut indah dengan nuansa kehidupan tradisi dan budaya yang kuat di Bali. Dengan fasihnya penulis menceritakan kehidupan para perempuan dengan sangat traumatis dan sedikit tragis. Di awali dengan tokoh aku sebagai nahkoda yang menghantarkan cerita-cerita yang saling terkait satu sama lainnya. Di dalam tokoh aku ini lagi-lagi mendobrak tradisi akan adanya sistem kasta. Dengan gaya cerita yang berbeda buku ini sangat menarik untuk dibaca. Banyaknya prahara dalam hubungan keluarga membuat cerita ini semakin "nagih" untuk terus membacanya. Dan alur cerita yang maju-mundur. Membuat membaca buku ini tidak hanya sekadar membaca namun juga ikut merasakan dan memahaminya. Apalagi di akhir cerita tokoh-tokoh yang saling terkait muncul lagi dengan adegan yang cukup mencengangkan.
"Pada akhirnya aku percaya, aku sendiri yang harus bertanggung jawab pada hidupku." Halaman 44
Novel yang diawali dengan kisah kecombrang dan kehidupan Bu Barla ini menggambarkan citra seorang perempuan yang dilihat dari bibit, bebet, dan bobotnya. Di mana asal keluarga menjadi salah satu penentu tumbuh kembang seorang perempuan memahami dirinya sendiri.
Lebih banyak mengambil latar belakang Bali sehingga memunculkan banyak nama adat seperti Ni Luh Putu Saring (nama asli Bu Barla sebelum ia dikenal sebagai istri Barla), hingga Ida Ayu Made Pidagda (ibu Maya yang dikenal sebagai priyayi). Aku yang kurang akrab dengan nama-nama tersebut harus punya catatan agar tiap tokohnya tidak bertukar tempat dalam bayanganku.
Buku yang mirip kumpulan cerpen ini sejatinya novel utuh yang berdiri sendiri. Setiap judul mengambil sudut pandang yang berbeda-beda, bahkan dalam satu judul ada dua tokoh "aku" yang bercerita. Itulah salah satu keunikan novel ini. Yang ternyata merupakan cerita bersambung yang pernah dimuat di media massa.
Menceritakan tentang cinta, pernikahan, hingga pemikiran-pemikiran liar seorang perempuan terhadap tubuh dan pikirannya. Di mana konfliknya lebih kompleks karena berhadapan dengan perbedaan agama, adat istiadat, dan norma-norma sosial.
Untuk pembaca perempuan yang belum pernah menikah tolong berhati-hati, karena hampir di setiap babnya menceritakan tentang perselingkuhan dan ketidaksempurnaan pernikahan. Hingga mengarah ke perempuan yang akhirnya memilih untuk menyukai sesama jenis.
Namun, dengan membaca buku ini aku jadi dapat menelanjangi pikiran perempuan tentang apa yang sebenarnya yang mereka inginkan. Laki-laki sempurna pun tidak cukup. Lantas arti bahagia dalam pernikahan itu seperti apa? Coba baca buku ini dan temukan salah satu kisah yang cocok dengan kisah perempuanmu.
"Perkawinan itu rumit. Untuk merasakan kebahagiaan, ia harus diciptakan. Kalau tidak diciptakan, tidak mungkin ada kebahagiaan." Halaman 382
Banyak hal yang dapat membelenggu perempuan, yang membuat perempuan tidak berdaya, pasrah dan menyalahkan dirinya kenapa harus terlahir sebagai perempuan. agama, budaya, masyarakat, tubuhnya sendiri bahkan tidak jarang semua itu juga berasal dari sesama perempuan.
Tidak hanya satu kisah perempuan di buku ini tapi beberapa kisah perempuan yang di angkat dalam satu buku dan satu sama lainnya saling berkaitan, atau setidaknya saling mengenal. Kisah para perempuan dalam menjalani kehidupan pernikahan yang sebagian besar berbenturan dengan adat dan tradisi Bali.
Buku ini juga menyajikan sudut pandang para perempuan dalam memandang dan mersepon ataupun memprotes hidupnya sebagai perempuan, memiliki tubuh perempuan dan berbagai hal yang harus di alami sebagai perempuan, termasuk mengandung dan memuntahkan gumpalan daging yang berada dalam tubuhnya selama 9 bulan.
Buku ini sangat kental mengangkat tema feminisme. Bagaiamana perempuan memandang tubuhnya, hidup sebagai seorang istri dengan lelaki (yang dalam cerita ini) menurutku tidak seperti lelaki yang cukup baik. Semua perempuan dalam buku ini adalah perempuan tangguh yang berjuang sangat keras dan mandiri, menyadarkan pembaca terutama kaum perempuan bahwa perempuan harus mampu mandiri.
Tempurung mengakat kisah kehidupan perempuan Bali yang begitu terikat dengan adat, kasta, tradisi dan juga hal-hal mistis lainnya dalam menjalani kehidupannya sebagai seorang perempuan. Saran ku sebaikanya taruh fokus lebih dalam membaca buku ini, karena tidak hanya ada satu tokoh "Aku" dalam buku ini, dan jika kalian teliti cerita masing-masing perempuan ini saling berkaitan.
For the past five days, I’ve been walking through the tangled, winding corridors of womanhood. Emotions all jumbled—grief, joy, anger, disappointment, and the occasional flicker of happiness—all wrapped up and handed to me in this book, forcing me to pause and reflect after every chapter or two.
In Tempurung, ten women’s inner worlds—both thoughts and feelings—are laid bare through a complex, fragmentary narrative. The abstract “I” as the narrator isn’t always clear-cut. Sometimes you really have to stop and ask: who’s speaking right now? And who exactly is this “I” talking about?
What never fails to mesmerize me is how Oka Rusmini creates these almost mystical female characters to tear down the walls of patriarchy, especially within Balinese society. Like Kenanga in her previous work, the women in Tempurung are symbols of deep internal struggle—pushed to the edge by the cruelty and injustice of patriarchal culture. The question “Can the Subaltern Speak?” is answered here with bold clarity—through the voices of Songi, Sipleg, Saring, Jelangga, Dayu, and the other women in this story.
Mbok Oka doesn’t ask us to see these women only as victims—she dares us to truly listen to them. The self-conflict and the resistance. Their voices may still be trapped inside a shell, not quite free—but believe me, they echoed so loud and clear. And another thing—this book doesn’t comfort you. It doesn’t offer a safe, quiet escape. Tempurung opens up a raw, unsettling space of social criticism—one that’s sharp, painful, and deeply, unforgettably human. 4.8/5 ✨
Sebelum memulai Tempurung, kukira buku ini adalah satu cerita novel. Ternyata, Tempurung berisi beberapa kumpulan cerita. Beberapa dari kumpulan cerita tersebut saling berhubungan, sedangkan beberapa lainnya lagi adalah cerita yang sama sekali berbeda.
Secara garis besar, Tempurung mengisahkan para perempuan yang terjebak dalam lingkungan patriarki. Banyak di antara mereka (atau bahkan hampir semuanya) harus menelan satu pil pahit: dalam sistem patriarki, posisi mereka adalah sebagai manusia kelas dua. Artinya, kedudukan perempuan berada di bawah laki-laki.
Baca buku ini bikin aku 'ngilu', jujur. Ngilu karena betapa posisi perempuan sebegitu dikerdilkannya menjadi sebatas orang yang melakukan pekerjaan domestik saja (dapur, anak, ranjang).
Sementara itu, laki-laki di sini digambarkan sebagai sekelompok manusia yang kasar, tukang selingkuh, kerjanya judi, dan hal-hal negatif lainnya. Kalau boleh jujur, di sini saya sebenarnya merasa agak 50:50. Dalam artian, saya paham bahwa buku ini adalah gebrakan untuk menyadarkan masyarakat betapa merugikannya patriarki bagi perempuan. Namun di sisi lain, penggambaran laki-laki di dalam Tempurung yang sebagian besar (atau hampir semuanya) brengsek, seolah menggeneralisasi bahwa laki-laki dilahirkan sebagai makhluk brengsek.
Saya mendukung feminisme pada batas di mana laki-laki dan perempuan sudah seharusnya berdiri setara. Meski demikian, menurut saya feminisme tidak seharusnya justru menjadi konsep untuk kemudian membenci laki-laki. Dalam buku ini, saya menangkap penyiratan seolah ada ketidaksukaan terhadap kaum laki-laki sehingga mereka digambarkan sebagai makhluk yang selalu brengsek.
Meski demikian, saya mengacungi jempol untuk ide feminisme dan patriarki yang disajikan dalam buku ini. Pembawaan ceritanya luwes dan (kadang-kadang) frontal. Bahasanya juga mudah dipahami, bahkan untuk saya yang sedang semi reading slump dan mood bacanya agak merosot. :')
Overall, buku ini masih oke dan saya masih menikmatinya.
'Tempurung' lahir dari pengalaman pribadi Oka Rusmini akan kekayaan budaya Bali dan hasrat mengkritisi implikasi sistem sosial tersebut terhadap perempuan. Buku ini menceritakan pengalaman perempuan-perempuan, yang walau tidak saling bersinggungan langsung, tetapi terjalin oleh sebuah benang merah. Para perempuan itu sama-sama mendamba anak, sentuhan, cinta dan perhatian yang dikiranya ada dalam pernikahan. Alih-alih meraih semuanya itu, sistem partriarki merenggut kebebasan atas tubuh sendiri yang membuat para perempuan ini kehilangan hasrat dalam pernikahan. Sebut saja Songi yang dijadikan pelacur oleh ibunya Rimpig demi memperbaiki ekonomi keluarga.
Ada juga Bu Barla, seorang pemilik warung yang kuat tegar menghargai suaminya walau hanya benalu. "Tiang (saya) tidak ingin anak-anak tahu bahwa avahnya tidak dapat dibanggakan." Buku ini kaya akan kritik jujur dan dorongan untuk mengembalikan martabat perempuan (Bali dan) Indonesia.
Pemilihan diksinya caantiikkk banget. One of my favorite character tuh putu!! suka banget sama penggambaran karakter dia, perempuan yang keras atas apa pun. Tapi sayang menurutku bagian rosa menceritakan mami papi terlalu bertele-tele, rasanya seperti hal yang sama ditulis berulang kali. But the ending such a BOOM sumpah, kaya langsung mengobati boring sepanjang flashback kisah hidup si rosa ini, sampe sekarang masih kepikiran sebenarnya sarah itu apa yaaahh?
berikut salah satu dialog putu favorite ku: "Kenapa perempuan selalu bermasalah bila berhadapan dengan perempuan? Kenapa perempuan jarang membela perempuan? Kenapa perempuan selalu mengunggulkan dan menutup mata untuk mengakui kemampuan seorang perempuan? Kenapa perempuan memilih memenangkan lelaki? Bagaimana mungkin perempuan akan maju, kalau untuk memajukan perempuan pun seorang perempuan selalu ditentang oleh perempuan juga?"
Tempurung karya Oka Rusmini adalah novel yang menggali perenungan mendalam tentang kehidupan, identitas, dan hubungan manusia dengan lingkungan. Cerita ini berpusat pada perjalanan batin dan fisik tokoh perempuan bernama Luh Sekar, yang meninggalkan kenyamanan hidupnya untuk menemukan makna kebebasan dan memahami dunia yang lebih luas.
Melalui narasi yang puitis dan penuh simbolisme, novel ini mengeksplorasi tema trauma, pencarian diri, serta ikatan manusia dengan alam dan tradisi. Tempurung menawarkan refleksi tajam tentang bagaimana pengalaman hidup membentuk persepsi seseorang terhadap dirinya sendiri dan dunia di sekitarnya. Cocok bagi pembaca yang menyukai karya sastra dengan kedalaman emosi dan filosofis.
Tempurung karya Oka Rusmini adalah novel yang ngasih tamparan realita tentang hidup perempuan, terutama soal bagaimana tubuh dan pilihan mereka sering dikontrol oleh adat, trauma, dan ekspektasi orang sekitar. Gaya ceritanya lompat-lompat kayak flashback random, tapi justru bikin kita lebih kerasa masuk ke isi kepala para tokohnya. Novel ini kuat karena bahas isu berat dengan bahasa yang tetep puitis, karakter ceweknya kompleks dan relatable, serta kritik sosialnya halus tapi nyelekit. Sebenernya ini alurnya yang nggak linear bisa bikin beberapa pembaca bingung, dan temanya cukup gelap. Cuma overall, Tempurung itu bacaan yang menurutku emosional, pedih, tapi super powerful, cocok buat yang suka novel feminis gitu deh.
A mind-blowing novel for me. Kental banget sama nilai nilai feminism yang menjadi tema dalam buku ini. Membutuhkan waktu agak lama untuk membaca buku ini, meluangkan waktu buat bener-bener bisa konsen memahami apa yang dirasakan tokoh tokoh perempuan di dalam buku ini. Sedih, miris, campur aduk.
Cerita tentang pahitnya menjadi wanita, tidak semua cerita memiliki happy ending, tidak semua episode kehidupan seseorang itu seindah apa yang terlihat. Karena sejatinya kamu tidak tahu, dibalik senyum yang merekah itu, terdapat hati yang memendam luka teramat sangat.
Buku yang menjelaskan semua tipikal wanita beserta tiap-tiap dunianya, walau terkesan dalam buku ini menjadi wanita itu amat tidak menyenangkan dengan beragam masalahnya.
Bagiku, cara terbaik untuk menikmati buku ini secara utuh ialah, dengan cara menghabiskannya dalam satu momen baca. Sebab, tokoh yang begitu banyak dengan ceritan hidupnya masing-masing lalu dibahas dengan tidak singkat, cukup untuk melepaskan rangkaian kefokusan cerita.
Keunikan buku ini terletak dari dialog yang sangat banyak namun tidak disertai keterangan tokoh siapa yang berbicara, pembaca diminta untuk menebak sendiri siapa dan berapa tokoh yang berbicara.
Jadi, Tempurung ini berisi kisah hidup banyak perempuan Bali dan persoalan hidup mereka--mainly terkait pernikahan dan kasta. Awalnya, tokoh-tokohnya memiliki hubungan, jadi baca cerita ini mengingatkan saya sama O-nya Eka Kurniawan walau tentu secara tema jauh berbeda yaa... Tapi makin ke belakang, ceritanya semakin nggak masuk akal dan ending-nya agak-agak... creepy dan nggak jelas maknanya (buat saya). Dari tema sosial kok ya mendadak jadi horor dan mistis gitu. Pas banget pas gue nyeleseinnya pas Halloween. Haha.
Buku ke-4 dari Bu Oka Rusmini yang selesai aku baca tepat seminggu hihi (timingnya pas sama jadwal balikin buku ke perpus kota hehe) || Bhaiq. isu perempuan masih jadi topik utama di buku ini✅, dua (bagian) cerita perempuan di buku ini yang 'dark' banget (aku rasa buat calon pembaca buku ini harus hati-hati karena mengandung 'triggered warning') ✅, tapi sayang sekali endingnya aku kurang begitu suka sebab seperti cuplikan film The Conjuring Universe (menurutku)🙂
Agak melelahkan baca buku Oka Rusmini yg ini, kenapa? Karena povnya dari banyak aku, ceritanya tentang perempuan semua tapi buanyak, sampe bingung nama-namanya dan kerasanya semua punya masalah sebagai perempuan. Kayak melelahkan banget jadi perempuan, apalagi perempuan Bali.
Seharusnya ada sedikit upaya untuk menuliskan betapa.beruntungnya juga menjadi perempuan itu, jadi gak melulu kesulitannya.
Semua yg diceritakan memang begitulah menjadi perempuan.
Novel yang sulit dicari benang merah antar-tokohnya, menyisakan kumpulan utas benang kusut yang gagal menjadi selembar kain. Sebuah saran kubaca di Gr, nikmati saja tanpa perlu memusingkan tokohnya yang mudah bergonta-ganti, toh setiap karakter perempuan berbagi penderitaan yang sama. Aku akui sering kesulitan menangkap maksud novel ini, entah karena pemahamanku yang dangkal atau karena aku berwujud seorang lelaki?
Terus terang buku ini sangat sangat melelahkan utk dibaca. Pusing, bingung dengan pergeseran tokoh 'aku' dengan kecenderungan konflik dan kekerasan yg sama antara anak dg tokoh ibu ataupun ayahnya. Membaca buku ini membuat sy harus break beberapa waktu sebelum membaca buku berikutnya. Jika bs diulang, lbh baik sy skip saja baca buku ini.
Tempurung ini buku yang aku baca karena covernya kembar dengan cover novel Kenanga, berhubungan. Sedikit bingung dengan satu cerita ke cerita lainnya. Seperti kumpulan cerita tapi tokoh dan ceritanya seperti berlanjut satu sama lain dari bagian ke bagian. Buatku ini sesuatu yang baru. Tapi kesannya jadi menggantung untuk tiap ceritanya.
Kisah para perempuan hebat yang menghargai tubuhnya sebagai bagian dari dirinya. Banyak nama tokoh perempuan yang diceritakan, tentu saja nama Bali jadi yang tidak terbiasa akan bingung bertanya ini tokoh yang mana lagi. Namun saya kasih bocoran, buku ini sebenarnya masih bisa dibaca acak tiap bab dan tetap asyik. Tiap bab bercerita kisah perempuan hebat. Salut Kak Oka!
Tempurung bisa dibilang adalah kumpulan cerita tentang perempuan-perempuan hebat dan kuat di pulau Bali yang setiap individunya saling berkaitan satu sama lain. Ditulis dengan luwes sehingga kadang membuat pembaca tidak menyadari bahwa cerita sudah bergeser dari perempuan A ke perempuan B. Banyak pelajaran hidup yang dapat diambil dari buku ini.
Tentu saja ini bagus. Tapi sungguh lelah membacanya. Ini seperti cerpen-cerpen yang dipaksa terangkai jadi satu kisah utuh. Tiap kisahnya bagus, diksi Oka Rusmini, caranya bercerita pun termasuk seleraku, tapi ini seperti reff lagu yang merdu lalu diputar berulang-ulang sampai lelah mendengarnya. Monoton. Apa semua buku Oka Rusmini seperti ini?